Sebagai akibat jatuhnya Soeharto pada tahun
1998, di Indonesia sebenarnya akan dilaksanakan pemilihan umum pertama sejak
tahun 1955. Saya memutuskan untuk pergi melihat keadaan. Pada tanggal 17 Mei
1999, di tengah hiruk-pikuknya kampanye, pesawat jumbo Garuda Indonesian
Airways mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Saat memasuki gerbang
kedatangan, saya dengar seseorang memanggil ‘Om Wim’, Sukmawati Soekarnoputri
(51) putri presiden Soekarno menjemputku. Saya merasa diistimewakan. Sejak
kunjungan terakhir saya kepada ayahnya pada tahun 1966, saya merasa diterima
dengan tangan terbuka oleh Indonesia. Apakah situasi sejak pengkhianatan
Suharto pada tahun 1965, akhirnya benar-benar sudah berubah?
Bagi pengamat luar, tampaknya seolah-olah
dengan perginya secara tergesa-gesa diktator militer itu kartu sudah benar-benar
terkocok. Dalam kenyataannya, Soeharto pada saat terakhir telah mengeluarkan
siasat terakhirnya dari dalam kotak sulapnya. Petinggi pemerintahannya yang
paling setia telah disumpahnya menjadi presiden. Dalam prakteknya, lewat B.J.
Habibie, dia telah menjamin keselamatan dirinya dan keselamatan anak-anaknya
yang korup itu. Dan, harta yang bermilyar yang telah dicurinya dari rakyat
tidak dapat dituntut dan dikembalikan selama Habibie masih bercokol di Istana
Merdeka. Sebetulnya, setelah tahun 1998 sama sekali belum ada yang berubah.
Setelah pemilihan umum akan terpilih
pemimpin-pemimpin baru yang akan menumpas habis pemerintahan diktatoris yang
telah bertahan selama 32 tahun itu. Lebih dari seratus juta manusia akan
memilih. Jarang harapan-harapan dipasang begitu tinggi, terutama oleh generasi
muda yang sebelumnya belum pernah mengalami pemilihan umum. Bagi kaum muda, ini
adalah masa karnaval. Media juga bergabung dalam suasana kemenangan ini, sebab
baru pertama kali ini ada kebebasan pers. Selama perjalanan dari bandara ke
‘Hotel Indonesia’ terjadilah percakapan pertama dari serentetan percakapan yang
akan terjalin dalam kurun waktu dua minggu berikutnya. Sukma mengherankan
reaksi saya yang negatif mengenai pemilihan dengan 48 partai peserta.
Saya bercerita kepadanya bahwa ayahnya, ketika
dia sendiri masih berusia 9 tahun, mencatatkan nama saya sebagai tambahan pada
daftar protokol istana, yang berarti saya pada tahun 1957 mengikutinya pada
perjalanan kepresidenannya ke seluruh nusantara. Pada bulan Agustus tahun itu
kami berada di kapal pemerintah ‘Djidajat’ bersama kapal pemburu torpedo ‘Gajah
Mada’ yang dibeli dari pemerintah Belanda, menuju ke Ambon, Ternate dan Tidore.
Di atas geladak kapal, kami duduk dalam satu
lingkaran dan mengobrol, ada duta besar Iran dan Uni-Sovyet, Profesor Guy
Panker dari Rand Corporation di California, seorang anggota think tank yang ada
hubungannya dengan CIA, Olga Chechotkina dari Pravda dan saya sendiri. Presiden
menguraikan bagaimana ia selangkah demi selangkah sejak kemerdekaan pada tahun
1945, harus bermanuver dengan sistem politik yang diimpor dari Barat, yang
telah mengakibatkan keadaan pasca perang di Italia di mana bisa terjadi tiap
tahun ganti kabinet atau ada suatu koalisi baru dengan rencana lain dan
tuntutan baru. Warisan kolonial antara lain terdiri dari pengambilalihan
penguasaan politik model Westminster yang terdiri dari 40 partai politik dengan
laki-laki dan perempuan yang saling mencurigai. Sampai tahun 1955 negara tetap
tidak dapat diperintah karena kekalutan politik, kataku kepada Sukmawati.
‘Sekarang Indonesia mau kembali ke situasi tanpa harapan dari tahun lima
puluhan, sedangkan lebih dari separuh periode pemerintahan ayahmu menunjukkan
warisan politik kolonial itu mencelakakan’.
Saya bercerita kepadanya, bagaimana ayahnya
pada tahun 1957 -- di atas geladak kapal ‘Djidajat’ itu -- menerangkan dengan
sangat jelas kepadaku bagaimana ia masih tetap tidak mampu memberi tuntunan
yang sangat dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang yang paling penting.
Dengan alasan itulah Bung Karno berusaha sekuat tenaga untuk kembali dari
demokrasi bahwa suara terbanyak selalu benar, ke bentuk pencapaian keputusan
Jawa autentik dengan usaha pencapaian konsensus demokratis.
Pada sekelompok orang asing di kapal tadi
Soekarno juga menjelaskan bagaimana bangsa Indonesia berabad-abad lamanya
berinteraksi, yakni dengan melaksanakan ‘musyawarah’ (mempertimbangkan dan
merundingkan) sampai tercapai ‘mufakat’ (kesatuan pendapat). Pada tahun 1964,
kepada Cindy Adams dalam biografinya Bung Karno berkata, ‘Selama beribu-ribu
tahun kepala-kepala desa memerintah dengan “duduk” bersama dan mempersilakan
masing-masing untuk berbicara dan mendengarkan’. Bung Karno memperolokkan sistem
Barat di mana sering satu suara amat menentukan yang menghasilkan 51 muka
berseri dan 49 muka asam. ‘Di kita tidak seorang pun seratus persen benar,
tetapi bersamaan dengan itu tidak seorangpun salah benar’, demikian penjelasan
kepala negara, ‘kami cenderung memilih suatu sistem yang sesuai dengan setiap
orang’.
Bagi saya, hari di bulan Agustus 1957 di atas
geladak ‘Djidajat’ itu menunjukkan dengan amat jelas, bahwa presiden mencari
suatu modus vivendi, di mana demokrasi konsensus dari Jawa itu bisa diaktifkan
kembali tanpa terlalu banyak mengasingkan Indonesia dari perkembangan
demokratis di negara-negara lain di dunia. Saya menandaskan kepadanya (Sukma)
bagaimana ayahnya selalu jauh mendahului masanya. Saya bercerita kepadanya
bagaimana Nelson Mandela pada tahun 1994, dalam bukunya Long Walk to Freedom)
meringkaskan dengan kata-kata yang hampir serupa, argumen yang sama.
Mandela mengisahkan bagaimana dia sebagai
Khosa muda, memperhatikan Chief Jonginktaba Dalinbyebo, yang sebagai bupati
suku Themby dikelilingi amaphakati (penasihat-penasihat terdekat) dan bagaimana
mereka berunding untuk memperoleh kompromi yang bisa diterima. ‘Dasar
pemerintahan sendiri adalah bahwa semua orang bebas mengemukakan pendapatnya
dan mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara’, tulisnya pada tahun
1994. ‘Rapat berlangsung terus sampai tercapai suatu konsensus... Demokrasi
berarti semua orang harus didengar dan keputusan harus diputuskan bersama
sebagai rakyat. Peraturan mayoritas adalah konsep asing. Minoritas tidak boleh
tertindas oleh mayoritas.’
‘Saya melihat ayahmu tidak hanya sebagai salah
satu pemimpin politik terpenting setelah 1945’, kataku kepada Sukma, ‘tetapi
juga sebagai pelopor para politisi, yang cepat atau lambat akan menyadari dunia
ini tidak selalu dapat dipertahankan oleh demokrasi hitam-putih ala Barat,
tetapi dengan merangkul demokrasi konsensus Asia-Afrika bisa mencapai tahun
tiga ribu. Opsi lima puluh tambah satu, yang dijunjung tinggi oleh Barat hanya
akan mengakibatkan serentetan konflik Kosovo yang tidak berkesudahan, itu pun
dalam hal yang paling menguntungkan’.
Sukmawati, yang berbeda dari Karina (32),
putri Soekarno dengan Ratna Sari Dewi yang berasal dari Jepang itu, adalah dua
orang anak presiden pertama Indonesia, yang tidak lelah-lelahnya bertanya
mengenai ayahnya, apa saja yang dipikirkannya dan apa yang menjadi tujuan
kepemimpinannya. Rasanya sudah tepatlah kedatangan saya di bumi Indonesia, pada
jam-jam pertama saya berada disini. Ketika makan siang di Hotel Indonesia,
percakapan kami lanjutkan. Pada tahun 1966, Hotel Indonesia adalah satu-satunya
hotel modern untuk tempat tinggal para turis di Jakarta, yang sekarang ini
kalah bersaing dengan Hotel Hyatt yang terletak di seberangnya, menjulang
tinggi dan amat mahal. Saya lebih senang tinggal di hotel yang menyimpan
berbagai kenangan manis bagiku’.
Dalam periode pasca pemilu pada tahun 1955,
Presiden Soekarno mengembangkan konsep ‘demokrasi terpimpin’ yang amat
dicemoohkan itu, suatu bentuk pemerintahan demokratis yang lebih otoriter yang
dapat menetralisir partaipartai yang saling bertikai dalam parlemen dan
selanjutnya ihwal dinas dapat ditarik lebih sentral sehingga dapat ditentukan
dari istana. Ini terjadi setelah mempertimbangkannya dengan beberapa partai
politik yang terbesar seperti Masyumi dan Nahdatul Ulama yang Islam, PNI
(Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Angkatan
Bersenjata telah beberapa lama merupakan negara dalam negara, dan di dalam
tubuhnya pun terjadi fraksi-fraksi yang dapat diklasifikasikan sebagai ‘kiri’
dan ‘kanan’. Tetapi selama Jenderal Yani menjadi komandannya dan Bung Karno
panglima yang tertinggi, Presiden amat berhasil dalam mengendalikan ‘kandang’
yang penuh berisi dengan berbagai jenis binatang politik ini.
Semula anggota orkes simfoni kenegaraan
Indonesia ini masing-masing memainkan alat yang berlainan dan bersamasama
mengeluarkan berbagai macam suara. Tetapi Bung Karno sebagai komponis dan
dirigen yang mahir, berhasil memperdengarkan melodi-melodi yang amat harmonis
dari komposisi-komposisi pribadinya. Pada tahun lima puluhan, Sukmawati masih
sekolah dan masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi secara politik
di negaranya. Ayahnya hampir tidak ada waktu untuk anak-anaknya, saya ingat,
bila presiden sarapan dengan tamu-tamunya -- di mana saya salah satunya -- di
teras belakang istana, anak-anaknya datang untuk memberi ciuman kepadanya bila
mobil untuk mengantarkan mereka sekolah sudah siap berangkat. Gadis kecil
berkepang dua pada masa lalu, sekarang ini menjadi teman bicara saya, telah
menjadi ibu dua orang putra dan seorang putri, saya mencoba menjelaskan
kepadanya berbagai persoalan negara yang terjadi waktu itu -- yang telah banyak
diketahuinya dari bacaan-bacaan -- lewat hal-hal yang saya alami.
Karina juga tidak mengerti mengapa Bung Karno
pernah dicap sebagai seorang komunis. Saya bercerita kepada kedua putrinya,
petaka itu sudah dimulai sejak tahun 1957, ketika Bernard Kalb dari New York
Times. Secepatnya ia memberitakan setelah ucapan pertama Soekarno mengenai
diperlukannya tangan yang lebih keras un tuk memimpin Indonesia dan ingin
membuat reportase-reportase lebih berarti dalam penyuguhannya kepada surat
kabar pagi Amerika yang paling terkemuka, dengan tuduhan bahwa pemimpin
Indonesia sedang berusaha untuk bergabung dengan blok komunis. Bekas pesuruh
ANP di Jakarta, Hans Martinot, tentu melakukan hal yang sama dan dongeng merah
mengenai Bung Karno mulai menjalani hidup sendiri. Pada sayap anti PKI dalam
tubuh tentara, isapan jempol macam ini amat mudah masuk. Semua cerita itu tidak
benar.
Washington tentu saja dengan antusias bergerak
mendengar cerita-cerita mengenai bertambahnya ancaman komunis di Indonesia,
yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Segera setelah itu pada tahun 1958, coup
CIA -- diri di Sumatera dan Maluku. Sejarah telah membuktikan, di mana pun di
dunia ini amatlah mudah menemukan perwira-perwira yang mau bekerja bagi
Washington, apalagi bila imbalannya berupa cek dalam jumlah dolar. Ditambah
lagi bila kita mengetahui mereka, dengan mengatakan bahaya ‘merah’ mengancam
maka tokoh-tokoh yang mencurigakan dengan tipu muslihat amat mudah dijerat dan
dipungut dengan upah dolar.
Sukma terheran-heran ketika saya bercerita
bahwa Duta Besar Amerika di Jakarta, John Allison, mengutuk perilaku Washington
di Indonesia pada tahun 1958, sebagai perbuatan kejahatan serta tidak dapat
menerima dan sebagai protes dia minta dipindahkan. Sebagai hukuman John Foster
Dulles mengirimnya ke Polandia, negara satelit Sovyet yang pada waktu itu
bukanlah merupakan pos diplomat yang menyenangkan untuk menjalankan tugas.
Tetapi putri Soekarno saya beri after thought
mengenai Kalb dan Martinot. ‘Coba perhatikan ke mana beberapa jurnalis akhirnya
terdampar’, kataku. ‘Bernard Kalb akhirnya muncul sebagai juru bicara
Departemen Luar Negeri, dibawah Menteri George Shultz, yang mencoba meluruskan
kesalahan Ronald Reagan, seperti pengeboman Lybia yang bertentangan dengan
Handvest PBB (Piagam PBB). Dan Tuan Martinot mengakhiri karier jurnalistiknya
sebagai kepala pers di Philips. Penulis pemburu uang makan selalu dapat
dijaring dengan uang dan di dunia jurnalistik amat banyak yang semacam mereka.
Jadi, Sukma, kamu lihat sendiri kan, ke mana kedua orang yang paling gencar
memfitnah ayahmu akhirnya mendapatkan tempatnya.
Kakaknya, Megawati Soekarnoputri memimpin
partai PDI-Perjuangan, pada tahun 1998 Sukmawati bergabung dengan Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) yang telah dibentuk kembali. Di partai inilah ayahmu
dulu bergabung dengan teman-teman politiknya. Inisiatif untuk mendirikannya
kembali diambil oleh Ny. Supeni (81), mantan duta besar keliling Presiden
Soekarno hanya setahun sebelum pelaksanaan pemilu sekarang ini. Sukmawati
melaporkan diri kepadanya dan sejak itu bekerja sama dengan mantan diplomat
wanita itu. Ny. Supeni, kami kunjungi sehari setelah kedatangan saya di
Jakarta. Kami saling mengenai sejak pertemuan kita yang pertama di ruang
lobbydiplomat di gedung PBB di New York pada tahun 1961. Secara rahasia Ny.
Supeni mengatakan kepada saya bahwa dia menunjukkan jalan dan membimbing Sukma agar
segera dapat mengganti mengambil alih pimpinan PNI dari padanya.
Sukmawati Soekarnoputri mengundang saya agar
pada 19 Mei 1999 ikut terbang dengannya ke Bengkulu di Sumatera, di mana dia
harus berbicara dalam beberapa rapat pemilu. Dalam pesawat “Merpati” percakapan
kita lanjutkan. Sukma kembali menanyakan alasan-alasan Bung Karno untuk
mengencangkan kendali pemerintahan agar sebagai nation builderdapat bertindak
lebih tegas. Apakah konsep demokrasi terpimpin tidak akan menyebabkan lebih
banyak orang akan memusuhinya?
“Sejak saat ayahmu sebagai pemuda dan
mahasiswa menjadi penggerak dan otak gerakan merdeka masa Hindia Belanda, dia
sudah mendapatkan musuh. Percayalah bahwa ia menyadarinya benar,” jawabku,
“Kamu tentu tahu mengenai salah satu pidatonya yang paling terkenal pada 1 Juni
1945, ia mengatakan kepada Cindy Adams bahwa selama enambelas tahun, sebagian
besar masa itu sebagai tahanan Belanda, dia telah memikirkan konsep Pancasila
sebagai dasar awal untuk negara Indonesia yang akan datang. Demokrasi negara
harus didasarkan pada nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, keadilan
sosial dan kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” Rezim Soeharto pun
dengan sendirinya mengambil alih konsep ini karena setiap orang Indonesia bisa
merasakan kecocokan dengannya’. Seperti yang dikatakan Soekarno kepada Cindy,
‘Saya tahu bahwa pembukaan undang-undang Amerika maupun manifest komunis tidak
cocok untuk negara saya’.
Tetapi, setelah dua peperangan dan terutama
karena tekanan Amerika, ketika Den Haag pada tahun 1949 menyerahkan
kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Soekarno, tidak sesuai dengan
keinginannya ia mewarisi politik Belanda yang tidak hanya terdiri dari berpuluh
partai, tetapi juga sejumlah orang Indonesia yang ingin membuat federasi dari
3)
rrill, New York. negara ini, sekalipun dengan gerakan pemisahan. Saya sering
mendengar ayahnya berbicara dalam berbagai rapat raksasa. Selalu yang
diulang-ulangi ialah ‘satu bangsa, satu negara’, satu rakyat, satu negara. Bung
Karno adalah Bapak dari negara kesatuan, seperti yang dikatakan dalam bahasa
Belanda: Cendracht maakt macht(Bersatu membuat kita kuat). Alasan mengapa
sekarang saya merasa prihatin melihat perkembangan akhir-akhir ini di negaramu
adalah, akibat politik perpecahan akhir-akhir ini, Indonesia sebagai negara
bisa bercerai-berai. Ini akan membuat kakakmu Megawati, menjadi seorang Michael
Gorbachev dari Indonesia memenangkan pemilihan umum dan terpanggil untuk
memimpin negara’. Sukma kaget mendengarnya. Saya menjelaskan, ‘Gorbachev
terpanggil untuk mengubah diktator komunis yang telah berlangsung
bertahun-tahun menjadi sistem multi partai model Barat. Ini pasti akan gagal,
karena Uni-Sovyet yang dulu, baik secara psikologis maupun secara politik jauh
dari siap untuk menerima perubahan seperti itu. Orang yang berpikir bahwa
setelah 32 tahun diktator militer bisa mengubah Indonesia menganut demokrasi
parlementer tanpa pertikaian, tidak belajar dari sejarah dan terutama lupa pada
apa yang menyebabkan Bung Karno meninggalkan model Barat, mayoritas selalu
benar dan selalu harus dibenarkan’.
Kami mendarat di Bengkulu, Sukma ditunggu
sejumlah penganut antusias dari PNI. Dia tampak cantik, langsing dan menarik
dalam pakaian tradisional sarung dan kebaya berwarna gelap dengan motif merah.
Sukma selalu berpakaian secara tradisional, kebalikan dari kakak-kakaknya
Megawati dan Rachmawati Soekarnoputri.
Kami mengunjungi benteng tua dan villa tempat
Bung Karno bertahun-tahun ditahan. Kecuali buku-buku yang dibacanya, lambat
laun akan hancur berantakan, masih ada sepeda tuanya yang boleh ditungganginya,
bila ia pulang pada waktunya. Kami juga mengunjungi rumah keluarga Fatmawati,
ibu dari Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.
Kembali di Jakarta kami mengadakan pertemuan
yang sangat mengesankan. Lewat teman-teman, saya menerima pesan, salah seorang
teman setia Soekarno yakni Marsekal Udara Omar Dani (75) ingin bertemu dengan
saya untuk berbincang-bincang. Militer berpangkat tertinggi dalam periode
Soekarno ini mendekam 29 tahun di penjara berkat Soeharto, baru mendapatkan
grasi dan dibebaskan pada tanggal 16 Agustus 1999. Sama sekali diluar dugaan
saya ketika melihatnya untuk pertemuan itu diundang pula Marsekal Udara Sri
Herlambang, Jenderal Angkatan Udara dan baru-baru ini ditunjuk menjadi duta
besar Indonesia untuk Kanada, B. Prawoto, sedangkan tuan rumahnya adalah Wisnu
Djajengminardo, Komandan Lanuma Halim pada waktu insubordinasi Soeharto awal
Oktober 1965.
Walaupun Sukma dan saya telah berbincang
selama beberapa jam pada siang itu, saya ingin mencatat puncak pembicaraannya
bagiku pribadi. Omar Dani bercerita, di penjara dia menerima eksemplar foto
kopian bukuku Mijn vriend Soekarno yang terbit pada tahun 1995 -- yang
diperlihatkannya pula kepada saya -- dan yang telah dibacanya dengan penuh
perhatian. ‘Anda adalah orang pertama yang telah menulis mengenai Bung Karno
dari luar dan dari dalam, bagaimana dia sebenarnya,’ begitu kata marsekal
Uitgevery Spektrum, Utrecht, 1995. Buku ini akan diterbitkan di Indonesia.
Di Belanda, ketika memoarku mengenai Soekarno
terbit, orang berlomba untuk menertawakannya. Bagiku sangatlah penting agar
putri Bung Karno mengetahui pendapat orang-orang penting senegaranya, yang rupanya
amat mengenal ayahnya dan menganggap sangat serius reportase saya. Pembicaraan
sore itu serta merta seputar kejadian-kejadian fatal dan sangat mengejutkan
pada tahun 1965 itu. Mereka yang hadir memberitahukan bahwa secara bersamasama
mereka telah menulis suatu buku mengenai tahun 1965 dan coup yang telah
dilakukan oleh para perwira sekitar Soeharto.
Selanjutnya yang tampak menonjol pada setiap
pembicaraan di Indonesia ialah, setiap kali nama Soekarno disebut orang segera
memasang telinga. Dan, bila selanjutnya kita bertemu dengan seseorang yang
mengenalnya secara pribadi, segala sesuatu mengenai dirinya ingin diketahui dan
pertanyaan bertubi-tubi dilancarkan. Dapat dimengerti, sebab generasi kedua
setelah meninggalnya Soekarno pada tahun 1970, lahir pada rezim Soeharto yang
selama bertahun-tahun berhasil menyebarkan kebohongan-kebohongan yang amat keji
dan tuduhan yang palsu mengenai dirinya.
Mengenai peranan CIA di Indonesia, barangkali
secara selentingan sudah kita dengar, tetapi kebanyakan orang sama sekali tidak
mengetahui bagaimana Amerika sebagai negara adikuasa setelah perang dunia kedua
telah berbuat onar ke seluruh pelosok dunia.
Dalam berbagai percakapan di media dunia pun
menonjol nama-nama seperti Watergate, Irangate, Monicagate dan sejumlah skandal
lain yang diketahui garis besarnya saja, tetapi bagaimana permainan mafia yang
dijalankan Washington itu sebenarnya terjadi, strategi mana yang kemudian
dijalankan setelah 1945, tidak pernah mendapat penjelasan. Toko-toko buku di
Jakarta, seperti juga di kota-kota lain, sama sekali tidak dapat menyediakan
apa-apa bagi pembaca di bidang ini. Perkembangan-perkembangan internasional
misalnya, terutama hanya diberitakan pada halaman terakhir Jakarta-Post. Aspek
kehidupan masyarakat Indonesia di tengah menggelegarnya globalisasi yang
terjadi di bagian lain dunia, dapat dikatakan dramatis. Malah sama sekali tidak
terperhatikan. Dan, memang rupanya tidak ada pembeli buku mengenai masalah ini.
Selama kunjungan saya, terjadi affair mantan
diktator Chili, Augusto Pinochet. Umum mengetahui dia ditangkap di London atas
permintaan Spanyol, tetapi pers Indonesia tidak menyuguhkannya dalam kerangka
historis yang sebenarnya. Apalagi menarik garis-garis paralel yang sejajar
dengan kejadian akhir-akhir ini di Indonesia. Bukankah kejadian di Chili pada
tahun 1972 merupakan pengulangan kejadian yang lebih keji ketimbang apa yang
telah dibesarkan Washington pada tahun 1965 di Jakarta? Richard Nixon dan Henry
Kissinger sebelumnya telah diberitahu bahwa Salvador Allende yang terpilih
secara demokratis akan diserbu dalam istananya dan bila perlu dibunuh. Mereka
antusias memberikan kata sepakat atas operasi jahat ini.
Baru pada tahun 1999 dilepaskan 5.800 dokumen
yang seluruhnya berjumlah 20.000 halaman mengenai Coup di Chili itu. 5.000
berkas datang dari State Department dan hanya 800 dari CIA, Pentagon dan FBI,
pelaku yang sebenarnya bersalah dalam praktek Nazi yang dilancarkan Amerika di
Chili tersebut. Menurut bahan bukti yang lolos, 3000 orang Chili dibunuh oleh
Pinochet & Co. dan 200.000 orang disiksa. ‘Dari bahan-bukti yang nyata
sekali’, demikian kata ‘De Volkskrant’, ‘CIA dan instansi pemerintahan Amerika
sungguh mengetahui sampai hal-hal mendetail tentang kampanye pembunuhan dari
Washington terhadap kaum kiri’. Soeharto-nya negara Chili itu, yang berperilaku
seperti diktator Chili itu malah meminta Washington untuk mengirim orang-orang
Amerika sebagai tenaga kerja untuk mengawasi dan mengelola kamp-kamp tahanan
yang akan didirikannya.
Richard Nixon telah tiada, tetapi Henry
Kissinger masih merupakan tokoh terkenal dalam panggung negarawan
internasional. Honorariumnya untuk satu kali bicara selama satu jam minimal
50.000 dollar. Dalam kejadian di Chili, yang terjadi atas inisiatifnya,
keterlibatan Kissinger sudah cukup menjadikannya seorang tertuduh utama untuk
diadili di Den Haag dinamika International Hof van Justitie sebagai penjahat
perang. Masih bisa ditambahkan praktek-praktek pembunuhan yang dilakukan
Amerika di Laos, Kamboja dan Vietnam, yang dapat mengakibatkan Henry dihukum
selama 300 tahun. Tetapi Tuan Kissinger sebagai hadiah untuk pemboman massal
pada Natal tahun 1972 di atas Hanoi -- untuk memaksa Vietnam Utara menyerah;
suatu taktik yang baru-baru ini demikian sama dilancarkan di Kosovo -- akan
menerima hadiah Nobel untuk Perdamaian, yang dalam prakteknya berarti bahwa
selama hidupnya dia kebal hukum untuk semua pelanggaran hukum yang dia dukung
dan pelecehan hak asasi manusia yang telah dilakukannya.
Selama bertahun-tahun para jurnalis Indonesia
ditahan, diteror atau dibredel medianya akibat sensor ketat yang diterapkan
Soeharto. Dapat dimengerti jurnalistik Jakarta menunjukkan gejala-gejala
‘after-effect’setelah tiga dasawarsa disabotase untuk mencegah para jurnalis
meluncurkan berita yang mungkin bisa membuka rahasia dan sifat kejahatan rezim
Soeharto itu.
Para jurnalis yang dilahirkan pada tahun 1965,
sekarang berusia 34 tahun. Pengetahuan mereka mengenai apa yang terjadi pada
hari-hari pertama di bulan Oktober tahun itu adalah nol koma nol. Saat itu,
fakta ketidakberadaan Panglima Angkatan Darat yang tidak ada jejaknya, bagi
Bung Karno ia (Pangad) sangat vital artinya, karena dialah yang melindungi
Kepala Negara karena ia bertugas melindungi kepala negara dari serangan
para-perwira tinggi yang bersekongkol dengan Amerika Serikat. Pada hakekatnya
Presiden bermaksud mengangkat pengganti sementara Panglima Angkatan Darat dan
memerintahkan kehadiran Jenderal Pranoto Reksosamudra di Pangkalan Udara Halim,
tempat di mana kepala negara berada selama coup CIA terhadapnya dilancarkan.
Kemudian tentang kenyataan bahwa Soeharto melarang Pranoto untuk pergi ke
Halim, dan dengan demikian telah melakukan pengkhianatan (hoogverraad), suatu
kejahatan yang di negeri Belanda pun akan diganjar dengan hukuman mati.
Soeharto merebut kekuasaan, seperti yang
diharapkan skenario Amerika. Duta besar Amerika, Marshall Green, menyerahkan
suatu daftar yang berisi nama-nama pengikut Soekarno, anggota PKI dan para
patriot Indonesia lain yang sama sekali tidak bersalah, ke markas besar jenderal
yang mengadakan coup. Sekarang dari Washington terbukti, para Yankee pada tahun
1972 melakukan hal yang sama pada Pinochet di Chili. Pada dasarnya Pinochet dan
Soeharto merupakan komisaris negara yang disewa CIA untuk para penguasa
Amerika, seperti halnya Hitler yang pada perang dunia kedua mengangkat A. Seyss
Inquart untuk Negeri Belanda.
Kuasa penuh Washington pada tahun 1965 untuk
menyingkirkan orang-orang Indonesia yang dicurigai diterjemahkan oleh Soeharto
dalam arti kata yang seluas-luasnya. Antara lain dibentuknya Komando Operasi
Merapi dibawah pimpinan Sarwo Edhi, sejenis SS komandonya Hitler dan menurut
perhitungan majalah Inggris Economist, selama perburuan terhadap kaum kiri yang
diatur Amerika Serikat ini, telah jatuh 500.000 korban. Setelah mempelajari
berbagai fakta secara adil dan saksama, tidak ada perbedaan antara ‘ethnic
cleansing’(pembersihan etnik) di Yugoslavia yang lama, yang banyak dibicarakan
Clinton, Blair dan NAVO, dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965
dan di Chili pada tahun 1972, yang dilaksanakan atas perintah dari Washington.
Kegemaran Sarwo Edhi ialah untuk memenggal
kepala dan melemparkan mayat-mayat ke sungai. Dalam bukunya (1990) Soeharto
sangat memuji jago kelahi dan pembunuh massal ini. Secara pribadi dia menulis
-- Edhi mentaati perintah-perintah Soeharto -- dengan antusias dan menurutnya
kolonel para ini ‘ahli dalam menumpas elemen yang dimusuhi,’ pendek kata dalam
membunuh habis.
Hampir semua lembaga internasional, termasuk
universitas-universitas di Amerika Serikat, telah mencatat angka sementara yang
mencapai ratusan ribu korban setelah mempelajari angka-angka yang diketahui
sampai saat ini. Yang ditunggu ialah sekarang dibuka akses bebas oleh
Washington dari dokumen-dokumen tentang persekongkolan terhadap Bung Karno,
seperti yang terjadi pada perebutan kekuasan melawan Ellende, berkat
terbongkarnya berkas-berkas yang sampai sekarang dirahasiakan. Disamping
pembunuhan massal, Soeharto memerintahkan sesudah 1965 -- seperti Pinochet di
Chili -- razia besar-besaran di mana Orang mengambil kesimpulan bahwa sekarang
Pinochet di London khawatir, bila terbukti dia adalah Quisling Amerika, seperti
halnya Soeharto saat itu.
Disamping pembunuhan massal, setelah tahun
1965 Soeharto memerintahkan diadakan razia massal - - seperti yang dilakukan
Pinochet di Chili -- yang mengakibatkan puluhan ribu orang di penjara dan lebih
dari seratus ribu warga negara yang sama sekali tidak bersalah diasingkan dan
ditawan di pulau Buru, sebuah pulau yang terpencil, di mana Soeharto telah
mendirikan kamp tahanan yang paling besar di Asia Tenggara. Bila setelah
sepuluh, dua belas tahun atau lebih sedikit demi sedikit orang tahanan itu
dibebaskan, Soeharto memikirkan cara lain, seperti yang waktu itu dilakukan
Hitler dengan orang Yahudi, yakni dengan menyuruh mereka memakai bintang
kuning. Soeharto menyuruh memberi cap khusus pada kartu identitas eks-tapol
untuk menjamin agar korban-korban tak berdosa ini tidak pernah lagi diterima di
dalam kehidupan masyarakat.
Keberadaan dodenlijsten CIA untuk Indonesia,
yang mendesak Soeharto agar menghilangkan lima ribu orang dengan cara
menembaknya di kepala pada tahun 1990, secara terbuka diumumkan oleh Robert
Martens, mantan mitra kerja Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Konfirmasi
mengenai ‘ethnic cleansing’ oleh Soeharto ini saja sudah cukup untuk
menuntutnya di mahkamah peradilan internasional di Den Haag.
Hari ini setengah abad yang lalu di Jenewa
ditandatangani konvensi mengenai hak asasi manusia. Tetapi barang siapa lebih
memperhatikan penampilan Hakim Louise Arbour di sidang sebagai Ketua di Kolese
yang berada di Den Haag, sampai pada kesimpulan bahwa menurut keyakinannya,
penjahat-penjahat perang hanya berdomisili di Yugoslavia yang dulu, seolah-olah
kejahatan perang yang terjadi di Indonesia, Chili, Libia, Kamboja dan sejumlah
negara Amerika Latin dilakukan oleh tokoh-tokoh tidak dikenal dari planet lain
-- dan bukan oleh CIA dan Washington -- tidak mengherankan bila Professor Moam
Chomsky dari MIT Boston menamakan negaranya ‘si penguasa teroris’ super di
seluruh dunia. Soeharto juga belum tercatat dalam buku Ny. Arbour. Dia masih
bisa berlindung dengan tenteram diantara sapisapinya di Tapos, Bogor.
Jenderal Soeharto dan pemberi perintahnya
yaitu Amerika pada tahun 1965 terlalu pengecut dan terlalu ‘pintar busuk’ untuk
segera membunuh Bung Karno, seperti yang terjadi di Chili dengan Salvador
Allende yang langsung dibunuh di istananya. Musuh-musuhnya menyadari betul
bahwa bila sehelai rambut saja yang diusik dari Bapak rakyat Indonesia, seluruh
negeri akan memberontak. Dengan sadar pilihan yang diprioritaskan adalah untuk
menyingkirkan Soekarno secara berangsur. Dia diasingkan di Wisma Yaso, villa
istri Jepangnya di Slipi. Kaki tangan Soeharto, Jenderal Alamsyah yang
mempunyai nama kurang baik, telah mengambil semua mobil yang masih ada di sana.
Lagi pula ia masuk tanpa permisi untuk mengambil pesawat TV terakhir milik
mantan presiden itu.
Awal tahun enam puluhan saya mengetahui
beberapa jenderal yang ada di Jakarta mempunyai niat jahat dan telah menyepakati
untuk menggusur Bung Karno. Dari percakapan dengan Marsekal Omar Dani dengan
teman-temannya yang saya sebut di atas ternyata, mereka tidak tahu menahu
mengenai sesuatu detail yang terjadi atau mungkin sudah melupakannya. Pada
tahun 1962, Uyeng Suwargana seorang mitra kerja terdekat Jenderal Abdul Haris
Nasution bepergian keliling dunia dan juga datang ke Den Haag, New York dan
Washington untuk memberitahukan fungsionaris-fungsionaris negara, politisi dan
para jurnalis secara terbatas bahwa sedang dipersiapkan suatu coup terhadap
Soekarno, untuk mana secara rahasia telah dibentuk suatu Dewan Jenderal, suatu
kelompok yang terdiri dari para jenderal.
Pada tahun 1962 saya masih mempunyai jalur
rahasia ke Presiden Soekarno, sehingga saya masih bisa mengirimkan surat-surat
dari New York tempat tinggal saya, ke rumah tangga presiden, yakni lewat
Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, yang menyampaikan surat-surat saya dari
Amerika dengan aman langsung kepada Bung Karno. Bila presiden berada di New
York atau Washington, oleh Duta Besar dr. Zairin Zein (Washington) atau Duta
Besar Sukardjo Wirjopranoto (Perserikatan Bangsa-Bangsa) saya dibawa ke kamar
presiden di Mayflower Hotel di ibukota atau Waldorf Astoria di Manhattan. Ini
terjadi tanpa sepengetahuan dr. Subandrio, Menteri Luar Negeri waktu itu, yang
juga atas desakan Den Haag, telah menghambat adanya hubungan antara saya dan
Bung Karno. Kemudian Presiden mengatakan,
berita-berita yang saya kirimkan selalu diterimanya. ‘Saya selalu menyimpannya,
dan di malam hari saya membacanya di tempat tidur,’ katanya padaku suatu
ketika.
Setelah suruhan Jenderal Nasution yang
mencurigakan memberitahukan kepada saya pada suatu undangan makan, mengenai
adanya rencana jahat sekelompok jenderal yang bekerja sama dengan CIA, saya memutuskan
untuk menginformasikannya kepada Bung Karno. Terutama tujuan akhir
jenderal-jenderal subsersif inilah yang digambarkan dengan terinci oleh Pak
Uyeng. ‘Presiden Soekarno akan diturunkan, diasingkan dan akan dibiarkan mati
seperti setangkai bunga tanpa air’. Memang inilah yang dirancang dan
dilaksanakan Soeharto dengan sekongkolannya pada presiden pertama Indonesia
antara tahun 1965 dan 1970, dalam kolaborasi dengan Washington dan CIA.
Presiden mengirim Kolonel Magenda dari dinas
intel ke Washington untuk mengadakan penyelidikan. Saya memberitahukan pula
bahwa ketika saya mengunjungi Duta Besar Zairin Zein di Washington, secara
kebetulan saya melihat Pak Uyeng itu di ruang samping kantor Atase Militer
Jenderal Surjo Sularso sedang menyelesaikan pengetikan laporan-laporan
rahasianya kepada Jenderal Nasution.
Pada tahun 1973 saya menulis tentang ini, dan
selukbeluk di Den Vaderland Getrouwe berdasarkan buku harian yang amat cermat.
Jadi, pada tahun 1962 Bung Karno telah mengetahui sampai hal yang terkecil, apa
yang dirancangkan dipersiapkan beberapa jenderal terhadapnya, atas desakan
orang Amerika. Perlu dicatat di sini, pada tahun 1961 Soeharto sendiri berada
di Indonesia Timur sibuk mengurusi pengembalian Irian Jaya sehingga orang bisa
berpendapat semula ia tidak terlibat dalam coup yang telah lama dipersiapkan
itu. Dia lebih merupakan ‘anjing ketiga yang lari dengan tulang yang
diperebutkan hewan-hewan lain’. Walaupun demikian, ia tetap harus bertanggung
jawab atas pembunuhan Bung Karno dan dia memenuhi segala persyaratan
sebagaimana yang sekarang akhirnya menjadikan Augusto Pinochet sebagai yang
tertuduh.
Bahwa Amerika Serikat di seluruh dunia bekerja
dengan dodenlijsten sebagai dasar pemikiran kerja saat menentukan strategi luar
negerinya, di Jakarta -- juga di kalangan atasnya -- hampir tidak diketahui,
seperti halnya pada tahun 1990, pada mulanya dianggap sebagai sesuatu yang
tidak mungkin di Den Haag. Bukan saja negara-negara berkembang yang khusus
menjadi sasaran Washington pun. Mitra NAVO dari Washington dengan amat terkejut
harus mengakui bahwa apabila sesuatu akan menguntungkan para Yankee, segala
sesuatu dihalalkan boleh dilakukan. Bagi CIA amatlah biasa untuk menyusun
dodenlijstenjuga bagi Belanda bila sewaktuwaktu Sovyet memutuskan untuk menyerbu
masuk Eropa-Barat. Dengan sangat rahasia dari Amerika Serikat telah dibentuk
organisasi teror dengan nama Gladio, yang nyata diberi kuasa bila sampai Sovyet
menghantam negara-negara perserikatan barat -- seperti yang juga ditawarkan
kepada Soeharto dan Pinochet di Indonesia dan Chili -- yakni tetap dengan jelas
untuk mengeksekusi orang-orang yang dicurigai secara hukum. Orang-orang semacam
Sarwo Edhi amat banyak berkeliaran dan berkelompok di seluruh dunia, seperti
baru-baru ini lagi-lagi terbukti di Serbia, Kosovo dan Albania.
Selama bertahun-tahun orang-orang Amerika di
Eropa Barat sibuk membuat gudang-gudang senjata rahasia, seperti yang telah
ditemukan di Gelderland dan di utara Limburg selatan, sementara kebanyakan para
perdana menteri dan menteri pertahanan sama sekali tidak tahu menahu mengenai
hal itu. Baru pada tahun 1990 perdana menteri Julio Androti dari Italia berani
berbicara dan membunyikan alarm. Segera setelah itu muncul ‘berbagai
pengakuan’bahwa di mana-mana, seperti Perancis, Jerman Barat, Belgia dan Negeri
Belanda telah dibentuk jaringan-jaringan organisasi-teror Amerika yang amat
luas. Pada tanggal 18 November 1990 sebuah dodenlijst sampai ke tangan ‘Krant
op Zondag’dengan nama sandi NATRES 486, yang memuat nama dan alamat dari 130 penduduk
kota Dordrecht, yang harus dibunuh bila datang serangan Sovyet pada NAVO. Apa
yang dilakukan para pelaku kejahatan Amerika di bidang ini tidak kalah hebat
seperti yang dilakukan Slobodan Milosevic di Bosnia dan Kosovo. Bila Mahkamah
Internasional untuk penjahat-penjahat perang di Den Haag memenuhi persyaratan
persidangan yang paling elementer maka Ny. Arbour misalnya bisa mulai dengan
Henry Kissinger dan menyebutnya sebagai salah satu penjahat perang Amerika dan
ethnic cleanners yang patut mendapatkan satu kali perjalanan saja ke Den Haag.
Tetapi Arbour tidak bertindak sesuai dengan aturan hukum yang bunyinya: hukum
berlaku untuk semua orang, karena dia di dorong tampil kemuka oleh Washington
dengan tugas, untuk hanya menyeret musuh-musuh CIA ke pengadilan.
Pada saat kedatangan saya di Jakarta Mei 1999,
pemboman yang dilakukan NAVO di atas Serbia dan Kosovo masih gencar
berlangsung. Waktu pecah perang di sana pada tanggal 24 Maret, saya berada di
Coral Gables, Florida. Pada hari itu juga, saya mengirim surat darurat kepada
Perdana Menteri Wim Kok ke rumahnya di Amsterdam, di mana saya memohon
kepadanya agar jangan mau terseret masuk ke dalam petualangan jahat ini,
kalaupun Negeri Belanda merupakan satu-satunya negara anggota NAVO, yang dengan
veto bisa menggagalkan seluruh aksi itu. Tetapi negarawan-negarawan Belanda
masa kini juga tidak mempelajari sejarah mereka.
Yang mengherankan adalah hampir semua orang
yang saya temui di Jakarta, diantaranya para jurnalis, beranggapan Slobodan
Milosevic-lah yang bersalah dalam semua problem ini dan tentu saja NAVO
melawannya. Saya menjawab, sayapun tidak dapat melihat bagaimana seluruh affair
rumit ini saling berkait. Tetapi dengan sangat prihatin saya menegaskan,
sembilan belas negara NAVO dibawah pimpinan Amerika Serikat, mencemari piagam
PBB dengan peperangan ini. Saya ingat bagaimana Hitler dan Mussolini di tahun
tiga puluhan melakukan yang sama, yang saat itu menyebabkan hancurnya pelopor
PBB, yakni Volkenbond di Jenewa.
Pada tahun 1935 Mussolini menyerbu Abessinia.
Raja Italia dinobatkannya menjadi Kaisar Etiopia itu. Hitler langsung
membebaskan negara-negara minoritas Eropa. Pada saat itu tak seorangpun
menyadari bahwa pada saat Italia dan Jerman sama sekali tidak mengindahkan
peraturan-peraturan internasional yang telah disetujui bersama di Jenewa maka
pecahlah sudah Perang Dunia kedua. Bom meledak empat tahun kemudian di
Polandia. Analisa saya, pada saat NAVO dengan armadanya yang terdiri dari
seribu pesawat canggih melanggar batas ruang angkasa Yugoslavia yang dulu, dan
mulai menjatuhkan 23.000 senjata penumpas dalam batas-batas suatu negara
berdaulat, keabsahan piagam PBB telah kehilangan arti dan pintu ke perang dunia
ketiga telah terbuka lebar. NAVO mengikuti jejak Hitler dan Mussolini. Hanya
soal waktu saja sampai bom akan meledak lagi. Setiap sumber kebakaran bisa
berkembang menjadi konflik dunia, sebab piagam PBB tidak lagi merupakan
penghalang atau hambatan menuju jalan bar-bar.
Yang membuat saya sakit hati adalah di
Indonesia ini hampir tidak ada seorangpun yang mempedulikan nasib Yugoslavia
yang dulu itu. Pada tahun 1956 Bung Karno berinisiatif untuk mengunjungi
Marsekal Tito. Saya menyaksikan sendiri pada tanggal 12 September 1956 itu,
kedua kepala negara itu memasuki Belgrado berdiri dalam sebuah Rolls Royce
terbuka. Sejak itu Indonesia dan federasi Yugoslavia menjadi negara yang
bersahabat. Kemudian pada tahun 1961 Marsekal Tito bergabung dalam blok
negara-negara Asia-Afrika yang didirikan Bung Karno pada tahun 1955 di Bandung,
kekuatan ketiga di dunia ini, yang menurut konsepnya akan bisa memisahkan kedua
jagoan Moskow dan Washington.
\
Pada tahun 1955 Soekarno mengundang banyak pemimpin politik dunia ke Indonesia,
seperti Chou-En-Lai (Cina), Jawaharlal Nehru (India), Abdel Gamal Nasser
(Mesir), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja) dan banyak yang lain. Yang sangat
diinginkan Bung Karno adalah agar ‘musyawarah’ dan ‘mufakat’ ala Jawa bisa
diterapkan dalam memelihara hubungan-hubungan internasional di panggung dunia.
Dengan kata lain, pesannya berbunyi: gantilah ‘demokrasi mayoritas selalu benar
menjadi demokrasi konsensus’, di mana setiap orang perlu mundur selangkah agar
dapat sampai pada suatu keputusan yang sesuai bagi semua. Pada tahun 1961
Konferensi Bandung kedua diadakan di Belgrado di mana konsep Bung Karno untuk
saling berhubungan ala Asia-Afrika, diuraikan lebih lanjut.
Semakin besar berkembangnya perbedaan antara
Barat dan Timur, semakin gila-gilaan bentuk perlombaan persenjataan, semakin
besar pula perlunya dorongan menurut presiden Indonesia ini untuk memberikan
pengaruh dan imbauan yang menenteramkan pada cara berpikir Barat yang
hitamputih itu. Di Belgrado pada tahun 1961 itu, telah disetujui untuk mengutus
Perdana Menteri Nehru (India) dan Nkawe Nkrumah Presiden Ghana mengunjungi
Nikita Khurschev di Kremlin, Soekarno dan Presiden Modibo Keita dari Mali ke
JFK di Washington, untuk mendesak kedua pemimpin dunia itu agar mereka lebih
baik saling mendengarkan ketimbang berprasangka atau apriori bahwa hanya salah
satu pihak yang benar partai menang dalam ‘perang dingin’ ini.
Saya mendapat kesan bahwa pada tahun 1999 ini,
pendapat umum di Indonesia adalah pro-NAVO dan pro-Amerika terhadap apa yang
terjadi di Yugoslavia dan Kosovo. Dalam suatu percakapan dibawah empat mata,
saya bertanya kepada Menteri Luar Negeri Ali Alatas, mengapa blok negaranegara
non blok, di mana juga Soeharto berada dalam arus pendahulunya ingin selalu
memainkan peran yang penting, tetapi pada saat Belgrado dalam bahaya besar, dia
membisu seribu bahasa. Dengan kata-kata yang dipilih dengan amat seksama,
Alatas menjelaskan bahwa soal Kosovo benar-benar dibicarakan di belakang pintu
tertutup di antara negara-negara kelompok Asia-Afrika dan Amerika Latin, tetapi
setiap diskusi selalu diakhiri dengan perbedaan yang tajam. Negaranegara Islam
sangat peduli dengan nasib yang menimpa Kosovo. Itulah sebabnya setiap usaha
untuk menengahi dari negara-negara blok yang justru memelopori sikap untuk
selalu berunding dalam mencari penyelesaian, dalam hal ini ditakdirkan pasti
akan kandas. Mendengar penjelasan Alatas, saya menyadari dengan makin jelas
bahwa konflik
Kosovo sebenarnya adalah perang agama, sama
seperti yang terjadi di Irlandia. Satu alasan yang seharusnya diketahui Tony
Blair sebelumnya bahwa affair seperti itu tidak dapat diselesaikan dengan bom
yang dijatuhkan pesawat-pesawat tempur dari ketinggian 4,5 km agar dirinya
sendiri tidak terkena.
Saya bercerita kepada Alatas, dulu saya pernah
mengadakan percakapan dengan sekretaris jenderal PBB, U Thant dari Birma. Waktu
itu perang Korea telah selesai. Dan perang Vietnam sedang berkecamuk. ‘Dunia
kembali ke abad pertengahan’, kata U Thant, Umat Kristen Eropa berangkat
berkuda ke Istambul untuk membunuh sebanyak mungkin orang Islam atas nama
Tuhannya Yang Maha Esa. Amerika juga melakukan perang agama di Vietnam. Pesan
Soekarno, seperti yang saya pahami adalah sama. Dunia akan hancur lagi bila
negara-negara Barat yang kaya dengan alat-alat perang termodern yang menakjubkan,
masih tetap berpegang pada demokrasi - kami - seratus - persen - benar.
Tanpa malu-malu negara-negara Barat menulis,
Kosovo sebenarnya adalah kebun percobaan untuk arsenal senjata NAVO yang paling
baru. Contohnya, di atas daerah yang diperebutkan secara permanen ditempatkan
selusin pesawat mata-mata berupa Robot Predator. Semula para militer Yugoslavia
menyergap ke arah pesawat-pesawat terbang yang tidak berawak itu, sampai mereka
menyadari setelah beberapa menit bahwa kehadirannya mengawali hujan bom yang
jatuh. Milosovic telah menembak 24 pesawat seperti itu.23) Yang tidak dapat
dimengerti adalah reaksi negara-negara NAVO dengan mereka menembakkan
cruise-misileg NAVO. Pada waktu itu di negeri Belanda, setengah juta orang
turun ke jalan untuk memprotes perencanaan ditempatkannya benda-benda ‘aneh’
tersebut dalam batas-batas kerajaan. Tetapi, pada tahun 1999 ketika
proyektil-proyektil yang sama itu ditembakkan ke arah Yugoslavia, publik sama
sekali tidak memberikan reaksi. Malah tidak lagi mendiskusikannya. (Bersambung ke Bagian Kedua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar