Oleh
Eki Akhwan
Kajian Sastra dan Budaya (Literature and Cultural
Studies) adalah sebuah fenomena di dunia keilmuan, yang
kehadirannya antara lain ditandai dengan pergeseran topik dan bidang kajian
yang demikian menyolok di departemen-departemen sastra. Para guru besar sastra
tak lagi (hanya) mengkaji karya-karya sastra utama (canon), tapi (justru) karya-karya yang
seringkali justru tidak dianggap sebagai karya sastra sama sekali: iklan, acara
televisi, fesyen, dan fenomena-fenomena budaya secara umum, terutama budaya
massa.
Luasnya
topik dan objek kajian itu membuat Kajian Sastra dan Budaya menjadi
bidang yang nyaris sulit didefinisikan batasan-batasannya. Karena hal ini pula,
Kajian Sastra dan Budaya bersifat interdisipliner (lintas bidang keilmuan).
Berbagai teori dari beragam bidang keilmuan (dapat dan sudah) dipakai untuk
melakukan kajian ini.
Teori-teori
itu — yang umumnya cuma disebut “Teori” — memiliki sifat yang
mirip dengan Kajian Sastra dan Budaya itu sendiri, yaitu luas, sulit
didefinisikan, dan tentu saja interdisipliner. Oleh karena itu, menurut Culler
(1997:42), keduanya dapat dianggap sebagai dua sisi dari mata uang yang sama,
“Cultural studies is the practice of which what
we call ‘theory’ for short is the theory.”
Dalam
Kajian Sastra dan Budaya, posisi unsur ‘sastra’ dianggap hanya sebagai bagian
dari unsur ‘budaya’ yang menjadi payung besarnya. Karena fokusnya pada
upaya-upaya untuk memahami kinerja budaya modern — bagaimana budaya diproduksi,
bagaimana media, kekuasaan negara, dan mesin-mesin kapitalisme memengaruhi dan
membentuk identitas individu dan kelompok — ‘sastra’ hanya dianggap sejenis
praktik di antara praktik-praktik budaya lain.
Menurut
Culler (p. 43), Kajian Sastra dan Budaya memiliki dua akar. Akar yang pertama
adalah Strukturalisme Perancis; akar
yang lainnya adalah teori sastra Marxis kontemporer yang dicetuskan di
Inggris oleh Raymond Williams, Richard Hogart dan kawan-kawan pada akhir tahun
lima puluhan.
Strukturalisme Perancis (atau Strukturalisme saja) adalah paham yang meyakini
adanya struktur, keteraturan, dan konvensi yang melandasi bekerjanya segala
fenomena dan praktik budaya. Gagasan Strukturalisme, yang pada mulanya didasarkan
pada teori kebahasaan Ferdinand de Saussure (1857 – 1913),
mulai dihidupkan kembali, diadopsi, dan dikembangkan oleh para ilmuwan di
bidang humaniora pada tahun 1950an untuk menggambarkan beragam praktik dan
fenomena budaya.
Rolland
Barthes dalam koleksi esainya yang bertajuk Mythologies (1957), misalnya, menelanjangi
mitos-mitos yang berlaku dalam budaya modern dengan mengadopsi pendekatan
semiologis Saussure. Esai-esainya berbicara mengenai beragam hal mulai dari
anggur Perancis, iklan mobil, sabun cuci, hingga tinju dan gulat.
Pada
kurun waktu yang sama, di Inggris, Richard
Hogart (pendiri Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies)
dan Raymond Williams mencoba mengungkapkan
terbungkamnya budaya populer kelas pekerja sebagai akibat dari dominasi budaya
massa. Karya-karya mereka seperti The Uses of Literacy: Aspects of Working Class Life
(Hoggart, 1957), Contemporary Cultural
Studies: An Approach to the Study of Literature and Society (Hoggart,
1969), dan Culture and Society (Williams, 1958)
adalah tonggak yang menggugah kesadaran akan kinerja budaya modern dan
akibat-akibatnya.
Sejalan
dengan pemikiran-pemikiran mereka, di benua Eropa kurun waktu yang sama juga
tengah berlangsung upaya-upaya teoretisasi kebudayaan yang mencoba menganalisis
budaya massa sebagai formasi ideologis yang bersifat menjajah (memperbudak,
opresif), membenarkan kinerja kekuasaan negara, dan menempatkan pembaca dan
pemirsanya hanya sebagai konsumen.
Upaya-upaya
yang dilakukan oleh para penganut Neo-Marxisme (penganut tradisi Marxime
Eropa Barat abad ke-20) yang dipelopori oleh para teoretisi/ilmuwan sosial di Institute for Social Reseach di
Universitas Frankfurt am Main, Jerman, itu melahirkan apa yang kemudian disebut
sebagai Teori Kritis (Critical Theory). Karena asosiasinya
dengan Universitas Frankfurt, teori atau gagasan-gagasan mereka itu seringkali
juga disebut sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School, Frankfurter
Schule).
Berbeda
dengan teori-teori sosial lain, Teori Kritis tidak hanya berupaya menggambarkan
fenomena-fenomena sosial dan budaya, tetapi juga mengemansipasi umat manusia.
Seperti dikatakan sendiri oleh Horkheimer (1895 – 1973)
— yang merupakan salah satu tokoh terpenting Mahzab Frankfurt — “[Teori Kritis
bertujuan] membebaskan umat manusia dari keadaan-keadaan yang memperbudak
mereka” (1982, 244).
Dengan
asal usul yang demikian, kiranya dapat dipahami jika cakupan Kajian Sastra dan
Budaya menjadi sangat luas dan sulit dibatasi, karena yang menjadi objek
kajiannya adalah budaya atau peri-kehidupan manusia itu sendiri.
Namun
demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa Kajian Sastra dan Budaya bertujuan
menelaah, memahami, dan menganalisis kekuatan-kekuatan yang bermain dalam
kehidupan kita sehari-hari: bagaimana makna diproduksi, direproduksi, dan
diedarkan; bagaimana identitas individu dan kelompok dikonstruksi dan
diorganisir, dan oleh apa; bagaimana pengalaman direpresentasikan dan
bagaimana representasi-representasi itu memproduksi, mereproduksi dan
mengedarkan makna serta memengaruhi konstruksi identitas; apa dan bagaimana
peran agen (agency) dalam relasi kekuasaan yang kompleks, dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar