Label

Spirit Humanis dan Hikmah Abadi Tragedi Karbala Imam Husain Bagi Ummat Manusia


Apa yang sedang anda baca ini adalah kisah figur agung yang kebangkitannya tidak ada bandingannya dalam catatan sejarah. Sebuah revolusi dengan tujuan yang sangat agung, sebuah kemenangan yang merasuk dalam dan sejatinya adalah sebuah keputusan reformasi melawan penaklukan. Kisah Imam Husain, cucu dari Nabi Islam, dan perjuangannya yang abadi. Setelah dalam tahun-tahun kekuasaan tirani yang tidak adil, cahaya Islam menjadi redup dan dijaga nyalanya oleh hanya sebagian kecil orang yang setia. Agama menjadi alat belaka di tangan penguasa lalim yang mengangkangi ajarannya yang agung dan prinsip-prinsip mulianya.

Hidup di tengah dominasi sosial dari korupsi, dengan hukum dan kekayaan di tangan elit, komunitas muslim menjadi pasif dan tidak peduli dengan kesulitan yang akan dihadapi. Walau keruntuhan masyarakat terjadi dengan cepat, satu ganjalan tetap berada di tengah-tengah jalan rejim penuh dosa dan menghalanginya untuk mencapai tujuan dangkalnya. Rejim lalim ingin memperkuat kendali kekuasaannya atas umat Islam dengan mendapatkan legitimasi dari Ahlulbait Nabi, yang dianggap oleh kalangan umum saat itu sebagai perwujudan ajaran hakiki Islam. Tetapi harapan ini tetap hampa, walaupun tekanan-tekanan hebat diberikan kepada mereka, Ahlulbait Nabi tetap tegas dalam melawan ketidakadilan penguasa.

Di tengah masa kemerosotan etika sosial, Imam Hasan, kakak Imam Husain, mengadakan pertemuan rutin di Madinah, kota kakeknya, Rasulullah. Dalam pertemuan tersebut dia mengungkapkan keluhan masyarakat dan menyampaikan kepada mereka ajaran-ajaran Islam, menjelaskan hak-hak asasi dan dan hak kemerdekaan mereka. Dengan cara ini, kelompok khusus yang terdiri dari muslim yang saleh terbentuk berdasarkan keyakinan teguh akan perlunya spiritualitas dan keadilan di masyarakat, menggunakan pena, dan menyarungkan pedang, untuk mewujudkan reformasi.

Sebelum kematiannya, Imam Hasan menunjuk Imam Husain sebagai orang yang menjaga urusan komunitas Islam. Dengan ini, dia mengikuti perintah Nabi saw yang terkenal: ”Hasan dan Husain keduanya adalah pemimpin, apakah mereka sedang melakukan perlawanan (berdiri) ataupun tidak (duduk).” Imam Husain meneruskan upaya Imam Hasan yang kesyahidannya karena diracun Muawwiyah tidak meninggalkan kekosongan dari usaha menegakkan persamaan dalam kesalehan, pengetahuan dan kebijaksanaan.

Dengan kematian ayahnya, Yazid bin Muawwiyah mengambil alih kendali kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai pimpinan kerajaan Islam –Islam disimpangkan menjadi dinasti despotic oleh mereka dan para penjilat mereka yang kebanyakan juga haus kekuasan dan munjafik. Karakter Yazid adalah seorang yang brutal dan kejahatannya tak mengenal batas. Dengan keterbukaan dia melakukan kemaksiatan dalam bentuk perzinahan, insest dan minum khamar yang melampaui batas, yang jelas kontradiktif dengan ajaran Islam. Yazid menunjukkan dirinya sebagai produk akhir dari keluarga yang memiliki akar permusuhan yang mendalam terhadap Islam.

Tidak seperti pendahulunya, Yazid tidak menggunakan kelihaian politik ataupun kehati-hatian ayahnya. Di antara tindakan nyata yang dilakukannya sebagai pimpinan despotik adalah memaksa baiat dari Imam Husain, yang dia tahu sekali bahwa penerimaan dari seluruh komunitas muslim tidak akan berarti tanpa penerimaan Imam Husain –terutama di kalangan masyarakat Madinah. Dalam jawabannya untuk menolak permintaan tersebut, Imam Husain dengan penuh keagungan menjawab: “Seorang sepertiku tidak akan pernah membaiat seorang sepertinya,” yang dengan jawaban ini memperjelas prinsip universal dari alasan terdalam perjuangannya.

Dengan ini sebuah pengorbanan agung yang melampaui batas kasta, keyakinan dan agama sedang berlangsung. Imam Husain bangkit untuk mengembalikan kemerdekaan, perdamaian, persamaan dan keadilan –kualitas yang mana pesan ilahiah telah disempurnakan tapi terus digerogoti oleh mereka yang membajak agama dan bertindak mengatasnamakan agama. Dalam wasiatya sebelum meninggalkan Madinah, Imam Husain menulis: “Aku bangkit melawan untuk mereformasi komunitas kakekku. Aku menginginkan penganjuran kepada kebaikan dan penolakan kepada kejahatan (amar bil maruf wa nahi anil munkar)”.

Di antara ciri unik dari revolusi Imam Husain adalah lekatnya pergerakan dengan tujuan agungnya. Imam Husain tidak membiarkan kemarahan tak terkendali atau tekanan yang diberikan penguasa lalim di masanya mempengaruhi sedikitpun pergerakannya. Walaupun di tengah besarnya bahaya yang dihadapinya, setiap gerakannya dipertimbangkan dan dieksekusi dengan matang dan presisi tinggi. Sesungguhnya banyak di dalam kalangan masyarakat, yang ikut merasakan kelaliman Yazid la’natullah ‘alayh dan pembantu-pembantunya, terus menasihati Imam Husain untuk mengambil langkah lainnya. Beberapa menganjurkan Imam Husain mencari perlindungan di dalam Mesjid Suci (Ka’bah) atau tempat pelarian di pegunungan Yaman, dimana dia akan aman dari pasukan Yazid la’natullah, tetapi Imam Husain tahu benar kebejatan karakter Yazid dan lebih penting lagi, kebutuhan utama akan reformasi di tengah komunitas dan ummat.

Pada hari kesepuluh Muharam, bulan pertama dalam kalender Islam, Imam Husain berjuang dengan gagah berani bersama 72 sahabat dan anggota keluarganya di dataran Karbala –di gurun Nainawa yang menyengat dalam keadaan kehausan yang luar biasa, yang sekarang berada dalam wilayah Irak, menghadapi sepasukan tentara dengan jumlah ribuan orang. Di malam sebelum hari pengorbanan agung, Imam Husain meminta sahabatnya untuk meninggalkannya karena mereka telah menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan, tetapi mereka tetap teguh untuk bertahan tinggal dan berjuang bersamanya.

Kenapa bisa terjadi hal ini di depan kepastian kematian? Jawabannya jelas: dengan kehadiran Imam Husain, mereka telah merasakan kebenaran, kemerdekaan dan keadilan dan di atas segalanya, arti hidup yang sebenarnya. Meninggalkan Imam Husain akan lebih buruk daripada kematian! Hal itu harusnya mengejutkan kita bahwa di hadapan pasukan yang sangat besar, para sahabat Imam Husain mulai menyongsong musuh atau melakukan shalat di tengah hujan anak panah dan tombak. Sesungguhnya untaian kredo puitis Imam Husain: "Mati dalam Kemuliaan lebih baik daripada Hidup dalam Kehinaan", telah bergaung ke seluruh perkemahan, termasuk wanita, anak muda dan orang-orang tua yang berumur lebih dari 90 tahun.

Perkemahan kecil Imam Husain dihancurkan, semua lelaki dibantai dengan brutal, wanita dan anak-anak ditawan dan berparade dalam tampilan yang memalukan mengitari kota-kota. Tetapi, tragedi ini segera dikenal dalam buku-buku sejarah sebagai ”Tragedi Karbala”. Sebuah narasi yang pengagumnya terus bertambah berlipat-lipat di seluruh penjuru dunia –termasuk pengikut dari kepercayaan dan bangsa lain. Dengan ini, Imam Husain menjadi pemenang atas musuhnya yang berbekas mendalam dan ditulis dengan kemurnian darah, kisah teragung dari semua epik sejarah kepahlawanan dan keyakinan.

Hari Imam Husain menjadi syahid di dataran Karbala adalah hari ia dilahirkan kembali, dengan memulai revolusi yang telah melepaskan jeritan abadi kebenaran dan keadilan, yang tertanam di hati muslimin selama 1400 tahun lebih –hingga hikmah dan pesan ini ditulis. Hari ini kita bertanggungjawab atas sebuah keyakinan mulia –Warisan Agung Imam Husain– Sebuah harta-karun yang memberikan kebijaksanaan yang indah dan kekuatan ketabahan kepada para pencari. Warisan Imam Husain memberi contoh sempurna kepada setiap masyarakat tertindas bagaimana mengatasi kejahatan tirani dan penindasan. 


Baqir as Shadr –Ulama dan Filsuf dari Bainan Nahrain


Oleh Farhanna Fa’izzat

Wacana yang berkembang di dunia Islam dewasa ini telah memberi tanggapan (counter) terhadap pemikiran Barat. Namun, sebelum abad ke-20, untuk menangkis pemikiran Barat, para pemikir Islam lebih banyak berapologi. Ini adalah akibat tertutupnya pintu ijtihad serta ceteknya kajian falsafah mengenai pemikiran Barat di kalangan pemikir-pemikir Islam.

Muhammad Baqir Ash-Shadr adalah diantara sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ditepisnya dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Selain itu, tentu saja, Ash-Shadr begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern.

Dalam waktu yang sama, Ash-Shadr juga begitu paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal, yaitu Falsatuna dan Iqtishaduna, ia dengan fasihnya mengutarakan kritikan-kritikan terhadap pemikiran para pemikir Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain.

Falsafatuna dan Iqtishaduna telah melambungkan Muhammad Baqir Ash-Shadr sebagai pemikir kebangkitan Islam terkemuka. Sistem falsafah dan ekonomi alternatif ini disempurnakan melalui masyarakat dan institusi. Dalam Falsafatuna dan Iqtishaduna, Baqir Shadr mengemukakan kritik yang serius terhadap aliran Marxisme dan Kapitalisme. Buku ini baik dari segi sturuktur maupun metodologi, tak diragukan lagi merupakan sumbangsih paling serius dan paling banyak dipuji dalam bidangnya.

Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Iraq pada 25 Dzulqa’dah 1353 H/1 Maret 1935 M dari keluarga beragama yang religius dan masyhur. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir Ash-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya dan saudara kandungnya, Ismail, yang juga seorang mujtahid terkenal di Iraq.

Ash-Shadr menunjukkan tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusannya semenjak usia kanak-kanak. Pada usia sepuluh tahun, Ash-Shadr berceramah tentang sejarah Islam, dan juga tentang beberapa aspek lain mengenai budaya Islam. Ash-Shadr mampu menangkap isu-isu teologikal yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika usia sebelas tahun, Ash-Shadr mengambil pendidikan logika (manthiq), dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filsuf.

Pada usia tiga belas tahun, datuknya mengajarkan kepadanya Ushul ‘Ilm al-Fiqh. Pada usia sekitar enam belas tahun, Ash-Shadr pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun kemudian, Ash-Shadr menulis sebuah ensiklopedia tentang Ghayat Al-Fikr fi al-Ushul (Pemikiran Puncak dalam Ushul Fiqh). Dengan prestasi-prestasi ini, Ash-Shadr menjadi seorang mujtahid pada usia tiga puluh tahun.

Sebagai salah seorang pemikir yang paling terkemuka, Ash-Shadr melambangkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara 1950-1980. Ciri lain yang jelas dari kebangkitan itu adalah dimensi politiknya, dan saling pengaruh antara apa yang terjadi di lorong gelap dan sekolah tinggi berdebu Najaf, dan Timur Tengah pada umumnya.

Ketika peristiwa hukuman mati Ash-Shadr bersama saudara perempuannya yang bernama Bint Al-Huda pada 8 April 1980 oleh pemerintahan Saddam Hussein, tak ragu lagi merupakan titik puncak tentangan terhadap Islam di Iraq. Dengan meninggalnya Ash-Shadr, Iraq sebenarnya telah kehilangan intelektual Islamnya yang paling cemerlang. Dan, reputasinya semenjak itu diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya telah melintasi Mediteranian, ke Eropa dan Amerika Syarikat

Pada 1981, Hanna Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal di Washington, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya Ash-Shadr kepada gerakan intelektual dan Islamiyyah di Iraq. Pada 1984, Istishaduna diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, disertai dengan mukadimah panjang mengenal biografi Ash-Shadr oleh seorang orientalis muda Jerman.

Bagi kita, tidak mungkin untuk kita mengabaikan nilai signifikan dan asas yang dibentuk oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr ini dalam kebangkitan terhadap gerakan politik Islam, khususnya di negara yang terletak antara dua sungai, Bainan Nahrain, Iraq dewasa ini.

Kajian Hadits Palsu


Di antara kepalsuan yang ramai dibicarakan yang kerapuhannya melebihi sarang laba-laba  adalah hadis palsu yang mengatasnamakan Nabi Muhammad saw bahwa kelak di hari kiamat Allah swt akan tampil khusus kepada Abu Bakar di samping tampil secara umum kepada seluruh manusia.

Mereka yang fanatik yang membela-bela secara fanatik Abu Bakar telah menisbatkan kepalsuan kepada riwayat beberapa orang sahabat, di antaranya Jabir, Anas, Abu Hurairah, Aisyah dan lain-lain. Dalam sebagian redaksinya, hadis itu berbunyi demikian, “Dalam kisah kedatangan delegasi suku Qais, Abu Bakar telah menjawab dengan jawaban memuaskan sehingga Nabi Muhammad saw bersabda:

يا أبا بكر أعطاك الله الرضوان الاكبر، فقال بعض القوم: وما الرضوان الاكبر يا رسول الله، قال: يتجلّى الله لعباده في الاخرة عامّة ويتجلّى لابي بكر خاصّة

“Wahai Abu Bakar Alah telah memberimu Ridhwan/kerelaan terbesar”. Lalu orang-orang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan Ridhwan terbesar itu? Maka beliau bersabda, “Di akhirat nanti Allah akan tampil secara umum kepada hamba-hamba-Nya dan akan tampil secara khusus kepada Abu Bakar.”

Ibnu al Jauzi telah menegaskan kepalsuan seluruh hadis yang berbicara tentangnya –seluruh jalannya dipenuhi dengan para pemalsu dan perawi cacat berat.  Bahkan ia menyebutkan hadis ini pada urutan pertama di antara hadis-hadis palsu keutamaan Abu Bakar dan ia bersunguh-sungguh dalam membongkar sisi-sisi kepalsuannya.

Ia berkata, “Dan telah berfanatik sekelompok orang yang tiada nasib baik baginya, yang mengaku berpegang tegung dengan Sunnah, mereka membuat-buat hadis-hadis palsu tentang keutamaaan Abu Bakar.” (Al Maudhû’at, 1/225) .

Al Fairûz Abâdi juga menegaskan kepalsuannya dan menggolongkannya sebagai kepalsuan yang paling konyol dalam keutamaan Abu Bakar –seperti dalam kitab Sifru as Sa’adah-nya: 280. Demikian juga dengan al Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad-nya, 12/20. Asy Syaukani juga memandang hadis itu palsu, maudhû’ (Lihat al Fawâid al Majmû’ah: 330. Ketika menerang jalur-jalur hadis Aisyah, Ibnu al Jauzi berkata:

هذا الحديث لا يصح من جميع طرقه.

“Hadis ini tidak shahih dari seluruh jalurnya.” 


The Islamic Tradition of Aceh

Tari Saman. Fotografer: Fotografi Kompas. 
Tari Saman Berasal dari Tradisi Mengenang Kesyahidan Imam Husain di Karbala. 
Yulia Rahmah. 
Yulia Rahmah dkk. 
Yulia Rahmah dkk. 
Tari Saman. 

Imam Ali Sang Negarawan, Teoritikus Politik, dan Sang Jenius Islam Terbesar


Oleh Syed Husain Mohammad Jafri, Ph.D

Dalam mukaddimah yang ringkas ini, tak ada maksud atau niat, juga mustahil, untuk membahas secara terperinci kepribadian Ali –perpaduan sifat berani dan sifat ksatria, sifat mengutamakan kepentingan orang lain, serta pendukung paling gigih Rasulullah dan Islam. Pemimpin yang tak pernah mengorbankan prinsip, dan sungguh merupakan pengejawantahan cita-cita moralitas al Qur’an dan sunnah Rasulullah. Semua orang percaya pada sikap filosofis Ali dan menganggapnya sebagai ahli sastra yang tak tertandingi, seorang jenius, dan ahli pendidikan yang tiada banding. Pidato, orasi, surat, dan peribahasanya yang banyak jumlahnya itu, yang seringkali dicatat oleh para sejarawan dan para ahli biografi muslim dari jaman dahulu, membuktikan fakta bahwa Ali tak ada bandingannya di bidang prestasi sastra di kalangan kaum muslim.

Kualitas ini terutama terekspressikan dengan sangat baik ketika Ali diminta oleh ummat –dengan suara mayoritas, untuk mengemban tanggungjawab kekhalifahan, setelah terbunuhnya Utsman Ibn Affan. Dalam masa yang singkat ini, yaitu sekira lima tahun kepemimpinan dan kenegarawanannya, kita mengenal Ali sebagai orator Islam terhebat yang pernah ada, dan tiada penggantinya sesudahnya. Juga tokoh terhebat dalam mempromosikan, menjelaskan, menafsirkan, dan mempraktikkan pemikiran politik dan prinsip-prinsip administrasi serta manajemen pemerintahan yang sebelumnya tidak pernah sebegitu jelas dan hidup.

Dalam periode ini pula, disamping banyak berpidato, berkhutbah, dan berorasi, Ali juga menulis banyak surat yang berisi konsepnya tentang Negara dan pemerintahan, serta nasihatnya untuk para gubernur dan para pejabatnya di setiap provinsi. Tujuh Puluh Sembilan di antaranya, yang terserak di berbagai sumber awal, dikumpulkan oleh Syarif ar Radhi (wafat 405 hijriah / 1014 masehi) dalam koleksi termasyhur yang dikenal dengan nama Nahjul Balaghah. Surat-surat ini, jika dipadukan, akan menjadi satu set ilmu politik dan sistem administrasi bagi ilmuwan politik-administrasi dunia.

Di masyarakat Arab pada abad ke-7, ketika orang hanya mau pada hal yang serba cepat, pada yang khusus atau individual, dan pada yang konkret, Ali dengan pengetahuannya yang mendalam atas al Qur’an, menjelaskan konsepsi tentang yang universal, yang menjadi basis bagi yang khusus atau individual, dan pandangan tentang sejarah sebagai proses untuk mewujudkan keharmonisan yang lebih besar dalam pergaulan manusia yang lebih baik –dan melampaui batas-batas ras, agama, warna kulit, atau batas-batas geografis.

Setelah merenungkan dan mengkaji dengan seksama pandangan-pandangan Ali, seorang ilmuwan politik dan ahli teori administrasi dunia abad ke-20 begitu terkejut ternyata seorang Arab yang hidup abad ke-7 sudah melihat kebijakan Negara dengan mempertimbangkan sejarah sebagai sebuah proses seleksi dan penyingkiran. Dalam proses ini, orang yang tidak baik moralnya disingkirkan dan digantikan oleh orang yang tinggi kualitas rohani dan moralnya. Proses ini, selain tentu saja tidak mengherankan, juga pada saat ini sudah merupakan fakta yang sudah dapat diterima bahwa Islam telah berhasil melakukan transformasi total atas masyarakat Arab abad ke-7.

Singkatnya, basis kebijakan Ali adalah membentuk suatu masyarakat yang bermoral baik dan adil –sebuah masyarakat orang-orang lurus yang tajam dan kuat kesadarannya akan Tuhan, sebuah masyarakat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Bagi seorang muslim, kebijakan Negara dan pemerintahan Ali merupakan sebuah pemahaman atau lebih tepatnya sebuah penerapan paling akurat ajaran al Qur’an dan sunnah Rasulullah, sedangkan bagi seorang non-muslim atau bahkan seorang sekularis, dalam kebijakan Ali tersebut ada prinsip-prinsip humanitarianisme dan egalitarianisme. Ali, singkatnya, adalah seorang negarawan terbesar yang berhasil menerapkan keadilan bagi muslim dan non-muslim.