Muhammad Tijani
as Samawi
AKU sangat
gembira. Kususun buku-buku itu di ruangan khusus yang kunamakan perpustakaan.
Beberapa hari aku istirahat. Daftar kerja untuk awal tahun pelajaran baru telah
kuterima. Tugasku mengajar tiga hari berturut-turut dan selebihnya aku bebas.
Aku mulai membaca buku-buku itu. Kubaca buku Aqaid al-Imamiah (Aqidah
Syi'ah Imamiyah), dan Ashlus Syi'ah Wa Ushuluha. Hatiku tenang
melihat akidah dan pemikiran-pemikiran
yang dimiliki
oleh Syi'ah. Kemudian kubaca kitab al-Muraja'at (Dialog Sunnah
Syi'ah) oleh Sayed Syarafuddin al-Musawi. Setelah beberapa lembar kubaca,
isinya sangat memikat sehingga tidak kutinggalkan kecuali betul-betul terdesak.
Kadang-kadang kubawa kitab itu ke sekolah. Kitab itu sangat menarik perhatianku
lantaran sikap ketegasan orang alim Syi'ah itu dan kemampuannya di dalam
menjawab setiap persoalan yang diajukan oleh seorang alim Sunni Syaikh
al-Azhar.
Kitab itu
sangat mengenai jiwaku karena ia berbeda dengan kitab-kitab lain. Biasanya
penulis sebuah buku akan menulis apa saja yang ia kehendaki tanpa ada orang
yang menyangkal atau mengkritiknya. Tetapi kitab ini adalah dialog antara dua
alim dari dua mazhab yang berbeda. Masing-masing membahas secara rinci setiap
apa yang mereka permasalahkan, kecil atau besar, dengan berpegangan kepada dua
asas semua kaum muslimin, yakni Al Quran dan Sunnah shahih yang disepakati.
Buku itu benar-benar sangat memadai dalam memberikan curahan ilmu kepadaku
sebagai seorang yang tengah mencari suatu kebenaran. Itulah kenapa buku itu
sangat berguna sekali bagiku dan punya jasa besar yang tak terhingga kepadaku.
Aku sangat heran ketika si penulis berbicara tentang ketidak-patuhan sebagian
sahabat terhadap perintah-perintah Rasul SAW. Disebutkan di situ berbagai
contoh, antara lain Tragedi Hari Kamis. Tidak terbayangkan betapa Sayyidina
Umar bin Khattab memprotes perintah Nabi dan mengatakan bahwa Nabi meracau.
Mula-mula terpikir olehku bahwa riwayat itu mesti dari kitab-kitab Syi'ah.
Lebih mengherankan lagi ketika kulihat bahwa orang alim Syi'ah ini meriwayatkannya
dari kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kukatakan kepada diriku bahwa jika
memang kujumpai ini di dalam Shahih Bukhari maka ia akan menjadi sebuah masalah
besar bagiku.
Aku berangkat
ke ibu kota. Di sana aku membeli kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal, Shahih Turmuzi, Muwaththa' Imam Malik dan kitab-kitab
lain yang terkenal. Belum sempat sampai ke rumah, sepanjang jalan ke Qafsah
dengan bis umum, aku buka lembaran-lembaran Kitab Bukhari. Kucari riwayat
Tragedi Hari Kamis, dengan harapan aku tidak akan menjumpainya di sana. Diluar
dugaan kudapati ada di sana dan kubaca berulang kali. Teksnya sama dengan apa
yang ditulis oleh Sayed Syarafuddin. Aku berusaha untuk tidak mempercayai bahwa
semua tragedi ini benar-benar terjadi. Karena rasanya tidak mungkin Sayyidina
Umar melakukan perbuatan yang sangat "bahaya" ini terhadap Nabi SAW.
Tetapi bagaimana aku akan mendustakan riwayat yang ada di dalam kitab shahih
kami sendiri, yakni kitab shahihnya Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Bukankah kita telah
mewajibkan diri kita untuk mempercayai bahwa kitab itu adalah kitab shahih.
Meragukan atau mendustakan, hatta sebagian darinya, berakibat bahwa kita telah
mengabaikannya? Mengingat akibatnya kita akan mengabaikan seluruh kepercayaan
kita. Seandainya orang alim Syi'ah itu menukilnya dari kitab mereka maka aku
tidak akan mempercayainya sama sekali. Tetapi ketika beliau nukil dari kitab
shahih Ahlu Sunnah sendiri yang tak ada jalan untuk mencelanya, sementara kita
juga mengatakan bahwa hal itu adalah kitab yang paling shahih setelah Al Quran,
maka perkara tersebut menjadi lain dan menyiratkan suatu kemestian. Kalau
tidak, maka hal itu akan bermakna bahwa kita telah meragukan terhadap kesahihan
kitab ini. Hal itu bermakna bahwa kita tidak mempunyai sebarang pegangan di
dalam melihat hukum-hukum Allah SWT. Mengingat hukum-hukum yang ada di dalam
Kitab Allah datang secara umum dan tidak terinci. Dan karena jarak kita dengan
zaman Risalah begitu jauh, maka kita telah mewarisi hukum-hukum agama kita melalui
leluhur kita dengan perantara kitab shahih seperti ini. Dengan demikian maka
kita tidak boleh mengabaikan kitab-kitab seperti ini sama sekali.
Aku berjanji
kepada diriku ketika mula mengkaji masalah yang panjang dan rumit ini untuk
semata-mata berpegang kepada hadis yang shahih yang disepakati oleh Sunnah dan
Syi'ah. Aku akan mengabaikan setiap hadis yang hanya dipegang oleh satu mazhab
saja dan ditolak oleh yang lain. Dengan cara yang adil seperti ini, aku akan
dapat menjauhi diriku dari segala jenis pengaruh-pengaruh emosional, sikap
fanatik (ta'ashshub) mazhab atau perselisihan kaum dan bangsa. Dalam
waktu yang sama aku akan memotong jalan keragu-raguan untuk dapat sampai ke
puncak keyakinan, yakni jalan Allah yang lurus. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar