Oleh Ja’far Umar , MA
Pemikiran
filsafat Islam, dalam makna luas, tampaknya memang belum berkembang dengan
semestinya di tanah air. Pernyataan ini lahir dengan fakta bahwa belum pernah
ada filsuf yang berasal dari warga negara Indonesia. Kalau melirik kembali
sejarah bangsa Indonesia, sebenarnya pemikiran filosofis pernah hidup di negeri
ini sehingga membuat peradaban Islam Nusantara mencapai titik klimaks. Sebut
saja misalnya, pemikiran Hamzah Fanshuri (w. 1600 M), dan muridnya, Syamsuddin
As-Sumatrani (w. 1630 M), telah dengan fasih mengembangkan ajaran Gnosis Ibn
‘Arabi (w. 1240 M). Aliran filsafat ‘Arabian’ ini
adalah salah satu aliran filsafat terpenting di Dunia Islam. Tema utama dari
aliran Gnosis ini adalah wahdatul wujud dan Insan Kamil.
Ajaran Gnosis Ibn Arabi ini memadukan visi mistis dan rasional, selain banyak
terminologi filsafat yang digunakan dalam aliran ini. Aliran ini berkembang di
Nusantara pada abad-abad XVI-XVII M.
Sekaitan
dengan itu, berarti pemikiran Hamzah Fanshuri dan para muridnya bisa dikatakan
sebagai pemikiran filsafat Islam, meskipun pemikirannya ‘bercampur’ dengan
ajaran Gnosis Ibn ‘Arabi. Dalam perspektif lain, banyak ahli memasukkan aliran
Gnosis Ibn Arabi sebagai salah satu aliran filsafat Islam terbesar di Dunia
Islam. Dengan alasan ini, maka Hamzah Fanshuri bisa dikatakan sebagai salah
seorang filsuf Muslim pertama di tanah air. Pelekatan predikat filsuf ini
kepada Hamzah Fanshuri tentu bisa memunculkan perdebatan yang panjang. Fakta
historis ini membuktikan bahwa pemikiran filsafat Islam pernah mengalami
kejayaan ketika negara Indonesia masih terdiri atas kerajaan-kerajaan sekitar
abad XVI-XVII M. Sejak penduduk Nusantara dijajah oleh bangsa Eropa, bahkan
hingga mereka berhasil meraih kemerdekaannya, pemikiran filsafat Islam semakin
hilang dari perederannya, jika tidak ingin mengatakannya mati.
Hingga
kini, pemikiran filsafat Islam memang mulai menyinari kembali bumi Indonesia
dalam skala terbatas. Namun demikian, prosesnya masih dalam tahap gagasan awal.
Sebagai sebuah gagasan awal, penumbuhan kembali pemikiran filsafat di Nusantara
masih mengalami problematika serius. Selain minimnya para pakar filsafat Islam
dalam arti yang sesungguhnya atau tidak adanya filsuf terkemuka di negeri ini,
buku-buku daras filsafat Islam pun masih sangat minim dikarang oleh para
pemikir Muslim di kawasan jambrut khatulistiwa ini. Bahkan kuantitas buku-buku
filsafat klasik standart masih sangat terbatas, bahkan masih banyak belum
diterjemahkan secara besar-besaran.
Dalam
kasus terakhir, karya-karya pemikir lokal memang belum ada yang mengulas secara
signifikan tentang tema-tema filsafat Islam. Sebagai sebuah bagian dari kajian
filsafat Islam, karya-karya tentang epistemologi Islam pun sangat jarang ditemukan
di Indonesia. Sekali lagi, karya-karya tentang epistemologi yang ada hanya
masih berupa gagasan awal, sehingga harus terus dikembangkan lebih lanjut.
Fenomena ini membuat para pelajar filsafat di Indonesia harus menggunakan
karya-karya filsuf Muslim benua lain. Tragisnya lagi, tidak sedikit pelajar
filsafat di negeri ini menggunakan karya-karya filsuf Barat, yang sebenarnya
pandangan mereka memiliki sejumlah prinsip yang berbeda dengan ideologi Islam.
Akan tetapi, usaha mereka dalam upaya mempelajari filsafat Islam dari karya
pemikir luar itu tetap harus didukung, karena upaya mereka itu bisa dijadikan
sebagai batu loncatan tahap awal menuju penumbuh-segaran kembali kajian
filsafat Islam di kawasan Nusantara.
Di
sinilah letak signifikansi kajian pemikiran Muthahhari tentang epistemologi
Islam. Beliau memang belum pernah hadir secara fisik ke Indonesia, namun
pemikirannya telah hadir di kawasan ini sejak era 1980-an. Bahkan pemikiran
filsafatnya, terutama tentang masalah epistemologi, telah memperkaya khazanah
pemikiran filsafat di Indonesia. Tentu saja, kajian ini secara langsung ataupun
tidak langsung akan turut memperkaya karya-karya filsafat Islam yang telah ada,
terutama karya tentang epistemologi Islam, di Nusantara. Tulisan ini akan
memfokuskan kajiannya kepada pemikiran epistemologi Murtadha Muthahhari.
Sebelum menguraikan pandangannya tentang hal ini, makalah ini akan berupaya
memotret biografi tokoh dari negeri Mullah ini.
Sketsa Biografi
Murtadha
Muthahhari, begitu nama lengkapnya, lahir 2 Februari 1919 di pojok dusun kecil
yang bernama Fariman, propinsi Khurasan, Iran.[1] Nama ayahnya adalahHujjatul
Islam Muhammad Husein Muthahhari, salah seorang ‘ulama besar[2] di kampung
halamannya. Keluarganya adalah keluarga Muslim yang menganut mazhab Syi’ah Itsna
‘Asyariyah Ushuliya’. Selain belajar ilmu dasar Islam seperti teologi
kepada ayahnya, Muthahhari juga belajar di madrasah Fariman, sebuah madrasah
tradisional yang mengajarkan membaca, menulis, juz ‘ammah, dan sastra
Arab.[3]Pendidikan dasarnya ini berlangsung hingga beliau berusia sekitar dua
belas tahun.
Setelah
menamatkan pendidikan dasarnya, Muthahhari langsung berangkat ke Hawzah[4]
Mashyad untuk melanjutkan studi religinya pada 1932. Hawzah Masyhad adalah
salah satu pusat pendidikan keagamaan Syi’ah, selain Hawzah Qom (Iran); serta
Hawzah Najaf dan Karbala di Irak. Di Hawzah Masyhad tersebut, Muthahhari telah
menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam upaya mempelajari ilmu-ilmu
Islam.[5] Di sana, beliau juga telah menunjukkan minat besar terhadap filsafat
dan Irfan. Selama di Masyhad, beliau banyak terinspirasi oleh kepribadian
seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu, Mirza Mehdi Syahidi
Razavi.[6]
Pada
tahun 1936, Muthahhari meninggalkan Masyhad lalu berangkat ke Hawzah Qom guna
melanjutkan studinya. Beliau hijrah ke kota Qom ini dikarenakan oleh beberapa
faktor. Pertama, guru yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza
Mehdi Syahidi Razawi wafat pada tahun 1936. Kedua, Kemunduran
yang dialami Hawzah Masyhad. Ketiga, adanya tekanan-tekanan
destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan, terhadap seluruh
lembaga-lembaga keislaman, termasuk Hawzah Mashyad.[7] Kerajaan Persia kala itu
menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam tersebut dapat mengganggu
stabilitas politis negara.
Kepergiannya
dari Masyhad bukannya tanpa bekas, sebab kota ini telah memberikan pengaruh
intelektual bagi Muthahhari berupa kesadaran diri untuk mencintai ilmu
sepanjang hayatnya. Kendati guru yang menjadi pusat perhatiannya itu wafat dan
beliau belum cukup umur untuk mengikuti kuliah-kuliah yang disampaikan oleh
guru tersebut, namun beliau telah menemukan kecintaan mendalam terhadap
teologi, filsafat, dan Irfan.[8]
Pada
tahun 1937, Muthahhari telah menetap di Qom.[9] Di kota ini, beliau menjadi
salah satu pelajar agama yang cukup cerdas. Di kota ini, beliau pun sangat
apresiatif terhadap mata pelajaran filsafat. Secara mendalam, beliau
mempelajari ilmu ini melalui ‘Allamah Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba’i. Gurunya ini mengenalkan kepada Muthahhari secara komprehensif
tentang berbagai bentuk pemikiran sejak Aristoteles hingga Sartre. Thabathaba’i
merupakan Mufassir, Teosof, dan Filosof terbesar pada abad ke-20 M. Sayyid
Husein Nasr yang merupakan murid Thabathaba’i, mengungkapkan bahwa ‘Allamah
Thabathaba’i memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh dalam bidang syari’ah
dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang Filosof terkemuka.[10] Selain belajar
filsafat kepada Thabathaba’i, Muthahhari pun mempelajarinya dari Ayatullah
Al-Astiyani, dan Syaikh Mahdi Al-Mazandarani.[11]
Pada
tahun 1941, Muthahhari berangkat ke Isfahan untuk mempelajari kitab Nahjul
Balaghah. Kitab ini merupakan kumpulan dari pidato dan surat-surat Imam
pertama mazhab Syi’ah, Imam ‘Ali bin Abi Thalib. Kitab ini sangat sarat dengan
pengetahuan filosofis dan spiritual. Karena itulah, beliau berminat mengkaji
kitab ini, sehingga membuatnya harus menemui Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani di
Isfahan. Mirza Ali adalah salah seorang guru yang memiliki otoritas untuk
naskah-naskah Syi’ah Klasik, khususnya kitab Nahjul Balaghah.
Sebagai
seorang pelajar filsafat, beliau telah banyak membaca kitab-kitab filsafat,
seperti kitab Syarh-i Manzumah, sebuah naskah filosofis karya
Mulla Hadi Sabzewari. Beliau mempelajari kitab tersebut di bawah bimbingan Imam
Khomeini sejak tahun 1945. Muthahhari sangat memahami karya itu, sehingga
beliau dikenal sebagai pensyarah buku Syarh-i Manzhumah tersebut.
Kemudian pada tahun 1946, beliau mempelajari Kifayah Al Ushul,
sebuah kitab hukum dari Akhun Khorasani di bawah bimbingan Imam Khomeini.
Melalui kitab ini, kemudian beliau pun memulai komitmennya untuk mempelajari
filsafat Marxisme. Kajian filsafatnya pun terus berjalan dengan mempelajari
kitab Al-Asfar Al-Arba’ah karya Mulla Shadra. Beliau mulai
mengkaji kitab ini sejak tahun 1949 di bawah asuhan Imam Khomeini. Teman
sekelasnya dalam mempelajari kitab Mulla Shadra tersebut antara lain AyatullahMontezari,
Hajj Aqa Reza Shadr dan Hajj Aqa Mehdi Ha’eri. Pemahaman Muthahhari yang sangat
baik tentang filsafat Shadra tersebut turut menjadikannya seorang ahli teosofi
Mulla Shadra. Pada tahun 1950, Muthahhari pun mempelajari kitab filsafat
Marxisme karya George Pulizer yang berjudul Introduction to Philosophy,
tetapi hanya melalui terjemahannya dalam bahasa Persia. Di samping itu, bersama
dengan Montezari dan Behesyty, Muthahhari juga mempelajari berbagai kitab
filosofis karya dari Ibn Sina kepada ‘Allamah Thabathaba’i.[12]
Muthahhari
juga mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqh di Qom. Dalam bidang ini, yang
merupakan mata pelajaran pokok kurikulum tradisional di Hawzah, beliau
mempelajarinya melalui Ayatullah Burujerdi, pengganti Syekh Abdul
Karim Yazdi sebagai direktur lembaga pengajaran di Qom.[13] Tak cukup pada
seorang guru, Muthahhari juga mendapatkan pelajaran tersebut dari Ayatullah
Hujjat Kuhkamari,Ayatullah Sayyid Muhammad Damad, Ayatullah
Sayyid Muhammad Reza Gulpayagani, dan Ayatullah Haji Sayyid Shadr
Al-Din Shadr. Kesuksesannya dalam mempelajari mata pelajaran ini ditandai
dengan kelulusannya pada ujian untuk meraih gelar Ayatullah[14]
di hadapan para ulama besar seperti Ayatullah Shadr,Ayatullah
Muhammad Muhaqqiq, dan Ayatullah Muhammad Hujjat.[15]
Selain
itu, Muthahhari juga mempelajari ilmu Akhlaq. Pada tahun 1362 H, beliau
berangkat ke kota Burujur untuk mengikuti pelajaran akhlaq dari Ayatullah
Sayyid Hussein Burujerdi, yang ketika itu bermukim di sana. Setelah itu, beliau
kembali ke kota Qom bersama gurunya tersebut pada bulan Muharram tahun 1364 H.
Untuk mendalami ilmu ini, Muthahhari juga berguru kepada Syaikh Ali Al-Syirazi
Al-Ishfahani.[16]
Tidak
sampai di sini, Muthahhari pun mempelajari Irfan. Untuk itu, beliau berguru
kepada Ayatullah Al-‘Uzhma Ruhullah Khomeini. Oleh
karena Imam Khomeini juga seorang Marja-i Taqlid, Muthahhari pun
mempelajari ilmu fiqih dan ushul fiqih darinya, di samping juga aktif mengikuti
kuliah-kuliah filsafat yang digelar pemimpin Revolusi Islam Iran ini.[17]
Seperti
‘Allamah Thabathaba’i, Muthahhari juga menguasai berbagai ilmu
pengetahuan modern. Beliau cukup berantusias dalam mempelajari ilmu pengetahuan
modern ini. Buku-buku yang ditulis oleh Will Durrant, Sigmund Freud, Bertrand
Russel, Albert Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel, Charles Darwin, Immanuel
Kant, dan pemikiran filosof Barat lainnya beliau telaah secara seksama dan serius.
Kendati demikian, beliau tidak rendah diri dan malu-malu untuk lebih
menonjolkan filsafat Islam. Ini dibuktikan dengan analisis-kritisnya terhadap
pemikiran Barat Modern. Karena itulah, beliau dikenal sebagai salah satu
kritikus filsafat Barat terkemuka pada masanya.
Kemudian,
beliau pun juga menaruh perhatian khusus kepada filsafat Materialisme. Beliau
mempelajari pengetahuan tersebut dari berbagai sumber sekunder. Pada tahun
1946, beliau mulai mempelajari filsafat Materialisme yang diperolehnya dari
buku dan pamflet dalam bahasa Persia yang dibuat oleh partai Tudeh. Dia juga
sering membaca karya-karya yang ditulis oleh ilmuan Partai Tudeh tersebut,
seperti karya Taqi Arani, maupun penerbitan-penerbitan Marxis dalam bahasa Arab
yang berasal dari Mesir.[18] Selain itu, beliau juga banyak mempelajari
filsafat Materialisme dari Allamah Thabathaba’i, melalui sebuah
diskusi rutin pada setiap hari Kamis. Diskusi tersebut berlangsung selama tiga
tahun yaitu antara tahun 1950 sampai 1953, hingga menghasilkan sebuah buku
berjudul Ushul el Filsafat wa Ravesh-e Realisme, karya ‘Allamah
Thabathaba’i. Mutahhhari kemudian mengedit buku ini, sembari menambahkan banyak
catatan sebagai syarahan terhadap buku itu. Karena itulah, buku tersebut
menjadi lebih tebal dari naskah aslinya. Buku itu pun secara bertahap
diterbitkan dalam rentang waktu antara tahun 1953 hingga 1985.
Pada
masa berikutnya, Muthahhari berangkat ke Teheran pada tahun 1952. Di kota
inilah beliau mulai membina rumah tangga dengan istri pilihannya. Istrinya
tersebut adalah puteri dari seorang ‘ulama ternama bernama Ayatullah
Ruhani.[19]. Demikianlah masa-masa di mana Muthahhari mengenyam pendidikan.
Beliau tidak hanya mendalami sebuah disiplin ilmu, tetapi juga mencoba
menguasai seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Tak pelak lagi, beliau pun
berhasil. Keseriusannya dalam studi keagamaan telah menjadikan beliau seorang
mujtahid, baik dalam bidang tafsir, fiqih, ushul fiqh, filsafat, maupun ‘Irfan.
Karir Akademis dan
Politis
Muthahhari
adalah sosok pemikir Islam Iran legendaris. Beliau berkecimpung tidak hanya
dalam bidang akademis tetapi juga berperan secara aktif dalam bidang politik.
Dalam bidang akademis, beliau sangat aktif memberikan pengajaran baik untuk
para mahasiswa maupun masyarakat awam, selain banyak menulis buku-buku dalam
bidang keilmuan yang beraneka ragam. Dalam bidang politik, beliau pun aktif
berkecimpung dalam berbagai organisasi. Hal itu dilakukan dalam rangka berjuang
menggulingkan pemerintahan tirani rezim Pahlevi, bersama para ‘ulama, mahasiswa,
dan masyarakat Iran yang tertindas; di mana Imam Khomeini menjadi pemimpin
mereka. Sejarah telah mencatat bagaimana Muthahhari memberikan dedikasinya
terhadap dunia pendidikan di Iran. Sejak tahun 1953, beliau mendirikan sebuah
sekolah agama dan mengajar mata pelajaran filsafat[20], sebagai mata pelajaran
favoritnya sejak masa mudanya. Sekolah bercorak keagamaan tersebut bernama
Madrasa-yi Marvi.[21] Sekolah agama tersebut digunakan sebagai fasilitas untuk
mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, terutama filsafat, bagi para pemuda Islam
Iran.
Namun
itu bukanlah karir perdananya di bidang pendidikan. Sebab, beliau pun pernah
mengajar pelbagai macam pengetahuan seperti filsafat, logika, teologi, danfiqih
pada saat masih berstatus pelajar di Qom. Beberapa tahun kemudian, beliau juga
pernah diamanahkan untuk mengajar pengetahuan yang sama di fakultas Teologi dan
Ilmu-Ilmu Keislaman, Universitas Teheran. Bahkan pihak universitas memberikan
kepadanya jabatan strategis, seperti mengangkatnya menjadi Ketua Jurusan
Filsafat di Universitas tersebut.[22] Beliau bergabung dengan Universitas itu
sejak tahun 1954 hingga kelak diangkat menjadi guru besar filsafat[23].
Meskipun sebelumnya, pada tahun 1964, promosi gelar professor untuk Muthahhari
ditolak. Ini tidak lain karena keterlibatan Muthahhari dalam bidang politik
dengan mendukung revolusi politik Imam Khomeini. Tidak bisa dipungkiri pula
bahwa beberapa koleganya di Universitas Teheran juga kurang menyukainya.[24]
Selain
mengajar dan memberikan ceramah di berbagai tempat, Muthahhari juga aktif dalam
kegiatan jurnalistik. Sejak tahun 1953, beliau menjadi penulis tetap di jurnal
filsafat Al-Hikmah.[25] Dalam jurnal ilmiah tersebut, beliau
mulai menyampaikan berbagai gagasan dan pemikiran briliannya.
Tulisan-tulisannya memang banyak digemari oleh masyarakat, sehingga
menjadikannya terkenal. Selain aktif dalam bidang akademis, beliau juga aktif
dalam bidang politik. Pada masanya, pemerintahan negara dikuasai oleh
pemerintahan Pahlevi. Melihat kemungkaran yang terus dilakukan rezim itu,
bersama Imam Khomeini dan masyarakat, beliau turut berjuang melawan kekuatan
pemerintah yang tidak kecil. Karena oposisinya terhadap pemerintah ini, beliau
bersama Imam Khomeini pernah dipenjarakan oleh pemerintah pada tahun 1963.
Setelah Imam Khomeini di buang ke Turki, Muthahhari pun dibebaskan. Namun atas
perintah Imam Khomeini, lantas Muthahhari memimpin perjuangan Revolusi Iran
yang juga didukung masyarakat dan ‘ulama Iran. Selanjutnya, pada tahun 1971,
beliau bertanggung jawab guna menentukan rencana-rencana politik ideologi di
masjid Al-Jawad. Untuk mengambil berbagai kebijakan, beliau pun selalu meminta
nasehat kepada Imam Khomeini, terutama dalam persoalan politik yang
penting.[26]
Agar
perjuangan politiknya semakin solid, maka Muthahhari pun aktif mendirikan
organisasi. Beliau pernah mendirikan Husainiyah Irsyad bersama
para koleganya. Organisasi ini adalah sebuah lembaga di Teheran Utara yang
bertujuan merekrut kaum muda berpendidikan sekuler agar setia kepada Islam.
Organisasi ini didirikan sejak tahun 1965.[27] Jauh sebelum organisasi ini
berdiri, Muthahhari juga aktif mengikuti organisasi lain. Beliau pernah
bergabung dengan Organisasi Keislaman Profesional yang berada di bawah
pengawasan Mahdi Bazargan dan AyatullahTaleqani. Organisasi ini
menyelenggarakan berbagai kuliah kepada para anggota mereka seperti dokter,
insinyur, serta dokter.[28] Kemudian, beliau pernah bergabung dengan organisasi
‘ulama Teheran bernama ‘Masyarakat Keagamaan Bulanan’ sejak tahun 1960. Beliau
juga pernah diamanahkan untuk memimpin organisasi ini. Salah satu pengurus
organisasi ini adalah teman kuliah Muthahhari di Qum, yaituAyatullah
Behesyti. Para anggota kelompok ini mengorganisasikan kuliah-kuliah umum
bulanan yang dirancang secara serempak, untuk memaparkan relevansi Islam dengan
masalah-masalah kontemporer, dan untuk menstimulasikan pemikiran reformis di
kalangan ‘ulama.Terakhir, Ayatullah Muthahhari pun juga pernah
berkecimpung dengan organisasi ‘Jam’iyah Ulama Militan’, sebuah organisasi
Islam penting waktu itu.[29] Melalui berbagai organisasi inilah, kelak
Mutahhari semakin dikenal luas dan menjadi tokoh yang cukup diperhitungkan
Pemerintah.
Aktifitas
politik Muthahhari juga dapat dilihat dari perannya dalam mengisi panggung
politik internasional. Pada tahun 1969, beliau bersama Ayatullah
Zanjani dan‘Allamah Thabathaba’i mengeluarkan pernyataan keras untuk
mengutuk agresi pemerintah Amerika dan Israel ke Palestina. Tidak sekedar itu,
beliau pun aktif mengumpulkan dana yang diperlukan oleh para pengungsi
Palestina sejak agresi tersebut.[30]. Pemerintah akhirnya menilai bahwa
aktifitas politis Muthahhari membahayakan stabilitas kekuasaan kerajaan. Karena
itu, pada tahun 1972, kegiatan-kegiatan intelektual pusat-pusat kebudayaan
Islam, terutama Husainiyah Irsyad dan mesjid Al-Jawad dilarang
beraktifitas oleh rezim Shah. Akhirnya, beliau dipenjarakan untuk kesekian
kalinya sebagai akibat kegiatan politiknya itu meski tidak lama kemudian beliau
dibebaskan tanpa syarat.[31]
Menjelang
kemenangan Revolusi Islam Iran, Muthahhari mendapat tugas mulia dari Imam
Khomeini. Beliau ditugaskan untuk mengorganisir masyarakat ‘Ulama Mujahidin’
dan memimpin ‘Dewan Revolusi’. Setelah Revolusi Islam di Iran berhasil
menggulingkan pemerintahan Pahlevi, Muthahhari tetap menjadi pembantu setia
Imam Khomeini.[32] Muthahhari pun terus memberikan dedikasinya kepada
masyarakat dan negaranya. Untuk itulah beliau tetap memimpin ‘Dewan Revolusi’.
Sebagai
seorang politisi, tentu Muthahhari memiliki lawan politik. Sikap tegasnya dalam
memperjuangkan Revolusi Islam dengan berbagai manuver politik, membuat lawannya
gerah. Kelompok Furqan yang tidak menyukai Muthahhari, melakukan upaya
pembunuhan terhadap dirinya. Rencana pembunuhan itu berhasil dilaksanakan pada
hari selasa malam tanggal 1 Mei 1979, dan Muthahhari pun ditembak mati oleh
kelompok tersebut. Peristiwa penembakan itu dilakukan pada saat Muthahhari
ingin pulang ke rumahnya, setelah selesai mengadakan rapat di rumah Yadullah
Shahabi, salah satu anggota Dewan Revolusi. Pada saat itu beliau berjalan
sendirian menuju ke tempat parkir mobilnya. Belum sampai ke mobilnya, beliau
mendengar suara asing memanggilnya. Ketika beliau melirik ke arah suara
tersebut, seketika sebuah peluru menembus kepalanya, masuk di bawah cuping telinga
kanan dan keluar di atas alis mata kiri. Beliau memang sempat dilarikan ke
rumah sakit terdekat, namun beliau telah syahid dalam
perjalanan.[33]
Muthahhari
pun tidak dapat mengabdi kepada bangsanya lagi. Pada hari rabu, tanggal 2 Mei
1979, negara Iran berkabung. Para penyiar radio dengan suara perlahan
mengumumkan syahidnya Muthahhari diiringi pembacaan beberapa petikan dari
tulisannya.[34] Beliau pun disemayamkan di rumah sakit. Hingga hari kamis, di
tengah-tengah perkabungan luas, jasadnya dibawa ke beberapa tempat untuk
dishalatkan. Yang pertama sekali ke Universitas Teheran, lalu ke Qom, untuk
kemudian dimakamkan di sebelah makam Syaikh Abdul Karim Ha’iri Yazdi, yang juga
tidak jauh dari makam Sayyidah Fathimah Al-Ma’shumah.[35]
Sebuah
poster pernah dibuat untuk mengabadikan sosok Muthahhari. Poster itu bergambar
seorang yang wajah bercambang dengan kacamata tebal dan lingkaran sorban
menyeruak di sela buku tebal dan menara mesjid pada latar belakang, juga ada
merpati yang tengah terbang dengan punggung dihiasi sabda Rasulullah SAW;Tinta
‘ulama lebih utama dari pada darah segar Syuhada’.[36]. Meskipun secara
fisik telah tiada, namun secara intelektual Muthahhari tetap hidup. Sebab, kini
buah fikirnya tetap hidup dalam menghiasi blantika pemikiran Islam Kontemporer.
Beberapa karya tulisnya adalah seperti: A Discourse in the Islamic
Republic; Al-‘Adl Al-Ilahiy; Al-‘Adl fi Al-Islam; Akhlaq; Allah fi Hayat
al-Insan; An Introduction to ‘Ilm Kalam; An Introduction to ‘Irfan; Attitude
and Conduct of Prophet Muhammad; The Burning of Library in Iran and Alexandria;
The Concept of Islamic Republic (An Analysis of the Revolution in Iran);
Al-Dawafi’ Nahw Al Maddiyah; Al-Dhawabit Al-Khuluqiyah li al Suluk al Jins;
Durus min Al-Quran, The End of Prophethood; Eternal Life; Extracts from
Speeches of Ayatullah Muthahhari; Glimses on Nahj al-Balaghah; Fi Rihab Nahj
al-Balaghah; The Goal of Life; Al-Hadaf al-Samiy li al Hayat al-Insan;
Happiness; History and Human Evolution; Human Being in the Quran; Ijtihad in
the Imamiyah Tradition; Ijtihad fi al Islam; Al Imdad al-Ghaybi; Al-Islam wa
Iran; Islam Movement of the Twentieth Century; ‘Isyrun Haditsan; Jihad;
Jurisprudence and its Principles; Logic; Al-Malaqat al-Falsafiyah; Man and Faith;
Man and His Destiny; Al-Insan wa al-Qadr; Mans Social Evolution; Al-Takamul
al-Ijtima’iy li al Insan; Maqalat Islamiyah; The Martyr; Al Syahid Yatahaddats
‘an Al Syahid; Master and Mastership; Wilayah; The Sation of the Master; Al-
Waly wal- Wilayah; Al Naby Al Ummy; The Nature of Imam Husein’s Movement;
Haqiqah al-Nahdhah al-Huseiniyah; On the Islamic al-Hijab; Mas’alah al-Hijab;
Philosophy; Polarization around the character of Ali bin Abi Thalib; Qashash
al-Abrar; Religion and the World;, Recpecting Rights and Despising the World;
Ihtiram al-Huquq wa Tahqir al-Dunya; Reviving Islamic Ethos; Ihya al-Fikr
al-Diniy; Right of Woman in Islam; Huquq al-Mar’ah fi’al Islam; The Role of
Ijtihad in Legislation; The Role of Reason in Ijtihad; The Saviour’s Revolution;
Al-Mahdiy wa Falsafah al-Tarikh; Sexual Etichs in Islam; Al-Suluk al-Jinsy
baina al-Islam wa al-Gharb; Society and History; Social and Historical Change;
Al-Mujtama’ wa al Tarikh; Spirit, Matter, and Life; Spiritual Sayings;
Al-Tafkir fi al-Tashawwur al-Islami; Al-Takamul al-Ijtima’iy al-Insan;
Al-Tahsil, Al-Taqwa, Understanding the Quran; Ushul Falsafah wa Madzhab
al-Waqi’iy; The World View of Tawhid; Al Mafhum al-Tawhidiy li al-‘Alam; dan
Al-Wahy wa an Nubuwah.[37] Yang perlu di catat, ini hanya merupakan
sebagian dari karya Muthahhari. Masih banyak karya lain dari tokoh ini yang
tidak bisa disebutkan satu persatu dalam makalah ini. Ini pula membuktikan
bahwa meskipun beliau disibukkan oleh perjuangan Revolusi Islam Iran, di
samping aktifitas lainnya, namun beliau tetap menyempatkan diri untuk
menggoreskan pemikirannya ke dalam sebuah kertas putih.
Metode Berfikir
Setiap
pemikir besar memiliki metode berfikir tertentu dalam setiap wujud
pemikirannya. Metode berfikir itu biasanya mewarnai seluruh hasil pemikirannya,
dan bahkan merupakan ‘akar tunggal’ dari seluruh pendekatan dan gagasan yang
dikedepankannya.[38] Demikian pula dengan Ayatullah Muthahhari,
yang secara pasti memiliki sebuah metode berfikir tertentu. Umum dikenal bahwa
pada abad XX, Hawzah Qom telah diwarnai beberapa akademi.[39]
Salah satu dari beberapa akademi tersebut adalah akademi “Rasionalisme-Tekstualisme”.
Dalam hal ini, Muhsin Labib menerangkan bahwa Muthahhari sebagai salah satu
pemikir besar Iran, termasuk ke dalam aliran pemikiran atau akademi
tersebut.[40] Kenyataan ini juga yang memberikan gambaran bahwa corak berfikir
Muthahhari adalah Rasionalisme-Tekstualisme.
Akademi
ini adalah sebuah aliran yang menjadikan rasio (akal) sebagai landasan
pemikiran dan menggunakan teks-teks agama sebagai argumen pembenar dari
landasan yang telah dikonstruk oleh akal tersebut. Metode berfikir ini memang
sangat kentara dalam berbagai karya Muthahhari. Dalam berbagai karyanya yang
terkenal itu tampak bahwa beliau memang senantiasa memulai pembahasan dengan
menggunakan dalil-dalil rasional dan pada akhirnya, untuk mendukung
pemikirannya itu, beliau menggunakan teks-teks agama. Dalam konteks ini, bahwa
tampak Muthahhari sangat cukup apresiatif terhadap akal. Beliau selalu
menggunakan dalil-dalil akal (dalil aqli) dalam membahas sebuah
permasalahan. Setelah itu, beliau pun mencari dalil-dalil wahyu (dalil
naqli) untuk mendukung pemikiran yang telah dibangunnya melalui akal
tersebut. Sebab itulah, sebagaimana diungkap Muhammad Ja’far, bahwa filsafat
sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri di atas fundamental kekuatan nalar
rasio, mendapatkan tempat yang cukup istimewa dalam semua lini konsepsi
pemikiran Muthahhari. Kendati begitu, bukan berarti sosok Muthahhari
mengesampingkan nash-nash agama dan dimensi spiritualitas serta hanya bertumpu
pada rasio belaka. Beliau pun mengecam pemikir yang hanya sepenuhnya bertumpu
dan berorientasi pada akal atau rasio, tanpa mempertimbangkan nash-nash agama
dan spiritualitas.[41] Boleh jadi sikap Muthahhari ini ingin membuktikan bahwa
dalil-dalil akal tidak bertolak belakang dengan nash-nash agama, tetapi
memiliki kaitan erat, bahkan saling mendukung.
[1]
Para penulis biografi Muthahhari tampak berbeda pendapat dalam menentukan
tahun-tahun kelahirannya. Sebagian pendapat menyatakan Muthahhari lahir tahun
1920, sedangkan sebagian lainnya menyatakan beliau lahir tahun 1919. Hanya saja
mereka sepakat tokoh ini lahir pada tanggal 2 Februari. Beberapa penulis
seperti Muhsin Labib, Haidar Bagir, Hamid Algar dan Mulyadhi Kartanegara
terlihat sepakat dengan pendapat pertama. Sedangkan Jalaluddin Rakhmat, dan
Sastan Rastan tampak sepakat dengan pendapat kedua. Dalam kelender Hijriah,
Abdullah Beik menyatakan beliau lahir pada tanggal 13 Jumadil Ula 1338 H.
Lihat; Muhsin Labib,Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra,
(Jakarta: Lentera, 2005) hlm. 278; Lihat juga Haidar Bagir, “Suatu
Pengantar Kepada Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd”, dalam Murtadha Muthahhari,
Filsafat Hikmah, Terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2002), hlm
9; Hamid Algar, “Hidup dan Karya Murtadha Muthahhari” dalam
Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah, Terj. Tim Penerjemah Mizan,
(Bandung: Mizan, 2002), hlm 23; Jalaluddin Rakhmat, “Murtadha
Muthahhari; Sebuah Model Buat ‘Ulama” dalam Murtadha Muthahhari, Manusia
dan Agama, Terj. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1995), hlm 7; Sastan
Rastan, “Syahid Murtadha Muthahhari; Pembangkit Kebangunan Intelektual
Islam”, dalam majalah Yaum Al-Quds, No. 9, Ramadhan 1403 H, hlm. 7; Abdullah
Beik, “Murtadha Muthahhari; Muslim dalam Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq”,
dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab, 1417 H; dan, Mulyadhi
Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan
Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 90.
[2]
Pustaka Zahra, “Biografi Murtadha Muthahhari”, dalam Murtadha Muthahhari,Pengantar
Ilmu-Ilmu Islam, Terj. Ibrahim Husein al Habsyi, dkk (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003).
[3]
Penerbit Marja, “Tentang Penulis”, dalam Murtadha Muthahhari,
‘Ali Bin Abi Thalib; Kekuatan dan Kesempurnaannya, Terj. Zulfikar Ali,
(Bandung: Penerbit Marja, 2005), hlm. 5.
[4]
Hawzah di negeri Iran adalah sebuah lembaga pendidikan Islam Syi’ah yang
berfungsi sebagai lembaga pengkaderan ‘ulama Syi’ah masa depan. Di dalamnya
diajarkan berbagai disiplin ilmu Islam seperti fiqih, ushul fiqh, tafsir,
hadits, filsafat, dan lainnya. Institusi Hawzah telah berhasil dalam melahirkan
banyak Mujtahid Syi’ah sepanjang masa, tidak hanya dalam bidang hukum Islam,
tetapi juga dalam bidang filsafat dan ‘irfan. Di negeri Indonesia, lembaga ini
dapat diumpamakan semacam pondok pesantren.
[5]
Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari”, hlm. 29.
[6]
Labib, Filosof, hlm. 278.
[7]
Labib, Filosof, hlm. 278-279.
[8]
Labib, Filosof, hlm. 279.
[9]
Mulyadhi, Nalar Religius, hlm 91.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, “Pengantar”, dalam Muhammad Husein Thabathaba’i,Hikmah
Islam, Terj. Husein Anis Al-Habsy, (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 7.
[11]
Murtadha Muthahhari, Mutiara Wahyu, Terj. Syekh Ali al-Hamid, (Bogor: Cahaya,
2004), hlm. 156.
[12]
Mulyadhi, Nalar Religius, hlm. 91-92.
[13]
Labib, Filosof, hlm. 279.
[14]
Gelar ini adalah gelar keagamaan dalam tradisi Islam Syi’ah yang menandakan
bahwa seorang Thalabeh (pelajar) di sebuah Hawzah
telah mencapai predikatMujtahid Muthlaq sehingga berhak untuk
berijtihad secara individual.
[15]
Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari”, hlm. 29.
[16]
Muthahhari, Mutiara Wahyu, hlm. 156.
[17]
Muthahhari, Mutiara Wahyu, hlm. 155-156.
[18]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 28
[19]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 31.
[20]
Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari”, hlm. 30.
[21]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 31.
[22]
Penerbit Zahra, “Biografi Syahid Murtadha Muthahhari”, hlm. xxi.
[23]
Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari”, hlm. 30.
[24]
Mulyadhi, Nalar Religius, hlm. 92; Algar, “Hidup dan Karya”,
hlm. 31-32.
[25]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 30.
[26]
Sastan Rastan, “Syahid Murtadha Muthahhari”, hlm. 9.
[27]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 32.
[28]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 32.
[29]
Algar, “Hidup dan Karya”, hlm. 32.
[30]
Sastan Rastan, “Syahid Murtadha Muthahhari”, hlm. 9.
[31]
Sastan Rastan, “Syahid Murtadha Muthahhari”, hlm. 9.
[32]
Sastan Rastan, “Syahid Murtadha Muthahhari”, hlm. 9.
[33]
Algar, “Hidup dan Karya”, h 41.
[34]
Jalaluddin Rakhmat, “Murtadha Muthahhari; Sebuah Model Buat ‘Ulama”,
dalam, Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, Terj. Haidar Bagir
(Bandung: Mizan, 1995), h 7.
[35]
Murtadha Muthahhari, Mutiara Wahyu, Terj. Ali Ahmad, (Bogor: Cahaya,
2004), hlm. 160.
[36]
Rakhmat, “Murtadha Muthahhari”, hlm. 8.
[37]
Lihat, Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari; Sang Mujahid, Sang Mujtahid,(Bandung:
Yayasan Muthahhari, 1988), hlm 83-86.
[38]
Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam,
(Jakarta: Istiqamah Mulya Press, 2006), hlm. 38.
[39]
Beberapa akademi itu antara lain; Pertama, Rasionalisme-Tekstualisme.
Ini merupakan salah satu aliran dalam mazhab Qom yang menjadikan rasio sebagai
landasan lalu mengaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya.Kedua,
Tekstualisme-Rasionalisme. Ini adalah aliran yang menjadikan teks-teks
agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pembenarnya. Ketiga
Tekstualisme-Rasionalisme-Teosofisme. Ini merupakan sebuah aliran yang
menggabungkan rasio, teks-teks agama dan ‘irfan. Keempat, Teosofisme.
Ini adalah aliran yang mengutamakan ‘irfan atau emosi dalam
memahami realitas. Kelima, Rasionalisme-Modernisme. Ini adalah
aliran yang menggunakan rasional dan pengetahuan modern. Keenam,
Neo-Parapatetisme. Ini adalah aliran yang tidak sepenuhnya mendukung
pandangan Ibn Sina, namun secara metodologis hampir mirip dengan pandangan Ibn
Sina, karena banyak mengandalkan deduksi dalam telaahannya.
Secara
umum, akibat dinamika pemikiran filsafat terus berlangsung, Mazhab Qom berkembang
dan terbagi dalam beberapa sub-mazhab dan kelompok. Pertama, sekelompok filosof
yang berperan sebagai advokat atau mediator murni filsafat Mulla Shadra tanpa
melakukan penambahan apapun di dalamnya apalagi kritik, seperti Hasan Zadeh
Amuli. Kedua, sekelompok filosof, seperti Jawadi Amoli, yang hanya mengkritisi
sebagian argumen Mulla Shadra atau sistematika bukunya menyangkut pola
pembagian dan pengurutan sub-tema. Ketiga, para filsosof yang melakukan kritik
dan berusaha mengubah sebagian struktur bangungan filsafat dengan menawarkan
sistematika baru dalam penyajian dan pengajaran filsafat, seperti Muhammad Taqi
Mizbah Yazdi. Meskipun demikian, ketiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang
merupakan prinsip Mazhab Qum. Lihat, Muhsin Labib, “Hawzah Ilmiyah
Qom; Ladang Peternakan Filosof Muslim Benua Lain”, dalam Jurnal Kajian
Ilmu-ilmu Islam Al-Huda, Vol. III. No.9. 2003, hlm. 162-163.
[40]
Labib, “Hawzah Ilmiyah Qom”, hlm. 162.
[41]
Muhammad Ja’far, “Pandangan Muthahhari Tentang Agama, Sejarah, Al Quran dan
Muhammad”, dalam Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol. III.
No.11. 2005. hlm. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar