Adalah Imam ‘Ali pada masa
pemerintahannya telah memberikan tauladan yang komprehensif bagaimana konsep
keadilan sosial itu berjalan. Dia berhasil menunjukkan bahwa semua dimensi
dalam struktur pemerintahan dapat dijalankan mengikuti konsep keadilan sosial.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pandangan kebersamaan yang dibangun Imam
‘Ali merupakan dasar-dasar yang tidak terpisahkan dari sebuah peraturan
kenegaraan bahkan merupakan syarat mutlak untuk tegaknya sebuah pemerintahan
yang berkeadilan. Belum pernah ditemukan dalam sejarah adanya konsep semacam
ini hingga datangnya Islam. Konsep keadilan sosial pada abad sebelumnya
terutama di abad pertengahan memang telah dibicarakan tapi hanya dalam bentuk
slogan-slogann individu dan muncul secara sporadis seperti; slogan “Keadilan
Politik”, “Keadilan dan Undang-undang”, “Keadilan Ekonomi”, “Keadilan
Birokrasi”, Keadilan dan Persamaan”, “Perluasan Keadilan”, dan lain-lain.
Konsep keadilan sosial Imam ‘Ali
memiliki keistimewaan, paling tidak dalam dua hal berikut ini. Pertama,
pandangannya terhadap keadilan sosial sejalan dengan karakteristik iman dan
akwanya, sebagai sosok yang tidak pernah menyimpang dari keadilan. Kedua,
beliau adalah seorang pemikir yang selalu konsisten terhadap keyakinannya yang
membimbingnya dalam menjalankan politik pemerintahan. Itu dapat dilihat dalam
semua tindakan dan perilakunya sebagai pemimpin. Pandangan dan sikapnya yang
berpengaruh luas terhadap masyarakat. Semua itu dilakukannya demi penegakan
prinsip-prinsip keadilan sosial yang merupakan prinsip dasar agama Islam.
Kepemimpinan Imam ‘Ali berjalan setelah 30 tahun wafatnya Rasulullah SAW. Dalam
masa kurang lebih 5 tahun 6 bulan Imam ‘Ali mengkonstruksi ulang jalannya
sistem pemerintahan Islam terutama setelah tiga kalifah sebelumnya. Dengan
wilayah dan kekuatan terbesar dunia ketika itu, Imam ‘Ali tampil membangun
sisttem pemerintahan yang utuh dan manusiawi. Islamisasi dunia diarahkan dengan
mengedepankan tegaknya keadilan sosial.
Para pemikir politik dan cendekiwan
Islam baik Syi’ah maupun Sunni sepanjang sejarah, menjadikan tema keadilan
sosial sebagai tema terpenting dalam membangun sistem pemerintahan. Dan
sepanjang kajian mereka, nama Imam ‘Ali merupakan nama yang disejajarkan dengan
keadilan. Dari Ibnu Mukafa’ sampai Abu Yusuf, dari Ibnu Quthaibah sampai
Al-Farabi, dari Imam Ghazali sampai Thusi, dari Ibnu Khaldun sampai Imam
Khomaini menempatkan keadilan sosial dalam pemikiran politik mereka karena
diilhami dari prinsip keadilan sosial Imam ‘Ali.
Untuk memahami konsep keadilan sosial
Imam ‘Ali dapat dilihat paling tidak tiga hal utama; pertama, persatuan dan
kebebasan berfikir. kedua, hak dan kewajiban dalam politik. ketiga, ekonomi dan
manajemen ketatanegaraan atau sistem birokrasi. Setiap dimensi tersebut
memiliki lima turunan. Keseluruhan, konsep keadilan sosial Imam ‘Ali memiliiki
tiga dimensi utama dan 15 bagian turunan dengan keterangan sebagai berikut:
Dalam kitab Nahjul Balaghah di dalamnya
terdapat sekitar 16 point yang disebutkan secara garis besar pembahasan konsep
keadilan sosial dalam kerangka dasar persatuan, kebebasan berfikir dan 34 point
mengenai dasar hak-hak politik dan birokrasi, serta 20 point membahas keadilan
ekonomi.
Dasar persatuan dan kebebasan berfikir
dapat dilihat dalam kotbahnya tentang sifat keajaiban ciptaan Allah yang
diciptakan dengan prinsip keadilan dan kesamaan; “Besar dan kecil, berat dan
ringan, kuat dan lemah, tidak ada dalam ciptaan-Nya. Jika dilihat dari Kekuatan
Sempurna-Nya adalah sama.” Dalam kotbahnya yang lain mengenai pujian dan
bersyukur kepada Allah SWT beliau berkata,”Ketahuilah bahwa Allah SWT tidak
akan ridho terhadap kalian apabila melakukan sesuatu yang terihat seperti
halnya nenek moyang kalian, dan Allah SWT tidak akan marah terhadap kalian
apabila kalian melakukan sesuatu yang telah diridhoi oleh Allah dari nenek
moyang kalian.” Imam ‘Ali mengumumkan bahwa dasar penciptaa, sebab-sebab,
kebebasan, dan kesamaan adalah hak setiap manusia dan hak Illahi. Berikut ini
petikan kotbah Imam ‘Ali berkenan dengan pembahasan di atas:
“Allah SWT berhak mewajibkan sebagian
orang memberi hak kepada sebagian yang lain, dan menyamakan hak di berbagai
keadaan dan sebagian orang mewajibkan sesuatu kepada sebagian orang lain,
sebagian hak tersebut tidak terealisasi, kecuali dengan keinginan sebagian
orang lain dan hak terbesar yang diwajibkan oleh Allah SWT adalah hak wali
(Pemimpin pemerintahan) atas warga negaranya dan hak rakyat terhadap
pemimpinnya, hukum ini telah Allah wajibkan untuk mereka masing-masing baik
bagi pemimpin maupun bagi rakyat, dan itu semua akan menyebabkan keteraturan
dan ketenangan bagi mereka semua antara satu denga yang lain dan akan
menjunjung agama mereka, maka kondisi rakyat tidak akan baik jika pemimpinnya
bertindak sesuka hatinya dan para penguasa tidak berbuat baik, jika menghadapi
penentangan rakyatnya dalam menjalankan instruksi-instruksinya, oleh sebab itu
jika rakyat menjalankan hak pemimpin dan pemimpin menjalankan hak rakyat, maka
hak dan kewajiban akn berharga di antara mereka dan mereka akan menjaga
idiologi-idiologi agama mereka, akan terlihat dan tercipta keadilan serta
kebersamaan, akan berjalan sunnah-sunnah dlam kebijaksanaan-kebijaksanaan
mereka, manfaatnya akan tercipta perdamaian dn ketentraman, yang akan
menjadikan keterikatan terhadap pemerintah…”
Dalam kotbah di atas Imam ‘Ali
mengeksplorasi dasar pemikiran politik pemerintah Islam. Imam ‘Ali mengukuhkan
kembali konsepsi keadilan sosial yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAAW
yang meletakkan dasar-dasar hak dan kewajiban manusia serta hak-hak Illahi.
Karena dalam ajaran Islam terciptanya stabilitas pemerintahan yang berdiri di
atas prinsip-prinsip Illahi akan memberikan jaminan keamanan dalam masyaakat.
Karena dalam legalitas sistem hukum ketatanegaraan itu terdapat jaminan dan pengakuan
dari masyarakat.
Kemiskinan paradigmatis dalam membangun
pilar-pilar demokrasi di dunia dan khususnya Indonesia antara lain karena
perangkat hukum ketatanegaraan kita yang sangat lemah. Disamping karena
sepenuhnya mengadopsi konsep demokrasi barat juga karena kemiskinan inspirasi
dari konsep budaya kita sendiri. Akhirnya untuk dapat menemukan kesejatian
hidup hanya ada dua pilihan. Pertama, mempertahankan gaya hidup dengan
mengikuti doktrin sesat dari barat atau kedua, kembali kepada ajaran agama fitrah
seperti yang diajarkan Rasulullah SAW dan Imam ‘Ali yang berporos pada
kecintaan dan keselamatan. (Sumber:
Yayasan Fatimah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar