Oleh Sulaiman Djaya*
Secara historis atau pun sosiologis, konstruksi tataruang dan
fungsi-fungsi bangunan peninggalan kota-kota lama atau ibukota-ibukota di masa
silam, sebagaimana dikatakan para sejarawan dan arkeolog, semisal Denys
Lombard, Henri Chambert-Loir dan Daniel Perret, mencerminkan wawasan-budaya
pendirian dan para pendirinya. Begitu juga, baik secara langsung maupun tidak
langsung, peninggalan bangunan atau arsitektur kota-kota masa silam adalah juga “rekaman” alias
jejak berbagai peristiwa yang sifatnya ideologis (semisal keagamaan), politik, kebudayaan (semisal kontak antar etnis atau ras), serta aspek-aspek
pertimbangan keamanan dan pertahanan sebuah kota, semisal kota-kota berbenteng
di Nusantara.
Jika bangunan peninggalan Kota Lama Banten dilihat dari sudut
pandang arsitektur, maka kita akan mendapati banyak ragam jejak dan pengaruh
dari “kebudayaan atau wawasan luar”, semisal budaya Cina,
Arab, dan Eropa, selain pengaruh lokal Nusantara sendiri, semisal Bali dan
Jawa, di mana jejak ragam pengaruh tersebut dapat dilihat pada ekspresi seni,
lambang status dan kenyamanan penghuninya pada masa itu. Setidak-tidaknya,
pembauran atau pun akulturasi budaya dalam bangunan-bangunan kota atau ibukota
Kesultanan Banten yang telah disebutkan tersebut akan terlihat dengan jelas
pada bangunan–bangunan seperti Keraton, Mesjid, Menara, Jembatan Rante,
Benteng, Pelabuhan, Klenteng, Waduk Buatan atau Tasikardi yang terkenal itu,
tekhnologi irigasi, dan lain sebagainya.
Keraton Kaibon
Komplek Keraton Kaibon atau Kaibuan ini terletak di Kampung
Kroya, yang pada tahun 1832, Keraton Kaibon ini dibongkar dan diporakporandakan
oleh pemerintah Hindia Belanda, di mana di tahun yang sama Belanda pun
membumihanguskan Surosowan, hingga membuat Keraton Kaibon ini hanya tinggal
fondasi, tembok dan gapuranya saja, yang bila dikaji secara mendalam akan
tampaklah jejak kemegahan arsitektural dan ketinggian artistiknya.
Keraton ini mempunyai sebuah pintu besar yang dinamai “pintu dalam”. Di pintu gerbang sebelah barat terdapat
tembok, pada tembok tersebut terdapat lima pintu bergaya Jawa dan Bali yang
lazim dikenal sebagaiPadureksa dan Bentar.
Bila dibandingkan dengan arsitektur Keraton Surosowan, maka
Keraton Kaibon ini nampak lebih “archaik”dan
lebih kaya secara artistik dan simbolik. Terutama sekali bila dilihat dari
rancang-bangun pintu dan tembok keraton. Seperti telah disebutkan, untuk menuju
keraton ini terdapat empat buah pintu Bentar.
Begitu pula halnya dengan jenis pintu gerbang yang menuju pintu bagian keraton,
yaitu gerbang Padureksa. Dalam
konsep arsitektur Hindu, pembedaan jenis pintu, yang lazim dikenal sebagai Bentar dan Padureksa mengacu
pada jenis dan fungsi bangunan yang sifatnya sakral atau profane dalam
hal penyimbolan dan pemaknaannya.
Keraton Surosowan
Seperti juga Keraton Kaibon, seperti yang telah disebutkan,
komplek Keraton ini sekarang sudah hancur akibat serangan pasukan Daendels,
sehingga yang masih ada saat ini hanyalah tembok benteng yang mengelilingi
sisa-sisa bangunan berupa fondasi dan tembok-tembok dinding yang sudah hancur,
juga sisa-sisa bangunan pemandian“Rara Denok” dan bekas sebuah kolam taman dengan bangunan “Bale Kambang”, yang akan mengingatkan kita pada kota
dan taman Majapahit.
Tembok benteng masih nampak setinggi 0,5 – 2 meter dengan
lebar sekitar 5 meter. Pada beberapa bagian, terutama di bagian selatan dan
timur tembok benteng ini bahkan sudah hancur dan hampir tak menyisakan artefak
dan jejak arkeologis yang berarti. Komplek Keraton Surosowan ini berbentuk segi
empat sama panjang, dengan luas kurang lebih tiga hektar, yang agaknya mirip
dengan bentuk “kolam segaran”-nya Majapahit. Pintu masuk atau pintu
gerbang berada di sisi utara menghadap ke alun-alun dan di sisi timur
berdasarkan peta dan gambar lama.
Pada keempat sudut benteng, kita akan mendapati bagian tembok
yang menebal yang menjorok keluar (aliasbastion), sedangkan di bagian sisi
sebelah dalam benteng pada keempat sudutnya terdapat pintu-pintu masuk menuju
ruangan yang ada dalam tembok benteng. Dilihat dari gambar dan peta lama
diketahui pula bahwa komplek ini dahulunya dikelilingi oleh parit yang
digunakan sebagai pertahanan, meski sekarang parit ini sebagian telah hilang,
dan yang masih ada terletak di sebelah bagian selatan dan barat benteng.
Keberadaan parit tersebut akan segera mengingatkan kita pada
bentuk dan system pertahanan Ibukota Kerajaan Sunda di Banten Girang, setelah
dilakukan kajian arkeologis selama empat tahun oleh para arkeolog dan sejarawan
Perancis dan Indonesia sejak tahun 1988-1992 itu.
Klenteng China Bio Hud Couw
Klenteng Cina ini terletak di sebelah Barat bangunan Benteng
Speelwijk yang berjarak puluhan meter saja karena memang dipisahkan oleh sebuah
parit. Sementara itu, menurut catatan Valentijn (1725), sang pengunjung dan
penulis tentang kota Banten yang masyhur itu, klenteng ini berlokasi di sebelah
selatan Menara Mesjid Agung Banten. Meski klenteng ini sudah berusia hampir 600
tahun, klenteng ini masih tetap memiliki ciri khas tersendiri, sama seperti
bangunan-bangunan bersejarah lainnya di lingkungan Kesultanan Banten.
Untungnya, bangunan klenteng ini amat terpelihara dengan baik
dan masih berfungsi sebagai tempat peribadatan para pemeluk agama Budha, yang
kadangkala juga datang dari luar Banten.
Komplek Masjid Agung Banten
Dan akhirnya kita sampai pada warisan arsitektural yang
mungkin paling tetap populer hingga saat ini, Mesjid Agung Banten. Komplek
Masjid Agung Banten ini terdiri dari bangunan masjid dengan serambi pemakaman
dari kiri ke kanan, Bangunan tiyamah, menara dan tempat pemakaman di halaman
sisi utara.
Sedangkan bangunan induk masjid ini berdenah segi empat, dan
atapnya merupakan atap bersusun lima. Sementara dari kiri dan kanan bangunan
ini terdapat masing-masing serambi. Lima undakan atap Mesjid Agung Banten ini,
bila dilihat dengan seksama, adalah undakan-undakan yang sudah ada di era
Pra-Islam, semisal Pagodadan Pura.
Di mana undakan-undakan bersusun lima itu juga menjadi ciri pintu gerbang-pintu
gerbang di bangunan-bangunan kota atau ibukota Kesultanan Banten yang
mendapatkan pemaknaan baru ketika Islam dianut masyarakat Banten. Ciri dan
bentuk arsitektur tersebut juga masih dipakai dan diterapkan di sejumlah
bangunan pemerintahan Banten saat ini, bahkan di tempat-tempat yang jauh dari
perkotaan.
Singkatnya, bentuk dan gaya arsitektur gedung dan bangunan
Kesultanan Banten, baik yang masih utuh atau pun yang tinggal reruntuhan karena
perang, bila kita perhatikan secara seksama, bak sejumlah jejak ragam
kebudayaan yang membuat kota masa silam Kesultanan Banten itu telah menjelmakan
dirinya sebagai miniatur budaya dan sejarah Nusantara itu sendiri.
*Penyair.
Sumber: Radar Banten, 15 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar