Ketika galaksi kita mulai
memadat dari proses pemuaian jagat raya, kurang lebih sepuluh sampai dua-puluh
milyar tahun lalu, sebagian besar generasi pertama bintang-bintang masih
terbuat dari hidrogen dan helium, yang merupakan satu-satunya elemen yang
terjadi dalam jumlah besar selama proses “Dentuman Akbar”.
Proses fusi di dalam
bintang-bintang ini terus mengubah hidrogen menjadi helium. Ketika persediaan
hidrogen habis, helium mulai “terbakar” untuk membentuk elemen yang lebih
berat. Reaksi penyatuan ini akan terus berlangsung untuk memberi tenaga kepada
bintang sampai seluruh inti berubah menjadi besi.
Besi tidak dapat melewati
proses fusi untuk membentuk elemen yang lebih berat, sehingga habislah
bahan-bakar bintang tersebut. Kecepatan bintang membakar persediaan nuklir
tergantung kandungan massa. Setelah lima milyar tahun membakar hidrogen,
matahari kita belum sampai separuh jalan fase pertama proses evolusi bintang.
Bintang-bintang bermassa
sepuluh kali lipat Matahari, sepuluh kali seberat matahari, membakar bahan
bakar seribu kali kecepatan Matahari. Bintang-bintang itu akan menghabiskan
persediaan hidrogen kurang dari seratus juta tahun, tidak seperti Matahari yang
membutuhkan sepuluh milyar tahun.
Apa yang terjadi dengan
bintang-bintang ini jika kehabisan persediaan nuklir? Dalam tempo beberapa
detik setelah bahan bakar nuklir habis, bagian luar bintang akan meledak dalam
proses yang dikenal sebagai Supernova –salah satu kembang api yang paling
spektakuler di jagat-raya. Supernova sejenak bersinar seperti gabungan milyaran
bintang.
Pada saat sekarang, hal
ini terjadi di galaksi pada kecepatan sekitar dua atau tiga kali seabad. Hampir
seribu tahun yang lalu, astronom Cina mengamati bintang baru yang muncul di
sianghari. Mereka namakan bintang itu “bintang tamu”.
Supernova menghasilkan
sesuatu yang sekarang bisa kita amati lewat teleskop –bernama Crab Nebula
(kelihatan seperti awan yang mirip bentuk kepiting). Sungguh menarik mengetahui
bahwa obyek yang berumur singkat ini tidak tercatat di daerah mana pun di Eropa
Barat.
Dogma gereja masa itu
mengatakan bahwa surga bersifat abadi dan tidak pernah berubah. Oleh karena itu
lebih enak membisu ketimbang dibakar sampai mati (di-inkuisisi seperti ribuan
orang yang dituduh sebagai tukang sihir). Hampir lima ratus tahun kemudian,
astronom Eropa memberontak, dan seorang astronom Denmark bernama Tycho Brahe,
berhasil merekam Supernova berikutnya di galaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar