Label

Risalah Imam Zaman


“Aku seperti matahari yang tertutup oleh awan dan orang-orang mengambil manfaat dariku, sebagaimana mereka mengambil manfaat dari matahari di balik awan.” Sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Sunni dan Syi’ah dalam 92 kitab yang berbeda menyatakan, “Barang siapa yang mati tanpa mengenal Imam Zaman as, ia akan mati dalam keadaan jahiliah.” Kata “mati” dalam hadis ini ditafsirkan oleh ulama sebagai tujuan kehidupan duniawi ini.

Al-Quran menyatakan, Setiap jiwa akan merasakan kematian. Dalam berbagai tempat dalam kitab-Nya, Allah menerangkan bahwa tujuan kehidupan duniawi ini tidak berarti berakhirnya (perjalanan) jiwa. Sebaliknya, kematian semata-mata merupakan perpindahan dari kefanaan pada keabadian.

Suatu saat, Jabir meminta Imam Shadiq as untuk menerangkan filsafat kematian. Imam as menerangkan, “Kematian bukan kehancuran sebagaimana orang kira melainkan perubahan bentuk dalam kehidupan. Jika seorang Muslim memiliki keimanan dan kearifan, ia tidak akan takut akan transformasinya. Namun, jika saya berdebat dengan seorang non-Muslim dan ia menanyakan kepadaku mengapa Allah menjadikan manusia mati yang ia ciptakan dan ia beri kehidupan? Aku akan menjawabnya bahwa kematian merupakan suatu pasase ke kehidupan lain dan bahwa dalam fase berikutnya, ia diberi kehidupan lagi.

Dalam Surah al-Hadid ayat 19, Allah Swt menjanjikan pahala bagi mereka “yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. “Mereka adalah “orang yang adil dan para syuhada dalam pandangan Tuhan mereka.”

Betapa agungnya penghormatan Allah kepada mereka yang beriman kepada para rasul-Nya! Mereka dipandang sebagai “para syuhada dalam pandangan Tuhan mereka”. Dengan penuh kasih, Allah menjamin, “mereka mendapatkan upah mereka dan cahaya mereka.” Namun, di sisi lain, mereka yang mengingkari para utusan Tuhan dan menolak untuk mengakui mereka dipastikan sebagai penghuni neraka. Allah Swt berfirman, “Kecuali orang-orang kafir, yang telah mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah para penghuni neraka.”

Arti penting mengenal Imam Zaman as ditekankan oleh kenyataan bahwa para maksum menjamin kematian jahiliah bagi siapa saja yang lalai menunaikan kewajiban ini, kita diperintahkan bahwa, “Barangsiapa yang mati tanpa mengenal Imam Zaman as, matinya adalah matinya jahiliah.” Apakah yang diisyaratkan dengan kata “mengenal” dalam hadis yang disebutkan tadi? Bagaimana seharusnya kita mengenal imam kita? Apakah ini berarti kita harus bertemunya secara pribadi, mendengarnya, dan memandangnya ataukah apakah itu hanya menuntut kita untuk mendapatkan pengetahuan tentangnya dan mengetahui siapa sebenarnya ia?
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dengan kecintaan kepada Muhammad dan keluarganya, ia termasuk golongan syuhada.”

Hadis ini dibenarkan oleh ayat dari Surah Hadid yang dinukil di atas. Allah berfirman, Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Shiddiqien dan para syuhada di sisi Tuhan mereka. (57:19) Mengenal dan menghormati para nabi dan para imam secara berkali-kali ditekankan dalam agama kita karena dalam kitab-Nya, Allah mengandarkan mereka sebagai orang-orang “mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”

Dalam surah an-Nisa ayat 59, Dia berfirman, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Hadis-hadis menerangkan bahwa “ulil amri” yang ditaati bukanlah para khalifah, presiden, raja, ataupun penguasa yang dipilih oleh mereka sendiri melainkan orang-orang yang telah diberi otoritas oleh sang Pencipta sendiri. Al-Khaliq memilih Nabi saw dan Ahlulbaitnya sebagai model dan guru bagi umat manusia. Dia menganugerahkan kepada mereka ilmu dan otoritas khusus dan disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 33, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Karena itu, kita harus mengenal dan mengikuti para imam yang telah disucikan dan dibersihkan oleh Allah sendiri sebagai guru dan teladan bagi manusia.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al Baqarah (2):124). “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)”. (QS. An Nahl (16):120). “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqan (25):74).

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al Ma'idah (5):12). “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan Imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. (QS. Al Isra(17):71). 


Hujjah Ushuluddin Mazhab Ahlulbait


Bismillah wa Shalawatu 'ala Rasulillahi wa aalih

Ushuluddin Syi'ah dalam Al Qur'an dan Bible

Secara umum kajian ushuluddin (pokok-pokok agama) dalam Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah atau Mazhab Imam Ja'far Shadiq itu ada 5, antara lain Tauhid (ke-esaan Allah), Al 'Adl (keadilan Allah), Nubuwah (kenabian), Imamah (kepemimpinan Ilahiyyah /konsep pemimpin yang di pilih oleh Allah dengan nash), dan Ma'ad (Hari kebangkitan atau hari penghakiman atau hari pembalasan). (Silsilah A'rafu Syi'ah, buku 3: Hawaiyatu-Sy-Syi'ah, Ayatullah As Sayyid Muhammad Al Hussain Asy Syirazi, hal. 13, tertanggal 3 syawal 1392 H)

Berikut kajian singkat mengenai point-point Ushuluddin tersebut dengan dalil (petunjuk/argument) dari Al Qur'an dan Bible.

1. TAUHID

AL QUR'AN: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tidak membutuhkan apapun. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tiada suatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. Al Ikhlas [112] :1-4)

BIBLE:  “Lihatlah sekarang, bahwa Aku Akulah Dia, tidak ada Allah kecuali Aku”. (Ulangan 32:39). "Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit sujud menyembah kepada-Mu”. (Nehemia 9:6). Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa”. (Markus 12:29). “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”. (1 Korintus 8:6)

2. AL 'ADL (keadilan Allah)

AL QUR'AN: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran (3):18). BIBLE: “Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna, karena segala jalan-Nya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia”. (Ulangan 32:4)

3. AN NUBUWAH (Kenabian)

AL QUR'AN: “Tiap-tiap umat mempunyai rasul, maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya”. (QS. Yunus (10):47). “Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Ahzab [33]: 40)

BIBLE: “Sungguh, Tuhan ALLAH tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi”. (Amos 3:7). “Lalu berfirmanlah Ia: "Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi”. (Bilangan 12:6). “Seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya”. (Ulangan 18:18)

4. AL IMAMAH (kepemimpinan Ilahiyyah)

AL QUR'AN: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al Baqarah (2):124). “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)”. (QS. An Nahl (16):120). “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqan (25):74).

“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al Ma'idah (5):12). “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan Imamnya; dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun”. (QS. Al Isra(17):71)

BIBLE: “Melkisedek, raja Salem, membawa roti dan anggur; ia seorang imam Allah Yang Mahatinggi, Lalu ia memberkati Abram, katanya: "Diberkatilah kiranya Abram oleh Allah Yang Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi, dan terpujilah Allah Yang Mahatinggi, yang telah menyerahkan musuhmu ke tanganmu." Lalu Abram memberikan kepadanya sepersepuluh dari semuanya.. ”. (Kejadian 14:18-20). “Haruslah engkau membuat pakaian kudus bagi Harun, abangmu, sebagai perhiasan kemuliaan, Haruslah engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku”. (Keluaran 28:2-3)

“Engkau harus juga mengurapi dan menguduskan Harun dan anak-anaknya supaya mereka memegang jabatan imam bagi-Ku”. (Keluaran 30:30). “Filipus segera ke situ dan mendengar sida-sida itu sedang membaca kitab nabi Yesaya. Kata Filipus: "Mengertikah tuan apa yang tuan baca itu?, Jawabnya: "Bagaimanakah aku dapat mengerti, kalau tidak ada yang membimbing aku?" Lalu ia meminta Filipus naik dan duduk di sampingnya”. (Kisah Para Rasul 8:30-31)

5. AL MA'AD (Hari Kebangkitan)

AL QUR'AN: “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula”. (QS. Az Zalzalah (99)6-8). BIBLE: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman”. (Matius 12:36)

Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammad rasulullah. Allahuma shalli 'ala Muhammad wa aali Muhammad. Demikianlah kajian singkat mengenai konsep ushuluddin (pokok-pokok agama)dalam mazhab Syi'ah Imamiyah Itsna' asyariyah atau Mazhab Imam Ja'far Shadiq yang ada dalam Al Qur'an dan Bible, Insya Allah lain waktu mudah-mudahan bisa saya uraikan per-point satu per-satu secara terperinci.  Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan.

Kenapa Kami Memukul Dada Ketika Mengenang Husain?


Pada hari Jumat setelah shalat zuhur, Syekh Abdullah menukar jubah panjang dan surbannya dengan celana dan jaket. Dia meminta saya untuk menunggu, sementara ia berbicara kepada seorang pemuda. Percakapan memakan waktu sepuluh menit di kantor (perpustakaan tambahan) dari masjid Syi’ah Erreda [ar-Ridha] di Anderlecht. Bahasa umum adalah Bahasa Persia. Syekh Abdullah adalah penduduk asli Maroko. Ia dibesarkan sebagai seorang Sunni, namun setelah mengkonversi keyakinan, ia pindah ke Iran untuk belajar teologi [di hawzah]. Dia tinggal di Iran selama sepuluh tahun. Sekarang ia adalah seorang imam di Mesjid Erreda Anderlecht tempat para pengikutnya adalah sebagian Maroko asli.

“Saya menjadi Syi’ah ketika saya bertemu dengan beberapa orang Maroko yang sudah berpindah keyakinan. Ini sekitar tahun delapan puluhan,” katanya kepada kami. “Kelompok pertama ini terinspirasi oleh buku-buku, yang didistribusikan di sini oleh sejumlah orang Iran.”

Demikian juga Fatiha, seorang gadis Maroko yang tinggal di Antwerp, yang menjadi “mualaf Syi’ah”. Perpindahan keyakinannya dari Sunni ke Syi’ah terjadi ketika ia bertemu seorang suami Irak, yang seorang Syi’ah. Mereka melakukan pernikahan temporer (nikah mut’ah). “Aku sudah bercerai dan mendambakan untuk melakukan kontak seksual,” jelasnya. “Ini menghibur saya bahwa ini bahkan mungkin dalam konteks Islam.” Hubungan temporer (nikah mut’ah) ini akhirnya mengarah ke akad pernikahan daim (nikah seumur hidup, bila tidak cerai). Bukan hanya perkawinan temporer ini, yang telah dikritik oleh banyak Sunni, tetapi seluruh filsafat Syi’ah menarik bagi dirinya. “Kaum Sunni selalu berbicara tentang hal-hal detil dan ritual banget, sedangkan Syi’ah jauh lebih mendalam, yang secara jelas ditampilkan dalam acara televisi keagamaan,” imbuhnya.

Murid-Murid Ali

Jelaslah, kelompok ‘mualaf Syi’ah’ tumbuh pada skala global. Dan Syi’ah memang diterima oleh masyarakat yang cerdas dan tercerahkan. “Anda dapat mengatakan ia memiliki efek bola salju”, kata Imane Lachkar, yang meneliti masalah perpindahan keyakinan untuk gelar Ph.D-nya di University of Leuven. “Di Brussels, itu merupakan fenomena besar, dalam konteks globalisasi. Informasi mudah bersirkulasi. Sudah ada generasi baru ‘mualaf Syi’ah’. Contohnya, pilihan untuk nama-nama bayi, seperti Jafar dan Fathimah-Zahra semakin populer. Dan nama-nama ini adalah nama-nama tradisional Syi’ah.” Angka statistik pada populasi ‘mualaf Syi’ah’ tidak tersedia. “Kita tidak berbicara tentang konversi dalam keimanan. Ia adalah sesuatu yang terjadi dalam spektrum imannya. Tidak ada sertifikat ataupun pendaftaran. Satu-satunya perbedaan adalah penambahan Ali, keponakan dan menantu Nabi Muhammad, dalam kalimat syahadah atau pengakuan keimanan (fakta bahwa hanya ada satu Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya) yakni Hujatullah atau simbol memeluk [kepemimpinan] Ali.”

“Mari kita ikhtisarkan. Paham Syi’ah adalah mazhab agama terbesar kedua dalam Islam. Mazhab Sunni masih yang terbesar. Mazhab Syi’ah memiliki landasan dalam perjuangan untuk suksesi Nabi Muhammad. Syi’ah atau Syi’atu ‘Ali, adalah pengikut Ali, percaya bahwa Ali adalah penerus langsung Muhammad. Dia berhak mendapatkannya, karena dia adalah keluarga nabi yang kema’shuman-nya dibenarkan wahyu dan sejumlah hadits Rasulullah, sedangkan tiga khalifah selain Ali bukan lah figur-figur yang ma’shum. Pihak lain menganggap kedua belah pihak harus bermusyawarah mengenai siapa yang menjadi nabi berikutnya, karena anggota-anggota lain sama dengan Ali. Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama. Dua puluh tahun kemudian, Imam Ali dipilih untuk menjabat khalifah, tetapi dibunuh oleh lawan-lawannya. Ini adalah titik balik besar dalam konflik antara Syi’ah dan Sunni. Tetapi sampai pembantaian Imam Husain di Karbala tahun 680, bahwa konflik benar-benar memuncak. Revolusi Islam di Iran dan perang Irak-Iran pada tahun 80-an menyebabkan benturan lama bangkit kembali sekali lagi. Peristiwa ini menyebabkan ‘konversi’ pertama. “Pembunuhan Ali yang dekat dengan Muhammad dan pembunuhan brutal atas anaknya Husain oleh sesama Muslim, menimbulkan simpati besar terhadap Syi’ah,” kata Syekh Abdallah.  

Menangis Memberi Anda Kekuatan

Hierarki [kepemimpinan] dalam sistem Syi’ah sangat mengagumkan bagi banyak orang Sunni. Fatiha, misalnya, berpikir adalah bagus ada seorang pemimpin spiritual yang mengambil tanggungjawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang mukmin. “Ini agama yang sangat terstruktur. Tidak ada kekacauan,” kata Imane Lachkar. “Ada sedikit ruang untuk ijtihad, interpretasi agama. Syi’ah percaya pada orang yang memiliki status yang lebih baik dan kapasitas keagamaan yang lebih untuk memberikan interpretasi agama. Mereka juga percaya pada kemaksuman nabi dan dua belas imam dari keturunan nabi (yang berarti 14 bersama Rasulullah, Fatimah, Imam Ali dan 11 imam selanjutnya secara berturut-turut hingga Imam Mahdi). Dan inilah perbedaan besar dengan Sunni.”

Tidak ada diskusi bahwa situasi politik yang actual telah menjadikan Syi’ah lebih terlihat. Tetapi orang tidak mengubah pendapat politik. “Hassan Nasrallah adalah pemimpin Syi’ah Hizbullah di Lebanon dan sangat populer di kalangan Sunni. Tapi itu tidak mengubah Sunni ke Syi’ah,” jelas Syekh Abdallah.

Keputusan untuk berpindah keyakinan [dari Sunni] ke Mazhab Syi’ah tidak dirasakan sebagai suatu perubahan, tetapi lebih sebagai upaya kembali ke akar. “Ini adalah pandangan kritis terhadap sejarah,” ujar Imane Lachkar. “Banyak orang memiliki perasaan hidup dalam kebohongan, karena sejarah telah ditulis oleh penakluk.” Keputusan untuk mengkonversi keyakinan bukanlah suatu intervensi oleh lingkungan. “Orang-orang Syi’ah tidak akan mudah diyakinkan untuk mengatakan tentang Mazhab Syi’ah terutama ketika mereka mendapatkan perasaan lingkungan tidak akan memahami sudut pandangnya. Di sisi lain itu mungkin bagi sebagian orang Arab yang sebagian besar berpendidikan tinggi untuk mengubah keyakinan seluruh keluarga,” jelas penyidik kita.

“Untuk menjadi seorang Syi’ah juga suatu proses,” kata Imane Lachkar. “Orang-orang mencoba menjadi seorang Syi’ah. Mereka mencoba memahami apa yang terjadi pada hari-hari tersebut. Mengingat pembunuhan Husain adalah contoh jelas dari fenomena ini. Syi’ah berusaha keras untuk memahami tragedi Karbala. Mereka dipersiapkan dengan baik sebelumnya untuk acara ini. Hari kesepuluh [Muharam], hari ketika Asyura Husain dibunuh adalah klimaks dari acara ini. Tragedi harus diinternalisasilkan oleh satu sama lain.” “Menghukum diri secara berdarah-darah bukanlah tujuan,” kata Syekh Abdullah. “Memukul dada ketika mereka mendengar bahwa Husain dibunuh, melambangkan duka cita kami. Ini adalah tangisan karena kecintaan kepada Ahlulbait. Menangis memberi Anda kekuatan, demikian juga bagi laki-laki.” 


Ayat-ayat Tekstual dan Ayat-ayat Kauniyah


Oleh Sachiko Murata*

Dalam sebagian besar teks-teks Islam, ada tiga realitas dasar yang selalu dipegang: Allah, kosmos atau makrokosmos, dan manusia atau mikrokosmos. Kita bisa menggambarkan ketiganya ini sebagai tiga sudut dari sebuah segitiga. Yang secara khusus menarik ialah hubungan yang terjalin di antara ketiga sudut. Allah, Realitas Mutlak – Al Wujud] yang berada di puncak, merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang ada di bawah, karena baik makrokosmos maupun mikrokosmos adalah realitas-realitas derivatif. Setiap sudut bisa dikaji dalam hubungannya dengan satu atau dua sudut lainnya.

Gambar segitiga menjadi lebih kompleks lagi oleh fakta bahwa masing-masing dari ketiga realitas itu mempunyai dua dimensi dasar dan bisa dilukiskan sebagai sebuah salib (dalam arti kiasan longgar). Sumbu vertikal menggambarkan satu jenis hubungan, dan sumbu horizontal melukiskan jenis hubungan lainnya. Di puncak, sumbu vertikal dibentuk oleh perbedaan antara Esensi Ilahi dan sifat-sifat Ilahi, sementara sumbu horizontal mencerminkan berbagai hubungan antara nama-nama Ilahi komplementer, seperti yang Maha Memuliakan dan yang Maha Menghinakan atau yang Maha Menghidupkan dan yang Maha Mematikan. Bisa ditarik perbedaan-perbedaan paralel baik dalam mikrokosmos maupun makrokosmos. “Langit dan Bumi” atau “Jiwa dan Raga” menggambarkan sumbu vertikal, sementara kesalinghubungan antara berbagai realitas pada setiap tataran dan arasy membentuk sejumlah sumbu horizontal. Untuk sementara, penting kiranya memunculkan struktur segitiga dasar dari keseluruhan realitas.

Tanda-tanda di Cakrawala dan Jiwa

Istilah-istilah paling umum dalam teks-teks yang ada pada kami uutuk makrokosmos dan mikrokosmos adalah terjemahan literal atau harfiah dalam bahasa Arab atas ungkapan-ungkapan Yunani: al-’alam al-kabir, “alam besar,” dan al-’alam al-shaghir, “alam kecil”. Sering kali kata ‘lebih besar’ dan ‘lebih kecil’ digunakan sebagai ganti kata ‘besar’ dan ‘kecil’. Terkadang, keutamaan diberikan kepada manusia. Maka, makrokosmos pun menjadi “manusia besar” (al-insan al-kabir) dan mikrokosmos menjadi “manusia kecil” (al-insan al-shaghir) [1]. Istilah makrokosmos sinonim dengan dunia atau kosmos, yang biasanya didefinisikan sebagai “segala sesuatu selain Allah.” Manakala pengarang-pengarang kami menggunakan istilah makrokosmos pengganti kosmos, mereka berbuat demikian untuk membuat kontras dengan mikrokosmos. Mikrokosmos adalah individu manusia, yang melambangkan seluruh kualitas yang dijumpai dalam shifat-shifat dan asma-asma Allah dan makrokosmos.

Banyak pengarang menyinggung-nyinggung makrokosmos dan mikrokosmos melalui ungkapan “cakrawala dan jiwa” (al-afaq wa al-anfus). Ungkapan ini kembali kepada ayat Al-Quran, “Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami di segenap cakrawala dan dalam jiwa mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Mahabenar” (QS [41]: 53). “Tanda-tanda” (aayaat) Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar diri manusia, merupakan salah satu tema yang diulang-ulang dalam al Quran. Kitab tersebut menggunakan istilah tanda dalam bentuk tunggal atau jamak sebanyak 288 kali dalam beberapa makna yang berkaitan erat. Sebuah tanda adalah fenomena yang memberitahukan ihwal Allah. Tanda itu bisa berupa seorang nabi, risalah nabi, mukjizat nabi, atau berbagai hal yang ada di dalam alam. Ia bisa bertalian dengan alam lahiriah, makrokosmos, atau alam batiniah, mikrokosmos. “Dan di atas bumi ada tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga dalam dirimu. Apakah tiada kamu perhatikan?” (QS[ 51]: 20-21). Singkat kata, segala sesuatu di alam semesta adalah tanda Allah.

Banyak ayat al Quran mengungkapkan gagasan bahwa semua objek alam adalah tanda-tanda Allah. Sangatlah penting memahami gagasan ini sebagai fondasi pemikiran Islam, karena ia menetapkan hubungan antara Allah dan kosmos dalam terma-terma yang pasti. Disamping itu, ayat-ayat yang menggunakan istilah itu biasanya menyebut-nyebut bagaimana sebaiknya manusia menanggapi tanda-tanda Allah: mengingat, memahami, melihat, bersyukur, merenung, menggunakan akal, beriman dan bertakwa kepada Allah, dan sebagainya. Saya mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan hal ini secara lebih jelas:

“Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, supaya kamu pergunakan sebagai penunjuk jalan dalam kegelapan di darat dan di laut. telah Kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran) Kami bagi orang-orang yang mengetahui dan paham” (QS.[6]:97).

“Dan tanah yang baik keluarlah darinya tanaman (subur) dengan seizin Rabbnya. Tapi (tanah) yang buruk hanya keluar darinya tanaman yang merana. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kebesaran Kami kepada kaum yang bersyukur” (QS.[S]: 58 ).

“Dalam silih berganti malam dan siang, (dalam) segala yang Allah ciptakan di langit dan d bumi, ada tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi orang-orang yang bertakwa (kepada-Nya).” (QS.[10]:6).

“Dan segala yang diciptakan-Nya bagimu di bumi yang aneka ragam warnanya, semua itu merupakan tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang menerima peringatan” (QS.[16]:13).

“Tiadakah mereka melihat burung-burung terbang patuh di ruang angkasa? Tiada yang menahan kecuali Allah. Sungguh semua itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang beriman” (QS[16]:79)

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia memperlihatkan kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan. Dia menurunkan hujan dari langit dan dengan itu memberi hidup kepada bumi sesudah ia mati. Sungguh dalam yang demikian itu ada tanda-tanda bukti bagi orang-orang yang menggunakan akalnya” (QS[30]:24).

“Allah mengambil jiwa orang waktu matinya, dan jiwa (orang) yang (belum mati), diambil-Nya waktu tidurnya. Ditahan-Nya jiwa (orang) yang telah ditentukan kematiannya. Sungguh semua itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang menggunakan pikiran” (QS.[39]:42).

Manakala al Quran memerintahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah, maka ini berarti bahwa al Quran mendorong manusia untuk menggunakan “sebuah proses mental” tertentu yang tidak ditujukan semata-mata pada obyek, hal-hal, atau data. Sebaliknya, al Quran mengatakan kepada kita bahwa kita mesti memahami segala sesuatu bukan melulu tentang objeknya sendiri, melainkan juga tentang apa yang dapat diterangkannya mengenai sesuatu di luar dirinya. Segala sesuatu itu seperti ibarat, perumpamaan, dan simbol-sirnbol. Sebagaimana dikatakan Lane dalam kamus Arab klasiknya, seraya mengutip seorang otoritas kuno, kata aayaat “secara tepat bermakna sesuatu yang tampak adalah tak terpisahkan oleh sesuatu yang tak tampak, sehingga ketika seseorang memahami yang tampak, maka dia tahu bahwa dia memahami yang tak tampak, di mana yang tak tampak tidak bisa dipahami dengan dirinya sendiri.” Menurut definisi, Allah tidaklah tampak. Namun jejak-jejak dan isyarat-isyarat dari ciptaan-Nya yang mengagumkan, bisa menghasilkan pemahaman tentang Allah, jika kita memang merenungkannya.

Catatan kaki: [1] Kadang-kadang manusia dipandang sebagai realitas lebih besar disebabkan keunggulan kualitatif tertentu yang berkaitan dengan kekholifahan manusia. Kemudian, manusia adalah makrokosmos, dan kosmos adalah mikrokosmos. Misalnya Sam’aani (Rawh Al-Arwaah 180) menulis, ”Sekalipun struktur manusia itu kecil dari sudut pandang penglihatan Anda, dalam batasan makna, kemuliaan, khazanah dan misteri yang ada di dalamnya, ia adalah kosmos yang lebih besar (’alam-i akbar’).”

*Penulis buku The Tao of Islam dan The Vision of Islam.