Oleh Imam Budilaksono
Judul buku: Kekerasan
Budaya Pasca 1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film. Penulis: Wijaya Herlambang. Penerbit: Marjin Kiri. Tahun: Cetakan
I, November 2013. Tebal: 334 halaman.
Bagi generasi 1980-an
mungkin tidak asing dengan film “Pemberontakan G30S/PKI” yang diputar setiap
tahun untuk mengingatkan peristiwa di malam 30 September 1965 yang menuduh
Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama pembunuhan tujuh perwira
TNI itu.
Tiga orang penting
berada dibalik layar film tersebut yaitu Nugroho Notosusanto (penulis naskah),
G Dwipayana (asisten Soeharto), dan Arifin C. Noer (sutradara).
Wijaya Herlambang
ingin membawa pembaca kembali melihat pertarungan kebudayaan di masa lalu dan
perkembangannya hingga saat ini, yang dituangkan dalam bukunya berjudul
“Kekerasan Budaya Pasca 1965 Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme
Melalui Sastra dan Film”.
Karya intelektual
Wijaya itu merupakan hasil disertasinya di Universitas Queensland, Australia.
Film sebagai salah
satu produk budaya memainkan peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat
salah satunya terkait dengan gerakan meng-iblis-kan komunisme melalui
kebudayaan yang dilakukan orde baru yang berdampak hingga saat ini.
Bahasa dan isi yang
disajikan Wijaya sangat menguatkan pembaca bahwa agenda pemassifan gerakan
anti-komunisme dijalankan secara sistematis, sebelum dan pasca kejadian 30
September yang dilakukan dengan bantuan berbagai pihak terutama negara Barat
seperti Amerika Serikat.
Misalnya film tersebut
memang sangat jelas mengidentikkan segala bentuk kekerasan yang dilakukan dalam
tiap adegannya merupakan tindakan PKI.
Buku yang terdiri dari
delapan bagian itu juga menjelaskan mengenai akar kemunculan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra)dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang keduanya memiliki
pandangan yang sangat bertolak belakang,
Wijaya menguraikan
bahwa dalam perkembangannya pasca kejadian G30S, Manikebu dijadikan sebagai
alat untuk menyebarkan ide anti-komunisme di kalangan masyarakat Indonesia.
Elemen-elemen sayap
kanan seperti kaum intelektual, politisi, ekonom dan TNI Angkatan Darat yang
pro-barat berkonsolidasi melawan komunisme dengan tujuan pembangunan
berorientasi barat atas nama liberalisme.
Tentu saja semua yang
dilakukan elemen-elemen tersebut sebagai bentuk penghancuran terhadap paham
komunis di Indonesia dan menggantikannya dengan paham liberalisme.
Beberapa kalangan sudah paham siapa dan latar belakang tokoh serta seniman yang mendukung ide liberalisme tersebut antara lain Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Rosihan Anwar, dan HB. Jassin yang berinteraksi di lingkaran Partai Sosialis Indonesia. Tidak hanya itu, ada kalangan muda yang pada saat itu mendukung gerakan tersebut seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Taufiq Ismail.
Beberapa kalangan sudah paham siapa dan latar belakang tokoh serta seniman yang mendukung ide liberalisme tersebut antara lain Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Rosihan Anwar, dan HB. Jassin yang berinteraksi di lingkaran Partai Sosialis Indonesia. Tidak hanya itu, ada kalangan muda yang pada saat itu mendukung gerakan tersebut seperti Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Soe Hok Gie, dan Taufiq Ismail.
Hal menarik yang
diungkapkan Wijaya dalam bukunya yaitu mencoba menguak dan merekonstruksi data
terkait hubungan yang erat antara Central Intelligence Agency (CIA), Congress
for Cultural Freedom (CCF) dan elemen seniman beraliran liberal pada akhirnya
menghasilkan sebuah produk propaganda anti-komunisme melalui karya sastra.
Seperti majalah Horison dan Sastra antara 1966-1970 yang isinya simpati pada
korban namun pada kenyataanya justru melegitimasi kekerasan pada tahun 1965.
Wijaya menjelaskan dan
menguraikan beberapa contoh tulisan tersebut serta digambarkan bagaimana para
sastrawan mengonstruksi pemikiran masyarakat tentang anti-komunisme dan
legitimasi kekerasan yang dialami para simpatisan PKI.
Dalam sebuah
pergerakan ada yang disebut keretakan atau berubahnya pandangan terhadap inti
gerakan itu. Hal itu yang digambarkan Wijaya terhadap kelanjutan gerakan
liberalisme kebudayaan dalam konteks kekinian yaitu adanya pertentangan
pandangan antara Taufik Ismail dengan Goenawan Mohamad dengan Komunitas Utan
Kayu (KUK) yang didirikannya.
Pembaca akan dibuat
berpikir dan mengulang sejarah masa lalu ketika Wijaya membahas munculnya
gerakan perlawanan budaya terhadap warisan orde baru dalam mengkampanyekan
anti-komunisme.
Orba dengan segala
agen-agen kebudayaannya mengalami keguncangan ketika munculnya Jaringan Kerja
Kebudayaan (JAKER) yang merupakan sayap kebudayaan Partai Rakyat Demokratik
pada tahun 1990-an yang menjadi titik penting lahirnya perlawanan kebudayaan pada
masa itu.
Hal menarik yang ingin
Wijaya kemukakan adalah langkah Goenawan Mohamad yang “berbalik arah” melawan
kemapanan budaya yang dibentuk orba melalui KUK. Pembaca akan menemukan
jawabannya apakah sosok GM telah berubah haluan menjadi “kiri”, tetap liberal,
atau hanya menjadikan “kiri” sebagai komoditas belaka.
Buku yang menguak
sejarah G30S sebenarnya sudah banyak ditulis berbagai kalangan termasuk para
Indonesianis dengan berbagai data dan penelitian komprehensif. Namun Wijaya
ingin merangkai sebuah “sejarah alternatif” yang ada itu lalu dikontekskan
adanya dominasi kebudayaan absolut untuk meng-iblis-kan komunisme dalam
masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar