Oleh Liston
Siregar
Behzad
datang ke sebuah kampung. Untuk apa dan karena apa, tidaklah penting. Yang
nyata ia berada di Siah Dareh atau Lembah Hitam, yang menurut Farzad sejak dulu
sudah bernama Lembah Hitam karena nama itulah yang diberikan oleh para leluhur.
Kampung itu terletak di ceruk sebuah perbukitan batu, dan dari jauh barisan
bertingkat kotak-kotak rumah itu terasa berada di antara dua dunia; seperti
sebuah karantina bagi orang-orang suci menjelang perjalanan ke surga. Campuran
rumah-rumah bersahaja yang indah dan tenang itu sengaja disembunyikan para
leluhur, bukan oleh para penduduknya. ''Dan tak ada air putih yang bisa
memutihkan,'' Farzad menegaskan nama yang tidak seiring dengan semua rumah
bebatuan yang berwarna putih di sana.
Lembah Hitam terletak sekitar 450 mil dari Teheran, dalam film The Wind Will Carry Us-nya Abbas Kiarostami. Begitu layar dibuka, pemandangan bukit, ladang, kampung, kusen-kusen pintu, jendela, tangga-tangga batu, lantai kasar dan atap, maupun wajah-wajah bergerak dinamis menteror mata. Tak ada satupun tembakan kamera yang lepas kosong. Gambar besarnya, misalnya, bukit-bukit di belakang saat Behzad dan ketiga temannya mencari jalan ke sebuah tempat asing, dengan penunjuk jalan sebuah pohon besar yang tumbuh sendiri, disusul dengan dua pohon lain yang berdampingan di tengah-tengah sejumlah pepohonan lain yang tidak bertanda, perladangan tempat seorang ibu yang membantu menunjukkan arah, sampai seorang anak kecil penunjuk jalan. Farzad nama anak itu; pakai celana hitam, baju merah gelap, topi coklat tua dan menenteng buku sekolah, karena ia langsung menunggu seusai sekolah. Menunggu dua jam.
Lembah Hitam terletak sekitar 450 mil dari Teheran, dalam film The Wind Will Carry Us-nya Abbas Kiarostami. Begitu layar dibuka, pemandangan bukit, ladang, kampung, kusen-kusen pintu, jendela, tangga-tangga batu, lantai kasar dan atap, maupun wajah-wajah bergerak dinamis menteror mata. Tak ada satupun tembakan kamera yang lepas kosong. Gambar besarnya, misalnya, bukit-bukit di belakang saat Behzad dan ketiga temannya mencari jalan ke sebuah tempat asing, dengan penunjuk jalan sebuah pohon besar yang tumbuh sendiri, disusul dengan dua pohon lain yang berdampingan di tengah-tengah sejumlah pepohonan lain yang tidak bertanda, perladangan tempat seorang ibu yang membantu menunjukkan arah, sampai seorang anak kecil penunjuk jalan. Farzad nama anak itu; pakai celana hitam, baju merah gelap, topi coklat tua dan menenteng buku sekolah, karena ia langsung menunggu seusai sekolah. Menunggu dua jam.
Sedang rinciannya, seribu sudah pasti. Tapi bisa saja jadi seratus ribu, tergantung dari kepekaan respon mata dan hati. Salah satunya adalah jip tua Behzad yang lalu-lalang membawa Behzad ke kuburan kampung tinggi di puncak salah satu bukit, supaya Behzad bisa menerima telepon Godzari dari Teheran. Tembakan kamera ke siku-siku perkampungan disempurnakan oleh kebersahajaan para wanita berkerudung hitam yang tersebar duduk-duduk di depan rumah , bekerja, maupun melongok kedatangan insinyur, yang kabarnya sudah terdengar jauh sebelum Behzad tiba. Senyum ibu penjaga warung yang tersungging selintas setelah kehabisan argumen sewaktu cekcok menjaga teritori warungnya dari serangan asap mobil, adalah rincian lain. Rumah duka yang memencarkan sinar lampu merah ke luar maupun wajah seorang perempuan berkerudung merah jauh di latar belakang. Itu adalah wajah yang dimohon agar bisa dilihat Behzad namun tetap saja tak terlihat. Bahkan wajah-wajah yang sama sekali tak terlihat; Ibu Malek yang sakit, si penggali kubur, dan teman-teman Teheran Behzad, menjadi salah satu unsur visual yang bekerja efektif menggelisahkan.
Abbas Kiarostami belum lama mengatakan tidak tertarik lagi dengan gambar-gambar dalam ruangan yang menggunakan sistem pencahayaan artifisial. Jadi di sini dia, bersama Direktur Kamera Mahmoud Kalahari, menggunakan pencahayaan alam. Hasilnya gambar-gambar indah yang menjadi salah satu aktor utama. Di kampung perbukitan ini, Abbas Kiarostami dan Mahmoud Kalahari sampai pernah terjatuh karena terlelap menyerap ditail-ditailnya.
Jelas tak mungkin kalau buatan Abbas Kiarostami hanya mengandalkan kekuatan gambar semata saja. The Wind Will Carry Us menempatkan profesionalis modern Teheran canggung dalam interaksi di sebuah kampung di kaki langit. Behzad, paling tidak berusaha sekuatnya untuk mengumpulkan informasi tentang Malek yang katanya sekarat, dan mendapatkan cerita keluarga; seorang kakak perempuan yang tidak akur dengan adiknya namun belakangan baikan, atau dua goresan di wajah ibunya Fahzad sebagai tanda kesetiaan dan sekaligus untuk menyelamatkan suaminya dari PHK. Sebuah komunitas yang menyumbang makanan kepada orang yang sakit karena keinginan pemberi akan tercapai jika makanannya disantap orang sakit tadi. Tak ada kepemilikan tegas, jadi kalaupun salah mengetok pintu rumah waktu mencari susu perah tetap saja akan mendapatkannya. Bahkan di warung teh, pelanggan harus melayani sendiri berhubung ibu penjaga warung sedang merajuk dan duduk bersandar ke dinding di atas karpet merah yang kumal.
Behzad sempat pula besar kepala, karena teman-temannya cuma tidur dan mencari strawberry, sedang dia berkeliling kampung dan berbicara. Makanya ia marah besar ketika teman-temannya yang cuma bermalas-malasan ternyata bisa mendapatkan cerita yang sama dengan yang ia dapatkan. Buat Fahzad, anak kampung asli Lembah Hitam, cerita apapun disampaikan kepada semua orang yang bertanya, biarpun orang itu tidur lelap selama dua belas jam, memetik strawberry selama sebelas jam selanjutnya, dan baru bertanya pada jam yang kedua puluh empat. Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama, bukan berdasarkan sistem koneksi atau imbalan seperti di dunia modern Teheran.
The Wind
Will Carry Us tidak memberi sebuah plot yang utuh, tapi membuka interaksi
dengan orang-orang di seberang layar. Namun mozaik-mozaik percakapan yang masih
bolong di sana sini sudah cukup juga untuk membawa pulang sebuah cerita indah
yang lain dari Abbas Kiarostami. Cerita indah yang digaris-bawahi oleh kutipan
puisi dari penyair perempuan Iran, Forough Farrokhzad, yang menyutradai sebuah
film sebelum tewas dalam kecelakan mobil. The Wind Will Carry Us (1999) dan A
Taste of Cherry (1997) adalah dua seri tentang kematian dengan karakter
berbeda. Jika A Taste of Cherry mencengkram dengan kematian, The Wind Will
Carry Us mencengkram dengan kehidupan.
Tapi untuk apa Behzad datang ke Lembah Hitam. Kira-kira --karena memang tidak ada plot yang utuh-- ia menjadi pemimpin dari sekelompok orang yang mendapat instruksi dari seseorang di Teheran untuk membuat film kematian tentang seorang tua yang sudah sakit-sakitan di Siah Dareh. Pada akhirnya -setelah kawan-kawan Behzad yang tidak sabaran sudah memutuskan pulang-- orang tua itu meninggal. Namun upacaranya, yang tadinya ditunggu-tunggu ternyata menjadi tidak penting, karena Behzad tersadarkan kalau dia akan tetap selalu tak layak berada di kampung itu. Untunglah, dari dalam jipnya sesaat akan pulang, ia sempat memotret wajah-wajah perempuan kebanyakan di Lembah Hitam yang bercadar hitam, berbaris ke upacara kematian. Wajah-wajah yang berada di antara dua dunia, di kaki langit.
Tapi untuk apa Behzad datang ke Lembah Hitam. Kira-kira --karena memang tidak ada plot yang utuh-- ia menjadi pemimpin dari sekelompok orang yang mendapat instruksi dari seseorang di Teheran untuk membuat film kematian tentang seorang tua yang sudah sakit-sakitan di Siah Dareh. Pada akhirnya -setelah kawan-kawan Behzad yang tidak sabaran sudah memutuskan pulang-- orang tua itu meninggal. Namun upacaranya, yang tadinya ditunggu-tunggu ternyata menjadi tidak penting, karena Behzad tersadarkan kalau dia akan tetap selalu tak layak berada di kampung itu. Untunglah, dari dalam jipnya sesaat akan pulang, ia sempat memotret wajah-wajah perempuan kebanyakan di Lembah Hitam yang bercadar hitam, berbaris ke upacara kematian. Wajah-wajah yang berada di antara dua dunia, di kaki langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar