“Perjalanan
sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang
namanya dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka
mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat
genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi
pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat
Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah
pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan
kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan
keterbelengguan”
Hurr bin Yazid
Al-Riyahi
Di
padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi,
Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya
mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari
kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan
kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala
mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati
fragmen-fragmen yang mereka mainkan.
Hurr
bin Yazid Al-Riyahi, komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar
seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak
Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka
menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan
dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang
paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah
demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam
Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.
Namun
sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia
terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada
di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap
bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar
orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di
persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan
surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan
siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan
Ibnu Ziyad.
Dengan
langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua
mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang
pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan
Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya.
Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani
mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan
darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan,
“Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu
kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”
Muslim bin Ausajah
Muslim
bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan
Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di
berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan
rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah
mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga
Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi
kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya
terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya
dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia
memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan
Imam Husein.
Habib bin
Madhahir
Di
Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam
Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di
tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal
sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri.
Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang
mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib
menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama
lagi, kita akan berjumpa dengan Tuhan.”
Di
bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak
menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait
syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran
risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh
tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan
lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para
pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan
membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum
menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein
yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan
kepahlawanan dan kesetiaan.
Nafi’ bin Hilal
Nafi’
bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan
sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan
dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam
Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam
Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat.
Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air
dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai
pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang
lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.
Burair bin
Khudhair
Di
tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat
beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya
adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya
sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura.
Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman
Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata,
“Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab,
“Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi
malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa
saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut
pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.” Burair
gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama
dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.
Kemenangan dalam berjuang
tidak selalu berbentuk kemenangan lahiriyah. Adakalanya gugur dalam perjuangan
juga merupakan sebuah kemenangan besar. Tak salah bila ada pepatah yang
mengatakan: darah mengalahkan pedang. Kisah Karbala adalah salah satu
contohnya. Meski sejak awal, seluruh anggota rombongan Imam Husein telah
mengetahui bahwa mereka adalah kafilah yang bergerak menuju kematian, tetapi
cita-cita luhur dan keyakinan akan kemenangan dengan syahadah membuat mereka
mantap melangkah. Kami masih bersama Anda dengan pembicaraan seputar
tokoh-tokoh kebangkitan Asyura dan drama yang mereka pentaskan di Karbala.
Ali Akbar bin
Husain as
Ketika
rombongan Imam Husein memasuki padang Karbala, terlihat barisan pasukan Ibnu
Ziyad yang berbaris bagai batang-batang korma di tengah sahara. Menyadari bahwa
ribuan orang bersenjata lengkap yang berada di sana berniat membantai Al-Husein
dan keluarganya, Ali Akbar putra Imam Husein bertanya kepada ayahnya, “Ayah,
bukankah kita berada di pihak yang benar?” Imam menjawab, “Iya.” Mendengar
jawaban itu Ali Akbar berseru, “Kalau begitu tidak alasan bagi kita untuk
merasa ragu dan gentar.”
Saat
Ali Akbar maju ke medan tempur untuk menunjukkan kesetiaannya kepada sang ayah
dan imam yang ia ikuti, Al-Husein dengan berlinang air mata memandang nanar ke
arah putranya dan berkata, “Ya Allah, saksikankah pemuda yang paling mirip
wajah, tutur kata dan perangainya dengan Rasul-Mu, kini maju ke medan tempur.
Selama ini, kami mengobati kerinduan kepada Nabi dengan memandangnya. Ya Allah,
jauhkan mereka dari barakah bumi ini dan cabik-cabiklah barisan mereka.”
Ali
Akbar maju dan dengan gesit dia menari-narikan pedangnya. Beberapa orang yang
menghadangnya terjerembab ke tanah terkena sabetan pedang putra Al-Husein. Tak
lama kemudian, kisah kepahlawanan dan kesetiaan Ali Akbar menjadi lengkap
setelah sebilah pedang mendarat di tubuhnya. Ali Akbar jatuh tersungkur dan
musuh-musuh berhamburan menyambutnya dengan mendaratkan pukulan pedang
bertubi-tubi ke tubuh pemuda tampan itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir, Ali Akbar berseru kepada ayahnya dengan mengatakan, “Ayah, Rasulullah
telah memberiku air. Beliau menunggu kedatanganmu.” Cucu Rasul itu gugur syahid
dengan meninggalkan pelajaran berharga tentang kesetiaan dan pengorbanan dalam
membela kebenaran.
Qasim bin Hasan
as
Mungkin
kisah Qasim putra Imam Hasan as di Karbala adalah kisah yang paling menarik
tentang kesetiaan dan pengorbanan. Kemenakan Imam Husein yang saat itu masih
sangat belia, yaitu berusia kurang dari lima belas tahun, telah menyuguhkan
pelajaran yang amat berharga. Di hari Asyura, saat pembantaian di Padang
Karbala berlangsung, Qasim menatap pilu medan laga. Imam Husein mendatanginya
dan bertanya, “Qasim, bagaimana engkau memandang kematian?” Qasim menjawab,
“Kematian bagiku lebih manis dari madu.” Ya, remaja belia yang terdidik di
rumah kenabian dan wilayah itu telah hanyut dalam cinta rabbani dan tak sabar
menunggu saat-saat yang paling indah bertemu dengan sang Pencipta. Qasim maju
ke medan laga dan gugur sebagai syahid.
Jaun bin Abi
Malik
Jaun
bin Abi Malik, adalah bekas budak Abu Dzar Al-Ghifari yang kemudian mengabdi di
rumah Imam Ali, Imam Hasan, dan terakhir di rumah Imam Husein as. Di siang hari
Asyura, Jaun dari dekat menyaksikan dan merasakan penderitaan yang dialami oleh
keluarga Nabi dan para pengikut setia mereka di Padang Karbala. Meski tidak
terlibat dalam konflik, Jaun tidak mau tinggal diam. Dia bangkit dan meminta
ijin kepada Imam Husein untuk mempersembahkan darahnya dalam membela keluarga
Nabi. Imam Husein yang terkenal bijak mengatakan, “Wahai Jaun, jangan celakakan
dirimu. Engkau telah kumerdekakan.”
Jaun
menangis, dan sambil mencium kaki tuannya, dia berkata, “Tuanku, selama ini aku
hidup sejahtera di rumahmu. Aku tidak bisa tinggal diam menyaksikan engkau dan
keluargamu menghadapi kesulitan ini. Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu
sampai darahku bercampur dengan darahmu yang suci.” Budak berkulit hitam itu
menunjukkan kesetiaan seorang hamba kepada tuannya. Jaun mengajarkan makna
sejati dari balas budi. Setelah mendapat ijin, bekas budak Abu Dzar itu maju ke
medan laga dan mempertontonkan semangat pengorbanan untuk keluarga Rasul.
Untuknya Imam Husein berdoa, “Ya Allah putihkan wajahnya, masukkanlah ia ke
dalam golongan orang-orang yang baik dan jangan pisahkan dia dari keluarga
Muhammad.”
Wahb bin
Abdullah
Wahb
bin Abdullah adalah salah seorang pengikut setia Imam Husein. Sebelum bertemu
Imam Husein, Wahb adalah pengikut agama Nasrani. Di tangan Imam Husein, dia dan
ibunya masuk Islam. Saat berada di padang Karbala bersama Imam Husein, Wahb
baru 17 hari menikah. Sebagai bukti kesetiaan kepada penghulu pemuda surga dan
pemimpin umat itu, Wahb maju ke medan tempur. 24 penunggang kuda dan 24
prajurit pejalan kaki berhasil ditumbangkannya. Namun Wahb berhasil ditangkap
dan dibawa menghadap Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad.
Wahb
gugur syahid setelah Ibnu Saad mengeluarkan perintah pemenggalan kepalanya.
Kepala tanpa badan itu dikirim ke perkemahan Imam Husein. Ibu Wahb dengan
bangga mencium kepala anaknya yang gugur dalam membela kebenaran. Kepala itu
dilemparkannya ke arah musuh sambil berkata, “Aku tidak akan mengambil kembali
apa yang telah kupersembahkan untuk Islam.” Tak cukup dengan persembahan itu,
wanita tua itu mengambil sebatang kayu dan berlari ke arah musuh. Ibu Wahb
ingin menyusul anaknya yang telah mendahuluinya terbang ke surga. Namun Imam
Husein mencegahnya dan mendoakan kebaikan untuknya.
Kisah
pengorbanan sahabat Nabi dalam perang Uhud yang menjadikan tubuhnya sebagai
perisai hidup untuk melindungi Rasulullah, terulang kembali di padang Karbala.
Di hari Asyura, pasukan Ibnu Ziyad tidak memberikan kesempatan kepada Imam
Husein dan para sahabatnya untuk melaksanakan kewajiban shalat. Saat Imam
Husein berdiri untuk mengerjakan shalat berjemaah dengan para sahabatnya, Said
bin Abdillah Al-Hanafi berdiri melindungi putra Fatimah itu dari terjangan
tombak dan anak panah yang meluncur ke arah Imam Husein. Tubuh Said dipenuhi
oleh tombak dan anak panah.
Said
roboh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya ia berkata, “Ya Allah, sampaikan
salamku kepada Nabi-Mu Muhammad. Katakan kepada beliau bahwa luka-luka di
sekujur tubuhku ini kudapatkan ketika melindungi dan membela cucu kesayangannya
yang tengah memperjuangkan agama dan kebebasan.” Mata sayu Said untuk beberapa
saat memandang wajah pemimpinnya. Dia berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah
aku sudah melaksanakan janji setiaku?” Imam Husein menjawab, “Ya, engkau telah
mendahuluiku masuk ke surga.”
Abis bin Abu
Syubaib Al-Syakiri
Kisah
Abis bin Abu Syubaib Al-Syakiri di Karbala adalah kisah cinta yang luhur.
Selain dikenal pemberani dan piawai dalam bertarung di medan tempur, Abis juga
terkenal sebagai ahli ibadah dan rajin melaksanakan shalat tahajjud. Di malam
Asyura, Abis mendatangi kemah Imam Husein. Kepada beliau, Abis mengatakan,
“Demi Allah, tidak ada seorangpun di dunia ini yang kucintai dan aku hormati
lebih dari dirimu, wahai putra Rasulullah. Jika ketulusan cinta ini dapat aku
tunjukkan dengan mengorbankan sesuatu yang lebih berharga dari jiwa dan ragaku,
pasti akan kulakukan.” Abis gugur syahid setelah pasukan musuh yang kewalahan
dalam menghadapinya, menghujaninya dengan batu-batuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar