Pelangi
di Persia - Menyusuri Eksotisme Iran. Genre: Traveling, Culture, Memoirs. Penulis:
Dina Y. Sulaeman. Penerbit: Pustaka IMaN, Cetakan Pertama, Desember 2007. Tebal:
297 halaman
Oleh
Haryati
Ismail
Iran
adalah sebuah negara di Teluk Persia. Negara ini tidak henti-hentinya menjadi
sorotan berbagai media, terutama pasca Revolusi Islam Iran 1979, dan lebih
seringnya mendapat prasangka dan stereotipe negatif. Stigma buruk lebih sering
dihembuskan media Barat terutama untuk mengatasi sikap pembangkangan rakyat
Iran terhadap resolusi PBB tentang pemanfaatan tekhnologi nuklir dan
penentangannya atas berdirinya Israel di atas tanah Palestina. CNN pernah
menjuluki Iran sebagai bangsa yang keras kepala. Semakin diserang propaganda
dari luar, semakin membangkang, ini bukti bahwa mereka bangsa yang tidak mau
diatur-atur negara lain. Sifat ‘keras kepala’ bangsa Iran tidaklah terbentuk
dengan sendirinya dan serta merta, namun memiliki alur sejarah yang panjang.
Sejarah kelam yang penuh dengan penindasan dan penjajahan baik bangsa asing maupun
penguasa dari bangsa sendiri membentuk watak rakyat Iran untuk tidak mudah
diatur. Sejarah Iran dimulai lebih dari 3000 tahun yang lalu ketika suku bangsa
Arya bermigrasi ke wilayah itu. Dan ketika itu juga wilayah tersebut
mendapatkan namanya yaitu ‘Iran’ yang berarti ‘Tanah Bangsa Arya’ (‘The Land of
The Aryan‘). Anehnya, tanah bangsa Arya ini oleh orang-orang Yunani disebut
sebagai Persis, yang menjadi asal kata nama Persia.
Bangsa
Persia mencapai kejayaannya sekitar menjelang tahun 500 SM sebagai sebuah
negara adikuasa yang menguasai wilayah Timur dan Barat yaitu dari kawasan India
saat ini sampai ke Laut Tengah dan Afrika Utara. Tercatat sebagai ‘was the
largest empire the world had ever seen’. Imperium ini didirikan oleh Raja Cyrus
(Cyrus the Great), diyakini sebagai sosok legendaris yang disebut sebagai
Dzulqarnain (berarti: yang memiliki dua tanduk). Sepeninggal Raja Cyrus
imperium ini diwariskan kepada penerusnya. Perjalanan imperium ini dipenuhi
dengan peperangan dan pertumpahan darah terutama untuk melindungi diri dari
penguasaan bangsa asing. Pada tahun 331 S.M. setelah mengalahkan tentara Persia
yang besar dalam pertempuran di Arbela, Alexander dari Macedonia menaklukkan
imperium ini. Kemenangan ini mengakhiri Imperium Achaemenia dan Persia pun
menjadi bagian dari kekaisaran Alexander. Penaklukan ini dianggap sebagai
sebuah tragedi besar oleh bangsa Iran. Sekitar tahun 224 M seorang Persia
bernama Ardhasir berhasil mengambil alih kerajaan dan mendirikan Dinasti
Sassania.
Setelah
lebih dari 550 tahun di bawah kekuasaan bangsa asing, orang Persia kembali
memerintah Persia, dan dinasti Sassania ini bertahan selama lebih dari 400
tahun. Dalam kurun waktu itu, seni budaya Iran tumbuh subur, jalan-jalan,
irigasi dan bangunan berkembang pesat, akan tetapi perang antara bangsa Persia
dan bangsa Romawi terus berlanjut mewarnai sebagian besar masa pemerintahan
rezim Sassania. Zoroastrianisme menjadi agama negara. Meskipun mencapai
kemajuan, dinasti Sassania bukannya tidak bermasalah, bahkan pada masa ini eksploitasi
dan penindasan yang ekstrim terhadap rakyat Iran mencapai puncaknya. Perbudakan
telah rnelampaui batas dan memasuki masa krisis. Penindasan yang terakumulasi
itu tiba-tiba meledak dalam bentuk gerakan revolusioner di bawah pimpinan
Mazdak. Gerakan rakyat ini memiliki kandungan komunistik. Ajarannya menuntut
distribusi kesejahteraan yang adil dan memperjuangkan eliminasi kebangsawanan
dan feodalis. Namun gerakan ini diatasi secara brutal oleh Raja Nosherwan dan
tiga puluh ribu pengikutnya dibinasakan. Gerakan revolusioner Mazdak adalah
salah satu perjuangan kelas yang paling inspiratif dalam sejarah gerakan
revolusioner Iran.
Di
pertengahan abad ke-7 M, tentara Arab menaklukkan negara tersebut dan
kebanyakan rakyat Iran kemudian menganut agama Islam. Alasan utama agama baru ini
diterima bangsa Iran, karena ajaran ini membawa semangat pembebasan bagi rakyat
kecil yang tertindas.
Dengan
memperkenalkan Islam, bangsa Arab mengganti kepercayaan kuno Persia,
Zoroastrianisme, dan sejak saat itu hingga hari ini, orang Persia menjadi
Muslim. Namun kemudian di tangan raja-raja Arab dari Dinasti Umayyah rakyat
Iran kembali mengalami penindasan. Sampai abad ke-9, kontrol Arab melemah
kekuasaan atas bangsa Iran pun berada di tangan kerajaan Turki sampai
pertengahan abad ke-11. Belum lepas dari penjajahan Turki tahun 1220 musuh baru
kembali datang. Bangsa Mongol yang dipimpin Jenghis Khan mengepung seluruh
wilayah, dan meluluhlantakkan segalanya. Mereka menjadikan kota-kota di Iran
menjadi puing-puing dalam sekejap dan menjagal beribu-ribu orang. Bencana
nasional ini menginspirasi para penyair Persia untuk menulis tragedi berdarah
ini dalam epik-epik mereka. Setelah tahun 1335 kerajaan Mongol di Iran pada
gilirannya terpecah-belah dan sekali lagi sebuah kerajaan digantikan dengan
serangkaian dinasti-dinasti kecil. Antara tahun 1381 dan 1404 Iran
diporak-porandakan oleh invasi berulangkali oleh penakluk lainnya dari daerah
Stepa Timur, yang di Barat dikenal sebagai Timurlane yang setelahnya diikuti
oleh periode chaos di mana silih berganti pemimpin-pemimpin Iran saling berebut
kekuasaan.
Tahun
1979 gerakan massa yang dipimpin Imam Khomeini memberi lembaran baru dalam
sejarah perjalanan bangsa Iran. Dalam semalam suasana berubah drastis. Dinasti
monarki yang sempat dirayakan hari jadinya yang ke 2.500 tahun 1971 oleh Syah
Pahlevi, hancur berkeping-keping dan berdirilah Republik Islam Iran. Peristiwa-peristiwa
yang meskipun traumatik ini tidak ingin dilupakan begitu saja oleh rakyat Iran.
Peninggalan-peninggalan dinasti-dinasti yang pernah berkuasa masih tersimpan
rapi pada kota-kota besar di Iran.
Kita
patut berterimakasih kepada Dina Y Sulaeman yang dengan apik menceritakan
kembali dan mengabadikan peninggalan-peninggalan kerajaan Persia ini dalam
bukunya “Pelangi di Persia- Menyusuri Eksotisme Iran”. Buku ini merupakan
cerita perjalanan penulis di berbagai wilayah Iran yg sangat beragam dan indah.
Penggunaan kata pelangi untuk judul buku ini menurut saya sangat tepat, sebab
dengan adanya interaksi rakyat Iran dengan budaya-budaya asing yang telah
berkuasa menciptakan keanekaragaman budaya dan etnis yang sangat berharga dan
indah, seindah warna-warni pelangi. Salah satu kota yang diceritakan penulis
buku ini adalah Isfahan, kota yang menjadi Ibukota Safavi di tahun 1598, dikenal
sebagai salah satu kota berperadaban yang paling maju. Pada masa itu orang
Persia suka menyebut Isfahan sebagai Nisf-e Jahan (Setengah Dunia). Kota ini
memiliki banyak bangunan-bangunan hasil peradaban Islam di masa lampau.
Begitu
banyak peninggalan-peninggalan yang diditinggalkan oleh para penguasa yang
pernah menduduki daerah ini. Mulai dari Dinasti Deylamite, Buyid yang
meninggalkan pintu gerbang kuno mesjid Hakim. Di masa dinasti ini, Ibnu Sina
juga pernah mengajar di Isfahan. Dinasti selanjutnya, Dinasti Seljuk, ini
meninggalkan bangunan berupa menara indah dan kubah besar mesjid Jumat. Dinasti
Muzaffari meninggalkan menara dardasht mausoleum Lady Soltan Bakht Agha. Dan
Dinasti Timurian meninggalkan empat teras di masjid jame’. Yang menjadi pusat kota
di Isfahan adalah Maidan (Lapangan) Emam. Tempat ini selalu dijadikan tempat
untuk sholat Jum’at atau pidato-pidato yang dilakukan oleh para pejabat tinggi
negara (seperti Presiden atau Rahbar). Di sekitar Maidan Emam ini, ada banyak
gedung-gedung yang indah berdiri menambahkan keindahan Isfahan, seperti mesjid
Emam, Istana Ali Qapu dan lain-lain. Yang paling unik di Isfahan adalah adanya
Gereja Vank yang dikenal sangat fanatik tapi masih tetap mampu berdiri tegak
dengan damainya ditengah-tengah Islam Iran. Arsitekturnya khas Safavi dengan
lengkungan-lengkungan dan kubah yang Islam-sentris. Berdirinya Gereja Vank ini
yang beratusan tahun di Republik Islam membuktikan tingginya rasa persaudaraan
antar agama.
Di
Iran ini, ummat Kristiani sangat dihormati oleh Islam Syi’ah Iran. Yang paling
dikagumi dan diakui oleh penulis terhadap Islam Syi’ah Iran adalah penghormatan
mereka terhadap umat Kristiani dan dalam doa-doa mereka, ada nama Isa Al-Masih.
Ini yang membuat penulis mengaku mengagumi Syi’ah.
Kalau
Isfahan mempersembahkan karya kemanusiaan yang tidak ternilai harganya dengan
adanya toleransi antar umat beragama, di kota Sanandaj, ibu kota dari Kurdistan
Iran timur mempertontonkan bentuk toleransi antar pemeluk mazhab berbeda dalam
Islam. Orang-orang pribumi di kota ini disebut suku Kurdi yang terdiri atas dua
kelompok besar Kurdi Sunni dan Kurdi Syi’ah, dan Kurdi Sunni-lah sebagai
penduduk mayoritas. Di kota ini ada bangunan yang disebut menarik oleh penulis
yaitu mesjid Sunni. Di sini, Kurdi Sunni yang mayoritas sangat menghormati kaum Kurdi yang
bermazhab Syi’ah. Beda dengan kita di Indonesia, Syi’ah dan Sunni saling
menghujat bahkan sampai yang paling ekstrim, mengkafirkan. Yang dikatakan
penulis sebagai hal menarik dari mesjid ini adalah, meskipun dikatakan mesjid
Sunni tapi orang-orang Syi’ah pun berdatangan untuk sholat meski tidak
berjamaah. Mereka sholat dengan cara fiqih mereka masing-masing. Syiah sholat
dengan tangan lurus sedangkan Sunni dengan tangan bersedekap. Mereka tak ada
yang saling berdebat, menghujat atau sampai mengkafirkan. Mereka berjalan
dengan saling menghormati.
Selain
di Sanandaj, ada mesjid penyimpanan Al Quran sangat kuno, yaitu di desa Negel
sekitar 65 kilometer dari Sanandaj-marivan. Orang-orang Sunni mengklaim bahwa al
Quran kuno ini tulisan tangan Khalifah Ustman, sementara orang-orang Syi’ah
mengatakan kalau tulisan itu dari buah tangan Imam Ali. Al Quran ini menurut
perkiraan ada sejak abad 10 M atau 11 M. Dan berapa kali Al Quran ini dicuri. Ada
lagi warna lain yang menebarkan pesona, yaitu Mekahnya orang Zoroaster diYazd.
Namanya “Chakcahk” yang artinya tetesan air. Di sana ada sebuah ‘mukjizat’ mata
air yang terus menerus menetes di sela-sela batuan cadas dan ini mengingatkan
kita pada mukjizat adanya mata air zam-zam di kaki Ka’bah. Kata Chakchak ini
merujuk pada sebuah gua tempat peribadatan orang Zoroaster. Orang Zoroaster
menjulukinya sebagai Mekah karena bentuknya agak mirip. Dan ketika kita mau
samakan, ini sama dengan gua Hira, tempat Rasul menerima wahyu pertamanya.
Bedanya, di Mekah, orang-orang non-muslim tidak boleh berkunjung, sedangkan di Chakchak,
orang bebas datang berdatangan. Tempat ini dibentuk oleh seorang perempuan
bernama “Nikabanu” salah satu putri dari Raja Yagzerd III, pemimpin dinasti Sassania.
Nikabanu lari ke gua ini untuk bersembunyi. Saat lari, dia membawa pohon
Chaner. Dialah yang menanam pohon itu di tengah-tengah batuan cadas dan tanah
yang tandus. Yang sampai sekarang, pohon itu masih ada berdiri tegak dan di sekelilingnya
ada mata air yang bermunculan di sela-sela batuan cadas.
Bukan
hanya itu, ada juga nama bangunan orang Zoroaster yang mengikuti bangunan orang
Islam, yaitu Ka’bah orang Zoroaster, tapi bukan di Yazd, melainkan di Syiraz.
Penulis mengungkapkan ketakjubannya ketika melihat bangunan-bangunan orang Zoroaster.
Penulis merasa melihat gambar-gambar yang ada di film-film setting Yunani-Romawi
semisal Alexander Agung dan Troy, bangunan yang sangat kuno dan alami.
Keistimewaan buku ini adalah penulis tidak lupa untuk melampirkan foto-foto eksclusif
di lembaran buku yang ditulisnya. Hal ini sangat membantu pembaca sehingga
tidak sulit untuk membayangkan keeksotisan bangunan yang sedang diceritakan
penulis.
Dan
yang juga menarik yang diceritakan adalah kehidupan orang Zoroaster yang sangat
damai dan jarang sekali ada konflik di antara mereka, di mana mereka juga
menjauhi sikap-sikap korup, bertutur sopan dan berperilaku jujur. Menurut
cerita, itu karena mereka menjalankan 3 prinsip dari ajaran agamanya yaitu
agama Zardtust, Pendar-e nik, Goftar-e nik, dan Raftar-e nik; Berpikir baik,
berucap baik dan berperilaku baik. Lewat 3 prinsip ini mereka bisa hidup
berdampingan dengan kaum yang lainnya dan bisa menerima pemerintahan Islam.
Meskipun buku ini ditulis sebagai catatan perjalanan (travelogue) sang penulis
yang dilakukannya selama 2 bulan mengelilingi Iran, namun sesungguhnya buku ini
adalah catatan pengalaman dan kajiannya terhadap Iran. Tinggal selama 8 tahun
di Iran, penguasaan bahasa Persia yang baik dan pekerjaannya sebagai penyiar
dan editor di Radio Indonesia IRIB (Islamic Repubic of Iran Broadcasting)
Teheran menjadikan kajian Dina Y Sulaeman terhadap Iran dari berbagai sisi
sangat komprehensif. Dina menulis apa yang dilihat dan didengarnya secara jujur
dan objektif. Dia secara blak-blakan menceritakan tentang pedagang-pedagang di
pasar Iran yang justru diperlakukan seperti raja oleh pembeli, bahkan pembeli
yang harus berterimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar