(Sketsa Ki Wasid dan Pedang Zulfikar Kesultanan Banten
Karya Rainer Micha Pali
Oleh Ahlul Bayt
Indonesia
Selama abad ke-19, serentetan
pemberontakan di Banten terhadap otoritas kolonial Belanda meletus dalam skala
kecil maupun besar, sehingga Banten disebut sebagai tempat persemaian dan
gelanggang pemberontakan. Salah satu pemberontakan besar terjadi pada 9 Juli
1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten.
Di tinjau dari segi gerakan sosial,
faktor-faktor yang menyebabkan pergolakan dan keresahan sosial sangat kompleks
dan beranekaragam. Peristiwa revolusioner itu bisa diletakkan di dalam konteks
perkembangan kelembagaan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Aspek politik
merupakan faktor yang menonjol dalam semua gerakan sosial di Banten, termasuk
Pemberontakan Petani Banten 1888. Kebencian rakyat terhadap pamong praja Banten
hampir sama mendalamnya dengan permusuhan terhadap penguasa-penguasa asing,
yaitu Belanda. Sebab, para pamong praja menjadi agen-agen kolonial sebagai
pemungut pajak rakyat Banten. Kegusaran penduduk terhadap pajak berubah menjadi
pemberontakan ketika mereka harus menjual hasil pertaniannya dengan harga yang
rendah. Ditambah lagi wabah penyakit dan bencana alam menjadi lengkaplah
penderitaan rakyat, yang mendorong mereka ingin mengakhiri penderitaan dengan
memberontak.
Namun, pemberontakan tidak akan
pernah meletus, tanpa seorang pemimpin. Para pemimpin pemberontak datang dari
kalangan elite agama atau kiai dan kaum aristokrat lama, yang merasa kedudukan
istimewanya terancam oleh pemerintah kolonial Belanda. Tersisihnya mereka dari
ranah politik rupanya telah menyebabkan mereka mudah terpengaruh untuk
melakukan dan menggerakkan pemberontakan, sebagai cara untuk menyalurkan
ketidakpuasan dan rasa dendam mereka. Sikap memberontak ini juga diperkuat lagi
oleh kebencian religius mereka terhadap kekuasaan “orang-orang kafir.” Tidak
disangsikan lagi bahwa hampir semua pemberontakan diwarnai oleh faktor
keagamaan.
Tokoh penting dalam pemberontakan
petani Banten adalah Syekh ‘Abd al-Karim al-Bantani, seorang khalifah tarekat
Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah. Dia yang lama tinggal dan belajar di Mekah, kembali
ke Banten. Dalam waktu tiga tahun di kampung halamannya dia menanamkan
doktrin-doktrin agama yang mendorong pecahnya pemberontakan, antara lain
kedatangan Imam Mahdi, peringatan terakhir Nabi Muhammad Saw., mendirikan
negara Islam (Dar al-Islam), dan Perang Sabil (Jihad fi Sabilillah). Buku karya
wartawan majalah Historia ini berusaha menggali peranan Syekh ‘Abd al-Karim
dalam menanamkan doktrin-doktrin tersebut.
Meskipun Syekh ‘Abd al-Karim tidak
ikut dalam pemberontakan karena dipanggil kembali ke Mekah oleh gurunya Ahmad
Khatib al-Sambasi, namun dia telah menanamkan doktrin-doktrin keagamaan yang
menjadi bekal bagi para pemberontak. Dalam hal ini – meminjam istilah John L.
Esposito dalam menjuluki pemikir Iran Ali Syari’ati dalam revolusi Islam Iran –
kita bisa menyebut Syekh ‘Abd al-Karim sebagai “perumus dan penyedia ideologi
revolusi.” Dengan kata lain, Syekh ‘Abd al-Karim-lah yang telah mempersiapkan
doktrin-doktrin agama atau landasan spiritual bagi rakyat Banten untuk
melakukan pemberontakan.
Doktrin-doktrin keagamaan yang
disampaikan Syekh ‘Abd al-Karim kemudian disemaikan oleh murid-muridnya yaitu
Haji Marjuki, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Wasid; telah menjadi landasan
rasional kepada gerakan pemberontakan. Sehingga mereka memahami pemberontakan
tersebut sebagai jalan satu-satunya untuk melakukan protes terhadap penguasa
kolonial, di mana sebelumnya mereka tidak memiliki atau tidak tersedia
cara-cara yang sah untuk menyatakan protes atau perasaan tidak senang terhadap
kebijakan kolonial.
Namun yang perlu segera ditegaskan
di sini adalah, menukil Endorsment dari Dr. Asvi Warman Adam, Sejarawan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ” Apakah ulama menjadi dalang pemberontakan
Banten tahun 1888? Bacalah dalam buku ini. Apakah perlawanan petani terhadap
penjajah Belanda yang memakan korban jiwa pada kedua belah pihak kurang dari
50-orang itu dapat dikategorikan sebagai pemberontakan? Renungkanlah setelah
membaca buku ini.” Selamat Membaca!