Oleh
Endang Susilawati
Sebelum
agama Islam muncul, dua agama besar sebelum Islam yaitu agama Yahudi dan
selanjutnya agama Kristen telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum
perempuan. Bagaimana ceritanya? Mari pembahasan kita awali terlebih dahulu
dengan pandangan-pandangan miring yang mereka lontarkan terhadap kaum
perempuan. Sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit dari isme-isme dan
kalangan ilmuwan kuno yang menganggap bahwa dari aspek keinsanan, perempuan
menduduki posisi yang jauh lebih rendah dari laki-laki. Sebagian bahkan sampai
pada anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari binatang dan
merupakan sosok penjelmaan setan. Socrates berpendapat bahwa perempuan
merupakan sumber terbesar bagi dekadensi dan kemerosotan moral manusia.
Phytagoras
dalam teorinya mengatakan bahwa di alam penciptaan ini terdapat sebuah asas
kebaikan dimana dengannya diciptakanlah keteraturan, cahaya dan laki-laki, dan
terdapat pula sebuah asas keburukan yang darinya kemudian tercipta kekacauan,
kegelapan, dan perempuan. Sedangkan Aristoteles meyakini hal yang lain lagi,
dia mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki tak dewasa, kurang matang,
kesalahan alam dan hasil ketaksempurnaan dari penciptaan. Oleh karena itulah
perempuan hanya akan mengarungi ‘kembara’nya dalam lingkaran yang tertutup.[1] Sementara itu, dalam sumber Yahudi, yakni
dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan
dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect),
sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct).
Sedangkan
kalangan pemeluk Masehi mengatakan bahwa munculnya kecenderungan untuk
membujang dan mencela pernikahan di kalangan mereka tak lain bersumber dari
keburukan dan tercelanya berhubungan dan melakukan interaksi dengan para
perempuan. Walhasil, dari pasal-pasal tersebut, secara teologis
mengesankan kedudukan perempuan bukan saja sebagai subordinasi laki-laki,
tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat. Konsep
teologi yang juga memberikan citra negatif kepada kaum perempuan adalah
anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari surga ke planet
bumi. Karena rayuannyalah sehingga Adam lengah lalu memakan buah terlarang yang
menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung
akibat lebih besar, seperti yang dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel.
Dalam
Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal (original sin) juga lebih banyak
mempersalahkan kaum perempuan. Bahkan kalangan Misogyny menganggap kaum
perempuan sebagai “setan betina” (female demon) yang harus selalu diwaspadai.
Dan inilah yang kemudian menyebabkan perempuan harus menanggung berbagai
kutukan. Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi.
Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang
dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.
Teologi
menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh
perempuan yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos
diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos.
Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan
berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya
yang salah dalam diri perempuan. Darah menstruasi (menstrual blood)
dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang
menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus,
suatu gubuk yang dirancang khusus untuk tempat hunian para perempuan menstruasi
yang tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks,
dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Dan yang lebih penting adalah
mewaspadai tatapan ‘mata iblis’ (evil eye) dari mata perempuan sedang
menstruasi, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.2
Salah
satu upaya untuk mengamankan tatapan “mata iblis” adalah dengan
mengenakan kerudung/cadar. Penggunaan cadar/kerudung pertama kali dikenal
sebagai pakaian perempuan menstruasi yaitu untuk mencegah “si mata Iblis” dalam
melakukan aksinya. Kerudung dan semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti
“gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau bangsawan. Supaya mereka tidak
perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan
pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu
kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau
orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan.
Jadi
sebenarnya, cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama
Islam dengan “ayat-ayat hijab”3 dan hadits-haditsnya
tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang
diperkenalkan oleh kalangan Yahudi, akan tetapi dalam bentuknya yang
mendeskriminasi kaum perempuan dan melegitimasi kerendahan posisi mereka di
mata lelaki. Lalu apakah pandangan-pandangan miring semacam ini tentang
perempuan juga terdapat dalam al-Qur’an sebagai Kitab Suci agama Islam?
Apakah Al-Qur’an memberikan legitimasinya terhadap kerendahan kedudukan
perempuan di hadapan laki-laki? Dan bagaimana pandangan Islam mengenai perempuan
dan hijab?
Mendiskusikan
posisi perempuan dalam keterkaitannya dengan laki-laki seringkali mengarahkan
ranah pembahasan pada feminisme, dan mendiskusikan feminisme dan Islam tak akan
pernah melepaskan kita dari kehadiran Al-Qur’an sebagai buku petunjuk samawi
yang secara komprehensif dan lugas memaparkan persamaan hak asasi perempuan dan
laki-laki dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak
sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Kewajiban Berhijab
Kata
‘hijab’ dengan makna penutup perempuan merupakan sebuah istilah yang relatif
baru, sedangkan dalam istilah para fukaha ‘penutup’ biasa diungkapkan dengan
kata ‘satr’. Al-Qur’an Al-Karim hanya menyebutkan satu kali kata ‘hijab’
(dengan makna tabir) dalam kaitannya dengan interaksi antara laki-laki dan
perempuan, pada ayat ini, Allah Swt berfirman, “Apabila kamu meminta
suatu kebutuhan hidup kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari
belakang tabir.” (Qs. Al-Ahzab [33]:54). Dalam istilah sejarah Islam dan
hadis, ayat ini ditafsirkan sebagai ‘ayat hijab’. Dari ayat ini terlihat jelas
adanya perhatian Islam pada keberadaan tabir dan batasan dalam pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang digunakan sebagai sarana untuk mengantisipasi
terjadinya kesalahan, penyimpangan dan percampuran antara dua gender yang
berbeda. Akan tetapi dalam tradisi kita kata hijab lebih terbiasa diartikan
dengan makna penutup.
Pada
salah satu ayat dari surah An-Nur yang terkenal dengan ayat ‘khimar‘,
Al-Qur’an memperkenalkan para perempuan yang mengenakan penutup sebagai
perempuan yang beriman, berfirman, “Katakanlah kepada kaum perempuan
yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan
mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa)
nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (supaya
dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan
mereka …” (Qs. Al-Nur [24]:31).4 Akan tetapi sangat
disayangkan yang terlihat sekarang, pada konteks kekinian yang notabene telah
bisa dikatakan sebagai era pornoaksi dan pornografi dengan segala kebebasan
seksual yang semakin pekat dan menakutkan, para perempuan malah saling berlomba
memperindah dan mempercantik diri untuk menjadi komoditi terlaris yang menjadi
serbuan dan target pasar, mereka beradu kecepatan dalam memamerkan kemolekan
dan lekuk indah tubuhnya untuk menggetarkan syahwat para konsumennya yang tak
lain adalah para lelaki tak bermoral. Dengan kondisi pasar bebas yang seperti
ini, sudah jelas kesucian dan kehormatan para perempuan hanya akan dinilai
seharga sebuah boneka pajangan, sebuah komoditi tak berharga yang hanya
berfungsi sebagai penghias etalase, pemanis interior dan dekorasi ruang,
basa-basi mereka yang lembut dan mendayu telah menjadikan kepribadian, citra
tinggi keinsanan, manifestasi estetika, ilmu dan kecerdasan mereka menjadi
terlupakan.[5]
Akan
tetapi tidak demikian halnya dengan Islam, ia lebih menerima masyarakat dan keluarga
yang menjunjung nilai-nilai kesucian, keluhuran dan kehormatan. Oleh karena
itulah sehingga kemudian Islam memberikan perhatiannya secara khusus pada
lembaga pernikahan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi masalah-masalah
yang berkaitan dengan kecenderungan seksual ini (yang biasa muncul dari
aspek-aspek pendengaran, penglihatan, ucapan, sentuhan dan sebagainya), dan
bertolak belakang dengan anggapan barat, Islam menganggap masyarakat hanyalah
merupakan sebuah media dan sarana untuk beraktifitas secara lebih meluas, bukan
tujuan utama sebagai panggung kiprah perempuan. Sejak semula Islam pun telah
mengetahui bahwa polesan-polesan make up dan ketakberhijaban para perempuan
tidak akan memberikan hasil apapun kecuali kerusakan moral, dimana kelanjutannya
tak lain adalah meningkatnya data perceraian, renggangnya hubungan antara suami
istri, semakin meluasnya penyimpangan moral dan lahirnya anak-anak di luar
pernikahan.6 Karena itu pulalah
sehingga jauh-jauh sebelumnya Islam telah mengantisipasi dengan aturannya yang
bernama hijab, sebuah solusi yang dipandang mampu menciptakan keselamatan
psikologis masyarakat, memperkuat hubungan keluarga, mempererat keakraban
sempurna di antara suami istri dan meningkatkan citra para perempuan.
Islam
menghendaki para perempuan untuk menapakkan kakinya dalam berbagai sektor
dengan tetap berhijab, tetap mempertahankan rasa malu, menjaga kesuciannya,
menampakkan kepribadian tinggi, citra hakiki dan identitas aslinya, dan lebih
penting dari itu, tetap menempatkan kecenderungan dan instik seksualnya hanya
untuk suaminya di rumah, dan tentu saja pada langkah awal, tidak melalaikan
tugas besarnya dalam memanajemen keluarga, mendidik anak dan melaksanakan peran
besarnya dalam membentuk masyarakat yang kuat dan ideal. Pada ayat ini dan ayat
sebelumnya, sebelum al-Quran menyarankan kepada para perempuan untuk mengenakan
penutupnya yang sesuai, terlebih dahulu menyarankan kepada para perempuan dan
laki-laki untuk menahan pandangan, setelah itu baru memberikan pesan khusunya
kepada para perempuan supaya mereka tidak menjadikan dirinya sebagai besi
berani yang memagnet kalbu-kalbu kaum adam untuk mendatanginya dan jangan
sekali-sekali menyediakan lahan yang akan membangkitkan syahwat para lelaki
lain.
Sebagaimana
halnya manusia tidak pernah merasa puas dengan kekayaan dan kedudukan, dalam
aspek seksualitaspun manusia tidak pernah merasa terpuaskan.7 Oleh karena itulah
bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh ketidakberhijaban dan tindakan-tindakan
memperindah diri ini harus disampaikan kepada para perempuan. Syahid Muthahhari
Ra dalam kaitannya dengan masalah ini berkata, “Kecenderungan untuk
memperlihatkan diri dan mempercantik diri merupakan karakteristik khas yang
dimiliki oleh para perempuan karena pada dasarnya perempuan merupakan
manifestasi dari keindahan sementara laki-laki merupakan penjelmaan dari amor
dan cinta, yang senantiasa mencintai keindahan. Dari sisi kepemilikan kalbu,
laki-laki adalah pemburu sedangkan perempuan adalah mangsanya. Dalam hukum
alam, tabiat perempuan adalah penggoda, oleh karena itu ciri khas dari bentuk
defleksi dan penyimpangan yang muncul di kalangan para perempuan adalah
tindakan mereka yang senantiasa ingin memperindah diri, mempertontonkan diri
dan menelanjangi diri, dari sinilah sehingga kemudian turun perintah bagi kaum
perempuan untuk mengenakan hijab dan penutup.”
Dalam
kitabnya ini, beliau juga menyertakan pendapat Will Durant dalam kaitannya
dengan sifat perempuan yang senang memperlihatkan keindahan dirinya, dan
karakteristik laki-laki yang suka memandang keindahan. Dan demikianlah,
sehingga tidak ada di antara perbuatan manusia yang lebih mengherankan dari
perbuatan para lelaki berambut putih yang membebek dan mengikuti para perempuan
ke manapun dia pergi, sedangkan perempuan, bahkan hingga di tepian jurang pun
senantiasa mempersiapkan diri untuk menjadi obyek yang cinta.8
Hikmah Berhijab
Dalam
kitabnya yang sama, Syahid Murtadha Muthahhari mengklasifikasikan filosofi dan
hikmah berhijab ke dalam beberapa poin:
1. Berhijab, Faktor Ketenangan
Ruhani
Tiadanya
tirai pembatas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan akan memicu
terjadinya pergolakan-pergolakan dahsyat dalam kecenderungan seksual yang di
dalam diri manusia akan muncul dalam bentuk sebuah kobaran api yang menimbulkan
kehausan psikologis tak pernah terpuaskan.9 Akan tetapi
berlawanan dengan itu, terdapatnya tabir pembatas antara laki-laki dan
perempuan akan memberikan ketenangan yang lebih tinggi di dalam diri mereka. Jika
kita mencermati kasus-kasus penyimpangan seksualitas yang sering terjadi pada
era kita ini, maka sudah pasti ujung-ujungnya kita akan menemukan bahwa sumber
terbesar dari malapetaka ini tak lain adalah karena adanya kecenderungan
perempuan dalam memamerkan dan mempertontonkan diri. Pada prinsipnya ketakpedulian
terhadap masalah hijab senantiasa akan diikuti dengan penyakit-penyakit
psikologis serta munculnya hasrat-hasrat hewani dalam diri lelaki dan
perempuan.
Sebagian
dari psikolog sepakat bahwa hijab merupakan indikasi keselamatan seorang
perempuan dan ketiadaan hijab menunjukkan adanya penyakit psikologis dalam
dirinya. Sebagian lagi menyatakan bahwa ketakberhijaban akan mengundang dan
menyulut timbulnya penyakit-penyakit psikologis, karena kehadiran perempuan di
luar rumah dalam keadaan yang menarik minat dan menggetarkan syahwat, secara
sendirinya akan menimbulkan ketegangan psikologis pada diri para pemirsanya dan
hal ini akan menghancur leburkan keseimbangan psikologis mereka. Pada
prinsipnya ketakberhijaban bisa dikatakan sebagai sebuah indikasi kebodohan,
ketaksehatan psikologis dan penilaian yang terlalu rendah terhadap diri
sendiri, individu semacam ini senantiasa merasa bahwa tanpa mempertontonkan
keindahan tubuhnya ia akan nampak kurang berkepribadian, kurang menawan, dan
tidak sempurna, oleh karenanyalah sehingga mereka senantiasa berusaha
menampilkan keindahan tubuhnya dan mengenakan busana-busana memikat yang konon
katanya untuk menciptakan simbol dan mengangkat posisi dan penilaian orang
lain.
2. Berhijab, Memperkuat Ikatan
Keluarga
Jika
dalam sebuah keluarga, suami dan istri merupakan dua unsur penting bagi
terciptanya cinta dan kasih sayang yang mendalam dan masing-masing menjadi
faktor pembahagia bagi selainnya, maka yang terjadi dalam sistem pergaulan
bebas adalah hal yang sebaliknya, masing-masing dari kedua belah pihak
mengangap pihak di hadapannya sebagai rifal, penghalang dan penegasi langkah
kebebasannya. Keluarga merupakan titik sentral sebuah masyarakat sosial dimana
salah satu faktor untuk mempertahankan kekokohan pondasinya terutama antara
suami dan istri adalah keberadaan hijab dan tiadanya tindakan mempertontonkan
keindahan tubuh sang istri di luar rumah.
3. Berhijab dan Ketahanan
Masyarakat
Terjunnya
manusia-manusia kurang dewasa ke tengah-tengah lingkungan masyarakat akan menyebabkan
kekuatan masyarakat menjadi lumpuh dan payah. Kenapa demikian? Tentu, karena
manusia-manusia tak dewasa ini akan bertindak sesuai dengan kemauan sendiri,
tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku, sebagaimana layaknya seorang bocah
yang pada masa-masa tertentunya menganggap dirinya sebagai seorang raja yang
hanya menentukan, tanpa mendengarkan. Tidak demikian halnya dengan manusia
dewasa, karena manusia yang telah dewasa akan bertindak dengan akal dan
mengetahui makna serta tujuan dari tindakan yang dilakukannya.
Ketika
ajaran agama mengatakan bahwa hijab memiliki manfaat dalam menjaga psikologis
masyarakat, dan akan mengantarkan masyarakat kepada ketenangan, maka tentulah
manusia-manusia yang telah dewasa ini akan menerapkan aturan tersebut dalam
kehidupannnya atau minimal tidak mmenampakkan pertentangannya, supaya terwujud
ketahanan di dalam masyarakatnya.
4. Berhijab, Mengangkat Nilai
dan Kehormatan Perempuan
Dengan
keberadaan hijab yang sesuai, perempuan akan dikenal dengan keterhormatannya
dan akan dianggap sebagai sosok yang mulia dan berkepribadian di kalangan
masyarakat sehingga lebih sedikit orang yang mengganggunya.
Catatan
Kaki:
[1] . Benwood
Gray, Zanân az Did-e Mardân, terjemahan Muhammad Ja’far Puyandeh,
hal. 7, 45, dan 47.
2 . Nasaruddin
Umar, Perempuan dan Dosa Warisan, Jurnal Pemikiran Paramadina.
3 . Misalnya dalam Qs.
Al-Ahzab (33): 59 dan Qs. Al-Nur (24): 31.
4 . Surah An-Nur adalah
surah yang sarat dengan kandungan-kandungan suci yang menawarkan solusi dari
problematika-problematika pergaulan dan kecenderungan seksualitas tanpa
mengesampingkan nilai-nilai kemuliaan di dalam masyarakat. Surah ini
mengemukakan tentang adanya kepastian hukum yang sangat berat bagi laki-laki
dan perempuan yang melakukan pelanggaran hukum, selain itu surah ini juga
memberikan solusi dan metode-metode maha penting untuk menghindarkan terjadinya
penyimpangan seksual. ia memperingatkan kepada orang-orang yang beriman tentang
ekses negatif yang ditimbulkan dari ketakberhijaban perempuan dan ketiadaan
penahanan pandangan, sekaligus menawarkan solusi sederhana dan mudah untuk
mencegahnya, yaitu dengan pernikahan, karena pernikahan merupakan cara yang
paling sah dan solusi yang paling tepat untuk memuaskan kecenderungan seksual
manusia.
5 .
Cara hidup bebas yang terjadi di dunia Eropa yang sama sekali tidak memiliki
ikatan dan kosong dari tujuan suci pernikahan, bukanlah merupakan tujuan
kehidupan yang mulia dan suci, melainkan hanyalah merupakan sebuah kehidupan
penuh syahwat yang hanya bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu belaka. Biasanya
pernikahan baru akan terjadi setelah sebelumnya mereka hidup seatap dan
melewati term-term yang menyimpang, selanjutnya setelah pernikahan, mereka
menyerahkan buah pernikahan mereka ke tempat-tempat penitipan anak, lalu
mengambilnya untuk kemudian melepaskannya ke tengah-tengah masyarakat yang
telah rusak.
Kerugian
yang ditimbulkan oleh kejahatan-kejahatan dan tindak-tindak asusila para alumni
sekolah dan universitas barat ini tidak akan pernah bisa tergantikan, bahkan
hingga hari kiamat sekalipun. Namun ironisnya, kini negara-negara yang memoles
dan menampakkan dirinya sebagai negara berbudaya dan berperadaban tinggi yang
biasanya justru diselimuti dengan kabut tebal penyimpangan seksual, syahwat,
amoral, pembunuhan, perampasan, dan kriminalitas-kriminalitas lainnya ini,
malah menujukkan kekhawatirannya dan menjadikan diri mereka sebagai pemerhati
kaum perempuan muslimah. Mereka menempatkan diri sebagai juru selamat bagi para
perempuan muslimah dengan mencoba menghilangkan adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, mencoba menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan
konggres-konggres, lalu dalam rencana kerjanya mereka menyusun dan merancang
program-program dengan gelar mempertahankan posisi para perempuan muslim.
Keprihatinan dan kekhawatiran mereka terhadap kaum perempuan muslim bahkan
lebih besar dari kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya. Untuk memenuhi
ambisinya ini, mereka memaksa negara-negara lain untuk menerima tekanan-tekanan
dari sisi budaya dan politik, salah satunya adalah dengan menetapkan sebuah
surat perjanjian dalam kaitannya dengan tata cara menghilangkan seluruh
perbedaan yang terdapat di kalangan kaum perempuan. Namun beruntung, terdapat
22 negara Islam, yang hingga saat ini tetap menolak penerapannya.
Sekarang
akan semakin kuatlah pertanyaan yang muncul di dalam benak kita tentang apakah
sistem-sistem estetika dan moral yang berantakan seperti ini bisa dijadikan sebagai
tolok ukur dan teladan?
6 . Ketakberhijaban
perempuan bisa dikategorikan sebagai salah satu penyebar fitnah dan kerusakan,
dan dosa meyebarkan kerusakan ini lebih besar ketimbang kerusakan itu sendiri,
sebagaimana hal ini diisyarahkan dalam surah An-Nur ayat 19, dimana Allah Swt
berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang
amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab
yang pedih di dunia dan di akhirat.” Ayatullah Madhahiri dalam
kitabnya yang berjudul “Akhlak dar Khaneh” mengatakan, jika
seorang perempuan membuka hijabnya satu kali, dan dia tidak bertobat dengan apa
yang telah dilakukannya, maka dia akan melakukan dosa yang kedua, ketiga, dan
seterusnya, dan setahap-demi setahap ketakberhijaban ini akan menjadi hal
yang biasa baginya. Dalam keadaan seperti ini tidak akan terjadi lagi
pergolakan batin di dalam dirinya, karena ketercelaan melakukan sebuah dosa
telah keluar secara sempurna dari dalam dirinya, selanjutnya dengan
terbiasanya melakukan dosa, taubah akan menjadi sebuah persoalan yang sangat
sulit untuk dia lakukan. Sangat disayangkan, sebagian dari manusia malah
berjalan terlalu cepat dalam melakukan dosa, bahkan kadangkala telah berada
dalam posisinya untuk memberikan legitimasi dan pembenaran terhadap dosa yang
dilakukannya, lalu menganggap bahwa ketakberhijaban merupakan sebuah pencerahan
dan peradaban modern yang harus dipertahankan, dan semua ini tak lain adalah
bahaya yang telah diperingatkan dalam salah satu ayat al-Quran, dimana Allah
swt berfirman, “Kemudian pendustaan terhadap ayat-ayat Allah dan
memperolok-olokkannya adalah akibat orang-orang yang mengerjakan
kejahatan.”
7 . Hal ini sebagaimana
keadaan jahannam yang tidak pernah merasa terpuaskan dengan jumlah penghuni
yang ada di dalamnya. Ketika ditanyakan kepadanya, “Telah penuhkan tempatmu?
Telah kenyangkah engkau?” Maka dia akan menjawab, “Apakah masih ada lagi?”
8 . Mas-aleh-ye
Hijab, hal. 250.
9 . Makalah
singkat, Negohi beh Khuquqe Zan dar Islam, Muhammad Ridha Baqir
Zodeh, padaMajalah Ma’rifat, no. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar