Oleh
Rini Utami
Kadhisa,
April 2009, Lebanon, masih diliputi musim semi. Sebagian wilayah Lebanon, masih
diliputi salju termasuk di jalan menuju perbukitan dan lembah Kadisha, Lebanon
Utara, tepatnya di tikungan kota kecil Hadchit. Puncak Gunung Mar Elias dan
Gunung el Mekmel di bentangan Pegunungan Lebanon, masih tertutup salju, dan
sebagian kaki-kakinya masih diselimuti warna hijau pepohonan, dan coklat
dinding-dinding batu alam. Kawasan Kadisha yang berada di ketinggian 2000 meter
dari permukaan laut itu, sejak 1920 dikenal sebagai satu dari lima kawasan
White Lebanon (kawasan bermain ski) disamping lima kawasan lain, Zaarour,
Kferdebian, Laqlouq, Qanat Bakish, dan Faqra-Kferdebian (Lebanon, The Official
Guide, Ministry of Tourism, Paravision).
Dari
lima kawasan white Lebanon Kadisha, tampak lebih molek karena dihiasi pohon
cedar nan luas. Itu sebabnya Lembah Kadisha juga disebut, Lembah Cedar. Pohon
Cedar adalah pohon keabadian, karena tetap menghijau di empat musim. Pohon yang
bisa hidup ratusan tahun ini, sejak 1350 sebelum Masehi telah menjadi pohon
kebanggaan orang-orang Phunisia (nenek moyang Bangsa Lebanon). Selain kuat, dan
berserat indah, kayunya juga menebar wangi, bak kayu cendana. Tak heran bila
gelondongan kayu pohon cedar yang bisa memiliki diameter sampai tiga meter
lebih itu, menjadi tiang-tiang andalan Istana Salomo, serta rumah-rumah orang
kaya di kawasan Timur Tengah, sejak Kekaisaran Mesir.
Orang
Phunisia sendiri sejak sekitar abad 1100, mengandalkan kayu cedar sebagai kayu
utama perahu-perahu mewah yang mereka buat. Alasannya, tahan usia dan cuaca
(Illustrated History of The Lebanon, Nayla de Freige & Maria Saad,
Messageries du Moyen-Orient). Tak hanya rangkaian pengunungan berselimut salju
diselingi rimbunnya pohon Cedar, Kadisha juga menyimpan sejarah lahirnya
seorang penyair, filsuf dan pujangga besar Khalil Gibran. Setelah menempuh
perjalanan sekitar dua jam dari Kota Beirut, tibalah di Museum sekaligus makam
Khalil Gibran. Museum dan makam tersebut merupakan bekas bangunan biara para Rahib
Karmelit yang dibangun sejak akhir abad ke-17 dan selesai tahun 1862 ini,
ungkap kurator Museum Gibran Wahib Keyrouz.
Museum
dan makam tersebut, terdiri atas 16 ruang di tiga lantai, dan berakhir di ruang
peristirahatan terakhir Gibran. Masing-masing ruang dan lantai dihubungkan
lorong-lorong gua dan tangga-tangga batu naik dan turun. Setiap ruang
menggambarkan kehidupan dan karya-karya sang pujangga yang lahir di Desa
Bsharri pada 1883, termasuk perabotan yang digunakannya saat berada di New
York. Museum dengan luas 3.000 meter persegi itu, membagi perjalanan hidup dan
karir sang pujangga dalam lima segmen. Segmen pertama yakni periode 1898-1908
yang merupakan awal Khalil Gibran meniti hidup, karir keseniman dan
kesastraannya. Segmen kedua yakni periode 1908-1914 menggambarkan jatuh bangun
Khalil Gibran saat menjalani karir dan kehidupan pribadinya selama berada di
Paris dan akhirnya menetap di New York pada 1911. Era
ini dapat disebut puncak produktivitas Gibran dimana banyak lukisan minyak yang
dihasilkan dan dipamerkan di ruang IV, V, VI, VII, IX, X dan XVI. Kurator
Keyrouz mengemukakan, sebagian besar karya lukis Khalil Gibran adalah
manusia-manusia telajang, yang menandakan, setiap kehidupan akan kembali ke
asalnya.
“Manusia
lahir dengan telanjang, dan akan kembali kepada Sang Khalik dengan telanjang
pula,” ujar pria berusia sekitar 80 tahun itu. Segmen ketiga, yaitu 1914-1920
merupakan gambaran eksplorasi Khalil Gibran dalam melukis. Hal itu diperkuat
pada era 1920-1923 pada segmen keempat dan segmen kelima pada era 1923-1931. Tak
hanya lukisan, meseum Gibran juga menyimpan buku-buku karya pujngga yang lahir
dengan nama Gibran Khalil Gibran itu, yang terkenal dengan cita rasa
orientalnya bahkan mistis seperti Broken Wings, Spirits Rebellious , The Madman
dan His Parables and Poems. “Telah banyak karya Gibran yang diterbitkan dalam
bahasa Arab dan Inggris,” tutur Keyrouz yang telah menyalin ulang sektar 5.000
naskah-naskah Gibran.
Sehabis
menyaksikan lukisan-lukisan Gibran, tibalah di satu ruangan yang merupakan goa
dimana terdapat ceruk, tempat peti jenazah Gibran diletakkan. Ceruk berada di
samping sebuah ruang luas dimana ditempatkan perabot ruang tidur Gibran. Gibran
meninggal dunia pada 10 April 1931 sekitar pukul 11 malam dan dikebumikan pada
21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Carmalite, tempat Gibran pernah
beribadah.
Maronit
Meski
telah banyak melihat hasil karya Gibran di museum untuk mengenal lebih dekat
sang pujangga, rasanya kurang lengkap jika belum berkunjung ke rumahnya, di
desa Bsharri, yang berjarak satu kilometer dari museum. Sepanjang perjalanan,
tampak rumah-rumah penduduk desa dibangun berhimpitan sampai tepi jalan
beraspal. Di sela-selanya, muncul menara-menara gedung gereja Katolik Maronit.
Bukan cuma gedung gereja, tapi juga biara-biara dan pertapaan para rohaniawan
Maronit. Bangunan itu dibuat terintegrasi dengan gua-gua di perut perbukitan. Kawasan
Kadisha memang dikenal sebagai salah satu wilayah umat Maronit di Lebanon.
Menurut Patriarch Douaihy (The Maronites, History and Constants, Antoine Khoury
Harb, The Maronite Heritage, English Edition 2001), Kaisar
Theodosius
(378-395) membangun biara, sekitar tahun 375, tahun sebelum Santo Abraham dari
Cyrrhus dan para murid Santo Simon Stylites, menyebarkan agama Maronit di sana.
Karena dibangun terintegrasi, bangunan biara dan pertapaan terkesan menyatu
dengan alam. Lorong-lorong guanya memberi kehangatan di tengah udara yang
menggigil di luar. Beberapa biara di sana antara lain, Biara Santo Antonius
dari Qouzhaiya, Biara Martir Lisha, serta Biara Santo Elysium. Sejak akhir abad
ke-16, ibadah di biara-biara dan pertapaan itu menggunakan bahasa Suriah. Rumah
Gibran sangat sederhana, di kawasan pemukiman sederhana pula. Namun, dari
sanalah lahir seorang pujangga besar.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar