LA
ILAHA ILLALLAH adalah ungkapan paling murni dalam lubuk fitrah manusia.
Rasulullah saw datang ke tengah umat manusia dengan mengumandangkan kalimat “La
ilaha illallah” (tiada tuhan selain Allah) itu; sebagai pernyataan utama dari
pesan kenabian (kerasulan), yang merupakan landasan paling penting bagi
pembebasan dan kemerdekaan manusia. Sebagian kelompok dalam masyarakat yang
menobatkan diri sebagai kalangan elite, para pembesar, kepala-kepala suku (dan
bangsa) yang merasa memiliki kewibawaan dan kemuliaan (secara sosial, ekonomi
dan politik) menjadi kelompok yang berdiri di barisan paling depan dalam
menentang panggilan fitrah tersebut. Mereka juga memengaruhi dan mengomandani
anggota masyarakat lainnya untuk melawan (seruan) Rasulullah saw.
Pada mulanya mereka menggunakan ejekan, kritik sinis, olok-olok dan celaan, yang mencerminkan cara-cara primitif dan tidak beradab dalam pergaulan sosial. Mereka melakukan itu karena kebencian terhadap seruan Rasulullah saw. Selanjutnya, rasa benci itu berkembang sebagai bentuk permusuhan, yang menjadikan celaan dan ejekan sebagai alat yang dianggap paling tepat dengan mempropagandakannya secara berulang-ulang demi hendak menyaingi langkah gerak tauhid (pengesaan Tuhan) yang diperjuangkan Rasulullah saw sejak awal hingga akhir. Kelompok-kelompok lain yang berada di bawah pengaruh mereka juga terdorong (melakukan hal serupa) masuk ke dalam arena kebencian dan permusuhan terhadap Rasulullah saw dan orang-orang mukmin.
Pada fase awal perjuangan Islam, sejarah kemudian mencatat bagian-bagian kisah memalukan dan tak bermoral telah dilakukan oleh para penentang tauhid yang terjadi selama tidak kurang dari tiga belas tahun sebelum hijrah Nabi Muhammad saw (dari Mekkah) ke Madinah. Catatan sejarah ini mengungkap berbagai fakta yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh karena di dalamnya memuat proses perjuangan yang dapat meyakinkan kita atas pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, khususnya tauhid. (Tauhid adalah kata inti dan terpenting dalam Islam, yang menjadi pembuka dan penutup ajarannya).
Bagi kita, satu di antara sekian banyak kejadian yang paling memilukan dalam perjalanan hidup ini adalah perubahan bentuk dan pemutarbalikan konsep tauhid. Hal ini seharusnya dicermati—oleh setiap orang yang menyatakan dirinya merdeka—sebagai sebuah tragedi paling menyedihkan dalam kehidupan. Sebab, dengan menerima penyelewengan konsep yang paling fundamental dalam agama ini, berarti kita tidak dapat lagi menemukan konsep lain yang bisa memberi hasil nyata dalam mewujudkan kemerdekaan dan pembebasan manusia di sepanjang jalan peradaban. Tauhid datang kepada umat manusia sebagai tanda dan bentuk pembebasan dari setiap penindasan.
Dalam menegakkan peradaban manusia, sejauh yang kita kenal, para nabi dan rasul—sebagai pembawa risalah Ilahi—menjadi titik sentral dari pergerakan yang begitu penting demi (menuju) kebaikan dan kemaslahatan manusia. Gerakannya bertujuan membebaskan masyarakat dari penindasan, kekejaman, diskriminasi dan tindakan yang melampaui batas, mengganggu dan merusak. Bagian terpenting dari moralitas (dan akhlak) yang terkandung dalam ajaran agama-agama besar, menurut Erich Fromm, meliputi gagasan dan cita-cita tentang pengetahuan, persaudaraan (mencintai sesama), mengurangi penderitaan manusia, pembebasan atau kemerdekaan diri, serta adanya tanggung jawab terhadap setiap bentuk perbuatan. Tentu saja, pelaksanaan dari cita-cita mulia seperti ini tidak bisa diharap dan ditemui dari para peneliti materialis.
Sebenarnya, gagasan dan cita-cita tersebut dapat disebut sebagai beberapa bentuk perwujudan “tauhid.” Nabi Muhammad saw, sambil mengarahkan para pendengarnya pada tauhid, senantiasa mengungkap pesan-pesan yang mereka jadikan slogan itu, dengan mengejawantahkannya dalam kenyataan (yakni, dalam perilaku sehari-hari). Dalam garis perjuangan Nabi Muhammad saw, setiap ajakan harus bisa dipraktikkan dan sang penyeru harus mewujudkannya (lebih dahulu) dalam tingkah laku. Karena itu, sungguh keadaan yang patut disesalkan jika mereka—yang mengklaim bertauhid dan mengikuti gagasan dan cita-cita luhur di atas—menganggap bahwa konsep tauhid sebagai sesuatu yang tak dapat dipraktikkan, atau malah menjadi teka-teki yang membingungkan, atau hal yang menyesatkan lainnya. Atau mereka mengira bahwa semua pemikirannya (tauhid) cuma sebagai konsumsi pikiran (otak) saja yang hanya ditimbang sepintas lalu dan hanya dirasa perlu dan dicari-cari (pemahamannya) ketika gagasan dan pemikiran (tauhid) itu dilontarkan kepada mereka.
Penolakan dan penentangan yang terjadi pada periode awal terbitnya Islam mengungkapkan bukti berharga berkenaan dengan syiar dan pemahaman terhadap konsep ketauhidan. Bukti tersebut adalah bahwa semboyan La ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah) telah menjadi hantaman telak terutama bagi orang-orang yang geram (sambil menggemertakkan gigi) lantaran kebencian dan permusuhan. Gerakan tauhid mendapat perlawanan sengit dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat dengan mengerahkan seluruh keutamaan, kewibawaan dan kekuatan (sosial-politik) yang menjadi haknya.
Orientasi sosial sebuah (konsep) pemikiran dan gerakan Ilahiah, dengan berbagai bentuk kegiatannya, dapat dilihat dengan baik melalui reaksi kelompok-kelompok yang memusuhi gerakan atau pemikiran Ilahiah tersebut. Reaksi musuh tersebut akan memperlihatkan dengan jelas—tentu melalui penelitian—sifat-sifat mereka berikut pendukungnya. Dengan meneliti bentuk interaksi sosial yang terjadi bisa diketahui bahwa penentangan suatu kelompok masyarakat tertentu pada umumnya berhubungan dengan usaha-usaha pergerakan dan pemikiran tersebut. Kuatnya kebencian pihak musuh merupakan tantangan yang menguji kualitas dan kekuatan sebuah gerakan. Ternyata, penelitian terhadap kondisi semacam itu menghasilkan pemilahan terhadap masyarakat menjadi dua kelompok; satu golongan sebagai pendukung gerakan, yang berhadapan dengan golongan lain sebagai lawannya. Sehingga—belajar dari semua itu—kita kemudian bisa mempertimbangkan dan memilih jalan mana yang maslahat, aman dan bijaksana, guna menemukan pemahaman yang benar dari suatu gerakan suci (ketuhanan).
Dengan mengamati secara teliti kondisi masyarakat tersebut, kita bisa melihat adanya kelompok berpengaruh yang memiliki kekuatan (sosial, ekonomi dan politik) yang besar. Mereka biasanya menjadi lapisan pertama yang menentang panggilan Ilahi (agama). Mereka mewujudkan seluruh bentuk penentangan itu dengan daya-upaya sebaik dan sekuat mungkin dari yang mereka mampu lakukan. Oleh karena itu, kita dapat memahami dengan jelas bahwa suatu agama atau gerakan Ilahiah biasanya akan selalu menghadapi kelompok-kelompok seperti itu. Bentuk yang terkandung dalam setiap seruan agama (Ilahi) adalah perlawanan terhadap sifat dan sikap mereka yang melampaui batas, juga terhadap kekuatan atau kekayaan yang diperoleh secara curang, selain perlawanan secara mendasar terhadap segala bentuk diskriminasi sosial.
Dengan menggunakan ketauhidan dalam menimbang permasalahan, berarti kita berhadapan dengan simbol-simbol kebesaran dan kemuliaan yang ditempatkan secara keliru dalam masyarakat. Simbol-simbol itu digunakan oleh sebagian orang untuk memanipulasi, membodohi dan menindas anggota masyarakat yang lain. Jadi, konteks tauhid sesungguhnya bukanlah sekadar urusan pemikiran, teori, filsafat, atau suatu ungkapan dan syair indah semata–sebagaimana hal ini telah menjadi sebuah kekeliruan (kesalahkaprahan) yang merata dalam pemahaman masyarakat (umumnya). Tetapi, tauhid adalah asas terpenting bagi manusia untuk melihat keberadaan alam semesta, menyadari posisi diri dan memperbaiki akhlak, di samping keberadaannya sebagai doktrin sosial, ekonomi dan politik.
Dalam peristilahan dan literatur keagamaan serta wacana yang lain, tauhid memiliki pengertian paling luas dalam pergerakan masyarakat. Tauhid dapat tumbuh subur dan mudah berkembang karena ia dapat memberikan pengaruh kuat bagi setiap konsep konstruktif dan revolusioner, sekaligus menutupi aspek-aspek buruk dan diskriminatif dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap bahwa pemikiran dan gerakan tauhid hanyalah sebagai proses kebetulan dalam peradaban. Seluruh pernyataan dan gerakan Ilahiah yang terjadi dalam sejarah justru mengisyaratkan dan tertuju pada satu titik, yakni kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah; bahwa Pencipta dan Pengatur alam semesta beserta seluruh isinya hanyalah Dia, dan semua akan kembali kepada-Nya.
Selengkapnya
dapat merujuk buku Mendaras Tauhid, Mengeja Kenabian, Penerbit Al-Huda
(2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar