Oleh
Sulaiman Djaya*
Sebelum
Kesultanan Banten berdiri, yang disokong oleh Demak dan Cirebon pada awal abad
ke-16, pada abad ke-4, di wilayah yang saat ini masuk kawasan Provinsi Banten,
DKI Jakarta, Selatan Sumatra (serta sekitarnya) dan Jawa Barat terdapat
kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang
dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Konon, sejarah Kerajaan
Sunda memiliki runutan masa silamnya sejak era Kerajaan Salakanagara yang berdiri
pada abad 2 (Tahun 130) Masehi di wilayah yang kini termasuk wilayah Provinsi
Banten, tepatnya di kawasan Gunung Pulosari dan sekitarnya hingga ke Ujung
Kulon dan Banten Girang.
Demikianlah
diceritakan pada awal abad 1 Masehi, Prabu Gung Binathara membuat istana
kerajaan dari batu yang terletak di Gunung Padang antara Cianjur dan Sukabumi,
yang disebut Batu Menhir Megalitikum dengan nama kerajaannya adalah Medang
Kamulan I. Prabu Bathara Gung Binathara mempunyai putra dua: yaitu Prabu
Angling Dharma Mandalawangi yang diperintahkan untuk membuat situs di Gunung
Pulosari, Desa Mandalawangi, Pandeglang, Banten (Medang Kamulan II), dan Nyi
Mas Nila Sastra Ayu Jendrat ditugaskan untuk membuat kitab para Dewa Nila
Sastra Ayu Jendrat (Kitab aturan dewata yang memuat Pituduh, Pitutur,
Pibekaleun). Dan pada tahun 78 M, Prabu Gung Binathara menciptakan Aji Purwa
Wisesa sejumlah 18 huruf yang berbunyi: HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA JA YA
NYA MA GA BA NGA.
Selanjutnya,
pada tahun 130 M, Prabu Angling Dharma membuat wilayah kekuasaan dan keraton
sampai ke pedalaman Banten (Lebak) dan Ujung Kulon. Di kemudian hari terkenal
dengan nama HYANG SIRA atau EYANG JANGKUNG. Ia disebut Eyang Jangkung karena
memapas gunung Pulosari yang menghalangi penglihatannya dimana kuncup Pulosari
dibuang ke laut sehingga menjadi Gunung Krakatau.
Sementara
itu, pada tahun 170 M, Ratu Gung Binathara Kusuma Adjar Padangi mencipta batu
sebesar rumah (jika diukur sebesar rumah tipe 200) yang berlokasi di desa
Cibulan, Cisarua yang saat ini dikenal dengan sebutan Maqom (petilasan) Wali
Cipta Mangun Negara dan Nyi Mas Cipta Rasa.
Bukti-bukti Sejarah Peninggalan
Salakanagara
Bukti-bukti
Kerajaan Salakanagara antara lain adalah Menhir Cihunjuran, yaitu berupa Menhir
sebanyak tiga buah terletak di sebuah mata air, yang pertama terletak di
wilayah Desa Cikoneng. Sedangkan Menhir kedua terletak di Kecamatan
Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari. Dan Menhir ketiga terletak di
Kecamatan Saketi, di lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Batu
tersebut menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis dan Batu Tulis di Bogor.
Tradisi setempat menghubungkan batu ini sebagai tempat Maulana Hasanuddin
menyabung ayam dengan Pucuk Umun.
Bukti
yang lainnya adalah Dolmen, yang terletak di kampung Batu Ranjang, Desa
Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Berbentuk sebuah batu datar
panjang 250 cm, dan lebar 110 cm, disebut Batu Ranjang. Terbuat dari batu
andesit yang dikerjakan sangat halus dengan permukaan yang rata dengan pahatan
pelipit melingkar ditopang oleh empat buah penyangga yang tingginya
masing-masing 35 cm.
Di
tanah sekitarnya dan di bagian bawah batu ada ruang kosong. Sementara itu, di
bawahnya terdapat fondasi dan batu kali yang menjaga agar tiang penyangga tidak
terbenam ke dalam tanah. Sedangkan Dolmen ditemukan tanpa unsur megalitik lain,
kecuali dua buah batu berlubang yang terletak di sebelah timurnya.
Bukti
yang ketiga adalah Batu Magnit, yang terletak di puncak Gunung Pulosari, pada
lokasi puncak Rincik Manik, Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten
Pandeglang. Batu ini merupakan sebuah batu yang cukup unik, karena ketika
dilakukan pengukuran arah dengan kompas, meskipun ditempatkan di sekeliling
batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu
tersebut.
Bukti
yang keempat adalah Batu Dakon, yang terletak di Kecamatan Mandalawangi,
tepatnya di situs Cihunjuran. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya
dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan.
Sedangkan
bukti yang kelima adalah Air Terjun Curug Putri, yang terletak di lereng Gunung
Pulosari Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya
merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas. Di
lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang
berserak di bawah cucuran air terjun.
Dan
akhirnya kita sampai pada bukti yang selanjutnya, yaitu Pemandian Prabu Angling
Dharma yang terletak di situs Cihunjuran Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita
rakyat, pemandian ini dulunya digunakan oleh Prabu Angling Dharma atau Aki
Tirem atau Wali Jangkung untuk membersihkan badan dan yang lainnya.
Toponim Sunda
Menurut
Humbolt, ketika ia berbicara tentang kerajaan
Sunda, toponim Sunda sangat mungkin berawal di daerah sekitar selat Sunda
sekarang, tepatnya antara teluk Banten hingga Sunda Kalapa (kini Jakarta).
Meski demikian, tentang sejarah Sunda dengan periode selanjutnya setelah
prasasti Cicatih (pasca 1030), dan juga dalam hubungannya dengan prasasti
Kawali (Galuh) dan Batutulis Cirebon, banyak ketidakjelasan hubungan antara
kerajaan Sunda dan Galuh: apakah bersatu atau berdiri sendiri, apakah merupakan
bentuk kerajaan aliansi atau konfederasi, bila didasarkan betapa terdapat
beberapa ibu kota atau pusat pemerintahan penting, semisal Kawali, Galuh, dan
Pakuan Pajajaran (kini Bogor).
Meskipun
demikian, pada periode selanjutnya kerajaan-kerajaan tersebut tetap
diidentifikasi sebagai Kerajaan Sunda, meski mungkin tidak berpusat di pesisir
(sekitar Banten) lagi. Pihak luar (misalnya Majapahit) tetap merujuk kerajaan
dan suku bangsa di bagian barat Jawa sebagai orang Sunda, misalnya Pararaton
yang menyebutkan Sumpah Palapa Gajah Mada yang mencantumkan Sunda sebagai
bagian yang masuk daftar Gajah Mada.
Namun
demikian, seperti hingga saat ini, pada era-era seterusnya, istilah Sunda pada
perjalanannya akhirnya merujuk kepada seluruh Jawa Barat dan suku Sunda.
Sementara itu, Pulosari dan Banten Girang tetap menjadi tempat penting bahkan
hingga akhir Kerajaan Sunda itu. Contohnya adalah raja terakhir Kerajaan Sunda,
yaitu Raga Mulya atau yang juga dikenal sebagai Prabu Surya Kencana (Pucuk
Umun) justru tinggal di Pulasari, Pandeglang (bukan di Pakuan-Bogor), sebelum
akhirnya ditaklukan Kerajaan Islam Banten.
Akhirnya,
dengan fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan, bahwa Kerajaan Sunda tidak
berakhir pada tahun 1030 akibat gempuran Sriwijaya dan setelah ibukotanya
pindah dari Banten Girang ke pedalaman (Pakuan).
*Penyair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar