oleh Trijon
Aswin
KONGRES Kebudayaan Indonesia ke-100 berakhir pada Minggu (9
Desember 2018) kemarin. Digelar selama lima hari (5-9 Desember), kongres ini
diisi dengan rangkaian acara seperti forum, debat publik, kuliah umum, pidato
kebudayaan, hingga konser musik. Ini adalah Kongres ke-100 sejak pertama kali
diadakan pada tahun 1918. Kongres ini menghasilkan strategi kebudayaan nasional
yang diharapkan menjadi pedoman untuk memajukan kebudayaan Indonesia hingga 20
tahun ke depan.
Ada tujuh isu strategis dalam Strategi Kebudayaan tersebut yang akan disusun
menjadi Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Rencana Induk ini akan
menjadi acuan pemerintah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) mendatang.
Ketujuh agenda stategis itu adalah:
PERTAMA, menyediakan ruang bagi keragaman
ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang
insklusif.
KEDUA, melindungi dan mengembangkan nilai,
ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan
nasional.
KETIGA, mengembangkan dan memanfaatkan
kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional.
KEEMPAT, memanfaatkan obyek pemajuan
kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
KELIMA, memajukan kebudayan yang melindungi
keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.
KEENAM, reformasi kelembagaan dan penganggaran
kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan.
Dan KETUJUH, meningkatkan peran pemerintah
sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.
Kita tidak tahu di agenda ke berapa terkandung
strategi untuk menumbuhkan kekuatan budaya agar bangsa ini mempunyai identitas
dan keberanian untuk “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” secara budaya
dengan bangsa lain.
Sebab, dalam soal inilah bangsa kita
benar-benar mengalami krisis. Identitas bangsa kita secara budaya sudah
terpuruk ke titik terendah. Kemerdekaan negara ini tidak ada gunanya kalau
bangsanya merasa tak sederajat dengan bangsa merdeka lainnya.
Tingkat kesadaran tentang identitas budaya itu
berpengaruh saat berinteraksi dengan bangsa lain. Bangsa yang identitas
budayanya kuat tidak akan mudah hanyut dalam arus deras dunia.
Sekarang, coba kita perhatikan reaksi yang
timbul dalam budaya Indonesia ketika berinteraksi dengan bangsa dan budaya
asing. Bangsa ini mudah sekali hanyut.
Coba lihat pemakaian bahasa misalnya.
Penggunaan bahasa atau istilah asing secara tidak proporsional sudah mewabah,
tidak saja di kalangan generasi milineal yang memang berinteraksi secara global
melalui teknologi komunikasi, tetapi juga para pemimpin negara.
Padahal, di Pasal 28 UU Nomor 24/2009
disebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil
Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar
negeri. Lembaga pemerintah pun kerap menggunakan istilah bahasa Inggris, secara
tidak proporsional. Sebut saja, National Traffic Management Centre di Korlantas
Polri. Di Humas Mabes Polri, ada ruangan Strategic Communication Center.
Padahal semua istilah itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam hal ini tentu harus dikecualikan untuk
istilah yang generik secara internasional. Misalnya istilah search and rescue
(SAR) itu adalah istilah generik untuk kegiatan pencarian dan penyelamatan
korban bencana. Atau istilah disaster victim identification (DVI), salah satu
prosedur kedokteran kepolisian ketika mengidentifikasi korban meninggal akibat
bencana.
Mengapa bahasa asing dipakai secara “lebay”
begitu? Bisa karena pertimbangan untuk memudahkan komunikasi dengan orang
asing. Pemakaian istilah Strategic Communication Center di Mabes Polri,
misalnya, masih bisa dipahami. Siapa tahu ada wartawan asing yang
berkepentingan.
Namun bisa pula karena sekadar ingin terlihat
modern. Kesan ini terlihat dari penamaan National Traffic Management Centre di
Korlantas Polri atau Traffic Management Centre di tingkat Polda. Sebab, tidak
ada orang asing yang berinteraksi dengan lembaga tersebut, karena yang
dibutuhkan publik bukan interaksinya melainkan informasi lalu lintas yang
diberikan. Apalagi informasi tersebut toh disampaikan dalam bahasa Indonesia
juga.
Kemungkinan kedua ini sebenarnya serius,
karena ini menunjukkan inferioritas sikap mental. Sikap yang menganggap sesuatu
yang berasal asing lebih hebat dari milik sendiri ini adalah cerminan rasa
rendah diri. Sikap ini disebabkan lemahnya identitas budaya nasional sehingga
belum bangga dengan budaya kita. Akibatnya bangsa ini tidak akan bisa berdiri
sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.
Nah, inferioritas mental inilah yang harus
didobrak dengan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan yang mampu membangun
rasa percaya diri, mampu mengikis inferioritas, bangga pada takdirnya sebagai
orang Indonesia itu harus masuk ke dalam nilai-nilai pendidikan.
Dalam percaturan dunia yang sangat kompetitif,
dan bahkan eksploitatif seperti sekarang, bangsa ini kalau mau tegak berdiri,
harus mempunyai identitas kebudayaan yang kuat, yang bisa membuat dirinya
bangga sebagai bangsa. Jika kebanggaan terhadap identitas itu tidak ada, maka
sebuah bangsa akan membebek pada bangsa lain. Itu hukum alam yang tidak
terbantahkan.
Pembangunan kebudayaan mestinya diarahkan ke
sisi ini. Kebudayaan sebagai sikap mental yang dapat melahirkan kebanggaan
sebagai bangsa agar tetap tegak di tengah konstalasi dunia yang kompetitif, dan
kian eksploitatif ini. Kalau tidak, akan tiba saatnya nanti, negara ini hanya
akan tinggal bungkusnya saja, tapi isinya adalah bangsa yang sepenuhnya takluk
pada kehendak bangsa lain.
Tapi, sebuah bangsa tak akan pernah mati jika
mempunyai identitas kebudayaan dan semangat kebangsaan yang tangguh –sekalipun
negaranya hancur lebur. Banyak bangsa yang sudah menjadi contoh penyintas
kehancuran negara, dan bangkit kembali dengan lebih gemilang. Dan kita jangan
menjadi contoh sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar