Oleh Sachiko Murata*
Dalam sebagian besar
teks-teks Islam, ada tiga realitas dasar yang selalu dipegang: Allah, kosmos atau makrokosmos, dan manusia
atau mikrokosmos. Kita bisa menggambarkan ketiganya ini sebagai
tiga sudut dari sebuah segitiga. Yang secara khusus menarik ialah hubungan yang
terjalin di antara ketiga sudut. Allah, Realitas Mutlak – Al Wujud] yang berada
di puncak, merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang ada di bawah,
karena baik makrokosmos maupun mikrokosmos adalah realitas-realitas derivatif.
Setiap sudut bisa dikaji dalam hubungannya dengan satu atau dua sudut lainnya.
Gambar segitiga menjadi
lebih kompleks lagi oleh fakta bahwa masing-masing dari ketiga realitas itu
mempunyai dua dimensi dasar dan bisa dilukiskan sebagai sebuah salib (dalam
arti kiasan longgar). Sumbu vertikal menggambarkan satu jenis hubungan, dan
sumbu horizontal melukiskan jenis hubungan lainnya. Di puncak, sumbu vertikal
dibentuk oleh perbedaan antara Esensi Ilahi dan sifat-sifat Ilahi, sementara
sumbu horizontal mencerminkan berbagai hubungan antara nama-nama Ilahi
komplementer, seperti yang Maha Memuliakan dan yang Maha Menghinakan atau yang
Maha Menghidupkan dan yang Maha Mematikan. Bisa ditarik perbedaan-perbedaan
paralel baik dalam mikrokosmos maupun makrokosmos. “Langit dan Bumi” atau “Jiwa
dan Raga” menggambarkan sumbu vertikal, sementara kesalinghubungan antara
berbagai realitas pada setiap tataran dan arasy membentuk sejumlah sumbu
horizontal. Untuk sementara, penting kiranya memunculkan struktur segitiga
dasar dari keseluruhan realitas.
Tanda-tanda di Cakrawala dan
Jiwa
Istilah-istilah paling
umum dalam teks-teks yang ada pada kami uutuk makrokosmos dan mikrokosmos
adalah terjemahan literal atau harfiah dalam bahasa Arab atas ungkapan-ungkapan
Yunani: al-’alam al-kabir, “alam besar,” dan al-’alam al-shaghir, “alam kecil”.
Sering kali kata ‘lebih besar’ dan ‘lebih kecil’ digunakan sebagai ganti kata
‘besar’ dan ‘kecil’. Terkadang, keutamaan diberikan kepada manusia. Maka,
makrokosmos pun menjadi “manusia besar” (al-insan al-kabir) dan mikrokosmos
menjadi “manusia kecil” (al-insan al-shaghir) [1]. Istilah makrokosmos sinonim
dengan dunia atau kosmos, yang biasanya didefinisikan sebagai “segala sesuatu
selain Allah.” Manakala pengarang-pengarang kami menggunakan istilah
makrokosmos pengganti kosmos, mereka berbuat demikian untuk membuat kontras
dengan mikrokosmos. Mikrokosmos adalah individu manusia, yang melambangkan
seluruh kualitas yang dijumpai dalam shifat-shifat dan asma-asma Allah dan
makrokosmos.
Banyak pengarang
menyinggung-nyinggung makrokosmos dan mikrokosmos melalui ungkapan “cakrawala
dan jiwa” (al-afaq wa al-anfus). Ungkapan ini kembali kepada ayat Al-Quran, “Kami akan memperlihatkan tanda-tanda Kami di
segenap cakrawala dan dalam jiwa mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa
Dia adalah Mahabenar” (QS [41]: 53). “Tanda-tanda” (aayaat)
Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar diri manusia, merupakan salah
satu tema yang diulang-ulang dalam al Quran. Kitab tersebut menggunakan istilah
tanda dalam bentuk tunggal atau jamak sebanyak 288 kali dalam beberapa makna
yang berkaitan erat. Sebuah tanda adalah fenomena yang memberitahukan ihwal
Allah. Tanda itu bisa berupa seorang nabi, risalah nabi, mukjizat nabi, atau berbagai
hal yang ada di dalam alam. Ia bisa bertalian dengan alam lahiriah,
makrokosmos, atau alam batiniah, mikrokosmos. “Dan
di atas bumi ada tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan
juga dalam dirimu. Apakah tiada kamu perhatikan?” (QS[ 51]:
20-21). Singkat kata, segala sesuatu di alam semesta adalah tanda Allah.
Banyak ayat al Quran
mengungkapkan gagasan bahwa semua objek alam adalah tanda-tanda Allah.
Sangatlah penting memahami gagasan ini sebagai fondasi pemikiran Islam, karena
ia menetapkan hubungan antara Allah dan kosmos dalam terma-terma yang pasti.
Disamping itu, ayat-ayat yang menggunakan istilah itu biasanya menyebut-nyebut
bagaimana sebaiknya manusia menanggapi tanda-tanda Allah: mengingat, memahami,
melihat, bersyukur, merenung, menggunakan akal, beriman dan bertakwa kepada
Allah, dan sebagainya. Saya mengutip beberapa contoh untuk menjelaskan hal ini
secara lebih jelas:
“Dialah yang menjadikan
bintang-bintang bagimu, supaya kamu pergunakan sebagai penunjuk jalan dalam
kegelapan di darat dan di laut. telah Kami jelaskan tanda-tanda (kebesaran)
Kami bagi orang-orang yang mengetahui dan paham” (QS.[6]:97).
“Dan tanah yang baik
keluarlah darinya tanaman (subur) dengan seizin Rabbnya. Tapi (tanah) yang
buruk hanya keluar darinya tanaman yang merana. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran Kami kepada kaum yang bersyukur” (QS.[S]: 58 ).
“Dalam silih berganti
malam dan siang, (dalam) segala yang Allah ciptakan di langit dan d bumi, ada
tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi orang-orang yang bertakwa (kepada-Nya).”
(QS.[10]:6).
“Dan segala yang
diciptakan-Nya bagimu di bumi yang aneka ragam warnanya, semua itu merupakan
tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang menerima peringatan”
(QS.[16]:13).
“Tiadakah mereka melihat
burung-burung terbang patuh di ruang angkasa? Tiada yang menahan kecuali Allah.
Sungguh semua itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang
beriman” (QS[16]:79)
“Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia memperlihatkan kilat untuk (menimbulkan)
ketakutan dan harapan. Dia menurunkan hujan dari langit dan dengan itu memberi
hidup kepada bumi sesudah ia mati. Sungguh dalam yang demikian itu ada
tanda-tanda bukti bagi orang-orang yang menggunakan akalnya” (QS[30]:24).
“Allah mengambil jiwa
orang waktu matinya, dan jiwa (orang) yang (belum mati), diambil-Nya waktu
tidurnya. Ditahan-Nya jiwa (orang) yang telah ditentukan kematiannya. Sungguh
semua itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang
menggunakan pikiran” (QS.[39]:42).
Manakala al Quran
memerintahkan manusia untuk melihat segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah,
maka ini berarti bahwa al Quran mendorong manusia untuk menggunakan “sebuah
proses mental” tertentu yang tidak ditujukan semata-mata pada obyek, hal-hal,
atau data. Sebaliknya, al Quran mengatakan kepada kita bahwa kita mesti
memahami segala sesuatu bukan melulu tentang objeknya sendiri, melainkan juga
tentang apa yang dapat diterangkannya mengenai sesuatu di luar dirinya. Segala
sesuatu itu seperti ibarat, perumpamaan, dan simbol-sirnbol. Sebagaimana
dikatakan Lane dalam kamus Arab klasiknya, seraya mengutip seorang otoritas
kuno, kata aayaat “secara tepat bermakna
sesuatu yang tampak adalah tak terpisahkan oleh sesuatu yang tak tampak,
sehingga ketika seseorang memahami yang tampak, maka dia tahu bahwa dia
memahami yang tak tampak, di mana yang tak tampak tidak bisa dipahami dengan
dirinya sendiri.” Menurut definisi, Allah tidaklah tampak.
Namun jejak-jejak dan isyarat-isyarat dari ciptaan-Nya yang mengagumkan, bisa
menghasilkan pemahaman tentang Allah, jika kita memang merenungkannya.
Catatan kaki: [1]
Kadang-kadang manusia dipandang sebagai realitas lebih besar disebabkan
keunggulan kualitatif tertentu yang berkaitan dengan kekholifahan manusia. Kemudian,
manusia adalah makrokosmos, dan kosmos adalah mikrokosmos. Misalnya Sam’aani
(Rawh Al-Arwaah 180) menulis, ”Sekalipun struktur manusia itu kecil dari sudut
pandang penglihatan Anda, dalam batasan makna, kemuliaan, khazanah dan misteri
yang ada di dalamnya, ia adalah kosmos yang lebih besar (’alam-i akbar’).”
*Penulis buku The Tao of Islam dan The Vision of Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar