Oleh Muhammad
Tijani as Samawi
Hadits Al-Haudh
Bersabda
Rasulullah SAW: "Ketika aku sedang berdiri tiba-tiba datang sekelompok
orang yang kukenal. Lalu keluarlah seorang di antara kami dan berkata, 'Mari
(ikut aku).' Kutanya, 'Kemana?' Jawabnya, 'Ke neraka, demi Allah'. 'Apa
kesalahan mereka?' Tanyaku. 'Mereka telah murtad setelahmu dan berbalik dari
kebenaran, dan kuperhatikan tiada yang tersisa melainkan (sedikit sekali yang)
seperti sekelompok unta yang tersisih', jawabnya”. (Shahih Bukhori jil. 4
hal. 94-96,156; jil. 3 hal. 32; Shahih Muslim jil. 7 hal. 66).
Rasulullah SAW
bersabda: "Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang
berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga
selamalamanya. Kelak ada sekelompok orang yang kukenal dan mereka juga
mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan
berkata: 'sahabatku, sahabatku.' Lalu dijawab: 'engkau tidak tahu apa yang
telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.' Dan aku pun berkata: 'Enyahlah,
enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku'”.
Orang yang
merenungkan makna hadis-hadis seperti ini yang diriwayatkan sendiri oleh ulama
Ahlu Sunnah Wal Jamaah dalam berbagai kitab shahih mereka, tidak akan ragu-ragu
lagi untuk mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan sahabat telah berubah bahkan
telah berbalik setelah wafatnya Nabi SAW; melainkan segelintir kecil saja yang
diibaratkan oleh Nabi seperti sekelompok unta yang tersisih. Hadis ini tidak
dapat ditafsirkan bahwa ia ditujukan untuk golongan orang-orang munafik,
mengingat nash yang berkata: sahabatku, sahabatku. Dan ia juga adalah tafsir
atau realisasi dari ayat-ayat AlQuran yang menyebutkan tentang sikap mereka
yang berbalik sehingga diancam oleh Allah dengan api neraka, seperti yang telah
disentuh di atas.
Hadits:
Bersaing Untuk Dunia
Bersabda Nabi
SAW: "Aku akan mendahului kalian dan akan menjadi saksi kalian. Demi
Allah aku kini melihat haudhku (telagaku di syurga) dan aku juga telah
diberikan kunci kekayaan bumi (atau kunci bumi). Demi Allah aku
tidak khawatir kalian akan mensyirikkan Allah setelahku, tetapi aku khawatir
kalian akan bersaing untuknya (dunia)" (Shahih Bukhori jil. 4 hal.
100-101).
Sungguh benar
apa yang disabdakan oleh Rasululah SAW. Mereka telah bersaing dan
berlomba-lomba untuk dunia ini sehingga pedang-pedang mereka dihunuskan,
berperang dan saling mengkafirkan. Sebagian sahabat yang besar bahkan telah
menimbun emas dan perak. Para ahli sejarah seperti al-Masu'di di dalam kitabnya Muruj
az-Dzahab, Thabari dan lain sebagainya telah mencantumkan bahwa kekayaan
Zubair saja misalnya mencapai lima puluh ribu Dinar, seribu ekor kuda, seribu
orang hamba sahaya dan sejumlah tanah di Bashrah, Kufah, Mesir dan lain
sebagainya (Muruj az-Zahab oleh al-Masu'di jil. 2 hal. 341).
Thalhah
mempunyai kekayaan pertanian di Irak yang setiap harinya menghasilkan seribu
Dinar, bahkan konon lebih dari itu. Abdurrahman bin A'uf mempunyai seratus
kuda, seribu onta dan sepuluh ribu kambing. Seperempat dari seperdelapan
hartanya yang dibagi-bagikan kepada para isterinya setelah wafatnya mencapai
delapan puluh empat ribu (Ibid).
Ketika Usman
bin Affan meninggal, beliau telah meninggalkan sejumlah seratus lima puluh ribu
Dinar, tidak terhitung binatang ternak dan tanah-tanah subur yang tak terkira.
Emas dan perak yang ditinggalkan oleh Zaid bin Tsabit sedemikian banyaknya
sehingga harus dipecahkan dengan kapak, selain dari harta dan tanah yang
bernilai seratus ribu Dinar. (Ibid).
Demikian
sebagian contoh yang dapat kita lihat dalam sejarah. Kita tidak bermaksud
membahasnya secara rinci dan cukup sekadar bukti betapa mereka tergoda oleh
kemewahan dunia dan kenikmatannya.
Pandangan
Sahabat Satu Sama Lain
Kesaksian
Mereka Atas Perubahan Sunnah Nabi SAW Abi Sa'id al-Khudri berkata: "Pada
hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAW keluar rumah untuk menunaikan
shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk
di shaf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasihat dan perintah." Abu
Sa'id melanjutkan: "Cara seperti ini dilanjutkan oleh para sahabatnya
sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul Fitri atau Idul
Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya di sana Marwan
langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Shalt. Aku tarik
bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian memulai khutbah Idnya sebelum
shalat. Kukatakan padanya: "Demi Allah kalian telah ubah."
"Wahai Aba Sa'id" Tukas Marwan, "Telah sirna apa yang kau
ketahui" Kukatakan padanya: "Demi Allah, apa yang kutahu adalah lebih
baik dari apa yang tidak kuketahui!" Kemudian Marwan berkata lagi:
"Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khutbah kami seusai
shalat. Karena itu kulakukan khutbah sebelumnya." (Shahih Bukhori jil. 1
hal. 122).
Aku coba teliti
gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini berani mengubah Sunnah Nabi.
Akhirnya kutemukan bahwa Bani Umaiyah --yang mayoritasnya adalah sahabat Nabi
terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang konon sebagai penulis wahyu,
senantiasa memaksa kaum muslimin untuk mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib
dari atas mimbar-mimbar masjid. Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap
negeri untuk menjadikan cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang
mesti dinyatakan oleh para khatib. Ketika sejumlah sahabat protes atas
ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan memerintahkan mereka dibunuh atau
dibakar. Muawiyah telah membunuh sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti
Hujur bin U'dai beserta para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan
hidup-hidup. "Kesalahan" mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata
karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A'la
al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah Dan Kerajaan) menukil
dari Hasan al-Bashri yang berkata: "Ada empat hal dalam diri Muawiyah,
yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah cukup sebagai alasan untuk
mencelakakannya: Pertama, dia berkuasa tanpa melakukan musyawarah sementara
sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.
Kedua, dia
melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera
adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus. Ketiga, dia
menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi SAW
bersabda: "Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan
sanksi rajam." Keempat, dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya.
Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia
karena Hujur dan para pengikutnya (Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal.
106).
Sebagian
sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena tidak mau mendengar
khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan keluarganya. Itulah kenapa
Bani Umaiyah mengubah Sunnah Nabi ini dengan mendahulukan khutbah sebelum
shalat agar yang hadir terpaksa mendengarnya. Nah, sahabat jenis apa yang
berani mengubah Sunnah Nabinya, bahkan hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata
demi meraih cita-citanya yang rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah
terukir. Bagaimana mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari
segala dosa dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bershalawat kepadanya
sebagaimana kepada Rasul-Nya. Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia
untuk mencintainya hingga Nabi SAW bersabda: "Mencintai Ali adalah iman
dan membencinya adalah nifak." (Shahih Muslim jil. 1 hal.
61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306).
Namun
sahabat-sahabat seperti ini telah mengubahnya. Mereka berkata, kami telah
dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak mematuhinya. Seharusnya
mereka bershalawat kepadanya, mencintainya dan taat patuh kepadanya; namun
sebaliknya mereka telah mencaci dan melaknatnya sepanjang enam puluh tahun,
seperti yang dicatat oleh sejarah. Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat
mengancam nyawa Harun dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat
Muhammad SAW telah membunuh Harun-nya" (yakni Ali) dan mengejar-ngejar
anak keturunannya serta para Syi'ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah
hapuskan nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.
Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agung pun mereka paksa untuk
melakukan hal yang serupa.
Demi Allah, aku
berdiri heran dan terpaku ketika membaca buku-buku referensi kita yang memuat
berbagai hadis yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak
pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah hadis-hadis lain yang
mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain. Sehingga Nabi SAWW bersabda:
"Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di
sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku."
Atau sabdanya:
"Engkau dariku dan aku darimu".
Sabdanya:
"Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya".
Dan sabdanya:
"Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku."
Dan sabdanya:
"Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya) maka Ali adalah
maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila'nya dan musuhilah mereka yang
memusuhinya."
Apabila kita
ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan oleh Nabi SAW dan yang
diriwayatkan oleh para ulama kita dengan sanadnya yang shahih, maka ia pasti
akan memerlukan suatu buku tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat
seperti itu pura-pura tidak tahu akan hadis ini, lalu mencacinya, memusuhinya,
melaknatnya dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?
Aku tidak
temukan sebarang alasan dari sikap dan perlakuan seperti ini melainkan
sematamata karena cinta pada dunia dan berlomba-lomba mengejarnya; atau karena
sifat nifak dan berpaling dari kebenaran. Aku juga coba melemparkan tanggung
jawab ini kepada sebagian sahabat yang terkenal buruk, atau sebagian dari
orang-orang munafik. Namun sayang sekali, yang kutemukan dari penelitianku itu
adalah sejumlah sahabat yang agung dan masyhur. Orang pertama yang pernah
mengancam akan membakar rumahnya (Ali) beserta para penghuni yang ada di
dalamnya adalah Umar bin Khattab; orang pertama yang memeranginya adalah
Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan
dan A'mr bin A'sh dan sebagainya.
Rasa terkejut
dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir. Setiap orang yang
berpikir rasional akan segera mendukung pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama
Ahlu Sunnah sepakat mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil sambil
mengucapkan "Radhiallahu Anhum", bahkan mengucapkan shalawat untuk
mereka tanpa kecuali. Sehingga ada yang berkata, "Laknatlah Yazid tapi
jangan berlebihan". Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah
melakukan tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh
akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka
benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum AlQuran dan Sunnah Nabi
secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan kekufurannya.
Rasululah SAW telah bersabda: "Siapa yang mencaci Ali maka dia telah
mencaciku; dan siapa yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah;
dan siapa yang mencaci Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam
api neraka."
Demikian itu
adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka bagaimana pula apabila ada orang
yang melaknatnya dan memeranginya. Mana alim-ulama kita dari hakikat kebenaran
ini? Apakah hati mereka telah tertutup rapat? Katakanlah, ya Allah, aku mohon
lindunganMu dari bisikan syaitan dan dari kehadirannya.
(Lihat Shahih
Bukhori jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366 Mustadrak al-Hakim jil.
3 hal. 109. Shahih Bukhori jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300;
Shahih Ibnu Majah jil. 1 hal. 44. Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak
al-Hakim jil. 3 hal. 126. Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. ; Mustadrak
al-Hakim jil. 3 hal. 134. Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil.
3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar