Masyarakat
Saba’ adalah satu di antara empat peradaban terbesar yang pernah hidup di Arabia
Selatan. Kaum ini diperkirakan berkembang sekitar tahun 1000-750 SM dan runtuh
sekitar tahun 550 M, setelah serangan-serangan selama dua abad dari bangsa
Persia dan Arab. Masa keberadaan peradaban Saba’ banyak diperbincangkan. Kaum
Saba’ mulai mencatat laporan pemerintahannya sekitar 600 SM. Karena itulah
tidak terdapat catatan tentang mereka sebelum tahun tersebut.
Sumber
tertua yang menyebutkan tentang kaum Saba’ adalah catatan perang tahunan yang
berasal dari masa raja Asiria Sargon II (722-705 SM). Kala mencatat
bangsa-bangsa yang membayar pajak kepadanya, Sargon juga menyebutkan raja
Saba’, Yith’i-amara (It’amara). Catatan ini merupakan sumber tertulis tertua yang
memberikan informasi tentang peradaban Saba’. Namun, tidak terlalu tepat untuk
menarik kesimpulan bahwa kebudayaan Saba’ dibangun sekitar 700 SM hanya
berdasarkan data ini, karena sangat mungkin kaum Saba’ telah ada lama sebelum
tercatat dalam catatan tertulis. Artinya, sejarah Saba’ mungkin lebih awal dari
waktu di atas. Memang, dalam prasasti Arad-Nannar, salah satu raja terakhir
dari negara Ur, digunakan kata “Sabum” yang diperkirakan berarti “Negeri Saba’”.
Jika kata ini benar-benar berarti Saba’, maka ini berarti sejarah Saba’ mundur
sampai sejauh 2500 SM.
Sumber-sumber
sejarah yang menceritakan tentang Saba’ biasanya menyebutkannya sebagai sebuah
kebudayaan, yang seperti bangsa Punisia, terutama bergerak dalam kegiatan
perdagangan. Begitu pula, kaum ini memiliki dan mengatur sejumlah jalur
perdagangan yang melintasi Arabia Selatan. Agar dapat membawa barang-barangnya
ke Laut Tengah dan Gaza, yang berarti melintasi Arabia Selatan, orang-orang
Saba’ harus mendapatkan izin dari Raja Sargon II, penguasa seluruh wilayah
tersebut, atau membayar pajak dengan jumlah tertentu kepadanya. Begitu kaum
Saba’ mulai membayar pajak kepada kerajaan Asiria, nama mereka mulai tercatat
dalam sejarah negeri ini.
Kaum
Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam sejarah. Dalam
prasasti para penguasa Saba’ sering digunakan kata-kata seperti “memperbaiki”,
“mempersembahkan”, dan “membangun”. Bendungan Ma’rib, yang merupakan salah satu
monumen terpenting kaum ini, adalah indikasi penting dari tingkatan teknologi
yang telah diraih oleh kaum ini. Namun, ini tidak berarti bahwa kekuatan
militer Saba’ lemah, bala tentara Saba’ adalah salah satu faktor terpenting
yang menyokong ketahanan kebudayaan mereka dalam jangka waktu demikian lama
tanpa keruntuhan.
Negara
Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan tersebut. Negara
mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan bersenjatanya. Negara Saba’
telah menaklukkan wilayah-wilayah dari negara Qataban Lama. Negara Saba’
memiliki banyak tanah di benua Afrika. Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi
ke Magrib, tentara Saba’ dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus,
Gubernur Mesir untuk Kekaisaran Romawi yang jelas-jelas merupakan negara
terkuat pada masa itu. Saba’ dapatlah digambarkan sebagai sebuah negara yang
menerapkan kebijakan moderat, namun tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan jika
diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang maju, negara Saba’ jelas
merupakan salah satu “adidaya” di daerah tersebut kala itu.
Angkatan
bersenjata Saba’ yang luar biasa kuat ini juga digambarkan di dalam Al Quran.
Sebuah ungkapan dari para komandan tentara Saba’ yang diceritakan dalam Al
Quran menunjukkan besarnya rasa percaya diri yang dimiliki oleh bala tentara
ini. Para komandan berkata kepada sang ratu: ”Kita
adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang
sangat (dalam peperangan), dan keputusan ber-ada di tanganmu, maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (QS. An-Naml, 27: 33)
Ibu
kota negara Saba’ adalah Ma’rib yang sangat makmur berkat letak geografisnya
yang sangat menguntungkan. Ibu kota ini sangat dekat dengan Sungai Adhanah.
Titik di mana sungai mencapai Jabal Balaq sangat tepat untuk membangun sebuah
bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan ini, kaum Saba’ membangun sebuah
bendungan di sana, ketika peradaban mereka pertama kali berdiri, dan memulai
sistem pengairan mereka. Mereka benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang
sangat tinggi. Ibu kota Ma’rib, adalah salah satu kota termaju saat itu.
Penulis Yunani Pliny yang telah mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya,
juga menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.
Bendungan
di Ma’rib tingginya 16 meter, lebarnya 60 meter dan panjangnya 620 meter.
Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini
adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar termasuk dataran bagian selatan dan
sisanya termasuk dataran sebelah barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai
“Ma’rib dan dua dataran“ dalam prasasti Saba’. Ungkapan dalam Al Quran, “dua buah kebun di sisi kiri dan kanan“,
menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang mengesankan di kedua lembah ini.
Berkat bendungan ini dan sistem pengairannya, daerah ini menjadi terkenal
sebagai kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman. Para peneliti
semisal J. Holevy dari Prancis dan Glaser dari Austria membuktikan dari
berbagai dokumen tertulis bahwa bendungan Ma’rib telah ada sejak zaman kuno.
Dalam dokumen-dokumen yang tertulis dalam dialek Himer, disebutkan bahwa
bendungan ini membuat kawasan tersebut sangat produktif.
Bendungan
ini diperbaiki secara besar-besaran selama abad 5 dan 6 M. Namun demikian,
perbaikan-perbaikan ini tidak mampu mencegah bendungan ini dari keruntuhan pada
tahun 542 M. Runtuhnya bendungan tersebut mengakibatkan “banjir besar Arim”
yang disebutkan da-lam Al Quran serta mengakibatkan kerusakan hebat.
Kebun-kebun anggur, kebun-kebun, serta ladang-ladang pertanian kaum Saba‘’yang
telah mereka tanami selama ratusan tahun hancur seluruhnya. Diketahui juga bahwa
kaum Saba’ segera mengalami masa resesi setelah kehancuran bendungan tersebut.
Berakhirlah negara Saba’pada ujung periode yang diawali oleh hancurnya
bendungan tersebut.
Banjir Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’
Ketika
kita kaji Al Quran dengan kelengkapan data sejarah di atas, maka kita akan
mengamati bahwa ada kesamaan yang sangat mendasar dalam hal ini. Keduanya,
temuan arkeologis dan data sejarah membenarkan apa yang dicatat dalam Al Quran.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, kaum ini, yang tidak mendengarkan
peringatan dari nabi mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan,
akhirnya dihukum dengan banjir yang mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al
Quran dalam ayat-ayat sebagai berikut: “Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu
dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan
kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada
orang-orang yang sangat kafir.” (QS Saba’, 34: 15-17)
Sebagaimana
ditekankan dalam ayat-ayat di atas, kaum Saba’ yang hidup di suatu daerah yang
diberkahi dengan kebun-kebun dan kebun-kebun anggur yang subur dan luar biasa
indah. Karena terletak di jalur perdagangan, negeri Saba’ memiliki standar
kehidupan yang sangat tinggi dan menjadi salah satu kota yang disukai pada masa
itu. Di sebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sangat bagus,
yang seharusnya dilakukan oleh Kaum Saba’ adalah “Makan-lah olehmu dari rezeki
yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya” sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas. Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka memilih
untuk mengklaim kemakmuran itu sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri
itu adalah milik mereka sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan
yang luar biasa tersebut ada. Mereka memilih untuk menjadi sombong bukannya
bersyukur, dan dalam ungkapan ayat tersebut, mereka “berpaling dari Allah”.
Karena
mereka mengaku-ngaku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun
kehilangan semua yang mereka miliki. Di dalam Al Quran, azab yang dikirimkan
kepada kaum Saba’ dinamakan “Sail Al Arim” yang berarti “Banjir Arim”. Ungkapan
yang digunakan dalam Al Quran ini juga menceritakan kepada kita bagaimana
bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau rintangan. Ungkapan
“Sail Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan runtuhnya bendungan ini.
Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat kejadian dengan dipandu
ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir Arim. Maududi menulis
dalam komentarnya: Sebagaimana digunakan pula dalam ungkapan Sail Al Arim, kata
“Arim” diturunkan dari kata “arimen” yang digunakan dalam dialek Arab Selatan
yang berarti “bendungan, rintangan”. Dalam reruntuhan yang terungkap dalam
penggalian yang dilakukan di Yaman, kata tersebut tampaknya sering digunakan
dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti yang dipesan oleh Ebrehe
(Abrahah), Raja Yaman Habesh, setelah perbaikan dinding Ma’rib yang besar pada
tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali digunakan untuk mengartikan
bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim berarti “sebuah bencana banjir yang
terjadi setelah runtuhnya sebuah bendungan.”
“Kami
ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16).
Yakni, setelah runtuhnya dinding bendungan, seluruh negeri digenangi banjir.
Saluran-saluran yang telah digali oleh kaum Saba’ serta dinding yang telah
didirikan dengan membangun perintang di antara gunung-gunung tersebut runtuh,
dan sistem pengairan pun hancur berantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti
kebun tersebut berubah menjadi hutan. Tidak ada lagi buah yang tersisa kecuali
buah seperti ceri dari pepohonan kecil bertunggul.
Werner
Keller, seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku Und die Bible Hat Doch
Recht (Alkitab Terbukti Benar), setuju bahwa banjir Arim terjadi sebagaimana
digambarkan dalam Al Quran dan menulis bahwa keberadaan bendungan semacam itu dan
kehancuran seluruh negeri karena keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang
diberikan dalam Al Quran tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar
adanya . Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi
padang pasir dan kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang terpenting
dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum tersebut, yang tidak mengindahkan
seruan Allah untuk beriman dan bersyukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan
sebuah bencana seperti ini. Setelah kehancuran besar yang disebabkan oleh
banjir, kaum tersebut mulai terpecah-belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan
rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria.
Karena
banjir tersebut terjadi setelah penyusunan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
peristiwa ini hanya disebutkan di dalam Al Quran. Kota Ma’rib yang pernah dihuni oleh Kaum
Saba’, namun sekarang hanyalah reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan lagi
merupakan peringatan bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama sebagaimana
kaum Saba’. Kaum Saba’ bukanlah satu-satunya kaum yang dihancurkan oleh banjir.
Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan kisah dua pemilik kebun. Salah
satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan menghasilkan seperti yang
dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan kesalahan serupa sebagaimana
mereka: berpaling dari Allah. Ia mengira anugerah yang dilimpahkan kepadanya
“dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua itu:
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah
perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya
(yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan
pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah
kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun,
dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai
kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia
bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim
kepada dirinya sendiri, ia berkata: ”Aku kira kebun ini tidak akan binasa
selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya
aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat kembali tempat yang
lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya
sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang
menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. Tetapi aku (percaya bahwa):
Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan
Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “Masya
Allah – tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah?”. Jika kamu
anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka
mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada
kebunmu (ini), dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit
kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin, atau airnya
menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya
lagi”. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua
tangannya (tanda menyesal) terhadap biaya yang telah dibelanjakannya untuk itu,
sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai
kiranya dahulu aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku”. Dan tidak
ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan sekali-kali
ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang
Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi Pahala dan sebaik-baik Pemberi Balasan.”
(QS. Al Kahfi, 18: 32-44).
Sebagaimana
dapat dipahami dari ayat-ayat ini, kesalahan yang dilakukan oleh pemilik kebun
bukanlah mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak mengingkari keberadaan Allah,
sebaliknya ia mengira bahwa “meskipun jika dikembalikan kepada Tuhannya” ia
tentu akan mendapatkan balasan yang lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang
dialaminya, hanyalah disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses. Sebenarnya,
ini persis maknanya dengan mempersekutukan Allah: mencoba untuk mengaku-aku
atas segala sesuatu milik Allah dan hilangnya rasa takut seseorang kepada Allah
karena menganggap bahwa seseorang memiliki keagungan tertentu dari dirinya
sendiri, dan Allah bagaimanapun akan “menunjukkan kemurahan” pada seseorang.
Inilah
yang juga dilakukan oleh kaum Saba’, hukuman mereka adalah sama – semua daerah
kekuasaannya hancur – sehingga mereka dapat memahami bahwa mereka bukanlah
“pemilik “ kekuatan tetapi kekuatan itu hanyalah “dikaruniakan” kepada mereka. Prasasti
yang tertulis dalam bahasa bangsa Saba‘. Dengan Bendungan Ma’rib yang telah
mereka bangun dengan teknologi yang sangat maju, kaum Saba‘ memiliki sistem
pengairan berkapasitas besar. Lalu, tanah subur yang mereka peroleh dan
penguasaan mereka atas jalur perdagangan memungkinkan mereka memiliki gaya
hidup yang luar biasa dan mewah. Namun, mereka kemudian “berpaling” dari Allah,
padahal kepada-Nya mereka seharusnya bersyukur atas semua kemurahan itu.
Karenanya, bendungan mereka pun runtuh dan “banjir Arim” menghancurkan semua
pencapaian mereka.
Saat
ini, bendungan kaum Saba‘ yang terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan. Bendungan
Ma’rib yang tampak sebagai reruntuhan di atas adalah salah satu karya
terpenting dari kaum Saba‘. Bendungan ini runtuh dikarenakan banjir Arim yang
disebutkan dalam Al Quran dan semua daerah pertaniannya tergenang. Karena
wilayahnya hancur dengan runtuhnya bendungan, negara Saba‘ kehilangan kekuatan
ekonominya dalam waktu yang sangat singkat dan segera runtuh. Al Quran
menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba’ dan kaumnya “menyembah matahari
selain menyembah Allah” sebelum ia mengikuti Sulaiman As. Informasi dari
berbagai prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka
menyembah matahari dan bulan dalam kuil-kuil mereka. “Kita bukan pemilik Dunia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar