Baik Israel, Saudi dan Turki sangat berambisi untuk menjungkalkan Presiden Suriah Bashar al Assad dan bahu-membahu memobilisir para teroris untuk 'berjihad' ke Suriah. Namun bertahannya Bashar al Assad berkat dukungan Iran, Hizbullah dan Rusia serta Cina, membuat Israel dan Saudi pun putus asa dan tidak lagi peduli dengan eksistensi Turki.
Pada tanggal 29 Juni rencana itu dipaparkan Presiden Vladimir Putin kepada Menlu Suriah Walid Mouallem dan penasihat presiden Suriah Bouthaina Shaaban, di Moskow. Menyusul kemudian, pada tanggal 5 Juli delegasi pejabat keamanan Suriah bertemu Putra Mahkota sekaligus Menhan Saudi Pangeran Mohamad bin Salman. Dilanjutkan kemudian dengan pembukaan 'kantor penghubung' Suriah di Ankara Turki dan Turki di Damaskus. Setelah penandatanganan perjanjian nuklir Iran, Turki pun menunjukkan respon dengan menghentikan bantuan kepada ISIS dan menangkap 29 penyelundup kelompok itu.
Di sisi lain, Amerika, yang juga jenuh dengan kegagalan proyek pelengseran Bashar al Assad dan demi membersihkan diri dari kaitannya dengan kelompok-kelompok teroris ISIS, Al Nusra dan lain-lain, kini memilih untuk memimpin kampanye penghancuran ISIS di Irak dan Suriah. Meski demikian sebagian unsur keamanan di Dephan, Deplu dan terutama CIA, tentu saja tetap menjalin hubungan dengan ISIS dan kelompok-kelompok teror yang masih bisa menjadi asset Amerika untuk proyek selanjutnya.
Turki menghadapi persoalan sendiri. Gaya kepemimpinan Erdogan telah menjadikan Turki bagaikan bara dalam sekam. Meski sukses memarginalkan militer dan kelompok-kelompok oposisi, menindas pers, membelenggu lembaga-lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan kehakiman) dan menyingkirkan pesaingnya sesama gerakan Islam, Fethullah Gulen, Erdogan justru menciptakan kebencian terhadap diri pribadinya dan juga terhadap rezim Partai Keadilan yang dipimpinnya.
Aksi demonstrasi besar-besaran menentang Erdogan tahun lalu yang dipicu oleh pembangunan Gezi Park menandai besarnya kebencian publik terhadap Erdogan dan kroni-kroninya. Apalagi setelah terbongkarnya sejumlah kasus korupsi yang menjerat orang-orang dekat dan keluarga Erdogan.
Tidak hanya itu, meski selama ini berhasil diredam oleh luasnya dukungan politik yang diterima Erdogan, kebencian juga tercipta antara kelompok sekuler melawan Islam, militer melawan sipil, Kurdi melawan Turki. Inilah yang mengakibatkan Partai Keadilan mengalami penurunan perolehan suara yang signifikan dalam pemilu legislatif lalu, dan terancam bakal tergusur dalam pemerintahan setelah tidak ada partai-partai politik lain yang menunjukkan minatnya untuk bergabung membentuk pemerintahan koalisi.
Sudah sejak awal terjadinya konflik di Suriah, Turki telah bergabung dengan persekutuan Amerika, Israel, NATO, Saudi, Qatar dan Yordania yang membantu kelompok-kelompok pemberontak Suriah, termasuk kelompok yang kemudian menjelma sebagai kelompok teroris ISIS dan Al Nusra. Dua agen inteligen Turki bahkan dikabarkan mengendalikan organisasi ISIS di samping Baghdadi yang merupakan agen CIA-Mossad, yaitu Abu Alaa al-Afri dan Fadel al-Hayali.
Terkait dengan persekongkolan Erdogan dan ISIS itu, Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan mengancam akan menjadikan Suriah sebagai ladang pembantaian bagi Turki. Putin tersinggung dengan pernyataan Erdogan kepada pers bahwa Putin telah menyerah dengan dukungannya kepada Suriah dan akan menghentikan dukungannya kepada Bashar al Assad. Sehari setelah pernyataan itu, Putin pun memanggil Duta Besar Turki dan menyampaikan ancaman itu.
"Katakan kepada pemimpin diktator kalian, Erdogan, kami akan menjadikan Suriah sebagai Stalingrad bagi Turki," kata Putin dengan nada marah dalam pertemuan itu, merujuk pada Perang Stalingrad yang menjadi titik awal kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II tahun 1942-1943.
Secara politik Turki terus mendekati kevakuman politik yang bisa berujung pada perang saudara, setelah kekalahan Partai Keadilan dalam pemilu kemarin. Ketiga partai oposisi utama dengan tegas menyatakan ketidaksediaan mereka berkoalisi dengan Partai Keadilan. Sementara Partai Keadilan tidak cukup kursi untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Saat tulisan ini dibuat, pada hari Sabtu malam (8/8) terjadi serangan bersenjata terhadap kantor Partai Keadilan di Istanbul. Seorang terluka dalam insiden ini. Ini adalah serangan kedua tahun ini terhadap kantor Partai Keadilan di Istanbul setelah peristiwa yang sama tanggal 1 April lalu oleh seorang anggota kelompok Revolutionary People’s Liberation Party-Front (DHKP-C) yang marah terhadap aksi-aksi kekerasan aparat.
Serangan 1 April itu menyusul aksi nekad sejumlah anggota DHKP-C yang menyerang gedung Pengadilan di Caglayan dan menculik Jaksa Mehmet Selim Kiraz yangbertanggungjawab atas penyidikan kasus kematian seorang anggota kelompok itu oleh tembakan polisi, Berkin Elvan, pada tanggal 11 Maret 2014.
Turki telah menyimpang jauh dari prediksi George Friedman. Alih-alih, kini tengah mengarah pada perang saudara yang tidak berkesudahan. Bahkan bukan tidak mungkin, konflik berdarah di Suriah justru akan berpindah ke Turki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar