Oleh Muhammad Tijani as Samawi
Singkat ceritanya adalah sebagai
berikut:
Pada tahun keenam hijriah Rasulullah
bersama seribu empat ratus para sahabatnya keluar dari Madinah dengan tujuan
umrah. Diperintahkannya para sahabat menyarungkan pedangnya masing-masing.
Mereka berihram di Zil Hulaifah dan membawa binatang korban agar orang-orang
Quraisy tahu bahwa mereka datang untuk umrah bukan untuk perang. Karena sifat
angkuhnya, orang-orang Quraisy tidak mau kelak ada penduduk Arab mendengar
bahwa Muhammad telah masuk ke Mekah dan memecahkan benteng mereka. Diutusnya
serombongan delegasi yang diketuai oleh Suhail bin A'mr bin Abdu Wud al-A'miri
agar meminta Nabi kembali ke tempat asalnya. Tahun depan mereka akan diizinkan
untuk umrah selama tiga hari. Orang-orang Quraisy juga meletakkan syarat yang
berat yang kemudian diterima oleh Nabi berdasarkan kemaslahatan yang dilihatnya
dan wahyu Allah kepadanya.
Namun sebagian sahabat tidak senang
dengan sikap Nabi seperti ini. Mereka menentangnya dengan keras. Umar bin
Khattab datang dan berkata: "Apakah benar bahwa engkau adalah Nabi Allah
yang sesungguhnya?"
"Ya", jawab Nabi.
"Bukankah kita dalam hak dan
musuh kita dalam batil?"
"Ya". Sahut Nabi.
"Lalu kenapa kita hinakan agama
kita?" Desak Umar.
"Aku adalah Rasulullah. Aku
tidak melanggar perintah-Nya dan Dialah penolongku." Jawab Nabi.
"Bukankah engkau mengatakan
kepada kami bahwa kita akan mendatangi Rumah Allah dan bertawaf di sana?"
"Ya. Tetapi apakah aku katakan
kepadamu pada tahun ini juga?" Tanya Nabi.
"Tidak".Jawab Umar.
"Engkau akan datang ke sana dan
tawaf di sekitarnya." Kata Nabi mengakhiri.
Kemudian Umar datang kepada Abu
Bakar dan bertanya:
"Wahai Abu Bakar! Benarkah
bahwa dia adalah seorang Nabi yang sesungguhnya?"
"Ya" Jawab Abu Bakar.
Kemudian Umar mengajukan pertanyaan
serupa kepada Abu Bakar dan dijawab dengan jawaban yang serupa juga.
"Wahai saudara!" Kata Abu
Bakar kepada Umar. "Beliau adalah Rasul Allah yang sesungguhnya. Beliau
tidak melanggar perintah-Nya dan Dialah Penolongnya. Maka percayalah
padanya."
Usai Nabi menulis piagam perdamaian,
beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: "Hendaklah kalian sembelih
binatang-binatang korban yang kalian bawa itu dan cukurlah rambut kalian."
Demi Allah tidak satu sahabat pun berdiri mematuhi perintah itu sampai Nabi
mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ketika dilihatnya mereka tidak mematuhi
perintahnya, Nabi masuk ke dalam kemahnya dan keluar kembali tanpa berbicara dengan
siapa pun.
Beliau sembelih korbannya dengan
tangannya sendiri lalu memanggil tukang cukurnya, kemudian bercukur. Melihat
ini para sahabat kemudian menyembelih juga korban mereka, kemudian saling
mencukur sehingga hampir-hampir mereka saling berbunuhan. (Lihat buku-buku
sejarah dan sirah. Juga lihat Shahih Bukhari dalam Bab as-Syuruthi Jihad 2:122;
juga Shahih Muslim Bab Sulhul Hudaibiyah Jil. 2)
Demikianlah kisah Perdamaian
Hudaibiyah yang disepakati oleh Sunni dan Syi'ah secara singkat. Para ahli
sejarah dan Sirah seperti Thabari, Ibnul Athir dan Ibnu Sa'ad menuliskan cerita
ini pada buku mereka masing-masing. Begitu juga Bukhari dan Muslim. Membaca
kisah seperti ini aku sempat terdiam dan berhenti. Tidak mungkin cerita
seumpama ini tidak menimbulkan sembarang pertanyaan atas sikap para sahabat
terhadap Nabi mereka seperti itu. Apakah seorang yang berpikir waras akan dapat
menerima ucapan orang yang mengatakan bahwa semua sahabat Nabi telah mematuhi
seluruh perintah Nabi dan melaksanakannya. Bukti sejarah ini menafikan
kebenaran ucapan seperti itu. Dapatkah seseorang yang berpikir rasional menilai
bahwa sikap seperti itu terhadap Nabi adalah hal yang kecil, atau dapat
diterima atau dimaafkan? Allah berfirman: "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya."(QS. An-Nisa: 65) Dalam peristiwa ini
apakah Umar tidak merasa berat dalam menerima keputusan Nabi SAW ataukah dia
bersikap ragu-ragu terhadap perintah Nabi, khususnya ketika dia berkata:
"apakah engkau benar-benar Nabi Allah yang sesungguhnya? Bukankah engkau
berkata kepada kami..." dan seterusnya. Apakah Umar juga menerima jawaban
Nabi yang memuaskan itu? Tidak. Dia tidak puas dengan jawaban Nabi lalu pergi
kepada Abu Bakar mengajukan pertanyaan yang serupa. Apakah dia menerima jawaban
Abu Bakar dan nasihatnya agar mematuhi perintah Nabi? Tidak tahu aku apakah dia
terima lantaran jawaban Abu Bakar atau jawaban Nabi! Kalau tidak kenapa dia
berkata terhadap dirinya, "Lalu aku telah lakukan beberapa perkara yang
..." Hanya Allah dan RasulNya saja yang tahu apa yang dilakukan oleh Umar.
Dan aku juga tidak tahu sebab keengganan sahabat-sahabat lain atas perintah
nabi setelah itu ketika Nabi berkata: "Sembelihlah binatang korban kalian
dan cukurlah rambut kalian!" Tidak satupun dari mereka mendengar perintah
Nabi ini hingga beliau terpaksa mengulanginya tiga kali tanpa ada kesan.
Subhanallah! Aku hampir-hampir tidak percaya apa yang kubaca ini. Apakah sampai
tahap ini para sahabat bersikap terhadap perintah Nabi? Jika cerita ini
diriwayatkan hanya oleh golongan Syi'ah saja, maka aku akan katakana bahwa ini
adalah tuduhan Syi'ah kepada para sahabat yang mulia. Permasalahnya sedemikian
terkenal dan benar hingga semua ahli hadis Ahlu Sunnah Wal Jamaah
meriwayatkannya dalam buku mereka masing-masing. Dan karena aku telah berjanji
untuk menerima apa yang telah disepakati, maka aku tidak ada pilihan kecuali
menerima dan bingung. Apa yang harus kukatakan? Dengan apa aku harus
"maafkan" sikap sejumlah sahabat yang telah hidup bersama Nabi selama
hampir dua puluh tahun, dari awal Bi'thah sampai periode Perdamaian Hudaibiyah
di mana mereka telah saksikan berbagai mukjizat dan cahaya kenabian. Al Quran
juga telah diajarkan kepada mereka siang dan malam. Bagaimana seharusnya mereka
bersikap dan beradab dihadapan baginda Nabi SAW, dan bagaimana cara berbicara
dengannya. Allah pernah mengancam untuk menggugurkan amal-amal baik mereka
apabila suara mereka diangkat lebih keras melebihi suara Nabi.
Aku berandai bahwa Umar bin
Khattablah yang mempengaruhi sahabat-sahabat lain untuk mengabaikan perintah
Nabi. Hal ini dapat dilihat lewat pengakuannya bahwa dia telah melakukan
beberapa perkara yang tidak mau disebutnya; atau sebagian ucapannya yang
berkata: "Aku terus berpuasa, bersedekah, sembahyang dan membebaskan hamba
sahaya karena takut akan kata-kataku yang kuucapkan itu..." dan sebagainya
seperti yang tercatat dalam berbagai buku. (lihat As-Sirah al-Halabiyah bab
Sulhul Hudaibiyah 2: 706). Bukti ini menunjukkan bahwa Umar sendiri sebenarnya
mengetahui implikasi sikapnya seperti itu. Suatu cerita yang aneh dan ajaib,
tetapi benar dan nyata. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar