Tak ada salahnya kita
mulai sejarah epik tentang seorang pemuda bernama Qasim dalam perjalanan kelam
Islam ini dengan sebuah puisi singkat:
“Akulah
Qasim putra Hasan, cucu nabi terpilih
dan terpercaya”
Pemuda belia itu berada pada
barisan tiga ribu tentara,
berhari-hari kehausan, terkepung sendirian.
Lalu Ahmad bin Hasan bin Ali menyeruak
ke dalam barisan:
"Paman, adakah seteguk air bagiku?"
“Anakku, bersabarlah sejenak,
sebentar lagi engkau akan bertemu
dengan kakekmu
pelepas dahagamu”
Pemuda itu kembali memacu diri, seraya berkata :
“Akulah cucu Al-Mukhtar, putra Haidar”
Namun ia segera jatuh
Ribuan panah menghantam tubuh.
(Sulaiman
Djaya, Qasim di Karbala dalam Majalah Sastra Horison Edisi Juli-Agustus-September 2018 halaman 33).
Di
keganasan Nainawa di kawasan Sungai Eufrat itu, dan dalam kehausan yang menimpa
keluarga Muhammad saw, Imam Husain as bertanya kepada putra kakak-nya yang
masih remaja: “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?”
Di
antara ksatria-ksatria yang berjuang bersama Imam Husain ‘alayhis-salam yang
tetap dikenang namanya di sepanjang sejarah adalah putra dari Imam Hasan
Al-Mujtaba ‘alayhis-salam, yakni Qasim bin Hasan. Menurut banyak riwayat usia
Qasim bin Hasan ketika tragedi Karbala terjadi –belum genap dewasa. Sebagian
besar riwayat menyatakan bahwa Qasim bin Hasan ketika itu berusia tiga belas
tahun.
Qasim bin Hasan
yang gagah perkasa adalah cinderamata Islam dari ayah beliau –Imam Hasan al
Mujtaba as. Dia turut serta ke Padang Karbala bersama pamannya –Imam Husain as.
Pada hari Asyura –yakni Hari kesepuluh bulan Muharram tahun 61 Hijriah, Qasim
melihat para pemuda Bani Hasyim yang masih hidup membawa sisa-sisa tubuh Ali
Akbar dari medan perang ke perkemahan Imam Husain as dan menjaganya ke dekat
tenda-tenda mereka.
Saat itulah
Qasim bin Hasan kehilangan nafsunya akan kehidupan duniawi. Dia pun melihat
dengan jelas bahwa tragedi yang menimpa Ali Akbar telah mengubah raut wajah
Imam Husain as. Qasim bin Hasan pun tak sanggup lagi untuk berdiam diri.
Qasim bin Hasan
sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, Fatimah Azzahra as, dan Imam Ali bin Abi
Thalib as –mewarisi segala keberanian, kecerdasan, pemahaman, pemikiran dan
kemampuan dari Rasulullah SAW dan Imam Ali. Dia memutuskan untuk tidak lagi
peduli dengan kehidupan dunia dan memohon izin kepada pamannya ke medan perang
memerangi musuh-musuh laknat.
Imam Husain
sangat menyayangi Qasim bin Hasan –keponakan beliau yang telah yatim saat Imam
Hasan al Mujtaba syahid karena diracun Muawwiyah bin Abu Sufyan. Karenanya,
Imam Husain tak ingin melepaskan keponakan tersayangnya untuk maju ke medan
laga melawan ribuan pasukan musuh yang sadis dan keji. Namun karena Qasim bin
Hasan sangat teguh pendiriannya untuk berperang melawan pasukan zalim dan rela syahid
di medan perang, Imam Husain pun mengizinkannya.
Menyadari
detik-detik perpisahannya dengan putra kakaknya, Imam Husain memeluk kasih
seakan enggan untuk berpisah. Mereka berdua menangis dan seolah tak sanggup
menanggung beban perpisahan dan merelakannya menjadi korban manusia-manusia
laknat pendukung Yazid. Orang-orang pendukung Yazid adalah para pemuja berhala
harta dan nafsu duniawi. Mereka memilih mengkhianati keluarga Rasulullah SAW
untuk menjilat kerajaan Yazid bin Muawwiyah. Mereka lebih memilih hidup tanpa
moral, daripada mati terhormat menyongsong agama Muhammad SAW.
Setelah mendapat
izin dari pamannya untuk maju ke medan perang, Qasim segera melesat menerjang
lawan sambil memacu kudanya –dia bersyair, “Mungkin kalian tak mengenalku.
Akulah putra Hasan cucu Rasulullah SAW. Pamanku Husain dikepung bak tawanan.
Semoga beliau tak memberikan karunianya kepada kalian semua.”
Pasukan Yazid
sempat porak-poranda dihalaunya. Banyak musuh yang tumbang akibat tebasan
pedang Qasim bin Hasan. Hamid bin Muslim –yang ditunjuk Yazid sebagai pencatat
peristiwa-peristiwa peperangan Karbala berkata:
“Aku melihat
seorang anak remaja yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama. Dia
mengenakan pakaian dan celana serta sandal yang salah satu talinya terputus.
Anak muda itu berlari ke arahku. Jika aku tak salah, tali sandal sebelah
kirinyalah yang putus. Sa’ad Asdi berkata kepadaku, Biar aku serang dia. Aku
berkata, Kemenangan atas Tuhan. Apa yang engkau inginkan dengan melakukan itu?
Tinggalkan dia. Satu saja keluarga Husain mati, itu sudah cukup untuk dijadikan
alasan balas dendam kepadamu atas kematiannya. Tapi dia memaksa, Biarkan aku
menyerangnya. Maka dia menyerang anak muda itu dan tak kembali hingga
menghantam kepala anak muda itu dengan pedangnya dan membelahnya menjadi dua.
Sebelum terjatuh dari kudanya, anak itu berseru, oh pamanku.”
Melihat tragedi
meremukkan hati itu, Imam Husain secepat kilat menyambar bak elang, menyerang
bak singa garang dan menyabet Umar bin Sa’ad dengan pedang beliau. Umar bin
Sa’ad mencoba untuk menangkis sambaran pedang Imam Husain dengan tangannya
–tapi tangan Umar bin Sa’ad malah tertebas oleh pedang Imam Husain.
Lalu Imam
Husain, yang bak sang singa yang marah itu, membawa jasad-jasad Qasim ke
perkemahan dan membaringkannya di samping jenazah Ali Akbar dan para syuhada
lainnya. Kesetiaan dan pengorbanan Qasim telah membuka lembaran baru sejarah
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar