oleh Sulaiman Djaya (penyair)
Masa kanak adalah masa ketika aku akrab dengan
bahasa alam, bahasa yang kualami dan kuakrabi sebagai bagian dari kegembiraan
apa adanya. Bermain dengan para binatang seperti mencandai para jangkerik,
menculik mereka dari tanah-tanah di pematang-pematang sawah, atau mengejar para
belalang selepas hujan dan di kala gerimis masih bernyanyi, dan diantara mereka
yang menjadi binatang malam kesukaanku adalah Kunang-Kunang.
Bagiku Kunang-Kunang adalah
sebuah pertanda tentang kesunyian yang bahagia di kala malam, cahaya-cahaya
mungil yang memecah keheningan dan kegelapan, meski tak semua Kunang-Kunang
memiliki cahaya di tubuh mereka.
Sahabat-sahabat masa kanak dan
masa remajaku itu kini tak lagi kujumpai, sejak deru dan bising mesin menjadi
bagian dari kehidupan keseharian, dan cerobong-cerobong asap industry kertas
telah mengotori udara, dan mereka pun kini hanya tinggal ingatan dan kenangan
saja.
Namun ada masa-masa ketika aku
setia menanti kedatangan dan kehadiran mereka di kala magrib dan isya menjelma
menjadi keheningan yang kental. Aku berdiri di depan pintu dan mengarahkan
kedua mataku ke arah jalan yang berdempetan dengan sungai, yang seakan saling
menenggelamkan diri dalam kesunyian, dalam senyap kebisuan yang memanen
keakraban yang tak kupahami, di masa-masa ketika belum ada lampu-lampu bohlam
dan neon seperti sekarang.
Kadang aku memandangi mereka
dari pintu dapur, dan mereka kulihat berkerumun di atas pematang-pematang
sawah, di antara lalang dan pohon-pohon yang berselimutkan kegelapan, mengetam
keheningan sebagai tafakkur semesta: sebuah rahim puisi.
Aku selalu menyukai cara mereka
berpindah-pindah tempat di setiap malam, seakan ingin mempermainkanku yang memang
selalu bahagia dengan kehadiran mereka di saat malam, di saat aku merasa
kesepian sebagai bocah dan lelaki remaja yang tak memiliki penghiburan di
pedesaan.
Barangkali, pada saat itu,
mereka sedang mengajariku secara langsung untuk bersikap intim kepada apa yang
ada dan hadir di sekitar keberadaanku. Katakanlah sebuah tamsil untuk
direnungkan, tapi itu kesadaran yang baru kumengerti saat ini, bukan saat itu,
sebuah kesadaran post factum yang terpikirkan kemudian, setelah kenyataan dan
peristiwa hanya sekedar menjadi ingatan dan kenangan yang berusaha
direkonstruksi ulang menjadi sebuah fiksi.
Adakalanya mereka hadir selepas
hujan senja pergi ke balik malam, dan seolah-olah mereka ingin menerangi
hamparan kegelapan yang dingin dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka, yang
bagiku tampak berkelap-kelip seperti tebaran-tebaran bintang di angkasa nun
jauh di atas kepalaku yang gaib bila hujan telah usai mengguyur rumah, halaman,
dan pematang-pematang sawah, juga pohon-pohon dan lalang-lalang liar.
Mereka memberiku sensasi dan
pencerapan keindahan bagi kedua mataku dan bagi sepi, juga sunyi hatiku yang
acapkali dilanda rasa jenuh dan bosan yang hadir dan datang tanpa kuduga, bagi
seorang bocah dan remaja yang hidup di pedesaan yang tak memiliki banyak
aktivitas di waktu malam selain mengerjakan PR yang diberikan oleh guru-guruku
di sekolah.
Aku jenuh dan bosan bila hanya
bertemankan selampu minyak di meja belajarku, dan karena itulah aku akan
membuka pintu dan menanti kedatangan mereka.
Kadangkala aku berjalan keluar
ke dekat kebun, di dekat barisan tanaman Rosella yang ditanam dan dirawat ibuku
di belakang dan di samping rumah, atau ke halaman di depan rumah, tergantung di
mana ketika itu mereka berada dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka yang
mungil, lembut dan terang itu, agar aku dapat melihat mereka dari dekat.
Dan pernah suatu kali seekor
kunang-kunang mendekatiku, hinggap di pundakku, yang tak ayal lagi membuatku
menjadi bahagia dan merasa akrab dan intim karenanya. Kebahagiaan dan
kegembiraan yang hanya kumengerti ketika itu.
Aku kira keintiman dan
keakrabanku secara bathin dengan mereka memang tak lain sebuah ikhtiar untuk
memerangi kesepian dan kesunyianku sendiri sebagai seorang bocah dan lelaki
remaja di masa-masa itu. Aku intim dan akrab dengan mereka sebelum perangkat
tekhnologi informasi dan internet atau perangkat-perangkat gadget merebut
keintimanku pada alam dan kesekitaran keseharian yang polos dan bersahaja.
Aku tak hendak memberikan
penilaian atau tuduhan, hanya saja memang, relung-relung bathinku terasa bebal,
seperti kehilangan kepekaan dan keakraban yang tulus dan jujur sejak tak lagi
bercengkerama dan mengintimi mereka.
Mungkin kau akan menganggapku
berlebihan dan mengada-ada ketika aku mengatakan hal ini, tetapi tidak, karena
aku bicara apa adanya, sebagai seseorang yang bertahun-tahun hidup di pedesaan
yang sepi dan tak mengenal hingar-bingar kehidupan kota. Di masa-masa ketika
deru dan bising mesin belum menjadi keseharian kehidupan seperti sekarang ini.
Memang, aku tak hanya merasa
akrab dengan Kunang-Kunang, sebab di waktu pagi, siang, dan di kala senja, aku
juga acapkali mendapatkan rasa nyaman ketika memandangi kerumunan para Capung
yang menggetarkan sayap-sayap mereka dengan samar, namun keindahan
Kunang-Kunang karena mereka memiliki cahaya mungil yang terang di tubuh-tubuh
mereka, cahaya yang bagiku terlihat lembut dan puitik, yang seperti telah
kukatakan, mirip tebaran bintang-bintang di angkasa malam yang jauh, dan karena
itulah Kunang-Kunang adalah bintang-bintang yang hadir di Bumi, setidak-tidaknya
bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar