“Dalam tulisan
ini, penulis mengemukakan bahwa Irshad Manji sebenarnya tak lebih sebagai
penulis yang tidak matang dan lebih pas disebut sebagai representasi atau
corong imperium Amerika. Pandangan-pandangan Irshad Manji juga dapat dikatakan
tidak teliti dan kurang kuat secara historis dan argumentatif. Selamat membaca!”
Oleh
Airlangga
Pribadi (Kandidat PhD Asia Research Centre Murdoch University, Pengajar
Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya).
MELALUI
laman media sosial Facebook, saya mendengarkan berita menyedihkan dari tanah
air tentang terpasungnya kembali kemerdekaan berekspresi di ruang publik
intelektual kita. Tindakan a la fasisme ini diperagakan kembali oleh
segerombolan massa berjubah, baik yang mengatasnamakan Laskar Umat Islam Solo
(LUIS) maupun Front Pembela Islam (FPI). Di Jakarta, FPI yang dipimpin Rizieq
Shihab, berhasil memaksakan pendapatnya dan mendorong polisi untuk membubarkan
sebuah diskusi buku bersama intelektual-cum aktivis perempuan Muslim asal
Kanada, Irshad Manji. Manji, yang bukunya sedang didiskusikan di Komunitas
Salihara itu, memang sosok yang kontroversial, terutama berkaitan dengan posisi
pemikirannya atas homoseksualitas di dalam Islam, pentingnya liberalisme
pemikiran bagi komunitas Muslim, dan dukungan Manji atas keutamaan peradaban
Barat terhadap peradaban Islam.
Sebenarnya,
kalau kita menyadari pentingnya suara-suara alternatif dalam dinamika ruang
publik Islam di tanah air maupun dunia Islam, kehadiran pandangan seperti ini
justru menguntungkan. Itu akan membuka ruang bagi kita untuk mempertanyakan
hal-hal yang telah dianggap sebagai keniscayaan dalam gerak langkah peradaban
Islam. Terkait dengan hal ini, saya bersepakat dengan refleksi sastrawan
Katholik Arab asal Lebanon Amin Maalouf, dalam kumpulan esainya In The Name of
Identity ((1998). Di sana Maalouf mengutarakan, secara sosial sudah saatnya
kita tidak hanya melihat kehidupan beragama dalam ruang sosial semata-mata
dalam konteks bagaimana agama mempengaruhi kehidupan manusia, namun sebaliknya,
bagaimana dialektika kehidupan sosial di bumi manusia pada akhirnya ikut
mempengaruhi gerakan dinamik agama dan peradaban yang diinspirasikan oleh
nilai-nilai agama itu sendiri. Dari basis pijakan inilah, menurut hemat saya,
kekuatan sebuah peradaban yang di dalamnya nilai-nilai agama memberi sumbangan
penting diukur, bukan dari seberapa kuat ia mengisolasi dan menolak pengaruh
budaya atau gagasan-gagasan lain di luar dirinya. Daya hidup sebuah peradaban
besar menjadi matang dan dewasa dengan memberi ruang yang luas, bahkan bagi
suara-suara di luar arus utama, untuk tetap hidup dan memberi kontribusi bagi
gerak vitalitas peradaban itu sendiri.
Demikian
pula dengan peradaban Islam. Islam sebagai agama akan mandek dan berhenti
memberi kontribusi bagi dinamika peradaban manusia, ketika ummatnya berpretensi
menjadi pembela Islam dan pembela Tuhan dengan membubarkan, melarang, membakar
buku, dan mengejar-ngejar mereka yang berpikiran bebas atau berpandangan
berbeda dengan arus utama pemikiran Islam. Sejarah Islam memberikan pelajaran
bagi kita semua, seperti diuraikan dengan brilyan oleh Sosiolog Spanyol Armando
Salvatore dalam The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism and Islam
((2007). Salvatore mengatakan, ketika ruang publik begitu terbuka, dan kalangan
ilmuwan diberi kesempatan yang amat luas untuk mengembangkan ilmu dan filsafat
di masa Kekhalifahan Islam Andalusia, khasanah intelektual Islam menjadi tulang
punggung dan memberikan sumbangan yang sangat menentukan bagi hadirnya masa
pencerahan, era Aufklarung, dan terbitnya fajar peradaban modern. Demikian pula
dengan warisan peradaban Islam pada dinasti Fathimiyah Syiah di Mesir, yang
menyumbangkan peradaban akademik dunia dengan universitas Al-Azhar dan
perpustakaan di Alexandria.
Saat
ini dengan perdebatan, pena, dan menggerakkan tuts di laptop, kaum Muslim
membela demokrasi dan memberikan kontribusi penting bagi peradabannya, bukan
dengan pentungan, pedang dan golok untuk melawan pikiran dan kebebasan. Itulah
mengapa setiap tindakan fasis, kekerasan, dan pembelengguan terhadap
kemerdekaan berfikir harus kita lawan sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya. Namun
demikian, ketika secara panjang lebar saya membela kebebasan dalam ruang publik
dan tentunya membela hak dari Irshad Manji untuk berbicara dalam ruang publik,
tidak berarti saya membela dan mendukung suara yang ditampilkannya tentang
peradaban Islam dalam hubungannya dengan Imperium. Tulisan ini bukanlah
puja-puji dan dukungan terhadap Manji, namun sebaliknya, saya akan memberikan
tanggapan terhadap kenaifan intelektual Manji dalam melihat komunikasi
interkultural antar peradaban. Ketika kita memahami bahwa bukan hanya agama
yang memberi kontribusi terhadap peradaban ummatnya, maka dalam konteks
peradaban Islam, kita tidak bisa membaca Islam hanya dari Islam itu sendiri,
maupun menggunakan pendekatan kultural yang terisoloasi dengan analisis
strukturalis, relasi kuasa dan ketegangan sosial yang turut membentuknya.
Cheerleaders
Imperium
Seperti
diutarakan mendiang Fred Halliday dalam Nation and Religion in the Middle East
((2000), ketika menjelaskan Timur Tengah dengan segenap dinamikanya, pendekatan
kultural bukanlah satu-satunya yang mendeterminasi analisis untuk melihat
Timur-Tengah. Pendekatan budaya harus diletakkan dalam relasinya dengan konteks
ketegangan relasi kuasa di internal dan eksternal Timur Tengah, pertarungan
kekuatan sosial dan relasinya dengan tarikan pertarungan kekuatan sosial
dominan dan sublatern di tingkat global.
Pada
hubungan-hubungan interaktif antara kesadaran kultural, ketegangan sosial serta
kontestasi kekuasaan di level global dan domestik, kita dapat membongkar
kenaifan berpikir Irshad Manji dan posisi politik yang ia ambil dalam arus
besar pergerakan imperium dunia. Sebagai seorang yang lahir di Afrika Timur
pada saat kepemimpinan diktator Idi Amin di Uganda, Manji dan keluarganya
berhasil keluar dan besar di Kanada, dengan membawa trauma dan rasa berterima
kasih yang begitu mendalam terhadap kebebasan di dunia Barat yang membesarkan
dirinya. Dalam karya The Trouble With Islam Today (2003), misalnya, ia
mengritik tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Islam dengan menempatkan
posisinya sebagai penganut Islam Refusenik. Kata-kata refusenik sendiri,
menurut Irhsad Manji, diambil dari sekumpulan karya kalangan terdidik Yahudi
yang bersikap kritis dan menolak pandangan-pandangan baku dan tradisi lama
dalam komunitas relijius Yahudi. Bagi Manji, sudah saatnya ummat Islam
melakukan reformasi intelektual dan melakukan kritik internal terhadap
peradaban mereka.
Namun
demikian, apakah Manji benar-benar menjadi penganut Islam refusenik dan
memahami bagaimana langkah dan pikiran kaum Yahudi refusenik dalam membongkar
kesadaran komunitas mereka? Menurut Justin Podur (2003) dalam majalah Znet,
ketika mereview karya Manji, Manji ternyata tidak memahami bahwa adalah kaum
Yahudi refusenik, yang pada era perang Arab-Israel, menjadi kaum yang menyeru
kepada pemerintah Zionis untuk menarik tentaranya dari tanah negara-negara Arab
yang diinvasi pada tahun 1967. Tidak itu saja, mereka juga menolak ikut serta
dalam wajib militer (wamil) untuk menyerang warga Arab di tanah pendudukan atas
nama nilai-nilai kemanusiaan. Mereka dengan teguh, sampai dipenjara,
memperjuangkan pikiran dan sikap politik mereka. Pada saat ini, kaum Yahudi
refusenik telah bertransformasi dan di kalangan intelektual Yahudi memunculkan
mazhab sejarah baru (new historian jewish) seperti Thomas Baylis, sarjana
Yahudi lulusan Yeshima University, yang pada 2009 menulis The Dark Side of
Zionism: Israel’s Quest for Security through Dominance. Di buku ini, Baylish
memberikan pengakuan getir, bahwa sebagai seorang Yahudi adalah kenyataan pahit
untuk menuliskan betapa eksistensi dan keberadaan negara Israel lahir dari
penindasan, eksploitasi, dan penghancuran atas bangsa lainnya.
Setelah
membaca sekilas tentang identitas sejarah kaum Yahudi refusenik, mari kita
melihat posisi Irshad Manji. Dalam karyanya The Trouble With Islam, Manji
menyerukan suara reformasi Islam-nya dan surat terbuka kepada ummat Islam dan
non-muslim. Ia memulainya dengan memberikan pertanyaan retoris, ‘mengapa kita
harus selalu berhenti pada diskusi tentang Israel dan Palestina, mengapa secara
keras kepala kita menyerukan semangat Anti-Semit, siapakah imperialis tulen
Arab atau Amerika, mengapa kita ummat Islam selalu menempatkan kaum perempuan
sebagai warga kelas dua yang memiliki setengah kesadaran intelektual sebagai
manusia?’ Dari pembacaan atas retorika Manji kita dapat menganalisis bahwa
reformasi Islam Manji, ia tempatkan pada relasi oposisi biner Islam melawan
Barat dan Amerika melawan Islam. Bagi Manji, tidak ada suara alternatif di luar
itu semua. Berbeda dengan kaum Yahudi refusenik, yang secara jujur menolak
tindakan kekerasan dan imperialisme yang dilakukan kaum Zionis, Irshad Manji
dalam atribut-atributnya sebagai reformis Islam, justru meniadakan kenyataan
faktual pendudukan Zionisme atas Palestina.
Terkait
dengan penjajahan yang dialami bangsa Palestina, baik warga Muslim maupun
Kristen di sana, maka bagi Manji yang kerapkali datang ke Israel, dengan
bangganya mengutarkan bahwa dirinya tidak seperti kaum penyelundup yang tidak
memiliki hak-hak apa-apa. Di negeri Israel, ia merasa seperti di rumah sendiri
dan bertemu dengan keluarga mereka sendiri. Ia merasakan betapa kebebasan
berpendapat begitu dihargai di Israel, dimana para intelektual memperdebatkan
isu-isu publik yang kontroversial secara terbuka di koran-koran. Posisi Manji
ini sungguh aneh bagi saya. Sebagai seorang reformer Islam, yang menyebut
dirinya sebagai Islam refusenik, sepertinya Manji menempatkan konflik
Israel-Palestina dalam kacamata keagamaan yang harus ia reformasi. Dan dengan
itu ia mengingkari prinsip-prinsip kemerdekaan dalam humanisme universal untuk
menolak penjajahan di atas dunia. Hal ini membuatnya tidak bersimpati atas
penindasan warga Muslim dan Kristen Palestina di dalamnya. Di sini, Irshad Manji
gagal melihat persoalan Palestina dalam kacamata problem profan duniawi, yakni
sebagai problem penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Radar sekularisme
Irshad Manji gagal menangkap problem sekular imperialisme Zionis Israel atas
Palestina, sebagai problem kemanusiaan bersama.
Bagaimana
perspektif Irshad Manji tentang persoalan-persoalan lain di dunia Islam? Podur
dalam review atas karya Manji, membawa kita pada website tentang penderitaan
perempuan-perempuan Afghanistan dalam cengkeraman kekuasaan tirani yang
didukung Uni Sovyet, dan cengkeraman Taliban yang sebelumnya didukung Amerika
Serikat. Irshad Manji menampilkan foto-foto tentang perempuan bercadar yang
menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya. Bagi Manji potret tersebut adalah
ikon perempuan sebagai korban tradisi patriarkhi yang sangat kuat berakar dalam
Islam (memang kemudian Manji membedakan antara tradisi Islam dan tradisi Arab
komunal yang kemudian ditransmisikan menjadi tradisi Islam). Tetapi, Manji
sepenuhnya melupakan keberadaan sekelompok lapisan perempuan terdidik yang
terhimpun dalam Revolutionary Association of Woman Afghanistan (RAWA), yang
meneriakkan suara pembebasan perempuan dengan mengajarkan membaca kepada
komunitas perempuan, anak-anak, dan warga Afghanistan, mengajarkan kultur
kritis dan bersuara tidak terhadap penindasan.
Mengapa
Manji luput mengekpos gerak dan aktivitas mereka? Apakah ini semata-mata akibat
ketidakpahaman Manji terhadap situasi di Afghanistan? Jawabannya, karena
gerakan RAWA tidak saja menolak Taliban tapi juga mengecam keras pemboman
Amerika Serikat, maupun dominasi imperium untuk menjarah kekayaan alam di
Afghanistan, sebagai praktek-praktek eksploitasi dan penindasan yang tak kalah
bengisnya dengan yang dilakukan oleh rezim Taliban. Sementara, posisi Irshad
Manji dalam karyanya, justru memberikan dukungan kepada invasi Amerika, karena
dianggapnya invasi tersebut telah membebaskan rakyat Afghanistan dari tindasan
rezim Taliban yang reaksioner. Pada sisi ini suara reformasi Irshad Manji,
adalah manifestasi rasa terima kasih dan stempel bagi langkah-langkah global
dari imperium dunia.
Analisis
Irshad Manji yang secara tergopoh-gopoh melakukan kritik terhadap tradisi Islam
dan berdiri kagum memandang gemerlap Patung Liberty, di New York, Amerika
Serikat, bukanlah suara pembebasan multikulturalisme demokratik. Suara Manji,
bagi saya, adalah suara yang mengamini basis pengandaian dari tesis The Clash
of Civilization Samuel Huntington, yang meyakini bahwa peradaban Islam adalah
musuh dari peradaban modern Barat, dan komunitas Islam membutuhkan kekuatan
Barat untuk melepaskan diri dari penjara kulturalnya. Suara Irshad Manji adalah
suara kaum Neo-Conservatif seperti George W Bush dan sekutunya, yang percaya
dengan invasi dan peperangan mereka memiliki misi suci untuk membawa kebebasan
bagi dunia Islam. Suara-suara seperti ini tidak memiliki sensitivitas terhadap
pergolakan internal di kalangan kaum terpinggirkan yang berjuang, tidak saja
melawan tirani feodalisme dan kediktatoran militer, namun juga menghadang penetrasi
kekuatan transnasional untuk menghisap bumi, air dan kekayaan alam di
negeri-negeri mereka sendiri.
Dalam
konteks seperti ini, menempatkan Irshad Manji dalam posisi intelektual Islam
reformis, sungguh salah kaprah. Manji tidak berada pada barisan reformer Islam
seperti Nawal el-Saadawi, Jamaluddin Al-Afghani, Ali Shariati, maupun pejuang
Nasrani Arab yang konsisten menyerukan suara pembebasan, seperti Edward W.
Said. Irshad Manji adalah penguat dan amplifier dari suara imperium yang
menyebar di dunia Islam. Namun demikian, dengan segala kritisisme ini, saya
membela hak Manji untuk berbicara dalam ruang publik Islam, sekaligus menentang
tindakan fasis seperti yang diperagakan FPI. Di atas meja intelektual itulah
kita bisa mengritik dan menunjukkan kelemahan teoritis, serta posisi politiknya
yang bias kepentingan imperialisme.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar