Oleh
Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi
Soal: Apakah faktor-faktor penyimpangan sebagian kaum
intelektual muslim?
Jawab: Sebelum menjawab pertanyaan di atas ini, sebaiknya
kita menyelidiki faktor-faktor penyimpangan seorang muslim secara umum,
termasuk di dalamnya kaum intelektual muslim. Pada masa-masa awal Islam di
Arabia, apa yang sekarang disebut sebagai penyelewengan dan penyimpangan
diistilahkan dengan fitnah.
Fitnah atau penyimpangan
adalah suatu fenomena yang pertama kali muncul dalam tataran pemikiran, dan
bisa saja merambat sampai pada tataran paktis dengan berbagai bentuknya
seperti; pembunuhan, teror, pemerkosaan hak, dan lain-lain. Maka itu, fitnah
(penyelewengan) ini bisa dilacak asal usulnya pada tataran pemikiran. Dan, apa
yang tumbuh di dataran praktis merupakan buah dan dampak dari penyelewengan
pemikiran tersebut. Oleh karena itu, Al-qur’an menganggap fitnah dan
penyimpangan pemikiraan secara normatif lebih keji dari tindakan-tindakan jahat
yang muncul darinya. “sesungguhnya fitnah itu
lebih kejam daripada pembunuhan”.
Pada masa awal kemunculan
Islam, dimana masyarakat muslim masih mengenyam pengajaran akidah dan
pandangan Islam yang murni dari Rarulullah saww, mereka siap berkorban di jalan
Islam dan menjaga keselamatan jiwa sang Nabi, serta berjuang bersamanya
di dalam berbagai peperangan. Namun, segera setelah wafatnya rasulullah
saww, mereka melakukan serangkaian tindakan-tindakan yang menjadi
sumber fitnah-fitnah, dimana tidak hanya meninggalkan fitnah yang buruk dan
dampak yang fatal atas nasib dan takdir umat islam yang datang di kemudian
hari, bahkan meninggalkan sejumlah resiko yang membuat masyarakat manusia
selama berabad-abad menjadi terlantar dari kebahagiaan dan kesejahteraan
mereka.
Di sini muncul pertanyaan
di benak kita, mengapa fitnah-fitnah seperti ini terjadi justru tidak
lama setelah wafatnya rasulullah saw. dan meninggalkan resiko yang begitu
fatal?
Pertanyaan ini pernah
diutarakan oleh kaum muslimin jaman itu kepada Imam Ali as. Beliau menjawab: “sesungguhnya awal terjadinya fitnah-fitnah
adalah menuruti hawa nafsu dan membuat hukum-hukum bid’ah”. Imam
Ali dalam jawaban ini menyebutklan dua sebab penyelewengan (fitnah); hawa
nafsu dan membuat hukum bid’ah.
Hawa nafsu ini
bermacam-macam, umpamanya rakus atau cinta pada uang dan harta kekayaan, serta
segala bentuk perlampiasan hawa nafsu. Salah satu dari hawa nafsu yang tampak
dipandang penting dalam banyak mazhab-mazhab agama adalah kecenderungan yang
begitu kuat kepada popularitas dan ketersohoran. Seseorang akan mengerahkan
segala daya upayanya dan siap menghadapi segala tantangan dan mengeluarkan
sedemikian banyak biaya, semua itu diusahakan untuk merebut perhatian dan
hati orang lain.
Di sepanjang sejarah,
begitu banyak orang-orang yang bertahun-tahun menjalani kesulitan hidup dan
kekerasan di penjara bahkan penyiksaan dan pengasingan, sehingga dengan cara
itu mungkin mereka mendapatkan pendukung-pendukung yang bisa meneriakkan
suara-suara mereka, sebagaimana yang kita jumpai pada sebagian tokoh-tokoh
sufi. Karena, tujuan utama mereka adalah mendapatkan perhatian dan popularitas,
dan ini tidak mudah selain dengan menyampaikan retorika-retorika yang menarik
dan menyenangkan hayalak. oleh karena ini, orang-orang seperti itu memodifikasi
dan men-tahrif hakikat sedemikian rupa
sehingga tujuan-tujuan mereka bisa terpenuhi.
Lebih dari itu, sebagian
mereka bahkan tak segan lagi mengemas reatorikanya secara paradoksikal dan
kontradiktif. Dalam upaya pembenaran atas kontradiksi itu, mereka mengatakan:
“Semua jalan-jalan itu benar dan lurus, dan semua pendapat itu tidak bisa
dipersalahkan. Dengan demikian, mereka pun mampu memperkenalkan diri mereka
sebagai pelopor perdamaian universal.
Faktor kemunculan fitnah
dan penyimpangan kedua adalah membuat hukum-hukum bid’ah (baru), dan biasa
disebut juga sebagai pembaharuan atau bid’ah dalam agama. Faktor kedua ini pada
dasarnya berakar pada faktor pertama.
Imam Ali as. Mengangkat
dua faktor ini sebagai dua faktor mendasar penyelewengan dan penyimpangan
manusia. Pada dasarnya, beliau hendak mengingatkan bahwa dalam penafsiran agama
harus meletakkan sikap pasrah sebagai landasannya, bukan
kepentingan-kepentingan subjektif dan pendapat-pendapat pribadi.
Dengan kata lain, ada dua
cara bagaimana manusia menghadapi teks-teks dan hukum agama: satu, apa yang ada
pada ayat dan riwayat yang menjelaskan hukum-hukum Tuhan diterimanya
bulat-bulat, dan mengamalkannya, dan dalam memahami sumber-sumber pengetahuan
agama (ayat dan riwayat) mengikuti metode inferensi dan ijtihad yang benar.
Cara kedua yaitu bahwa ia sebelumnya sudah menerima adanya serangkaian
kepercayaan apriori, dan berdasarkan kepercayaan apriori ini ia berusaha
menta’wilkan ayat dan hukum-hukum Tuhan. Kebalikan dari metode pertama di
atas, ia menakwilkan ayat dan riwayat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepercayaan, praanggapan, pemahaman apriori, dan kepentingan pribadinya. Serta,
alih-alih ia mengikuti agama dan syariat,. Ia menafsirkan agama sehingga agama
mengikuti dirinya dan sesuai dengan keinginananya. Dimana saja ada hukum-hukum
agama yang tidak sesuai dengan selera subjektirf dirinya, ia berusaha
menampilkan dan mengetengahkan hukum-hukum itu dengan cara yang menyenangkan
dirinya dan orang lain.
Demikian di atas ini
adalah satu upaya bid’ah dalam agama yang dilakukan demi dengan tujuan memenuhi
kepentingan dan menarik perhatian orang lain, popularitas dan memberhalakan
dirinya di hadapan mereka. Bid’ah ini mereka ketengahkan dalam bentuk retorika
dan ungkapan puitis demikian indahnya dengan topik-topik seperti: penafsiran
kotemporer.
Walhasil, dua faktor
tersebut diatas dalam ungkapan Imam Ali merupakan akar penyimpangan kaum Islam,
termasuk kaum intelektual di dalamnya yang harus diwaspadai secara
saksama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar