Kesempurnaan manusia adalah
karena ketidaksempurnaanya, sehingga ia selalu bertanya,dan gelisah akan hal-
hal yang melingkupi kehidupanya, realitas kosmologi dan sebagainya. Pertanyaan
yang paling dasar adalah ketika manusia gusar tentang eksistensi alam, siapakah
kits? Yang melahirkan tentang filsafat manusia,s iapa encipta kita? Yang
melahirkan berbagai pandangan tentang konsep ketuhanan, asal usul alam semesta,
ia real atau tidak dan lain sebagainya. Yang muaranya adalah berbicara tentang
eksistensi, wujud (being). Dikatakan
bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental
dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan
transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang
terus-menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan
dalam.
Dalam tradisi Filsafat
Islam, wujud mempunyaipengertian yang sangat beragam, hal ini tentu di ilhami
oleh latar belakang dan model pemikiran yang di miliki oleh para filusuf Islam.
Selain wujud menjadi pembahasan utama dari
segala sesuatu, wujud juga menjelaskan berbagai realitas. Wujud merupakan salah
satu tema metafisika yang banyak melahirkan kontroversi filosofis.
karena hakikatnya sangat sulit untuk bisa
dipahami.
Orang
seagama filafatnya bisa saja berbeda, begitu sebaliknya, orang yang berbed
agama, bias saja filsafatnya sama. Namun kesamaan filosofis biasanya, hanyalah
pada gari besar saja, Pada uraian rinci boleh jadi terdapat perbedaan yang mencolok.
Perbedaan itu terjadi pada tambahan pada pandangan pokok yang berbeda. Itulah
yang bias kita lihat pada eksistensialisme Islam pada pertengahan abad-20.Kedua
bentuk eksistensialisme itu sama-samamengatakan bahwa eksistensi mendahului
esensi.Atau dengan perkataan lain,wujud lebih pokok daripada hakikat. Walaupu
begitu yang dipersoalakan berbeda. Eksistensialisme prancis abad 20
mempersoalkan eksistensi dan esensi manusia, sedangkan eksistensialisme iran
abad pertengahan mempersoalkan eksistensi dan eseni realitas secara umum,
tertama tuhan[1]
Sekilas Biografi Mulla
Sadra
Mulla Shadra dilahirkan di
Syiraz pada tahun 1572 M. Ia berguru kepada Mir Damad dan Mir Abu Al-Qasim
Findereski (w. 1640) di Isfahan. Nama lengkapnya Muhammad ibn Ibrahim Yahya
Qawani Syirazi, atau sering disebut Shadr al-Din al-Syirazi atau Akhun Mulla
Shadra. Diakalangan murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Mtui‟allihin.
Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status sosialnya tersebut dan
sebagai anak tunggal, ia berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik dan
penjagaan yang sempurna di kota kelahiranya.
Sebagai anak yang cerdas,
ia mampu dengan cepat menguasai berbagai ilmu pelajaran yang diajarkan
kepadanya. Dalam usia muda, Mulla Shadra melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah
pusat budaya yang penting untuk dunia Timur Islam pada saat itu, ia berguru
kepada teolog Baha‟ al-Din al-„Amili (w. 1031 H/1622 M), kemudian kepada
filsuf Peripatetik Mir Abu al-Qasm Fendereski (w. 1050 H/1641). Tetapi gurunya
yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih
dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1041 h/1631 M), yang merupakan seorang
penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal dengan
“aliran Isfahan”. Guru inilah yang gembira dan berduka mempunyai murid seperti
Mulla Shadra, gembira karena mempunyai murid yang cerdas, berduka karena beliau
menyadari tulisan-tulisan Mulla Shadra mudah dipahami daripada tulisan Mir
Damad.
Teman-teman seperguruan
Mulla Shadra kalah bersaing sehingga kurang dikenal, akan tetapi setelah Mulla
Shadra meninggalkan Isfahan menuju Kahak. Mereka mulai dikenal. Kahak adalah
sebuah desa dipedalaman dekat Qum. Di Kahak ia menjalani hidup zuhud dan
pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan rohani untuk mencapai
hikmat-I illahi (Rahasia Ilahi) atau teosofi (theo = Tuhan, Sophia = cinta).
Dia menjalani hidup zuzhud selama 7 tahun, tapi ada riwayat yang menyebutnya
selama 11 tahun. Jalan ini dikritik oleh ulama zahir dan bahkan ada yang
menuduhnya kafir. Padahal, ia orang shalih yang tidak mengabaikan kewajibannya
terhadap agamanya. Hal diutarakan dalam kata pengantar kitabnya, Asfa‟r dan
Sih Ashl (semacam authobiografi).
Sumbangan filsafat Mulla
Shadra sangatlah banyak, diantaranya karya filsafat yang paling berpengaruh
adalah Al-Masya‟ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah
(Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan “Empat Pengembaraan” (Al-Asfar Al-Arba‟ah).
Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku. . . dan dapat
menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”. Lambat laun, ia
mulai sadar terikat kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah
ia terima sebagai hadiah dari Tuhan. Hasil karya itu adalah hasil karya yang
tadi. Jiwa dari penciptaan (al-khalq) menuju realitas tertinggi (al-haqq),
kemudian realitas melalui realitas, dan dari realitas kembali ke penciptaan,
dan akhirnya ke realitas sebagaimana yang mengejawantah dalam penciptaan.
Atas desakan masyarakat
dan permintaan Syah Abbas II (1588-1629), dari dinasti Safawi. Mulla Shadra
diminta menjadi guru di madrasah Allah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur
provinsi Fars di Syiraz. Di sini pulalah ia banyak mengahsilkan karya. Hal ini
di akui oleh Thomas Herbert, pengembara abad 11 H/17 M yang pernah melawat ke
Syiraz selama masa hidup Shadra. Herbert menulis bahwa di Syiraz terdapat
perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika
yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Persia. Kesibukan dalam mengajar dan
menulis tidak menghalanginya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan tujuh di
antaranya, dilakukan dengan berjalan kaki. Namun dalam perjalanan pulang
hajinya yang ke-7 ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050
H/1641 M. Makamnya sangat termasyhur di kota itu.
Tampkanya,
ketika filosof yang bernama Muhammad dan
bergelar Sharuddin dan lebih dikenal dengan
nama Mulla Shadra atau hanya Shadra ini
muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya
diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn
Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6
H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan
kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme.
Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi filsafat Illuminasionis
yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah
pengikut. Dalam latar belakang yang demikian
itulah sistem pemikiran Mulla Shadra yang
khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar
berbeda dari situasi intelektual dan spiritual
pada masanya.
Dalam mazhab Isfahan, Mulla
Sadra tercatat sebagai tokoh, filosof yang sangat tersohor,
kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam
menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang
waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat
dan teologi Islam (alam). Bertumpu pada
ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan
para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat
peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan
syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Sadra membuat
sistesis secara menyeluruh yang selanjutnay dikenal
dengna teosofi transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Mulla
Sadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk
memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual
(‘Aql) dan visi batin atau pencerahan
(kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah
‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga
sumber tersebut.[2]
Eksistensialisme Dalam Persfektif Beberapa Filsuf
Dalam analisa
terminologi dapat diketemukan bahwa Wujud berarti keberadaan yang mempunyai
tingkat abstraksi yang tinggi. Dengan demikian dapat dibedakan
menurut dimensi masing-masing, bahwa wajd sarat
dengaan pergumulan tasawuf, sementara wujud merupakan titik tolak dari filsafat
yang sering dibahas dalam diskursus kalam dan
filsafat Islam sebagai mazhab wujudiyah
(existensialism).[3]
Dalam pergumulan filsafat Barat, filsafat muncul karena suatu krisis, dan
krisis berarti penentuan. Atau dengan
bahasa lain, kehadiran filsafat merupakan bentuk
krisis ke krisis yang lain. Perkembangan
selanjutnya, kehadiran eksistensialisme sebagai
alternatif dalam mengatasi krisis yang
dikapling oleh materialisme dan idealiseme, maka
eksistensialisme adalah cara orang ‘berada’ di
dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau
batu, dan yang dapat menjelaskan secara filosofis
adalah aliran eksistensialisme.[4]
Bentuk
reaksi ini dicetuskan oleh tokoh dari
Denmark Soren Kierkegaaard, menurutnya.
“Filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi
suatu pengekspresian eksistensi individual”. Karena
manusia merupakan pengambil keputusan dalam eksistensinya.
Apapun keputusan yang diambil tak pernah mantap dan sempurna, dan ingin selalu
eksis. Yes, I Percieve perfecly that there are two possibilities, one can do
either this or that (Ya, sejak semula saya menyaksikan
bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakuan apakah
ini ataukah itu).[5]
Tokoh lain,
Jean Paul Sartre (1905-1980) mengatakan; bahwa eksistensi manusia
mendahuli esensinya. Pandangan ini amat janggal, sebab biasanya sesuatu itu
harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum keberadaannya. Filsafat
eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara
berada manusia. Dengan kata lain, filsafat menempatkan
cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral
pembahasannya. Cara ini hanya inheren dengan
manusia karena manusialah yang bereksitensi. Binatang,
tetumbuhan, bebatuan dan lain-lain memang
ada, tetapi keberadaan mereka tidak dapat disebut bereksistensi.[6]
Menurut Armahedi Mahzar.
Eksistensialisme telah digantikan secara berturut turut oleh strukturalisme dan
pasca-strukturalisme.Pasca- strukturalisme sebagai varian dari filsafat
postmodern yang pliralistik,relativistic dsn snsrkiditu telah membuang semua
bentuk eksitensialisme modern. Post-modernisme telah membuang semua esensi
sehingga yang tinggal adalah eksistensi- eksistensi yang banyak yang tak
lain dari benda- benda matrial di luar dan di dalam tubuh kita. Tentu pandangan
ini sangat controversial,karena benda- benda itu tanpa esensinya, yaitu gerak
dan interaksi antar sesamanya sepertiyang difahamioleh sains, tak mungkin
melahirkan kehidupan, manusia dan bahkan pemikir- pemikir post modernis itu
sendiri.[7]
Dalam filsafat Islam,
filusup pertama yang mendudukan persoalan eksistensi- esensi secra berbeda-
dalmarti bahwa salah satu dari keda modus wujud serbamungkin(contingent) itu
ada yang realitas mendasar dan ada yang sekedar penempakan adalah Mir.Damad
yang pada ahirnya ia lebih meyakini bahwa kuiditas sebagai realitasmendasar(ashlah
al-mahiyah), sedangkan sadhr Al- Muta’allihin memilih ashlahul-wujud atau
prinsip kemendasaran eksistensi. Al Muta’allinadalah filusuf pertama yang
mengukuhkan hakikat eksistensi berdasarkan pijakan diskursif dalam Filsafat.[8]
Bangunan teori wujud dan teori kemungkinan
esensial serta kemungkinan eksistensial telah
banyak disinggung oleh Muhammad Baqir al-Shadr (salah seorang
murid Mulla Sadra).[9]Seluruh
bangunan pemikiran filsafat ini muncul dari refleksi dan renungan Shadr
al-Dien Muhammad al-Syirazy yang populer disebut Mulla Sadra, dan dalam
beberapa manuskrip Persia, tulisannya diketemukan sebagai basis-basis
shadariyah. Mulla Sadra membahasnya secara tuntas dalam magnum opus-nya
al-Hikmah al-Muta’aliyah Fi’al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah.
Bila
ditelusuri bangunan pemikiran filsafat wujudiyah
di atas, ternyata memiliki mata rantai dengan arus isyraqiyah yang
dilepas oleh al-Suhrawardi al-Maqtul secara tipikal sarat dengan pergumulan
pemikiran Syi’ah. Diantara para filososf yang merespon dan melanjutkan
perspektif Isyraq diatas antara lain ; Mir Damad (w. 1631), baha’ al-Dien
‘Amili (w. 1621), keduanya merupakan tokoh yang amat terkenal dalam
periode safawi, Shadr al-Dien al-Syirazy
(w. 1641) yang populer disebut dengan Mulla
Sadra, dan diproklamirkan sebagai seorang filosof terbesar di
zaman modern Persia.[10]
Mulla Sadra secara meyakinkan membangun
pemikirannya melalui pendekatan sintesis; antara al-isyraq
(illuminatif), massya’i (peripatetik), ‘irfan (gnosis), dan
kalam (teologi). Semua bangunan pemikiran
di atas menjadi karakteristik setting pemikiran Isfahan
pada zaman Safawi. Titik puncak pemikirannya terletak di tangan Muhammad
Sadaruddin al-Syirazi, atau Sadr al-Muta’allihin,
yang sangat populer di kalangan filosofis[11]
Eksistensialisme Mulla Sadra
Dalam perkembnagan
filsafat di wilayah Islam timur setelah pembedaan ibnu Sina mengemukamengenai
esensii dan wujud, persoalan mengenai yang mana dari keduanya yang merupakan
relaitas uatama memainkan peranpenting.Kebanyakan Filosuf atas nama
“esensialisme” berarguen bahwa wujud, karena kedudukanya sebagai sifat yang
umum dari segala yang ada,yaitu dri konsep yang paing umum hanyalah memiliki
realitas sebagai konsep skunder (ma’qul tsani) yang tidak mempunyai hubungan
sesuatu yang nyata.
Filusuf “Illuminasionis”,
al- Suhrawardi khususnya, menentang keras faham realitas wujud. Alasanya jika
kita menganggap wujud sebgai sifat esensi yang sesungguhnya, sesuai dengan
pendapat ibnu sina, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum
wujud.[12]Dalam
hal ini terdapat kesalahan dalam memahami Ibnu Sina. Ia justru menegaskan bahwa
wujud tidak hanya sekedar sifat, melainkan wujudlah satu- satunya hakikat atau
realitas yang di miliki Tuhan, sedangkan segala sesuatu bagi yang mungkin,wujud
itu diturunkan dari atau” dipinjamkan”oleh Tuhan dan, dengan demikian, sebagai
“ tambahan”bagi esensi mereka, tapi buan sebaga ambahan dari hal- hal
particular yang ada.
Al- Suhrawardi lebih
jauh menegaskan bahwa jika wujud merupakan bagian pokok dari realitas
eksternel, maka wujud harus mengada dan wujud ke dua ini,pada giliranya, juga
harus m engadadan seterusnya ad infinitum. Ia kemudian mengungkapkan
prinsip umum bahwa setiap konsep yang sangat umum ( seperti eksistensi,
kesatuan, kepastian, kemungkinan dan sebagainya), yang hakikatnya sedemikian
sehingga jika suatu factor atau bentuk yang bersesuaian denganya diasumsikan
ada dalam relitas eksternal, maka ini akan mengantarkanya pada penurunan yang
takterbatas.Dengan demikian hanya ada dalam pikiranlah aanya.Tidak dalam
realitas eksternal. Maka apa yang dibuktikan dalam argument ini adalah bahwa
wujud buaknlah factor atau sifat ekstra dalam realitas eksternal.[13]
Sadra dengan keras menolak
pandangan bahwa wujud tidak bersesuaian dengan apapun yang terdapat dalam
realitas. Sebaliknya dia mengatakan bahwa tidak ada yang nyata yang
sebenarnya kecuali wujud. Tetapi wujud srbagai satu- satunya realitas tidak
pernah ditangkap oleh pikiran. Krenapikiran hanya dapat menengkap eensi dan
gagasan umum wujud, atau eksistensi dan esensi. Karena esensi tidak mengada per
se, tetapi hanya timbul dalam pikiran dari bentuk- bentuk atau mode-
mode wujud partikulersehingga, dengan demikian hanyalah merupakan fenomena
mental yang padaprinsipnya dapat diketahui sepenuhnya oleh pikiran,
Sebaliknya,gagasan umum tentang eksistensi, yang timbul dalam pikiran tidak dapat
mencerminkan atau mengangkap hakikat wujud, karena wujud merupakan realitas
obyektif dan transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti
mengandung kesalahan. Dengan kata lain,apa yang ada bersifat unik dan
particular, karena itu wujud tidak dapat ditangkap oleh pikiran konseptual,
sementara eensi yang ada pada dirinya sendiri adalah gagasan umum, tidak per
se. karena itu esensi dapat di diketahui oleh pikiran.
Pandangan bahwa wujud
sendiri yang emnciptakan esensi menempatkan shadra terpisah dari aliran
peripatitik muslim yang yakin bahwabenda- benda konkrit tersusun dari esensi
dan eksistensi. Maing- masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan ini
juga memisahkan dirinya dari pemikiran al- Syuhrawardi dan para pengikutnya,
yang meyakini esensi sebagai realitas,sedangkan wujud hayalah
abstraksi.Pandangan Shadra lebih jauh menjelaskan dan membenarkan ajaran yang
juga dibenarkan oleh Aristoteles dan para Filusuf peripatitik, bahwa wujud
bukanlah genus. Aristoteles telah menegaskan bahw wujud tidak dapat menjsdi
genus, karena genus dan deferiensia masing- masing dapat digambarkan sebagai
sesuatu yang “ada” dank e-ada-an” ini meliputi segala sesuatu,bqaik yang
konseptal maupun yang real.
Bagi Shadra wujud tidak
basa menjadi genus atai defrensia, karena wujudlah yang menciptakan semua
esensi.apapun ke”ada”an abstrak yang dimiliki oleh esensi ,tidak dimilioki oleh
mereka per se- karena esensi dalam diri mereka bukan “ada” juga bukan
“tidak ada, etapi karena wujud mereka maupun turunan dari wujud yang
sebenarnya. Dengan kata lain, mereka bernilai dengan ke-ada-n ini ketika
menjadi obyek pikiran [14]
Mulla Sadara membagi wujud
dalam beberapa kateogi wujud dan terutama dalam karyanya al-Ashfar al-Arba’ah
yaitu wujud yang berkaitan (al-wujud al-irtibati), al-wujud al-nafsi
(self subsistent being), yang selanjutnya dikaitkan dengan statemen yang
mengemukakan bahwa “man is a rational
animal”. Kategori ini lalu dibagi menjadi tiga:
substansi (jauhar0, aksiden (‘ard), dan
semua wujud yang berskala wujud al-rabit (connectibe being) bagi
semua wujud selain Tuhan. Dalam menangkap persoalan wujud, Mulla Sadra menekankan
persoalan mendasar dan penting menjadi tiga
yaitu; wajib (necessary), mungkin (possible), dan
mumtani’ (impossibel). Dengna demikian pada gilirannya menurut Mulla Sadra
wujud memiliki pembagian-pembagian yang dipertautkan
dengan spesis-spesis (al-nau‘ wa al-rutbah). Dengan
bahasa lain, maujud dapat dibagi menjadi
beberap kelompok (Sebagai contoh, dibagi menjadi
obyektif dan subyektif, wajib dan mungkin, abadi dan
diciptakan pada waktu tertentu, tetap dan berubah, tunggal
dan jamak, potensi dan aksi, serta substansi
atas aksiden). Tentu saja ini merupakan pengelompokkan
secara primer, yaiut pengelompokkan atas
maujud menurut kenyataan kemaujudannya.[15]
Filosof yang
mengkaji tentang wujud secara kosmologik,
mengatakan bahwa gagasan atau konsep yang kita nilai dianggap sebagai subyek,
dan predikatnya akan berada dalam salah satu dari tiga kategori di atas. Relasi
wujud dengan gagasan atau konsep bisa bersifat
wajib; yaitu sesuatu itu wajib ada.
Kita kemudian menyebutnya dengan wujud yang niscaya (wajib
al-wujud). Filsafat ini membicarakan tentang Tuhan melalui
pendekatan burhanu31dari wajib al-wujud. Bukti-bukti
filosofis memperlihatkan bahwa ada suatu wujud yang
baginya, ketiadaan adalah absurd dan keberadaan adalah wajib. Jika relasi wujud
dengan gagasan bersifat mustahil, dan kehadirannya bersifat absurd dan
keberadaan adalah wajib. Jika relasi wujud dengan gagasan bersifat
mustahil, dan kehadirannya bersifat absurd, jika
menyebutnya wujud mustahil, misalnya bangun
kubus yang sekaligus berbentuk bola.
Kesimpulan
Bagi Shadra wujud tidak
basa menjadi genus atai diferensia, karena wujudlah yang menciptakan semua
esensi.apapun ke”ada”an abstrak yang dimiliki oleh esensi ,tidak dimilioki oleh
mereka per se- karena esensi dalam diri mereka bukan “ada” juga bukan
“tidak ada, etapi karena wujud mereka maupun turunan dari wujud yang
sebenarnya. Dengan kata lain, mereka bernilai dengan ke-ada-n ini ketika
menjadi obyek pikiran.[16]
[1] Armahedi
Mahzar (Pengantar), Fajlurrahman, Filsafat Sadra (Terj), Bandung,
Penerbit Pustaka, 1975, hlm. v
[2] Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, Bandung : Remaja
Rosdakarya cet. Iii1993.hlm.192
[4] Seyyed
Hossein nasr, Menjeleajah Dunia Modern Bimbingan untuk Kaum Muda
Muslim Bandung: Mizan, 1994. hlm.90
[5] Fuad hasa,
Berkenalan Dengna Eksistensialisme, cet. V. jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1992,
hlm.25
[8] Murthada
Mutahhari, Pengantarpemikiran Shadra Filsafat Hikmah, terj, Bandung:
Mizan,2002, hlm. 81
[10] Majid
Fakhry, Sejarah Filasafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta :
Dunia Pustaka Jaya. 1987).hlm.419
[15] Murtadha
Muthahari, Tema-tema Penting Filsafat Islam , terj.
Rifa’i hasan & Yuliani, Bandung: Mizan , 1993.hlm. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar