Label

Mesjid Imam Ali, Wajah Toleransi di Hamburg, Jerman



Pusat Islam di Hamburg merupakan salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan menjadi pusat kajian Islam Syiah di Jerman.

Sedangkan Mesjid Imam Ali di Hamburg, merupakan salah satu mesjid tertua di Jerman dan Eropa. Mesjid yang berdiri megah ini didominasi warna biru. Hamburg merupakan kawasan pertama di Jerman pertama yang menandatangani kesepakatan dengan komunitas Muslim. Hari besar Islam akan diakui dan model pendidikan agama Islam akan mulai dikembangkan.

Hamburg ingin menunjukan diri terbuka untuk dunia dan toleransi. Salah seorang tokoh agama di kawasan itu, Uskup Katolik Hans-Jochen Jaschke menilai pentingnya berbagai agama saling membantu dan mampu berkomunikasi bersama. Muslim di Hamburg juga membantu pengembangan model pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah. Sumber: http://www.dw.com/id/mesjid-imam-ali-wajah-toleransi-di-hamburg/a-16836316 

Seorang perempuan muslim di Jerman mengenakan sebagai hijab sehelai bendera Jerman, yang berwarna hitam, merah, emas untuk menunjukkan keanggotaannya dalam masyarakat Jerman. 

Kesultanan Pertama di Asia Tenggara Adalah Syi’ah



[1] Jika Anda perhatikan dengan seksama, terlihat jelas gambar kaligrafi yang membentuk gambar singa, yang terletak di tengah bagian bawah. Gambar singa sering diidentikkan atau menjadi simbol seorang sahabat, sepupu, sekaligus menantu Nabi SAW yaitu Imam Ali bin Abi Thalib. Imam Ali bin Abi Thalib bernama asli Haydar bin Abu Thalib, Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.

Namun, setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggilnya dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah). Imam Ali bin Abi Thalib juga mendapatkan gelar Asadullah (Singa Allah), sebagai catatan bahwa kakek Imam Ali bin Abi Thalib bernama Asad yang berarti singa. Pemberian gelar Assadullah bukan sesuatu yang berlebihan karena keberanian dan ketangguhan Imam Ali bin Abi Thalib dalam setiap peperangan membela Islam dan Rasulullah.

Imam Ali bin Abi Thalib seringkali diberikan wewenang oleh Nabi SAW untuk membawa bendera dan memimpin perang, Imam Ali bin Abi Thalib juga terkenal dengan banyaknya riwayat yang menyebutkan kehebatannya dalam berperang. Bahkan saat tidak ada satu pun yang bisa menaklukkan Benteng Khaibar, beliau-lah yang berhasil menaklukkannya.

[2] Dalam panji ini juga tampak tiga pedang dengan bentuk yang sama, yang berposisi di bawah kaligrafi singa satu pedang, dan dua pedang berposisi di pinggir bagian atas. Pedang dengan bentuk yang khas yaitu melengkung dengan ujung bercabang dan tulisan kaligrafi di bilahnya tersebut adalah pedang Zulfikar, pedang milik Imam Ali bin Abi Thalib yang diberikan oleh Nabi SAW saat perang Uhud.

[3] Tulisan "Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula" pada bilah pedang bagian atas kanan merupakan kalimat yang sangat terkenal bagi orang-orang Syi’ah, diriwayatkan bahwa kalimat tersebut diucapkan oleh Nabi SAW di depan ratusan ribu (ada yang mengatakan 90.000 dan ada yang mengatakan 120.000) orang selepas melaksanakan ibadah haji terakhir dan dilakukan saat dalam perjalanan pulang tepatnya di wilayah Ghadir Khum sebuah wilayah antara Mekkah dan Madinah.

Kalimat tersebut adalah potongan pidato Nabi SAW yang berarti "Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka inilah Ali sebagai pemimpinnya." Bagi Syi'ah, kalimat tersebut adalah sebagai legtimasi bahwa sepeninggal Nabi SAW yang berhak menjadi pemimpin umat Islam adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Sementara dalam persepsi Sunni, kata "Maula" diartikan sebagai "kekasih", sehingga arti lengkap dari kalimat tersebut adalah "Siapa yang menjadikan aku sebagai kekasihnya, maka inilah Ali sebagai kekasihnya".

Dalam pemahaman Sunni, memang tidak berkeyakinan bahwa Khalifah pengganti Nabi SAW adalah Imam Ali bin Abi Thalib, tetapi pandangan Sunni adalah sesuai dengan dinamika yang benar-benar terjadi yaitu bahwa khalifah pengganti Nabi SAW secara berturut-turut adalah sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan kemudian baru Imam Ali bin Abi Thalib.

[4] Lebih lanjut yang terdapat dalam panji ini adalah tulisan "La Fatta ila 'Ali wa la Saifa illa Zulfikar" pada bilah pedang bagian atas kanan setelah kalimat "Man Kuntu Maulahu Fahadza Aliyyun Maula". Diriwayatkan bahwa pada saat Perang Uhud Nabi SAW mendengar seruan malaikat jibril yang berbunyi "La Fatta illa 'Ali wa la Saifa illa Zulfikar", yang berarti tiada pemuda kecuali Ali dan tiada pedang kecuali Zulfikar.

Diriwayatkan barisan pasukan Islam pada Perang Uhud terdapat nama-nama seperti Imam Ali bin Abi Thalib as, Hamzah, Abu Dujanah dan beberapa prajurit lain yang berhasil melemahkan barisan musuh. Nabi Muhammad Saw menjadi target serangan pasukan Quraisy dari berbagai penjuru. Setiap pasukan melancarkan serangan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari mana saja Rasul diserang, beliau memerintahkan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk menyerang mereka. Atas pengabdian yang luar biasa ini, Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw dan berkata, pengabdian ini adalah hal luar biasa yang telah ditunjukkan olehnya. Rasulullah Saw pun membenarkan perkataan Malaikat Jibril dan berkata: Aku berasal dari Ali dan Ali berasal dariku. Kemudian terdengar suara dari langit, “Tidak ada pedang selain Dzulfiqar dan tidak ada pemuda selain Ali".

[5] Selanjutnya adalah gambar telapak tangan sempurna dengan kelima jarinya yang di dalamnya bertuliskan lafadz Allah dan di bawahnya tertulis lima nama yaitu Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Kelima nama tersebut juga ditulis dengan jelas di bawah pertemuan dua pucuk pedang Zulfikar.

Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir bagi umat manusia, Ali adalah sahabat, sepupu, sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, Fathimah adalah putri Nabi SAW yang juga merupakan istri Ali bin Abi Thalib, sedangkan Hasan dan Husain adalah putra Imam Ali bin Abi Thalib. Dalam beberapa riwayat, kelima orang tersebut disebut sebagai Ahlul Kisa' dan juga Ahlul Bait Nabi SAW.

Diriwayatkan dalam Shahīh Muslim, vol. 7, hal. 130 Aisyah berkata, "Pada suatu pagi, Rasulullah saw keluar rumah menggunakan jubah (kisa) yang terbuat dari bulu domba. Hasan datang dan kemudian Rasulullah menempatkannya di bawah kisa tersebut. Kemudian Husain datang dan masuk ke dalamnya. Kemudian Fatimah ditempatkan oleh Rasulullah di sana. Kemudian Ali datang dan Rasulullah mengajaknya di bawah kisa dan berkata, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu wahai Ahlul Bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya" (QS. Al-Ahzab [33]:33).

Syi’ah memang sangat memuliakan lima orang yang disebut Ahlul Kisa ini, sekaligus mereka beranggapan bahwa Ahlul Bait itu terjaga dari melakukan dosa seperti yang disebutkan dalam surat Al Ahzab ayat 33 di atas.

[6] Kalimat shalawat "Allahummah shalli 'ala Muhammad wa ali Muhammad" yang posisinya tertulis di bawah lima nama yang dimuliakan ummat Islam, yaitu Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain. Tidak ada suatu mazhab yang lebih mengutamakan shalawat kepada Nabi dan keluarganya daripada Syi’ah, bahkan setiap hari dalam kehidupan mereka selalu diliputi dengan ucapan-ucapan shalawat kepada Nabi dan keluarganya. Shalawat kepada Nabi dan keluarganya memang suatu amalan yang agung, bahkan tidak akan sah sholat seseorang tanpa bershalawat kepada Nabi dan keluarganya.

Berkaitan dengan shalawat ini, Allah menyampaikan dalam surah Al Ahzab ayat 56, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” Begitulah, Allah SWT memerintahkan kita sholat, zakat, puasa, dan haji sementara Allah SWT sendiri tidak melaksanakan sholat, zakat, puasa, dan haji. Tapi saat Allah SWT memerintahkan manusia untuk bershalawat kepada Nabi dan keluarganya, Ia telah lebih dahulu menyatakan bahwa diri-Nya bersama malaikat juga bershalawat untuk Nabi dan keluarganya.


[7] Dalam panji ini juga terdapat 12 nama Imam Ahlulbait yang memang diakui Syi’ah sebagai Imam dan Khalifah mereka, yang dimulai dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Zainal Abidin, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ja’far as Shadiq, Imam Musa al Kadzim, Imam Ali al Ridho, Imam Muhammad al Jawad, Imam Ali al Naqi, Imam Hasan al Askari, dan Imam Muhammad al Mahdi bin Imam Hasan al Askari. Kesemuanya adalah keturunan Rasul SAW, dan dalam logo bendera tersebut nama-nama para imam tersebut tertulis di atas kaligrafi singa.

Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Perlak yang berada di wilayah Aceh adalah kesultanan pertama di Asia Tenggara. Sejarah juga mencatat bahwa sultan pertama kesultanan Perlak adalah Syi’ah, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah. Hal tersebut telah menjadi rangkaian bukti bahwa Syi’ah adalah yang pertama datang di Indonesia.

Bukti-bukti lain adalah Tari Saman yang menjadi tarian tradisional Rakyat Aceh, di mana sebenarnya Tarian Saman mengekspresikan kesedihan terhadap tragedi Karbala yaitu tragedi pembantaian keluarga Nabi SAW oleh penguasa zalim saat itu, juga ada peringatan Tabuik di Bengkulu yang dilakukan setiap tahun sekali pada bulan Muharam –tepatnya pada Hari Asyura, yaitu hari saat dibantainya cucu Nabi SAW di padang Karbala. 



Dari Idul Ghadir 2013



Inilah pidato Rais Syuriah PBNU (saat itu), yaitu KH. Saifudin Amsir, di Acara Idul Ghadir di Aula Gedung Smesco Jakarta 26 Oktober 2013

Saya sudah cukup lama membuat suatu kesimpulan yang saya belum pernah menemukan bagaimana rasanya membuat kesimpulan itu menjadi berubah. Yaitu sejak tahun ’81, waktu datang delegasi yang diutus oleh pemerintah Iran, yang saya masih ingat namanya, Syekh Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafi’i.

Beliau datang mengawal salah satu orang alim besar dari Iran sana yang begitu mengesankan saya pada saat memaparkan apa yang ia rasakan tentang Indonesia dengan pernik-pernik pandangannya yang berupa-rupa, yang bermacam-macam terhadap Iran itu. Saat itu Abdul Qadir Al Katiri Asy Syafii, yang mungkin ia dari Kurdistan, memeluk saya saat saya menerjemahkan kalimat-kalimatnya buat para mahasiswa, buat anak-anak SMA, anak-anak sekolah madrasah yang datang ingin tahu rupa dari revolusi dan dari kembalinya al Imam Ayatullah Ruhullah al Khameini itu berikut pengantarnya-pengantarnya.

Ooo begini rupanya, revolusi Iran ditulis secara lengkap oleh Prof. Dr. Nasir Tamara yang belum jadi profesor saat itu sekitar tahun ’81. Dan saya menjadi terkejut juga ketika berkomentar, sampai saya tidak tahu lagi namanya,  Ayatullah dari Iran itu yang berkata,

“Kalian itu masih banyak yang terkungkung dengan kejahatan pers internasional. Sebab kalian hanya mendengar info yang dilansir dari koran-koran di Indonesia bahwa kami orang Iran memenjarakan ilmuwan-ilmuwan dari kalangan Sunni. Bila Anda datang ke sana Anda akan melihat sesuatu yang sama sekali berbeda bahwa kamilah yang menghormati ilmu dan menghormati para ilmuwan Sunni yang kami posisikan pada tempatnya yang benar. Para ilmuwan kami beri jatah mereka sebagai ilmuwan.”

Pada jumpa pertama di tahun ’81 di Jakarta di Kedutaan Iran itu saya mendengar info seperti ini. Dan betapa hebatnya, menurut perasaan saya, ketika dalam pemaparan yang menggebu-gebu itu beliau hanya membagikan-bagikan kepingan-kepingan seperti uang dari logam, kepingan logam itu yang bersimbolkan Masjidil Haram..ee Masjidil Aqsha. Bagaimana dengan Masjidil Aqsha? Itulah tawaran mereka. Siapa yang berkuasa di sana sekarang ini? Orang tahu Masjid Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Madinah yang kedua-duanya masih dalam kekuasaan kaum muslimin, tapi bagaimana dengan Al Aqsha?

Eee saya kira suatu pertanyaan yang dirasakan siapa saja, “man lam yahtamma bi amril muslimina falaysa minhum.” Itulah yang tersemat dalam ingatan saya.

Hadirin hadirot yang saya cintai dan saya mulyakan!

Kesimpulan yang saya maksud saat itu, bila tujuan sama, bila jalannya sama, bila yang disembah sama, bila kitab sucinya sama, tetapi dalam kesamaan-kesamaan yang begitu mendominasi seluruh daerah pemikiran di dunia Islam, lalu dari sesuatu yang serba sama muncul tuduhan-tuduhan saling salah dan saling berbeda maka semua orang akan berkesimpulan tidak ada yang benar di dalam dunia Islam. Tidak ada lagi yang patut diikuti di dalam dunia Islam.

Kata Syi’i, antum mukhtiin, ya Sunniyin kamu ini orang salah semua hai ahli sunnah. Kata Sunni kamu juga orang serba salah semua hai orang-orang Syiah. Lalu datang pertanyaan bila kedua pihak cuma bisa menyalahkan lantas siapa yang benar?

Untuk Indonesia, saya kan masih ikut mengalami meskipun serba sedikit ya zaman pemberontakan PKI di tahun ’65 itu. Sebelumnya kan muncul ke atas, yang mereka eluk-elukkan dengan sebutan Nasakom. Maafkan saya menyebut ini, dulu simbol mereka boleh didendangkan sedikit ya sesuai dengan lagu yang ada:

Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu

Nasakom satu cita sosialisme pasti jaya.

saya anak SD waktu itu
Iki piye iki piye iki piye

sandang pangan larange koyo ngene
akibate salah urus ranok kabeh
mulo  ayo diganyang wae
yo saiki yo saiki yo saiki
wes ono deklarasi ekonomi
senjata ampuh mitayani
kanggo mbasmi kaum korupsi.


Lagu itu menyembul dari ranahnya orang-orang Komunis di Indoneisa. Tapi dengan begitu gesitnya, cerdiknya, dia menggabung ini NASAKOM dia bilang. Di sini nasionalis, di sini agama, di sini komunis. Tapi ujung cerita kata Pak Jurmawel Ahmad sang auditur saat itu, “Anda berdua-dua menggencet agama, nasionalis hurufnya tiga, komunis hurufnya tiga, orang beragama hanya satu huruf, NASAKOM”. 

Itu yang masih saya ingat di zaman itu. Kalau ini bolehlah dikritisi sebagai sesuatu yang saling bertabrakan untuk menjepit yang dibuat malang, nasionalisme agama komunis. Tapi kalo Syi’i-Sunni yang ini kiblatnya ya ada di kiblat di Mekkah yang ini Qur’annya Qur’anuna wahid, kalau main salah-salahan habislah semuanya. Itulah yang saya simpulkan saat itu. 

Makanya dalam pertemuan terakhir yang saya pikirkan saya sangat terpesona dengan apa yang saya bawa pulang ke Indonesia saat saya diundang ke Iran sana. Saya ketemu banyaknya ulama ahlussunah wal jamaah dan banyaknya ulama-ulama dari kalangan Syi’ah yang semuanya sepakat untuk berkata “falaysa ma’na taqrib bi an yanqariba an sunni syiiyan wa an yanqariba syi’i sunniyan”, arti taqrib itu bukan berarti secara total membuat suatu perubahan secara total sampai orang Syi’i berubah menjadi Sunni, atau Sunni berubah menjadi Syi’i, kata mereka. 

Saya terangkan, itu diungkapkan oleh puluhan ulama baik dari kalangan Sunni maupun dari kalangan Syi’i. Bahkan yang benar adalah dari perbedaaan-perbedaan bisa dicari persamaan-persamaan, dari persamaan-persamaan bisa dicari alat-alat persatuan.


Sambutan saya cuma sampai di sini mudah-mudahan ada manfaatnya. Maafkan bila terkhilaf. 

Perang Sebagai Bisnis


Oleh Sulaiman Djaya, esais dan penyair (Sumber: Banten Raya, 29 Agustus 2014)

“Bagi Amerika, sejak dulu dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah kebutuhan bahan-bakar. Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para teroris, karena mereka-lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme”

Dalam prakata alias pengantar Knowledge of Language, Noam Chomsky bertanya bagaimana bisa orang hanya sedikit tahu tentang struktur dan fungsi masyarakat mereka sendiri, padahal begitu banyak fakta yang tersebar. Dia menyebut hal ini sebagai “Masalah Orwell (Orwell’s Problem)” dan mendefinisikannya sebagai “kemampuan sistem totalitarian untuk menanamkan pengaruhnya yang kemudian diterimanya secara luas, meski tidak punya dasar sama sekali yang divariasikan dengan hanya menyodorkan fakta gamblang tentang dunia di sekitar kita.”

Sementara itu, George Orwell, adalah nama pena dari Eric Arthur Blair, yang lahir pada tahun 1903 di Motohari, India, anak seorang Menteri Kolonial Inggris. Orwell menciptakan suatu kerangka untuk menganalisa propaganda politik dan kontrol pikiran yang kemudian menjadi bagian dari dongeng modern.

Sayangnya, para pembuat propaganda barangkali lebih mendalami analisis Owell daripada mereka yang menjadi target pencucian otak atau indoktrinasi. Buku Orwell yang berjudul Homage To Catalonia (1938) ditulis dari pengalamannya sendiri ketika ia masih bergabung dengan kaum loyalis Spanyol dan mengalami luka berat ketika terjadi perang saudara di Spanyol.

George Orwell sempat menyaksikan hari-hari awal fasisme ketika diterapkan di Spanyol di bawah pimpinan diktator Franco. Karakteristik Fasisme yang kemudian dikenal luas meliputi: kontrol privat atas kekayaan dan sumber daya secara terpusat, kontrol atas informasi, investasi besar-besaran di bidang peralatan tempur, penindasan gerakan serikat buruh dan gerakan demokratis populer, agresi militer yang memperluas wilayah, dan lain sebagainya.

Fasisme adalah hasil pengembangan secara alamiah dari sistem monarki. Keturunan kaum aristokrat pada zaman industrilah yang mengembangkannya ketika mereka menyadari bahwa dengan memproduksi dan menjual alat-alat perang akan dapat diraup keuntungan yang luar biasa besarnya.

Novel populer George Orwell, 1984 (yang diterbitkan tahun 1949), melukiskan suatu dunia di mana ada tiga superpower utama yang terus berusaha mempertahankan adanya perang, yang secara periodik menggantikan musuh-musuhnya. Perang amat penting bagi negara, untuk menjalankan roda perekonomian mereka dan struktur kontrolnya. Banyak konsep dan ekspressi dari buku 1984 (umpamanya, thought-crime dan thought-police) menjadi pembicaraan kita sehari-hari.

Kementerian kebenaran (MI-nistry of truth) adalah tempat di mana Winston, pahlawan dalam buku 1984, bekerja “membersihkan” laporan-laporan berita dan mengubah opini publik setiap hari demi kepentingan penguasa. Newspeak adalah nama untuk bahasa yang digunakan pemerintah untuk menyembunyikan apa yang dilakukannya. Menggunakan teknik-teknik semacam penyederhanaan kata, eufemisme, penggambaran yang sengaja dikelirukan, penyingkatan, pengaburan makna, dan pemutar-balikan arti.

Newspeak membuat bahasa menjadi begitu tak bermakna sehingga tidak layak untuk dipakai berkomunikasi – atau bahkan untuk memahami – aktivitas negara. “Tidakkah kau tahu bahwa tujuan utama dari Newspeak adalah untuk memicikkan pikiran? Pada akhirnya kita tidak akan pernah mampu melakukan Thoughtcrime karena tidak ada kata-kata untuk mengekspressikanya” dari 1984, George Owell.

Doublethink dan doublespeak mengacu kepada pemakaiaan kata-kata untuk maksud sebaliknya. Suatu taktik yang digunakan pemerintah untuk mengaburkan makna sebenarnya atas apa yang mereka lakukan. Contoh, kata “Demi Perdamaian” akan mereka gunakan untuk sebagai kata ganti invasi. Anda ingat kata “penyerderhanaan pajak”?

Esai Orwell yang ditulis pada tahun 1946 “Politics and the English Language” adalah analisis yang bagus mengenai bagaimana korupsi bahasa berkaitan dengan kontrol politik. Dalam esainya yang menjelaskan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi atau menyesatkan. “Pada saat ini, pidato dan tulisan politik sebagian besar hanyalah mempertahankan sesuatu yang tidak dapat dipertahankan,”ujarnya, terdengar seperti apa yang di katakan Noam Chomsky di kemudian hari.

“Daerah-daerah yang tidak punya pertahanan di-bombardir lewat udara, penduduk terpaksa harus mengungsi keluar kota, binatang ternak dibantai, rumah-rumah di bakar: inilah yang disebut perdamaiaan (ala kekuatan invasif dan imperialis seperti Amerika, Israel, dan para sekutunya saat ini). Jutaan petani diusir dari perternakan mereka sehingga mereka dengan susah-payah menyusuri jalan dengan bawaan ala kadarnya: inilah yang disebut pemindahan penduduk atau pengaturan ulang daerah perbatasan (pemetaan).”

Orang-orang dipenjara selama bertahun-tahun tanpa menjalani proses pengadilan, atau ditembak dari belakang atau dikirim ke kamp Arctic Kutub Utara agar mati kekurangan gizi: inilah yang disebut pembersihan unsur-unsur yang lemah (alias genosida atas nama demokrasi, padahal motifnya adalah sumber daya dan ekonomi, semisal perebutan minyak).

Penyusunan kata-kata seperti itu dibutuhkan bila seseorang ingin menyebut sesuatu tanpa menyertakan gambaran mental dari hal tersebut. Contoh, pikirkan jika saja beberapa professor Inggris yang mapan membela totalitarianisme Rusia. Dia tidak dapat mengatakan secara utuh, kita akan yakin bahwa bila dengan membunuh lawan, kamu dapat menggapai tujuanmu, maka kamu akan melakukannya. Maka dari itu, dia akan berkata kira-kira seperti ini: “Manakala ada suara yang menyatakan bahwa rezim Uni Soviet menunjukkan hal-hal tertentu yang cenderung disesalkan kaum humanitarian, kita harus setuju bahwa adanya batasan-batasan tertentu atas hak untuk melakukan penentangan politik takkan bisa dihindari seiring dengan masih berlangsungnya periode transisi. Karenanya, kekerasan yang diderita oleh rakyat Rusia cukup bisa dibenarkan dalam lingkup pencapaiaan konkrit”.

“Ketika ada kesenjangan antara kenyataan yang dialami seseorang dengan tujuan seseorang yang dinyatakan dengan sendirinya akan membutuhkan banyak kata untuk menjelaskan”. Bagi Amerika, sejak dulu dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah kebutuhan bahan-bakar (minyak). Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para teroris, karena mereka lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme.