Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim
kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya
dari satu sisi saja. Hakim memulai,
"Seandainya saja, setiap orang mau
mematuhi hukum dan etika, ..."
Nasrudin menukas, "Bukan manusia
yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan
dengan kemanusiaan."
Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba
kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau
kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"
Nasrudin menjawab seketika, "Tentu,
saya memilih kekayaan."
Hakim membalas sinis, "Memalukan.
Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan
daripada kebijaksanaan?"
Nasrudin balik bertanya, "Kalau
pilihan Anda sendiri?"
Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya
memilih kebijaksanaan."
Dan Nasrudin menutup, "Terbukti,
semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya." (Nasruddin
Hoja)
Sesudah bertahun-tahun bekerja, seorang
perintis ilmu menemukan seni membuat api. Ia membawa alat-alatnya menuju ke
daerah utara yang penuh salju dan mengajar kepada suku di sana seni membuat api
itu-dan keuntungan-keuntungannya. Orang menjadi begitu senang akan hal baru
ini, hingga mereka tidak berpikir untuk berterimakasih kepada si penemu, yang pada
suatu hari dengan diam-diam pergi.
Karena ia itu salah satu orang istimewa
yang memiliki kebesaran, maka ia tidak punya keinginan diperingati atau dihormati.
Yang dicari melulu kepuasan karena tahu bahwa ada orang yang diuntungkan oleh
penemuannya.
Suku kedua yang dikunjunginya, sama
besar keinginannya untuk belajar seperti suku yang pertama. Tetapi imam-imam
setempat karena iri hati terhadap orang baru yang menguasai umat, telah
membunuh dia. Untuk menyingkirkan semua dugaan tentang kejahatan itu, mereka membuat
gambar Sang Penemu Agung, yang di pasang pada altar besar di dalam kuil, dan ditetapkan
suatu upacara, hingga namanya akan dihormati dan kenangannya tetap hidup. Perhatian
besar dicurahkan, agar tidak satu peraturan upacara pun akan diubah atau
dilewatkan. Alat untuk membuat api disimpan dalam peti dan dikatakan member kesembuhan
kepada semua yang menyentuhnya dengan penuh kepercayaan.
Imam Agung sendiri mengambil tugas untuk
menyusun sebuah buku tentang riwayat Hidup Sang Penemu. Dalam buku suci ini kelembutannya
yang penuh cinta disajikan sebagai teladan untuk ditiru oleh semua,
perbuatan-perbuatan agungnya dipuji, kodratnya yang melebihi manusia dijadikan
syahadat iman. Para imam menjaga, agar Buku suci diwariskan kepada generasi
mendatang, sedang dengan kuasa ditafsirkan arti kata-kata dan makna hidup dan
perbuatannya yang suci. Dan tanpa ampun mereka menghukum mati atau mengucilkan
orang yang menyimpang dari ajaran mereka. Terpancang pada tugas-tugas agama
tadi, rakyat pun lupa sama sekali akan seni membuat api. (Anthony De Mello)
Kesadaran moral manusia bukanlah sebuah
lampu mercusuar yang kuat, yang memancar keluar dan menerangi dengan teramat
jelas apa pun yang dilaluinya. Kesadaran moral manusia lebih merupakan sebuah
nyala lilin mungil yang melemparkan dan membentangkan bayang-bayang samar dan
banyak, yang mendesis dan berkelap-kelip di tengah angin kencang kekuasaan dan
ambisi, keserakahan dan ideologi. Tetapi, bila ditarik dekat ke hati dan
ditempatkan ke dalam sepasang telapak tangan, kesadaran moral manusia akan
menghalau kegelapan dan menghangatkan jiwa. (James Wilson)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar