Sebagai
seorang penulis, arsitek, budayawan, sekaligus rohaniwan, YB Mangunwijaya
merupakan sosok penulis yang prolifik sekaligus figur inter-(multi) disipliner.
Secara pribadi, Romo Mangun adalah salah-satu penulis Indonesia yang merupakan
tempat saya belajar (membaca), tentu saja melalui tulisan-tulisannya yang
humoris itu. Tentu ada beberapa alasan kenapa saya belajar darinya. Contohnya,
saya justru menemukan spirit Islam saya melalui sikap dan tulisannya yang
mempraksiskan agama dan spirit religius keteladanan. Romo Mangun, demikian
akrab disebut dan disapa, menjadikan praksis agama sebagai rahmat bagi mereka
yang hidup, membela mereka yang lemah dan tertindas. Sebuah spirit dan praksis
religius yang juga tentu saja saya dapatkan pada diri Rasulullah, Imam Ali, dan
Imam Husain, yang dalam bahasa kerennya adalah agama yang membebaskan dan
mencerahkan, yang kalau dalam bahasa para mahasiswa/i” disebut “theology of
liberation” alias teologi pembebasan atau yang dalam bahasa Romo Mangun
sendiri disebut “teologi pemerdekaan”.
Dalam
tulisan-tulisan dan sikap Romo Mangun, saya menemukan dan mendapatkan
kesepadanan nilai dan spirit apa yang dikatakan Imam Ali, “Barangsiapa yang
diam di hadapan penindasan dan kezaliman, maka sama saja bekerjasama dengan
penindasan dan kezaliman”, yang edisi lengkapnya dapat kita baca dalam
Nahjul Balaghah. Dan juga perkataan Imam Ali lainnya, “Jadikanlah
dirimu sebagai timbangan dalam hubunganmu dengan orang lain, dan cintailah
orang lain itu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”.
Akan
tetapi, mengingat banyak dan beragamnya minat dan konsen tulisan-tulisan dan
karya-karya Romo Mangun, tulisan ini tak hendak mengeksplorasi atau mengkespose
spirit dan praksis religius Romo Mangun secara khusus, namun lebih pada upaya
untuk mencoba menziarahi visi dan ideologi estetik Romo Mangun sebagai penulis
dan sastrawan, meski spirit dan praksis religius dan minat lain Romo Mangun
lainnya dalam tulisan ini pada akhirnya akan terbicarakan juga dengan
sendirinya sebagai pelengkap dan cermin pinjaman untuk meneropong “dunia”
tulisan-tulisan Romo Mangun. Tak lain karena spirit dan praksis religius Romo
Mangun itu sendiri merupakan kosmos dan wawasannya yang akan membentuknya
sebagai seorang penulis dan pemikir kebudayaan, juga erudisinya dalam isu-isu
yang lain.
Sebagaimana
ia ungkapkan dalam salah-satu esainya berjudul “Novel Saya dan Lakon Wayang”
(Jurnal Kalam Edisi 9 Tahun 1997, hal. 54-58) itu, Romo Mangun secara gamblang
menegaskan visi dan posisi estetiknya yang yang berusaha menjembatani dan
melampaui dua ideologi besar yang populer dalam sastra Indonesia: Lekra
dan Manikebu, meski ia tak menyebut dua ideologi estetik itu secara
eksplisit. Dalam esainya itu Romo Mangun menegaskan diri bahwa ikhtiarnya dalam
menulis prosa tidak ingin jatuh pada gagrak “sastra pop” namun pada saat yang
sama berusaha menjadikan realitas kehidupan keseharian, terutama dunia dan
kehidupan wong cilik, sebagai bahan dan materi tulisan prosa-prosanya, bahkan
juga esai-esainya. Visi dan pilihannya itu, seperti telah disebutkan, tak
terlepas dari spirit religius Romo Mangun sendiri, terlebih posisinya sebagai
seorang imam diosesan Katolik, yang berusaha “membumikan” ajaran dan
nilai-nilai keagamaan dalam praktek emansipatif, pencerahan, dan pembebasan
masyarakat, yang dalam istilah theology of liberation lazim disebut
sebagai teologi yang berpihak kepada mereka yang tertindas dan terpinggirkan.
Sastra dan Wayang
Dalam
esai berjudul Novel Saya dan Wayang yang menerang-jelaskan ihwal visi
estetik dan proses kreatifnya itu Romo Mangun berusaha mengkomunikasikan
spirit, visi, dan bentuk prosa-prosanya yang banyak mengambil khazanah dan
wawasan dari wayang. Sebagai seorang yang lahir, hidup, dan akrab dengan
kebudayaan Jawa, Romo Mangun adalah penulis yang berhasil, minimal dalam
beberapa novel-nya semisal Burung-burung Manyar, menuliskan dan
menarasikan relevansi dan universalisme nilai-nilai humanistik kebudayaan lokal
bangsa sendiri. Ia sendiri dengan terus-terang menyatakan dalam esainya
tersebut bahwa lakon dan tokoh prosa-prosanya tak lain “nasion Indonesia”
dengan jalan menggambarkan dan menarasikan wong cilik, meski dalam kritik dan
ulasan B. Rahmanto (Y.B. Mangunwijaya: Dunia dan Karyanya, Grasindo
2001, hal. 87) wong cilik atau masyarakat bawahnya novel-novelnya Romo Mangun
bukanlah para tokoh utama, tetapi lebih merupakan tokoh-tokoh tambahan. Tetapi
menurut saya hal itu tidak berlaku bagi sejumlah cerita pendek yang ditulisnya
yang memang menjadikan orang-orang kelas bawah, seperti pengamen, pelacur,
gembel, badut, gelandangan dan lainnya di kelas yang sama, sebagai tokoh-tokoh
utama sejumlah cerpennya, seperti dalam buku kumpulan cerpennya yang berjudul
Rumah Bambu (KPG, Mei 2006). Dan bila dilihat dari segi visi estetik,
pilihannya pada wayang sebagai khazanah dan wawasan kosmologis prosa-prosanya,
sebagaimana ia nyatakan langsung dengan lantang dan blak-blakkan, lebih karena
menginginkan prosa-prosanya sebagai sastra adilihung, seni yang berpamor:
“Kita tahu bahwa dalam penghayatan pertunjukkan wayang kulit
cara melihat siluet-siluet serba asbtrak itu diharapkan terasa pemaknaannya
yang lebih dalam daripada bila orang melihat boneka-boneka wayang secara
konkret wadak. Berkat pencahayaan blencong boneka wayang yang terbuat dari
kulit dihadirkan sebagai bayangan, dengan kata lain bebas dari kewadakannya,
alias dirohanikan. Bukan wujud, bentuk, warna dan cerita wadaknya yang punya
arti dan dicari, akan tetapi pemaknaan serta pelambangannya. Itulah mengapa
lakon yang dipilihnya pun tidak sembarangan. Selalu disesuaikan dengan
peristiwa yang sedang dirayakan: kelahiran bayi atau pernikahan, hari ulang
tahun kemerdekaan dst. Demikianlah wayang, kita tahu semua, lebih dari cuma
pertunjukan, melainkan sebenarnya suatu upacara ibadat sakral yang memiliki
pamor rohani” (Jurnal Kalam Edisi 9 Tahun 1997, hal.55).
Tampak
jelaslah kepada kita, wayang yang diterangkan, diimajinasikan, dan diangankan
Romo Mangun tersebut adalah wayang dalam mulanya yang ideal dan klasik, bukan
yang dekaden seperti beberapa pentas dan pegelaran wayang belakangan ini. Dan
ia mengkritik keras wayang yang telah dekaden tersebut:
“Kini pertunjukan wayang kulit sayang sekali sudah dibuat
dekaden, hanya dilihat sebagai pertunjukan hiburan belaka, serba dagelan bahkan
pemenuhan nafsu-nafsu haus sensasi dan sering pelampiasan porno, pop komersial
belaka dan dangkal karena unsur sakralnya sudah dilempar keluar. Keris tanpa
pamor. Hanya besi runcing saja” (Ibid).
Beberapa
kali, dalam esainya itu, Romo Mangun menekankan “pelambangan” dalam wayang yang
menurutnya sepadan dengan simbolisme dalam sastra, yang kemudian ia
perbandingkan dengan arsitektur Borobudur:
“Setiap lakon pasti mempunyai makna serta pelambangannya.
Namanya saja wayang, yang tentulah punya arti umum: bayangan, ialah bayangan
yang menunjuk kepada sesuatu yang meng-atas-i cerita. Dalam seni tari ada
istilah greget. Dalam pertunjukan wayang kulit, rakyat duduk di sisi dalang,
pesinden, para penabuh gamelan, dan boneka-boneka wayang kulit yang biasanya
tampak dilukis beraneka-warna dan emas perada; jadi wayang dalam bentuk
wadaknya yang konkret (rupa-datu: bagian bawah candi Borobudur). Sedangkan tuan
rumah dan para tamu terhormat di balik kelir melihat wayang dalam bentuk
bayangan-bayangan siluet saja pada kain kelir, tanpa warna-warni serta bentuknya
yang konkret (a-rupa-datu: bagian teratas candi Borobudur)” (Ibid, h. 54).
Memadukan
kosmos wayang dan lanskap visi estetik sastra yang digali dari kosmos wayang
tersebut dalam pandangan Romo Mangun tak lain karena baik wayang maupun sastra
menampilkan sejumlah tokoh, cerita, dan kosmos atau dunia cerita yang pada
dasarnya tidak berbeda, hingga dalam konteks ini baik wayang atau pun prosa,
terutama novel, sama-sama menyuguhkan kisah dan adegan yang melibatkan
tokoh-tokoh dalam suatu konteks pengisahan dan “kosmos”, yang pada saat
bersamaan baik kisah dan adegan dalam wayang dan kisah serta adegan dalam prosa
(novel) merupakan cermin moral dan refleksi pemahaman dan penghayatan bathin
yang dipinjam sebagai pelambangan hidup dan dunia tempat kita berada ini.
Namun, tentu saja, unsur dan spirit moral dan reflektif prosa-prosa Romo Mangun
tidak serta-merta terjebak atau jatuh dalam “moralisme” yang dangkal dan
artifisial alias verbal semata. Seperti dapat kita baca dalam beberapa novelnya
dan sejumlah cerita pendeknya itu, prosa-prosa Romo Mangun lebih merupakan
dunia-dunia dan kisahan-kisahan yang menyentil kita untuk peka, bersimpati, dan
sekaligus berpihak kepada mereka yang kalah dan tidak beruntung, “yang
bernasib sunyi” dan yang tertindas. Meskipun demikian, prosa-prosanya tidak
kehilangan humor di saat berkisah dan bercerita tentang sebuah jaman, dunia dan
tokoh-tokoh yang acapkali tragis. Suasana humor yang rileks sekaligus satiris,
komedis, dan parodis itu, misalnya, dapat kita baca dan kita rasakan dalam “Pohon-pohon
Sesawi” (KPG 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar