Oleh Muhsin Pur
Muhammad. Penerjemah: Nasir Dimyati (Dewan Penerjemah Situs Sadeqin)
Pada umumnya, ketika
penulis-penulis Barat menulis tentang teologi Islam, mereka hanya menyoroti
teologi Ahli Sunnah dan jarang sekali mereka mempedulikan pendapat-pendapat
para teolog Syi’ah, contohnya H. A. Wolfson di dalam buku tebalnya yang
berjudul The Philosophy of The Kalam menyebutkan nama-nama sosok yang
tidak terkenal di dalam sejarah teologi Islam, kebanyakan isi bukunya
berdasarkan akidah dan pemikiran Ibnu Hazm, Ibnu Khaldun, Abu Hasan Asy’ari,
Syahrestani, Baqelani, Baghdadi, Taftazani dan ulama Ahli Sunnah yang lain,
sementara dari kalangan ulama dan teolog Syi’ah dia sama sekali tidak menyebut
nama mereka, bagaimana mungkin dibayangkan dia mengenal pemikiran Baqelani tapi
dia sama sekali asing dari pemikiran Syekh Mufid yang setempo dengan Baqelani.
Memang benar Wolfson tidak menyatakan bahwa kajian-kajian Islam hanya berdasarkan akidah Ahli Sunnah tapi secara praktis dia menyatakan hal tersebut, sebagian dari teolog-teolog kontemporer menyatakan hal itu secara tegas, contohnya W. M. Watt di dalam pengantar atas buku Islam & Christianity Today P.X III mengatakan: Di bidang agama Islam, kita akan berurusan dengan aliran terbesar Islam yaitu Ahli Sunnah. Contoh lainnya, L. Gisler dan Abdul Saleeb di dalam buku Answering Islam menyamakan Islam dengan akidah Jabrnya Asy’ari yang menurut mereka berseberangan dengan proses kesempurnaan, dan pada konsekuensinya mereka juga menolak Islam. Ada kemungkinan faktor penulis-penulis Barat tidak menyebut ulama Syi’ah dan menyinggung pendapat mereka adalah pengikut Ahli Sunnah mayoritas umat Islam, dan lebih penting lagi dari faktor itu adalah banyaknya jumlah literatur Ahli Sunnah dan minimnya literatur Syi’ah yang tersisa dari abad-abad permulaan Islam, tapi walau demikian sangat disayangkan sekali mereka sama sekali tidak memanfaatkan literatur Syi’ah yang masih tersisa. Perselisihan umat Islam [1] dapat diselidiki dengan dua cara; historis dan teologis. Kendati dua kajian ini tidak bisa dipisahkan secara total antara satu dengan yang lain, akan tetapi masing-masing bisa memiliki pembahasan tersendiri. Dan apa yang menjadi konsentrasi tulisan ini adalah penyelidikan yang pertama.
Penyelidikan historis perselisihan umat Islam harus dimulai dari masa hidupnya Rasulullah saw., apakah pada masa itu telah terjadi perselisihan dan perpecahan umat Islam atau tidak? Sudah barang tentu keberadaan Rasulullah saw. sendiri merupakan cermin seluruh wajah Islam dan berselisih dengan beliau berarti berselisih dengan Allah swt., sebaliknya patuh kepada beliau berarti patuh kepada Allah swt. [2] Maka dari itu, perselisihan terhadap Rasulullah saw. merupakan arus cabang dan penyimpangan, konsekuensinya komunitas yang mengikuti arus itu tidak mungkin terbilang sebagai meyoritas umat Islam.
Apakah semua sahabat Nabi Muhammad saw. sepenuhnya mematuhi perintah dan larangan beliau sebagaimana dikehendaki oleh Allah swt.? Jelas bahwa mereka semua tidak sedang berada pada satu tingkat keimanan. Sayangnya, di samping sahabat yang sama sekali tidak keberatan untuk mengorbankan segala sesuatunya di jalan Islam, ada juga sahabat Nabi saw. yang menentang dan membantah perintah serta larangan beliau karena menuruti hawa nafsu mereka, tetapi dalam hal ini para penulis buku tentang bangsa-bangsa dan aliran-aliran umumnya mereka menyatakan semua sahabat Nabi saw. adalah adil dan melemparkan semua perselisihan itu ke kalangan orang-orang yang kafir dan munafik, [3] tapi pada kenyataannya di beberapa kasus ada juga orang-orang yang menentang Nabi saw. dan tidak mengindahkan perintah beliau. Meskipun pada masa hidup beliau mereka tidak mendirikan aliran tertentu akan tetapi mereka sudah menyiapkan latar belakang perpecahan umat Islam pasca wafatnya beliau. Oleh karena itu, pembahasan ini bisa dikaji dengan dua tema yang berbeda; latar belakang munculnya aliran-aliran Islam, dan faktor-faktor munculnya aliran-aliran Islam.
A. LATAR BELAKANG
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN ISLAM
1. Penentangan
terhadap Perdamaian Hudaibiyah
Perdamaian Hudaibiyah
terjadi pada tahun Enam Hijriah. Singkat cerita bahwa pada suatu malam
Rasulullah saw. bermimpi, beliau beserta para sahabatnya pergi ke Mekkah dan
menunaikan ibadah umrah. Pada keesokan harinya, beliau menceritakan mimpi itu
kepada para sahabat seraya mengungkapkan ta’bir mimpi tersebut, beliau
bersabda: Insyaallah kita akan pergi ke Mekkah dan menunaikan ibadah umrah. [4]
Pada tahun itu juga, beliau rindu sekali untuk berziarah ke rumah Allah, maka
beliau beserta para sahabatnya bergerak menuju Mekkah. Dan ketika mereka sampai
di Hudaibiyah, nama sebuah sumur di dekat Mekkah, kehadiran mereka diketahui
oleh orang-orang kafir Quraisy, segera mereka menyiapkan peralatan dan
kebutuhan perang melawan muslimin dan mencegah kedatangan mereka ke Mekkah. Dan
mengingat bahwa Rasulullah saw. pergi ke Mekkah dengan niat berziarah dan sama
sekali tidak bermaksud untuk perang maka beliau menulis dan menyetujui surat
perdamaian dengan kafir Quraisy, apalagi di dalam perdamaian itu ada banyak
maslahat bagi umat Islam.
Berhubung pada waktu
Rasulullah saw. menceritakan mimpi tersebut beliau tidak menentukan waktu
masuknya mereka ke Mekkah, maka ketika perdamaian Hudaibiyah ada sebagian
sahabat yang berunjuk rasa dan protes. Ibnu Hisyam di dalam kitab al-Siroh
al-Nabawiyah melaporkan: Ketika kondisi sudah tenang dan hanya tersisa penulisan
surat perdamaian, Umar bin Khattab segera menghampiri Abu Bakar dan berkata
kepadanya: Bukankah dia adalah utusan Allah? Abu Bakar menjawab: Tentu. Umar
kembali bertanya: Bukankah kita beragama Islam? Abu Bakar menjawab: Tentu. Lalu
Umar mengungkapkan protesnya: Kalau begitu, kenapa kita menyerah pada kehinaan
padahal berada di jalan agama Islam?. Sebenarnya Umar dengan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan itu ingin mengajak Abu Bakar bersamanya, lalu dia
mendatangi Rasulullah saw. dan mengulangi pertanyaan-pertanyaan tadi untuk di
hadapan beliau. Beliau bersabda: Aku adalah utusan Allah, dan apa yang
kuungkapkan pasti akan terjadi. [5] Pada saat itu pula malaikat
Jibril turun dan menyampaikan wahyu Allah swt.:
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ
الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاء اللَّهُ آمِنِينَ
مُحَلِّقِينَ رُؤُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ
تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا / الفتح: 27
Artinya: “Sungguh
Allah membuktikan kebenaran mimpi kepada Rasul-Nya bahwa sungguh kalian akan
memasuki Majidil Haram dengan kehendak-Nya dalam keadaan aman, mencukur kepala,
dan menggunting rambut, serta tidak merasa ketakutan. Dan Dia mengetahui apa
yang kalian tidak ketahui dan sebelum itu Dia tetapkan suatu kemenangan yang
dekat”. (QS. 48: 27).
2. Usaha untuk
Menghalangi Pidato Rasulullah saw. di Haji Wada’
Rasulullah saw. sejak
awal misinya[6] sampai saat-saat akhir hayatnya[7] telah
berulang kali dan di berbagai kesempatan[8] menegaskan posisi Ali
bin Abi Thalib as. sebagai pengganti beliau setelah beliau meninggal dunia,
tapi tidak jarang ketika beliau sedang menyampaikan suksesi kepemimpinan itu
dihadapkan kepada oknum-oknum yang tidak memiliki jiwa patuh kepada beliau dan
Islam, di antara kasus-kasus itu telah diriwayatkan oleh banyak sekali
periwayat bahwa Rasulullah saw. di sela-sela pidatonya di Mina, atau menurut
sebagian periwayat di Arafah, [9] ketika beliau hendak
memperkenalkan pemimpin-pemimpin yang berhak menggantikannya kepada masyarakat
maka ada sekelompok orang yang membuat suasana menjadi gaduh dengan
teriakan-teriakan mereka agar sabda beliau tidak sampai ke telinga masyarakat yang
hadir di sana. Ahmad bin Hanbal di dalam kitab Musnadnya dan Abu Dawud di dalam
kitab al-Shahihnya menukil riwayat dari Jabir bin Samrah yang mengatakan:
Rasulullah saw. bersabda: “Agama ini –yakni Islam– akan senantiasa mulia sampai
dengan dua belas khalifah”, ketika itu juga ada sekelompok orang yang berteriak
dengan suara takbir dan membuat suasana menjadi gaduh sehingga suara Rasulullah
saw. menjadi lirih tak terdengar. [10] Di riwayat yang lain
periwayat mengatakan: Mereka bukan saja berteriak melainkan mereka membuat
suasana menjadi kacau balau dengan duduk dan berdiri yang terus mereka ulangi. [11]
Menurut laporan buku induk hadis Shahih Muslim dan Musnad Ahmad bin Hanbal serta yang lain, periwayat mengatakan bahwa sekelompok orang pada waktu itu membuat suasana jadi sangat gaduh dan bising sehingga nyaris membuat telingaku menjadi tuli!. [12] Ada satu poin penting di sini yang jangan sampai dilewatkan begitu saja, yaitu ungkapan an-nas atau sekelompok orang di dalam riwayat-riwayat ini, dan sangat mungkin jika orang-orang itu pula yang kemudian di Ghodir Khum berusaha menghalang-halangi suara sabda Rasulullah saw. untuk sampai ke telinga hadirin dan pada akhirnya mukjizat Allah swt. membungkam telinga dan melumpuhkan usaha mereka tersebut lalu berfirman kepada beliau:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا
أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ / المائدة: 67
Artinya: “Hai Rasul,
sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan maka –sama dengan– kamu tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah
menjagamu dari –bahaya– manusia”. (QS. 5: 67).
Orang-orang itulah
yang kemudian di saat-saat terakhir hayat Rasulullah saw. membantah permintaan
beliau untuk mengambilkan pena dan tinta agar beliau tuliskan wasiat penting
sebelum meninggal.
3. Berpaling dari
Pasukan Usamah.
Arus pembangkangan
terhadap Rasulullah saw. semakin serius dan sering terjadi pada akhir hayat
beliau. Di hari-hari menjelang kematian, Rasulullah saw. memerintahkan Usamah
bin Zaid “Bentuklah pasukan besar lalu bergeraklah menuju Mu’tah, tempat
terbunuhnya bapakmu” [13]. Praktis, Rasulullah saw. telah mengangkat
Usamah sebagai panglima perang, dan saat itu beliau sangat menekankan kepada
Usamah dan bala tentaranya agar segera keluar dari kota Madinah, bahkan beliau
juga menekankan kepada orang-orang tua seperti Abu Bakar dan Umar untuk
mematuhi perintah panglima perang muda yang bernama Usamah. [14]
Akan tetapi pada kenyataannya ada sekelompok sahabat beliau yang membangkang
perintah beliau dengan alasan Usamah masih terlalu muda untuk menjadi panglima
kita. Dan ketika berita pembangkangan itu sampai ke telinga Rasulullah saw.,
beliau marah sekali dan walaupun dalam keadaan sakit beliau segera keluar dari
rumah dan naik ke atas mimbar seraya bersabda kepada komplotan pembangkang itu:
“Telah sampai kepadaku berita pembangkangan kalian terhadap Usamah, dan betapa
buruknya pembangkangan itu? Dulu kalian pula orang-orang yang iri terhadap
kepanglimaan bapak Usamah dan kalian cemooh dia. Demi Allah, pada waktu itu dia
(Zaid bapak Usamah) lebih layak menjadi panglima perang daripada kalian, dan
dalam hal ini putranya yang bernama Usamah juga lebih layak daripada kalian”. [15]
Setelah itu, beliau berulang kali bersabda: “Jahhizu jaysya Usamah”;
Lengkapilah pasukan Usamah. Bahkan dalam jarak satu farsakh dari Madinah, orang
yang ditugaskan oleh Rasulullah saw. sebagai pengumandang perang mengumumkan
bahwa jangan sampai ada seorangpun dari pasukan Usamah yang membantah perintah
dia sebagai panglima perang. Namun demikian, tetap saja ada sekelompok orang
yang tidak mematuhi perintah Rasulullah saw. dan sebaliknya mereka berpaling
dari pasukan Usamah serta pulang ke Madinah.
Gelombang pembangkangan terhadap perintah-perintah Rasulullah saw. ini muncul dalam berbagai kasus dan dengan bentuk yang berbeda-beda, lalu secara bertahap pembangkangan itu juga disertai dengan permainan-permainan politik yang tajam.
4. Fenomena Hari
Kamis
Salah satu fenomena
penting sejarah Islam yang secara serempak dicatat baik oleh literatur Syi’ah
maupun Ahli Sunnah adalah fenomena yang terkenal dengan sebutan Hari Kamis.
Setelah Rasulullah saw. pulang dari Haji Wada’, selama berhari-hari beliau
hanya bisa berbaring sakit di atas ranjang, dan tepatnya pada hari kamis,
ketika banyak sekali sahabat yang berkumpul di sekeliling beliau, beliau
bersabda: “Ituni bil kitfi wad dawati aktubu lakum kitaban lan tadhillu ba’dahu
abada”; Ambilkan aku papan dan pena, karena aku ingin menuliskan sebuah wasiat
penting untuk kalian yang setelah itu kalian tidak akan tersesat dari jalan yang
benar selama-lamanya. Pada saat itu pula secara lancang Umar berkata: Orang ini
sedang dirundung oleh rasa sakit yang parah sehingga dia selalu mengigau,
sekarang pun dia sedang mengigau, al-Qur’an bagi kita sudah cukup –dan tidak
perlu lagi pada wasiat tertulis atau yang lain–. Sebagian orang yang hadir saat
itu mendukung kata-kata Umar dan sebagian yang lain mengatakan: Patuhilah apa
yang beliau perintahkan. Perselisihan antara mereka tidak bisa dihindarkan
lagi, suasana berubah menjadi gaduh dan memanas sehingga nyaris terjadi baku
hantam di antara mereka. Rasulullah saw. yang menyaksikan kejadian ini secara
langsung, bersabda: “Bangkitlah kalian dan pergilah dari sini, jangan kalian
bertengkar satu sama yang lain di sisiku”. [16]
Telah diriwayatkan dari
Sa’id bin Jubair bahwa dia mengatakan: Ibnu Abbas sering sekali menangis.
Kadang-kadang lama sekali menangis sampai tanah di bawah kakinya menjadi basah,
ketika itu dia selalu mengatakan: Hari Kamis, oh Hari Kamis. Aku bertanya
kepadanya: Apa gerangan Hari Kamis? Dia menjawab: Hari Kamis adalah hari ketika
mereka bertengkar satu sama yang lain di sisi Rasulullah saw., padahal sungguh
tidak pantas mereka bertingkah konyol seperti itu di sisi beliau. [17]
Begitu pula telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan: Petaka oh
petaka, semua malapetaka ini bermula dari saat mereka halangi Rasulullah saw.
untuk menulis surat wasiatnya. [18]
Soal penting apa yang
ingin ditulis oleh Rasulullah saw. pada situasi yang sensitif itu mudah sekali
untuk dimengerti dari pembangkangan Umar dan komplotannya, yaitu soal wilayah
dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., karena jelas pembangkangan
itu dilakukan oleh orang-orang itu juga, dan merekalah yang merasa ada bahaya,
sudah barang tentu penjelasan undang-undang universal atau hukum parsial
bukanlah bahaya yang mengancam mereka sehingga mereka terpaksa harus membuat
kerusuhan seperti itu dan menyakiti hati Rasulullah saw. di depan umum.
Anehnya, cerita papan dan pena ini juga terjadi pada saat-saat akhir kehidupan
Abu Bakar, dan walaupun pada saat itu Abu Bakar sedang dalam keadaan pingsan
dan belum sempat mengatakan apa-apa akan tetapi Usman tetap saja menulis wasiat
dari pihak Abu Bakar bahwa orang yang berhak menjadi khalifah setelah dia
adalah Umar. [19] Walau kondisi yang dialami oleh Abu Bakar lebih
parah dari kondisi Rasulullah saw. pada riwayat papan dan pena akan tetapi
ketika itu Umar sama sekali tidak mengatakan Abu Bakar sedang mengigau, jelas
hal itu karena target yang dia inginkan sedang tercapai.
Menurut
riwayat-riwayat mazhab Syiah Imamiyah dan sebagian riwayat mazhab Ahli Sunnah,
Rasulullah saw. meninggal dunia pada tanggal dua puluh delapan bulan Shafar
tahun sepuluh hijriah. Wafat beliau telah menyelimutkan kesedihan ke seluruh
penjuru Madinah, muslimin tidak pernah menyaksikan hari yang lebih menyedihkan
dari hari itu sehingga setiap kali ada hari yang penuh petaka dan musibah
setelah itu maka mereka perumpamakan dengan hari wafatnya Rasulullah saw.
Tepatnya ketika umat Islam sedang dirundung duka nestapa, dengan suara lantang
Umar bin Khattab berteriak: Celakalah kalian semua, Muhammad tidak mati
melainkan dia sedang menemui Tuhannya sebagaimana Isa putra Maryam ...
Barangsiapa yang mengatakan dia mati maka akan kupenggal kaki dan tangannya. [20]
Soal apa kepentingan Umar di balik permainan ini; apakah dia bermaksud untuk
membius urat syaraf massa sampai Abu Bakar, yang keluar keluar ke sekitar
Madinah, datang[21] dan bersama-sama dengannya merealisasikan
target-target yang sudah mereka rencanakan? Adalah tema yang layak untuk
didiskusikan.
Perselisihan-perselisihan
yang terjadi di antara sahabat khususnya pada akhir hayat Rasulullah saw. dan
penegasan beliau yang berulang-ulang mengenai hak Ali untuk menjadi khalifahnya
memberitahukan kepada kita bahwa pada masa hidup Rasulullah saw. minimal ada
dua kategori besar yang memiliki mental dan kecenderungan yang berseberangan;
satu di antaranya pasrah dan secara mutlak mematuhi sabda Rasulullah saw. serta
tidak pernah lesu untuk memperjuangkan tuntutan beliau, orang yang paling
terkemuka dari kategori sahabat ini adalah Ali bin Abi Thalib as., adapun yang
lain adalah sekelompok sahabat yang tanpa merasa ada beban dan secara
terang-terangan melakukan pembangkangan terhadap Rasulullah saw., mereka
tunjukkan pembangkangan itu di saat-saat terakhir hayat beliau dengan
perhitungan yang matang dan perencanaan yang teliti sehingga terjadilah
fenomena Saqifah. Pada saat itulah dua kelompok sahabat ini terpisah antara
satu sama yang lain. Dan meskipun banyak sekali ayat al-Qur’an tentang kelompok
munafik bahkan ada surat yang diberi nama al-Munafiqun namun setelah kejadian
Saqifah dan Abu Bakar telah menduduki posisi khilafah tidak ada perlawanan
terhadap kelompok munafik tersebut! Walaupun demikian kenyataannya, selama
Rasulullah saw. masih hidup umat Islam masih memiliki persatuan yang khas, tapi
perbedaan dan pembangkangan sebagian dari mereka di saat-saat akhir hayat
beliau telah melatarbelakangi perselisihan dan perpecahan yang lebih dalam
pasca kematian beliau.
B. FAKTOR-FAKTOR
MUNCULNYA ALIRAN-ALIRAN ISLAM
1. Cinta Kedudukan
yang Disertai dengan Fanatisme Kesukuan
Ketika Rasulullah
saw. wafat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as., Ibnu Abbas dan Bani Hasyim
menggelar upacara pemandian dan pemberian kafan atas jenazah beliau di dalam
rumah. Pada saat yang bersamaan, sekelompok orang dari kalangan Anshar
berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan melontarkan persoalan khilafah. Sahabat
Anshar tersusun dari dua suku besar Aus dan Khazraj, sebelum kedatangan Islam
dua suku ini selama bertahun-tahun senantiasa bersaing secara serius dan telah
berkali-kali terjadi perang serta pertumpahan darah di antara mereka, ketika
Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah mereka menyambut hangat kedatangan beliau
dan mereka masuk Islam, lalu beliau mendamaikan hubungan di antara mereka, dan
pada saat muslimin masih berjumlah sedikit dan terhitung lemah mereka telah
membela Islam dengan jiwa, raga dan harta, mereka telah menanggung berbagai
resiko dan kesulitan di jalan ini. Dalam pada itu, Rasulullah saw. di akhir
hayatnya berwasiat tentang nasib mereka. [22] Sahabat Anshar, telah
membunuh banyak sekali dari orang-orang kafir Mekkah dan negeri-negeri lainnya,
oleh karena itu mereka menyimpan kekhawatiran jangan sampai ada orang-orang
yang menjadi khalifah Nabi saw. lalu ingin membalas dendam darah-darah yang
telah mereka tumpahkan. Rasa takut terhadap musuh yang sama membuat suku Aus
dan Khazraj bergabung dan berkumpul di Saqifah serta bersepakat untuk menerima
kepemimpinan Sa’ad bin Ubadah. Secara sekilas, suku Aus menerima kepemimpinan
Sa’ad bin Ubadah yang pada waktu itu dia merupakan kepala suku Khazraj, tapi
pada kenyataannya mereka tidak percaya penuh dan masih menyimpan dugaan bahwa
jika khilafah ini jatuh ke tangan suku Khazraj maka mungkin sekali
kedengkian-kedengkian lama mereka menjadi hidup kembali. Lain dari rasa takut
dan kekhawatiran, masalah hasud atau iri juga dominan di antara mereka. Maka
dari itu, setelah kelompok sahabat Muhajirin memasuki kancah politik yang
sedang berkembang ini dan setelah dialog yang terjadi di antara mereka maka
suku Aus memisahkan diri dari suku Khazraj dan mengikuti Basyir bin Sa’ad untuk
berbaiat kepada Abu Bakar.
Di samping persaingan antar suku, di antara mereka juga ada persaingan antara individu. Oleh karena itu Basyir bin Sa’ad –misannya Sa’ad bin Ubadah– bergabung dengan Umar dan Abu Ubaidah bin Jarrah dalam berbaiat kepada Abu Bakar untuk melemahkan Sa’ad bin Ubadah, perbuatan dia ini merupakan pukulan telak yang mengenai tubuh sahabat Anshar sebagaimana hal itu telah diperingatkan secara langsung oleh Hubab bin Mundzir kepada Basyir bin Sa’ad. [23] Abu Bakar dalam kapasitasnya sebagai wakil kelompok sahabat Muhajirin menunjukkan penghormatannya terhadap sahabat Anshar, tapi secara tegas dia menyatakan bahwa khilafah merupakan hak yang tidak bisa diganggu-gugat bagi sahabat Muhajirin, di sela-sela perkataannya dia menyinggung bahwa situasi politik bangsa Arab tidak mengijinkan sahabat Anshar untuk memerintah masyarakat; alasannya adalah masyarakat mau tunduk dan hormat di hadapan Quraisy karena hubungan kekeluargaan mereka dengan Rasulullah saw. dan kedekatan mereka dengan seluruh kabilah Arab, sedangkan mereka tidak akan pernah mau dipimpin oleh kelompok Anshar. [24]
Metode argumentasi tiap-tiap kelompok tersebut menunjukkan bahwa mereka memandang posisi khilafah setelah Nabi saw. tidak lebih dari pemerintahan lahiriah dan kepemimpinan atas massa, padahal selain menduduki posisi kepemimpinan yang tertinggi beliau juga memiliki kedudukan-kedudukan lain yang harus juga dimiliki oleh pengganti setelahnya, di antaranya adalah kedudukan sebagai panutan dalam urusan-urusan agama dan kedudukan wilayah atas massa. Kedudukan-kedudukan ini tidak dimiliki baik oleh wakil kelompok sahabat Muhajirin maupun wakil kelompok sahabat Anshar. Bukankah semestinya mereka singkirkan tolok ukur seperti kesukuan dan bersandar kepada tolok ukur kedudukan-kedudukan yang dimiliki oleh Rasulullah saw. lalu memilih pemimpin dari sahabat beliau yang menguasai pokok-pokok agama dan cabangnya serta berada persis di bawah beliau jika dipandang dari segala sisinya.
Memang benar sahabat
Muhajirin adalah orang-orang pertama yang beriman kepada Rasulullah saw. dan
mereka juga memiliki hubungan kerabat dengan beliau, tapi semua ini tidak bisa
membuktikan posisi kepemimpinan adalah hak mereka. Lain dari itu, apa tidak ada
sahabat lagi di antara Muhajirin yang lebih dulu dalam beriman, lebih dekat
dalam hubungan kekeluargaan, dan lebih layak untuk menanggung jawab khilafah dan
tugas kepemimpinan ini daripada yang lain? Dengan demikian, kalaupun
standardisasi mereka yang dijadikan pedoman tetap saja hasilnya adalah Ali bin
Abi Thalib as. orang yang harus dipilih sebagai khalifah dan pemimpin setelah
Rasulullah saw. Kritikan yang sama juga mengenai sahabat Anshar; anggap saja
sepenuhnya benar bahwa Islam tersebar karena darah dan pengorbanan mereka, tapi
ini juga tidak membuktikan posisi kepemimpinan adalah hak mereka, dan kalaupun
pengorbanan yang dijadikan sebagai tolok ukur khilafah setelah Rasulullah saw.
maka tetap saja hasilnya adalah orang yang paling banyak berkorban untuk Islam!
Yaitu Ali.
2. Kejumudan
Intelektual dalam Memahami Syariat Islam
Abul Hasan Asy’ari
dan lain-lain[25] melaporkan bahwa ada berbagai persoalan yang
muncul dan berkembang pasca pencabangan pertama umat Islam yang menampilkan
fenomena Saqifah, tapi tidak sampai terjadi perpecahan yang mencolok. Periode
khilafah Abu Bakar dan Umar berlalu dengan tenang, namun di saat-saat akhir
khilafah Usman ada komplotan yang memberontak dia sehingga nyawa Usman pun
melayang. Soal apa motivasi di balik pemberontakan dan pembunuhan itu, terjadi
perbedaan pendapat.
Ketika Usman terbunuh, masyarakat berbondong-bondong menuju rumah Ali dan berbaiat kepadanya, tapi pada periode khilafah beliau ada tokoh-tokoh masyarakat muslim yang bertekad bulat untuk menentang, di antaranya adalah Talhah, Zubair dan Muawiyah yang memprakarsai Perang Jamal dan Peran Shiffin untuk menumbangkan pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Di Perang Shiffin, pendukung-pendukung Ali menunjukkan keksatriaan mereka dalam berperang dan setelah peperangan dahsyat yang mengabiskan waktu selama berbulan-bulan pasukan musuh terancam kekalahan yang pasti. Oleh karena itu, Amr bin Ash segera mencetuskan ide pengelabuhan dan mengusulkannya kepada Muawiyah, Muawiyah pun langsung menerima dan mengeluarkan perintah agar ide itu segera dilaksanakan, maka mereka serempak mengangkat al-Qur’an di atas tombak dan menuntut agar al-Qur’an dijadikan sebagai hakim yang memutuskan kebenaran di antara dua kubu yang sedang bertikai ini. Ternyata tipu daya Muawiyah berdampak sangat luas dan berhasil menimbulkan perselisihan di dalam tubuh pasukan Amirul Mukminin Ali as.; ada sebagian dari pasukan beliau yang termakan oleh tipu muslihat ini dan mengharamkan perang melawan para pemberontak yang menginginkan pengadilan al-Qur’an serta menuntut agar perang segera dihentikan dan genjatan senjata. Adapun Ali dan sahabat-sahabatnya yang bijaksana bersikeras untuk melanjutkan peperangan dan mereka mengetahui persis bahwa permintaan musuh untuk dibuat pengadilan al-Qur’an adalah tipu daya mereka yang menyaksikan kekalahan sudah ada di depan mata. Amirul Mukminin Ali as. berkata kepada sahabat-sahabatnya yang membangkang: “Muawiyah dan Amr bin Ash sedang menipu kalian; celakalah kalian, ini adalah kalimat yang benar tapi digunakan untuk niat yang busuk. Beri aku kesempatan singkat untuk memutus akar-akar tiran”. Sebaliknya mereka menjawab: “Kalau engkau tidak menerima permintaan mereka berupa pengadilan al-Qur’an itu maka kami juga akan membunuhmu seperti Usman”. Mereka bukan saja tidak mau berperang, bahkan mereka mengancam: “Kalau engkau tidak menarik mundur Malik Asytar maka kami akan menyerahkanmu kepada musuh”. Oleh karena itu Amirul Mukminin Ali as. terpaksa menarik mundur Malik Asytar. Saat itu pula orang-orang yang termakan oleh tipu daya Muawiyah dan Amr bin Ash ini bersorak bahwa Ali telah menerima perdamaian. Dengan demikian mereka memaksa Ali as. untuk menerima perdamian sementara dan mereka juga menuntutnya untuk memilih satu orang sebagai delegasi hakim. Apa yang menjadi ketetapan pada waktu itu adalah masing-masing dari kubu yang bertikai harus kembali ke posisinya dan delegasi-delegasi hakim mereka bertemu di satu titik yang netral lalu mengajukan perselisihan ini kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. serta kemudian mengumumkan hasil jawaban yang mereka terima dari al-Qur’an dan sunnah. Dalam pada ini dibuatlah surat kesepakatan antara Amirul Mukminin Ali as. dan Muawiyah lalu ditandatangani oleh tokoh-tokoh dari dua kubu tersebut.
Tinta surat
kesepakatan masih belum kering, orang-orang yang tadi bersikeras menuntut agar
perang dihentikan berubah pikiran dan menganggap gencatan senjata serta
kesepakatan ini bertentangan dengan prinsip “Hukum hanya milik Allah” (QS.
Al-An’am: 57), maka dari itu mereka mengubah tuntutan menjadi pelanggaran atas
surat kesepakatan yang menurut mereka bertentangan dengan prinsip tersebut.
Setelah Amirul Mukminin Ali as. pulang ke Kufah, komplotan ini tidak sudi untuk
masuk ke pusat kekhalifahan Islam melainkan mereka memilih pusat baru yang
terletak di daerah Haura’. Mulai saat itu mereka mengganggu Ali as. dan
sahabat-sahabatnya serta menyebarkan slogan anti Ali, bahkan mereka juga membunuh
orang-orang yang tidak berdosa hanya karena mereka mendukung atau mencintai Ali
as.. Untuk beberapa saat Amirul Mukminin Ali as. masih mentolerir tingkah laku
mereka dan berusaha mengingatkan mereka dengan berbagai nasihat serta mengirim
berbagai pesan, tapi ternyata ketika beliau melihat mereka tetap bersikukuh
dalam kebatilan dan bertingkah semakin brutal maka terpaksa beliau menyikapi
mereka dengan kekuatan. Pada akhirnya terjadilah pertempuran sengit antara
pasukan Ali as. dengan kelompok pembangkang sekaligus penyamun itu di kawasan
yang bernama Nahrawan, perang ini terkadang disebut dengan Perang Khawarij.
Sebelum pertempuran dimulai, Amirul Mukminin Ali as. berkata kepada mereka: [26]
“Aku peringatkan kalian bahwa kalian akan terbunuh di samping sungai di kawasan
yang berlembah ini sementara di hadapan Tuhan kalian tidak mempunyai bukti
untuk menentangku. Dunia telah menghempaskan kalian kepada kesesatan dan takdir
telah mempersiapkan kalian untuk kematian. Sebelumnya aku larang kalian dari
kesepakatan pengadilan al-Qur’an –yang tidak lain merupakan tipu daya Muawiyah–
tapi kalian keras kepala dan membangkang sehingga aku pun terpaksa menuruti
tuntutan kalian. Wahai kelompok yang tidak menggunakan akal dan tidak pula
berpikir, sungguh aku tidak berbuat salah dan aku tidak ingin membayakan
kalian”.
Bagaimanapun juga,
sebab lahirnya kelompok Khawarij adalah tipu daya Amr bin Ash dan Muawiyah yang
disempurnakan oleh kebodohan serta kesalahpahaman sekelompok orang di kubu
Amirul Mukminin Ali as.
Catatan:
1. Tidak diragukan
lagi bahwa persatuan merupakan salah satu kebutuhan asasi umat Islam, namun
perlu diketahui juga bahwa persatuan dunia Islam bukan berarti aliran-aliran
Islam harus menutup mata dari prinsip-prinsip ideologis dan non ideologis
mereka demi persatuan Islami, atau dengan kata lain bukan berarti mereka harus
berpegang teguh kepada titik-titik kesamaan mereka saja dan membuang ciri khas
masing-masing demi persatuan; sebab, hal itu selain tidak logis juga tidak praktis
.... Bagaimanapun juga, pembelaan atas tesa “Persatuan Islami” tidak
mengharuskan siapapun agar tidak mengutarakan hakikat yang sebenarnya. Dan hal
yang semestinya tidak boleh terjadi adalah sikap-sikap yang membangkitkan
emosi, fanatisme dan kedengkian kelompok yang berbeda pendapat, sedangkan
kajian ilmiah berhubungan dengan akal dan logika, bukan dengan perasaan”.
(Murtada Mutahhari, Imomat wa Rahbari [Imamah dan Kepemimpinan], cetakan
keempat belas, Qom, Intisyarat Shadra, 1372, hal 17-20).
2. Allah swt. berfirman:
2. Allah swt. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً / النساء:
59
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan kepada pemimpin kekuasaan di antara kalian, maka jika kalian berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman terhadap Allah dan hari akhir, itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya”. (QS. 4: 59).
Dia juga berfirman:
وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلاَ
تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
/ الانفال: 46
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berselisih sehingga kalian menjadi lemah dan kekuatan kalian menjadi hilang, dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bersabar”. (QS. 8: 46).
3. Baghdadi mengatakan: Ketika Rasulullah saw. wafat, umat Islam masih berada di satu jalan baik dalam hal usuludin maupun furu’udin, kecuali orang-orang yang secara lahir menampakkan kesepakatan dan di dalam hati mereka menyembunyikan kemunafikan. (al-Farqu baina al-Firoq, hal. 35, Bairut). Dalam pada ini Syahrestani juga mempunyai ungkapan yang serupa di dalam kitab al-Milal wa al-Nihal, hal. 21.
4. Ibnu Abil Hadid, Syarhu Nahji al-Balaghoh, jilid 2, hal. 861.
5. Ibnu Hisyam, al-Siroh al-Nabawiyah, jili 3, hal. 331, Bairut; Ibnu Abil Hadid, Syarhu Nahji al-Balaghoh, jilid 2, hal. 861.
6. Pada awal penyampaian risalah, turun sebuah ayat "و انذر عشیرتک الاقربین" , maka Rasulullah saw. memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan undangan kepada empat puluh orang dari keluarga beliau, termasuk juga Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Abu Lahab berhasil membubarkan pertemuan yang pertama sementara beliau belum menyampaikan risahalnya. Terpaksa Rasulullah saw. mengundang mereka lagi di hari yang lain, dan setelah menyantap hidangan beliau mengajak mereka untuk masuk agama Islam seraya bersabda: Siapa yang berminat untuk menjadi saudara dan pembela [baca: menteri]ku sehingga aku tetapkan dia sebagai wasi dan khalifah setelahku nanti? Seuan ini berulang sampai tiga kali, dan di setiap kalinya hanya Ali bin Abi Thalib as. yang berdiri dan memberikan jawaban positif. Ketika itu maka Rasulullah saw. bersabda tentang Ali as.: Dia adalah saudara, wasi dan penggantiku, oleh karena itu dengarkan ucapan dia dan taatilah dia”. (Thabari, Tarikh Thobari, jilid 3, hal. 1171-1174).
7. Mengisyaratkan kepada Hadis Manzilat yang disabdakan oleh Rasulullah saw. kepada Ali bin Abi Thalib as.: “Wahai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, bedanya adalah tidak ada lagi nabi setelahku”. (Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jilid 2, hal. 278).
8. Kejadian hari kamis, kejadian tentang papan dan pena.
9. Diriwayatkan dari Jabin bin Samurah yang mengatakan: Rasulullah saw. berpidato kepada kita di Arafah, Maqdami menyebutkan di dalam hadisnya bahwa aku mendengar Rasulullah saw. berpidato di Mina dan berikut ini adalah leterlek hadis yang disebutka noleh Ibnu Rabi’, aku mendengar beliau menyabdakan: “Urusan –agama Islam– ini akan senantiasa mulai, menonjol, dan memiliki dua belas –imam-, seluruh dua belas imam itu adalah ...” ketika beliau sampai pada potongan kalimat ini, ada sekelompok orang yang membuat suasana menjadi gaduh dan bising sehingga aku tidak bisa mengerti apa sabda beliau setelah kata-kata “seluruh dua belas imam itu adalah”. (Ahmad bin Hambal, al-Musnad, Bairut, cetakan kedua, Bairut, Darul Fikr, 1414, jilid 7, hal. 428, hadis ke 20981).
10. Ahmad bin Hambal, Ibid, jilid 7, hal. 428, hadis ke20981; Muntakhob al-Atsar fi al-Imam al-Tsani Asyar, hal. 11, dinukil dari Shohih Abu Dawud, jilid 2, kitab al-Mahdi, hal. 11207, hadis yang disebutkan adalah: Rasulullah saw. bersabda: “Ahli agama ini [yakni Islam] senantiasa membelanya melawan siapa saja yang memusuhi mereka karena agama tersebut sampai dengan dua belas khalifah”, ketika sampai pada potongan sabda ini maka ada sekelompok orang yang membuat suasana menjadi gaduh dengan ulah duduk dan berdiri mereka, itulah sebabnya aku tidak bisa mengerti apa lanjutan sabda beliau”. Ibid, hal. 20, dinukil dari Syekh Thusi, Kitab al-Ghoibah; Ahmad bin Hambal, Ibid, jilid 7, hadis ke20993.
11. Ibid.
12. Shohih Muslim, cetakan keempat, Bairut, 1412 H., jilid 3, hal. 1453, kitab al-imaroh, hadis ke9; Ahmad bin Hambal, Ibid, jilid 7, hal. 435, hadis ke2120, dan hal. 428, hadis ke20980; periwayat hadis ini tidak terbatas kepada Jabir bin Samurah, melainkan juga diriwayatkan oleh Hisyam bin Yazid dan Hafshah binti Sirin melalui jalur Abul Aliyah dari Anas bin Malik. Anda bisa merujuk kepada kitab Muntakhob al-Atsar, menukil dari kitab Kifayah al-Atsar dan Hakim Nisyaburi di al-Mustadrok ‘ala al-Shohihain.
13. Ibnu Abil Hadid, Ibid, jilid 1, hal. 77 dan jilid 2, hal. 21.
14. Thabari, Ibid, cetakan Urupa [Eropa], jilid 2, hal. 445, dan jilid 4, hal. 1794.
15. Ibid. Jilid 4, hal. 1311-1313, dan jilid 2, hal. 431 cetakan Bairut.
16. Shohih Muslim, jilid 3, kitab al-washiyah, hal. 1259; Ibnu Atsir, ibid. Jilid 2, hal. 122; Thabari, ibid. Jilid 2, hal. 426; Bukhari, Shohih al-Bukhori, Bairut, 1987, bab mardho al-nabi, jilid 3; Ahmad bin Hambal, ibid. Jilid 3, hal. 246.
17. Shohih Muslim, jilid 3, kitab al-washiyah, hal. 1257.
18. Shohih Muslim, jilid 3, kitab al-washiyah, hal. 1259.
19. Ibnu Abil Hadid, ibid. Jilid 1, hal. 165.
20. Syahrestani, ibid. Jilid 1, hal. 36.
21. Thabari, ibid. Jilid 2, hal. 442; Ibnu Atsir, ibid. Hal. 219.
22. Ibnu Abil Hadid, ibid. Jilid 2, hal. 20.
23. Ibid. Jilid 6, hal. 10; "وَ الله مَا اضطَرَّکَ اِلَی هَذَا الاَمرِ اِلَّا الحَسَدُ لِابنِ عَمِّکَ" ; Thabari, ibid., jilid 3, hal. 109 dan jilid 2, hal. 446.
24. Ibid.
25. Untuk penjelasan lebih lanjut Anda bisa lihat buku Abu al-Hasan Asy’ari, Maqolat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushollin, hal. 10 dan Ibnu Abil Hadid, ibid. Jilid 2, hal. 212.
26. Ibid. Jilid 2, hal. 271.