Abad-abad
gelap sejarah Islam jatuh dalam tirani dan berlumur darah. Orang-orang suci dan
saleh dibantai oleh para tiran yang haus kuasa. Agama diperjual-belikan dalam
hiruk-pikuk transaksi politik dan kekuasaan para dinasti-dinasti Arab yang
berpaham sukuisme. Klanisme yang picik. Pada masa-masa itu, Hussain bin Ali,
sang cucu Muhammad saw, sang Nabi Islam, bangkit untuk menyalakan kembali cahaya
yang padam.
“Bangkitlah! karena kegetiran padang kering kerontang
telah
tiba. Kisah ini adalah ungkapan hati
yang
pedih terbakar. Bangkitlah….
karena
pentas Nainawa telah digelar
Lembaran tahun Syamsiah dan
Qamariah
telah
menghampiri. Seruling duka telah mengalun
dan
Arasy menangis di semesta alam
yang
penuh cerita duka ini…………………….”
Kabar
dipenggalnya secara keji Imam Hussain di Karbala telah sampai ke Timur dan
Barat. Bersamaan dengan itu, kaum fasis dan kaum zalim serta kaum munafik yang
membajak Islam gembira dengan terbunuhnya sang cucu Muhammad Al-Mustafa itu,
tetapi kaum muslim dan kaum mukmin yang sejati berduka.
Adalah
Mukhtar At-Tsaqafi salah-satu mukmin yang hatinya terbakar dan berduka dengan
berita tersebut.
Sang
Nemesis (Sang Dewa yang menghukum kaum zalim) yang bernama Mukhtar At-Tsaqafi
yang terbakar karena berita terpenggal-nya Imam Hussain oleh pasukan Ubaidillah
bin Ziyad yang merupakan gubernur kesayangan Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan
di Bashrah dan Kufah itu, berjanji akan melakukan revolusi untuk melawan tirani
dan fasisme Yazid bin Muawwiyah yang terkutuk.
Ketika itu posisi Mukhtar At-Tsaqafi adalah tahanan Yazid bin Muawwiyah
bin Abu Sufyan yang terkutuk, sehingga tak ada yang bisa ia lakukan ketika
terjadi pembantaian Imam Hussain di Karbala.
Sesaat
beberapa lama kemudian akhirnya Mukhtar At-Tsaqafi berhasil dibebaskan atas
bantuan Abdullah bin Umar. Lantas setelah itu Mukhtar langsung bergegas
menyusun rencana revolusi dan perlawanan. Dalam salah satu taktik perang yang
digunakan Mukhtar, ia menyerukan sandi Ya Litsarat Al-Hussain untuk menyalakan
api revolusi dan perlawanan terhadap tirani dan fasisme Yazid bin Muawwiyah bin
Abu Sufyan yang membajak Islam, yaitu suatu tanda sudah disepakatinya untuk
melakukan revolusi, mirip ketika Muhammad Saaw dan minoritas muslim yang
diagressi dan diserang saat Perang Badar yang menggunakan sandi Ya Manshur
Ahmad, di mana dalam Perang Badar itu komandan-nya adalah Imam Ali bin Abi
Thalib.
Setelah
beberapa pertempuran dilewati dan dimenangi pasukannya, Mukhtar pun berhasil
meng-qishash Syimr bin Dzil Jausyan, orang yang telah memenggal kepala Imam
Hussain di Karbala. Dan tentu saja, ceritanya tak hanya sampai di sini, sebab
dari pihak lawan banyak di antara mereka yang tidak menyukai kebijakan politik
Mukhtar At-Tsaqafi yang egaliter dan melenyapkan politik rasialis yang dianut
Bani Umayyah dan para sekutunya.
Singkat
cerita dalam suatu perperangan akhirnya Mukhtar At-Tsaqafi terbunuh oleh
Mush’ab bin Zubair yang merupakan saudara dari Ibnu Zubair, orang yang
menyimpan dendam kesumat kepada keturunan Imam Ali bin Abi Thalib.
Setelah
berhasil membunuh Mukhtar At-Tsaqafi, Mush’ab bin Zubair memerintahkan untuk
menangkap Umrah bin Nu’man, istri Mukhtar At-Tsaqafi. Wanita ini adalah wanita
yang beriman, salehah, penuh tata-krama, mulia, dan keturunan terhormat.
Mush’ab
bin Zubair memintanya untuk mengingkari suaminya, tapi ia berkata, “Bagaimana
mungkin engkau menyuruhku untuk mengingkari seorang lelaki yang berkata bahwa
Tuhannya adalah Allah, berpuasa pada siang hari, bangun pada malam hari. Dia
telah memasrahkan hidupnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dia menuntut balas atas
kematian cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussain bin Ali”.
Mush’ab
berkata dengan nada mengancam, “Kalau begitu engkau akan menyusul suamimu”.
Wanita itu menjawab, “Gugur sebagai syahid adalah lebih mulia daripada dunia
dan seisinya”. Akhirnya Mush’ab bin Zubair memutuskan untuk membunuh Umrah
dengan cara dipengggal lehernya. Dialah wanita pertama sepanjang sejarah Islam
yang dipenggal lehernya karena kesabarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar