“Bagi Amerika, sejak dulu
dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah
kebutuhan bahan-bakar. Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para
teroris, karena mereka lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme”
Dalam prakata alias
pengantar Knowledge of Language, Noam Chomsky bertanya bagaimana
bisa orang hanya sedikit tahu tentang struktur dan fungsi masyarakat mereka
sendiri, padahal begitu banyak fakta yang tersebar. Dia menyebut hal ini
sebagai “Masalah Orwell (Orwell’s Problem)” dan mendefinisikannya sebagai
“kemampuan sistem totalitarian untuk menanamkan pengaruhnya yang kemudian
diterimanya secara luas, meski tidak punya dasar sama sekali yang divariasikan
dengan hanya menyodorkan fakta gamblang tentang dunia di sekitar kita.”
Sementara itu George
Orwell adalah nama pena dari Eric Arthur Blair, yang lahir pada tahun 1903 di
Motohari, India, anak seorang Menteri Kolonial Inggris. Orwell menciptakan
suatu kerangka untuk menganalisa propaganda politik dan kontrol pikiran yang
kemudian menjadi bagian dari dongeng modern.
Sayangnya, para pembuat
propaganda barangkali lebih mendalami analisis Owell daripada mereka yang
menjadi target pencucian otak atau indoktrinasi. Buku Orwell yang berjudul Homage To Catalonia (1938) ditulis dari
pengalamannya sendiri ketika ia masih bergabung dengan kaum loyalis Spanyol dan
mengalami luka berat ketika terjadi perang saudara di Spanyol.
George Orwell sempat
menyaksikan hari-hari awal fasisme ketika diterapkan di Spanyol di bawah
pimpinan diktator Franco. Karakteristik Fasisme yang kemudian dikenal luas
meliputi: kontrol privat atas kekayaan dan sumber daya secara terpusat, kontrol
atas informasi, investasi besar-besaran di bidang peralatan tempur, penindasan
gerakan serikat buruh dan gerakan demokratis populer, agresi militer yang
memperluas wilayah, dan lain sebagainya.
Fasisme adalah hasil
pengembangan secara alamiah dari sistem monarki. Keturunan kaum aristokrat pada
zaman industrilah yang mengembangkannya ketika mereka menyadari bahwa dengan
memproduksi dan menjual alat-alat perang akan dapat diraup keuntungan yang luar
biasa besarnya.
Novel populer George
Orwell, 1984 (yang diterbitkan tahun 1949), melukiskan suatu dunia di mana ada
tiga superpower utama yang terus berusaha mempertahankan adanya perang, yang
secara periodik menggantikan musuh-musuhnya. Perang amat penting bagi negara,
untuk menjalankan roda perekonomian mereka dan struktur kontrolnya.
Banyak konsep dan
ekspressi dari buku 1984 (umpamanya, thought crime dan thought police) menjadi
pembicaraan kita sehari-hari. Kementerian kebenaran (MI-nistry of truth) adalah
tempat di mana Winston, pahlawan dalam buku 1984, bekerja “membersihkan”
laporan-laporan berita dan mengubah opini publik setiap hari demi kepentingan
penguasa. Newspeak adalah nama untuk bahasa yang digunakan pemerintah untuk
menyembunyikan apa yang dilakukannya. Menggunakan teknik-teknik semacam
penyederhanaan kata, eufemisme, penggambaran yang sengaja dikelirukan,
penyingkatan, pengaburan makna, dan pemutar-balikan arti.
Newspeak membuat bahasa
menjadi begitu tak bermakna sehingga tidak layak untuk dipakai berkomunikasi –
atau bahkan untuk memahami – aktivitas negara. “Tidakkah kau tahu bahwa tujuan
utama dari Newspeak adalah untuk memicikkan pikiran? Pada akhirnya kita tidak
akan pernah mampu melakukan Thoughtcrime karena tidak ada kata-kata untuk
mengekspressikanya…setiap tahun….tentang kesadaran (akan bertubuh)…semakin
kerdil…” dari 1984, George Owell.
Doublethink dan
doublespeak mengacu kepada pemakaiaan kata-kata untuk maksud sebaliknya. Suatu
taktik yang digunakan pemerintah untuk mengaburkan makna sebenarnya atas apa
yang mereka lakukan. Contoh, kata “Demi Perdamaian” akan mereka gunakan untuk
sebagai kata ganti invasi.
Esai Orwell yang ditulis
pada tahun 1946 “Politics and the English Language” adalah analisis yang bagus
mengenai bagaimana korupsi bahasa berkaitan dengan kontrol politik. Dalam
esainya yang menjelaskan bagaimana bahasa dapat di gunakan untuk memanipulasi
atau menyesatkan. “Pada saat ini, pidato dan tulisan politik sebagian besar
hanyalah mempertahankan sesuatu yang tidak dapat dipertahankan,” ujarnya,
terdengar seperti apa yang di katakan Noam Chomsky di kemudian hari.
“Daerah-daerah yang
tidak punya pertahanan di-bombardir lewat udara, penduduk terpaksa harus
mengungsi keluar kota, binatang ternak dibantai, rumah-rumah di bakar: inilah
yang di sebut perdamaiaan (ala kekuatan invasif dan imperialis seperti Amerika,
Israel, dan para sekutunya saat ini). Jutaan petani diusir dari perternakan mereka
sehingga mereka dengan susah-payah menyusuri jalan dengan bawaan ala kadarnya:
inilah yang disebut pemindahan penduduk atau pengaturan ulang daerah perbatasan
(pemetaan).”
Orang-orang dipenjara
selama bertahun-tahun tanpa menjalani proses pengadilan, atau ditembak dari
belakang atau dikirim ke kamp Arctic Kutub Utara agar mati kekurangan
gizi: inilah yang disebut pembersihan unsur-unsur yang lemah (alias
genosida atas nama demokrasi, padahal motifnya adalah sumber daya dan ekonomi,
semisal perebutan minyak).
Penyusunan kata-kata
seperti itu dibutuhkan bila seseorang ingin menyebut sesuatu tanpa menyertakan
gambaran mental dari hal tersebut. Contoh, pikirkan jika saja beberapa
professor Inggris yang mapan membela totalitarianisme Rusia. Dia tidak dapat mengatakan
secara utuh, kita akan yakin bahwa bila dengan membunuh lawan, kamu dapat
menggapai tujuanmu, maka kamu akan melakukannya. Maka dari itu, dia akan
berkata kira-kira seperti ini: “Manakala ada suara yang menyatakan bahwa rejim
Uni Soviet menunjukkan hal-hal tertentu yang cenderung disesalkan kaum
humanitarian, kita harus setuju bahwa adanya batasan-batasan tertentu atas hak
untuk melakukan penentangan politik takkan bisa dihindari seiring dengan masih
berlangsungnya periode transisi. Karenanya, kekerasan yang diderita oleh rakyat
Rusia cukup bisa dibenarkan dalam lingkup pencapaiaan konkrit”.
“Ketika ada kesenjangan
antara kenyataan yang dialami seseorang dengan tujuan seseorang yang dinyatakan
dengan sendirinya akan membutuhkan banyak kata untuk menjelaskan”.
Bagi Amerika, sejak dulu
dan hingga saat ini, tak ada fundamentalisme atau terorisme, yang ada adalah
kebutuhan bahan-bakar. Mereka (Amerika) memang tidak bernegosiasi dengan para
teroris, karena mereka lah yang membiayai dan menciptakan fron-fron terorisme.
Sulaiman Djaya,
dipublikasi di Harian Banten Raya,
29 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar