Oleh Muhammad Tijani as Samawi
Berikut
ini adalah uraian peristiwa secara ringkas:
Tiga
hari menjelang wafatnya Nabi SAW para sahabat berkumpul di rumah Rasul SAW. Nabi
yang mulia memerintahkan mereka untuk mengambil kertas dan dawat agar
dituliskan kepada mereka suatu wasiat yang akan memelihara mereka dari
kesesatan. Namun para sahabat berselisih. Sebagian mereka enggan mematuhinya
dan bahkan menuduhnya telah meracau sampai Nabi marah sekali dan mengusir
mereka dari rumahnya tanpa menuliskan apa-apa.
Perinciannya
adalah sebagai berikut:
Ibnu
Abbas berkata: "Hari Kamis, oh hari Kamis. Waktu Rasul merintih kesakitan,
beliau berkata, mari kutuliskan untuk kalian suatu pesan agar kalian kelak
tidak akan tersesat. Umar berkata bahwa Nabi sudah terlalu sakit sementara Al Quran
ada di sisi kalian. Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Orang yang berada dalam
rumah berselisih dan bertengkar. Ada yang mengatakan berikan kepada Nabi kertas
agar dituliskannya suatu pesan di mana kalian tidak akan tersesat setelahnya.
Ada sebagian lain berpendapat seperti pendapatnya Umar. Ketika pertengkaran di
sisi Nabi semakin hangat dan riuh Rasul pun lalu berkata, 'Pergilah kalian dari
sisiku!' Ibnu Abbas berkata: 'Tragedi yang paling menyayat hati Nabi adalah
larangan serta pertengkaran mereka di hadapan Rasul yang ingin menuliskan suatu
pesan untuk mereka.'
Peristiwa
ini benar-benar terjadi. Para ulama, ahli hadis dan ahli sejarah Syi'ah dan
Sunnah mencatat riwayat ini dalam buku-buku mereka. Dan ini harus kuterima
lantaran ikrarku dan janji yang telah kubuat. Di sini juga aku merasa sangat
heran atas sikap yang ditunjukkan oleh Umar terhadap perintah Nabi SAW.
Perintah apa? Sebuah perintah yang akan menyelamatkan ummat ini dari kesesatan.
Tidak syak lagi bahwa wasiat tersebut menyirat sesuatu yang baru bagi kaum
muslimin dan akan menghapuskan segala keraguan yang ada dalam diri mereka. (Shahih
Bukhori jil.2 dan 5 Hal. 75; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 1 hal. 355; jil. 5
hal. 116; Tarikh Thabari jil. 3 hal. 193; Tarikh Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 320).
Kita
tinggalkan pendapat Syi'ah yang berkata bahwa Nabi sebenarnya ingin menuliskan
nama Ali bin Abi Thalib sebagai khalifahnya lalu Umar lebih cerdik dan segera
melarangnya. Karena tafsiran mereka seperti ini tidak dapat kita terima sejak
awal. Tetapi apakah kita mempunyai tafsiran lain yang logis dari peristiwa yang
menyakitkan hati ini, sampai Nabi marah dan mengusir mereka dari kamarnya.
Bahkan menyebabkan Ibnu Abbas sedemikian banyaknya menangis sehingga membasahi
tanah. Beliau menyebut peristiwa ini sebagai tragedi yang paling besar. Ahlu
Sunnah juga berkata bahwa Umar melakukan semua itu justru karena dia merasakan penderitaan
Nabi dan tidak ingin membebankannya lebih banyak. Namun tafsiran seperti ini tidak
dapat diterima hatta oleh orang awam, apalagi orang-orang yang alim. Aku
berkali-kali berusaha mencari alasan untuk memaafkan Umar, tetapi realitas
kejadian enggan menerimanya, sekalipun kalimat "yahjur"
(meracau) telah diganti oleh perawi (semoga Allah melindungi kita) dengan
kalimat "ghalabahul waja'" (karena terlalu sakit). Kita juga
masih tidak akan dapat menemukan alasan apologis lain atas kata-kata Umar,
"'Indakum Al Quran" (di sisi kalian ada Al Quran) dan "Hasbuna
Kitabullah" (cukup bagi kami Kitab Allah). Apakah beliau lebih arif tentang
Al Quran daripada Nabi yang telah menerimanya, atau Nabi tidak sadar apa yang
diucapkannya? (Semoga Allah melindungi kita). Atau Nabi ingin meniupkan api
perpecahan dan pertengkaran dengan perintahnya ini? Astaghfirullah! Kalau
memang tafsiran Ahlu Sunnah ini benar, maka Rasululllah akan tahu niat baik
Umar ini dan akan berterima kasih padanya. Bahkan beliau akan lebih
mendekatkannya daripada harus marah dan berkata, "Keluarlah kalian dari
kamarku!"
Aku
juga ingin bertanya kenapa mereka ikut perintah Nabi ketika mereka diusir
keluar dari kamarnya dan tidak berkata bahwa Nabi tengah meracau. Sungguh
mereka telah berhasil dalam rencana mereka dalam menghalangi Nabi dari
menuliskan surat wasiat tersebut. Itulah kenapa tiada sebab mereka harus terus
berada di sana. Bukti bahwa mereka bertengkar di hadapan Nabi dan terbagi
kepada dua golongan adalah kalimat riwayat yang tertulis "...Ada yang
berkata dekatkan kepada Rasulullah apa yang dimintanya agar dituliskannya untuk
kalian pesanan itu; dan ada sebagian lagi yang berkata seperti kata-katanya
Umar, yakni Nabi tengah meracau." Peristiwa ini tidak sesederhana seperti
yang dibayangkan, dimana hanya Umar yang terlibat. Seandainya demikian maka
Nabi akan memarahinya dan akan berkata bahwa dirinya tidak mengucapkan sesuatu
mengikut hawa nafsunya; dan beliau tidak meracau di dalam membimbing ummat ini.
Namun masalahnya lebih serius dari itu. Beliau merasakan bahwa Umar bersama
sahabat-sahabatnya telah bersepakat sebelum itu. Lantaran kesepakatan itu kemudian
mereka bertengkar dan berselisih di hadapan Nabi sampai mereka lupa atau pura-pura
lupa dengan firman Allah SWT, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur (pahala) amalmu sedangkan kamu
tidak menyadari" (QS. Al Hujuraat: 2).
Dalam
peristiwa ini mereka juga telah melampaui batas "meninggikan suara"
dan "berkata keras". Mereka bahkan telah mengatakan bahwa Nabi telah
meracau (semoga Allah melindungi kita). Lalu bertengkar ramai dan hiruk-pikuk
di hadapannya. Aku hampir memastikan bahwa kebanyakan yang hadir berpihak pada
Umar. Karena itu maka Rasulullah melihat kemaslahatan untuk tidak menuliskan
isi wasiatnya. Nabi juga tahu bahwa mereka sudah tidak menghormatinya dan tidak
patuh pada perintah Allah atas haknya sebagai Nabi dimana kaum muslimin
dilarang berkata kasar dan keras di hadapannya. Nah, jika mereka enggan patuh
pada perintah Allah apalagi pada perintah Rasul-Nya SAW. Kebijaksanaan Rasul
untuk tidak menuliskan wasiat itu adalah karena (penolakan seperti itu) merupakan
sebuah celaan baginya di masa hidupnya; maka bagaimana pula nantinya setelah wafatnya.
Kelak orang-orang yang mencelanya akan berkata bahwa Nabi saat itu sedang meracau.
Mungkin juga mereka akan meragukan sebagian dari hukum yang disyariatkan Nabi pada
masa sakitnya itu juga atas keyakinan mereka bahwa Nabi sedang meracau. Aku
mohon ampunan Allah dari ucapan seperti ini terhadap Nabi utusan Allah.
Bagaimana aku dapat meyakinkan diriku bahwa Umar bin Khattab tidak bermaksud
sungguh-sungguh ketika mengucapkan itu. Padahal sebagian sahabat yang hadir
menangis dalam kejadian ini hingga air matanya membasahi tanah dan dikatakan
sebagai tragedi Hari Kamis. Aku berkesimpulan untuk menolak setiap alasan yang
diajukan untuk menjustifikasi kejadian itu; dan berusaha juga untuk
mengingkarinya secara total agar hati ini dapat tenteram. Tetapi sayangnya
semua buku-buku shahih telah meriwayatkannya dan membuktikan kebenarannya.
Aku
lebih condong kepada pendapat Syi'ah dalam menafsirkan kejadian ini, karena tafsirannya
rasional dan mempunyai bukti yang kuat. Aku masih teringat jawaban Sayed Muhammad
Baqir Sadr ketika kutanya bagaimana Sayyidina Umar -dari segenap sahabat dapat mengerti
maksud Nabi yang ingin menjadikan Ali sebagai khalifahnya seperti yang kalian
duga. Bukankah ini adalah bukti kepandaiannya? Sayed Sadr menjawab: "Bukan
Umar sendiri yang tahu maksud Rasul. Semua yang hadir juga tahu. Karena sebelum
itu beliau juga pernah berkata kepada mereka, "Kutinggalan kepada kalian
dua peninggalan yang besar (tsaqalain): Kitab Allah dan itrah Ahlul Baitku.
Jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan
tersesat selama-lamanya". Pada saat sakitnya Nabi berkata kepada
mereka, "Biar kutuliskan kepada kalian suatu pesan di mana kalian tidak
akan tersesat selama-lamanya" Semua yang hadir termasuk Umar tahu maksud
Nabi yang ingin menegaskan secara tertulis apa yang diucapkannya di Ghadir Khum
sebelum itu: yakni berpegang teguh pada Kitab Allah dan Itrah Ahlu Baitnya. Dan
penghulu itrah adalah Ali. Jadi seakan-akan Nabi ingin berkata,
"Berpeganglah kalian kepada Al Quran dan Ali."
Ucapan-ucapan seperti ini pernah dikatakannya juga di berbagai tempat yang lain
seperti yang diungkapkan oleh sejumlah ahli hadis. Mayoritas Quraisy tidak suka
dengan Ali, karena beliau adalah yang paling muda, yang pernah menghancurkan
pembesar-pembesar mereka dan membunuh pahlawan-pahlawannya. Tetapi mereka tidak
berani menentang Nabi ke tahap yang pernah terjadi pada Perdamaian Hudaibiyah;
atau ketika Nabi menshalatkan jenazah Abdullah bin Ubai, seorang munafik; dan
dalam berbagai kejadian yang telah dicatat oleh sejarah. Sikap seperti ini, seperti
yang Anda lihat dalam penentangan mereka atas penulisan wasiat disaat-saat
akhir hayatnya, menimbulkan keberanian kepada yang lain untuk menentang dan
bertengkar di hadapan baginda Nabi.
Kata-kata
"Al Quran sudah ada disisi kalian" atau "cukuplah bagi kita Kitab
Allah", adalah bantahan yang nyata kepada maksud Hadis yang menyuruh
mereka berpegang kepada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Nabi. Seakan maksud
bantahan itu begini: "Cukuplah bagi kami Kitab Allah dan tidak perlu
kepada Itrah". Selain ini tidak ada penafsiran lain yang dapat diterima,
melainkan kalau kita katakan bahwa maksudnya adalah taat pada Allah tanpa perlu
taat pada Rasul. Hal demikian sudah pasti salah dan tak dapat diterima. Apabila
kubuang jauh-jauh rasa fanatisme buta dan sikap emosi yang negatif serta dapat berpikir
secara rasional dan objektif maka aku harus terima penafsiran seperti ini bahwa
Umar-lah
orang pertama yang menolak Sunnah Nabi dengan kata-katanya, "Cukuplah bagi
kita Kitab Allah".
Jika
sebagian penguasa menolak Sunnah Nabi karena alasan "kontradiktif",
sebenarnya ia hanya ikut pengalaman sejarah kehidupan kaum muslimin sebelumnya.
Aku juga tidak mengatakan bahwa Umar adalah satu-satunya orang yang
bertanggungjawab atas tragedi ini sehingga ummat kehilangan bimbingan yang
sepatutnya diterimanya. Untuk lebih adil harus kukatakan bahwa ada sahabat lain
yang bersamanya dan mempunyai pendapat seperti pendapatnya Umar. Mereka
menyebelahi Umar di dalam sikapnya yang menentang perintah Nabi SAW. Aku merasa
agak aneh pada mereka yang membaca peristiwa ini kemudian menganggapnya ringan
yang seakan tidak menyirat sebuah implikasi yang besar. Padahal ia adalah tragedi
yang paling besar seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas. Lebih aneh lagi
adalah usaha mereka yang coba menjaga kemuliaan seorang sahabat dan membenarkan
perbuatan salahnya dengan mengorbankan kemuliaan Rasulullah dan prinsip-prinsip
Islam.
Kenapa
kita harus lari dari suatu fakta dan berusaha menguburkannya ketika ia tidak
sejalan dengan kehendak kita? Kenapa kita tidak menerima kenyataan bahwa para
sahabat sebenarnya adalah manusia biasa seperti kita juga. Mereka punya hawa
nafsu, kehendak dan keinginan serta bisa benar dan salah. Bagaimanapun rasa
aneh ini akhirnya hilang ketika kubaca Kitab Allah yang mengisahkan kepada kita
kisah-kisah para Nabi as dan penderitaan yang mereka alami karena sikap
ummatnya yang menentang, kendatipun telah mereka saksikan berbagai mukjizat. Ya
Allah, jangan Kau palingkan hati kami setelah Kau berikan kepada kami
hidayah-Mu. Karuniakan kepada kami dari sisi-Mu rahmat-Mu. Sesungguhnya Kau
Maha Pemberi. Aku mulai mengerti latar belakang sikap Syi'ah terhadap Khalifah
Kedua yang dikatakan sebagai penanggungjawab terbesar atas segala tragedi yang
terjadi dalam kehidupan kaum muslimin sejak Tragedi Hari Khamis dimana
penulisan wasiat yang kelak akan menyelamatkan ummat manusia dari kesesatan itu
dihalangi. Harus kita akui bahwa seorang yang berpikir rasional, dimana sebuah
kebenaran diketahuinya bukan lantaran seseorang tokoh, akan mudah memahami
sikap Syi'ah seperti ini. Namun bagi mereka yang tidak tahu kebenaran melainkan
karena tokoh tertentu, maka pembicaraan ini tidak akan bermanfaat pada mereka.
(*)
Tolong difotokan halaman kitab yg dirujuk. Krn kebaradaan peristiwa itu di bbrp kitab ahlus sunnah dianggap hoax
BalasHapusterus sikap kita selaku orang baru,yg hanya tau dari sejarah harus bagaimana....
BalasHapuskalau terjadi distorsi sejarah kan harus ada manusia yg. erani meluruskan,kita kembalikan kepada kitabullah
BalasHapus