Label

Kisah Nadia di Abu Ghraib



Nadia adalah salah satu korban dari ratusan korban para tentara Amerika di penjara Abu Ghraib. Dia ditangkap tanpa alasan. Ketika dia dibebaskan dari penjara, ia tidak langsung kembali ke pangkuan keluarganya sebagaimana kebanyakan tahanan lainnya yang telah mengalami hal buruk, meski dia telah terbakar oleh api penindasan dan merasakan kerinduan pada keluarganya.

Nadia kabur dengan segera setelah dia dibebaskan dari penjara terkutuk buatan Amerika, Negara pencipta para teroris dan penebar kejahatan kemanusiaan. Satu hal yang membuatnya merasa malu adalah pemerkosaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Amerika. Dan apa yang dilami Nadia ini hanya secuil peristiwa tragis. Inilah secuil peristiwa yang ia paparkan:

Aku sedang mengunjungi salah seorang kerabatku, kemudian tiba-tiba tentara Amerika memasuki rumahnya dan mulai menggeledah rumah itu. Mereka menemukan beberapa senjata ringan. Maka mereka pun menangkap semua orang yang berada di rumah itu termasuk aku.

Aku mencoba menjelaskan pada penerjemah yang menyertai patroli Amerika bahwa aku hanyalah seorang pengunjung. Akan tetapi pembelaanku gagal. Aku kemudian menangis, memohon pada mereka, sampai hilang kesadaran karena takut ketika mereka membawaku ke penjara Abu Ghraib. Mereka menempatkanku sendirian di sebuah sel penjara yang gelap dan kotor. Aku berharap aku akan segera dibebaskan, utamanya setelah penyelidikan terbukti aku tidak melakukan kejahatan.

Hari pertama sangat menyusahkan. Selnya berbau tidak sedap, lembab dan gelap. Kondisi ini membuatku semakin lama semakin takut. Suara tertawa prajurit di luar sel semakin membuatku ketakutan. Aku khawatir akan apa yang menimpaku nanti. Untuk pertama kalinya aku merasa berada dalam cengkraman situasi yang sulit dan aku telah memasuki sebuah dunia yang tidak dikenal yang aku tidak akan pernah keluar darinya.

Di tengah beraneka ragamnya perasaanku saat itu, aku mendengar suara seorang tentara wanita Amerika berbicara dalam bahasa Arab. Dia berkata kepadaku: “Aku tidak mengira penjual senjata di Iraq adalah wanita.” Ketika aku mulai mencoba menjelaskan kepadanya kondisi yang sebenarnya, dia memukulku dengan kejam dan bengis. Tak hanya itu saja, tentara wanita itu menghujaniku dengan cacian dengan cara yang belum pernah aku bayangkan bisa terjadi atau aku akan diperlakukan seperti itu dalam keadaan apapun selamanya.

Kemudian dia mulai menertawakanku sambil mengatakan bahwa dia telah memonitorku sepanjang hari dengan satelit, dan bahwa mereka mampu melacak musuh-musuh mereka meskipun sedang berada di dalam kamar tidur mereka sendiri dengan teknologi Amerika.

Kemudian dia tertawa dan berkata, ”Aku mengawasimu ketika kamu bercinta dengan suamimu.” Aku menjawab dengan suara kebingungan “Tapi aku belum menikah dan aku belum pernah tidur dengan seorang lelaki”. Merasa dustanya terungkap dengan jawabanku itu, dia memukuliku selama lebih dari 1 jam dan dia memaksaku minum segelas air, yang kemudian kuketahui mereka memberi obat di air itu.

Aku mendapatkan kembali kesadaranku setelah 2 hari dalam keadaan telanjang. Segera aku tahu jika aku telah kehilangan sesuatu yang hukum apapun di dunia tidak akan mampu mengembalikannya kepadaku lagi. Aku telah diperkosa. Aku kemudian histeris tak terkontrol, dan aku mulai memukulkan kepalaku dengan keras ke tembok sampai lebih dari lima tentara Amerika yang dikepalai tentara wanita itu memasuki sel dan mulai memukuliku, kemudian mereka memperkosaku bergantian sambil tertawa-tawa dan menperdengarkan musik dengan keras.

Hari demi hari skenario pemerkosaan terhadapku diulangi. Dan setiap hari mereka menemukan cara baru yang lebih kejam dibanding dengan yang sebelum-sebelumnya. Setelah sekitar satu bulan, seorang tentara negro memasuki selku dan melemparkan 2 potong pakaian militer Amerika kepadaku. Dalam bahasa Arab yang lemah dia mengatakan agar aku memakainya. Setelah dia menutup kepalaku dengan kantong hitam, dia menuntunku ke toilet umum yang ada pipa untuk air dingin dan panas, dan dia memintaku untuk mandi. Kemudian dia menutup pintu dan pergi.

Aku menjadi sangat lelah dan merasakan kesakitan, tanpa mempedulikan banyaknya memar di tubuhku, aku menuangkan sejumlah air ke badanku. Sebelum aku selesai mandi, tentara negro tadi masuk ke dalam. Aku ketakutan dan memukul wajahnya dengan mangkok air. Namun dia sangat kuat, dia memperkosaku dengan kejam dan meludahi mukaku, kemudian dia pergi dan kembali lagi dengan 2 tentara yang membawaku kembali ke sel.

Perlakuan seperti itu terus berlanjut, yang paling parah kadang aku diperkosa sampai 10 kali dalam sehari, membuat kesehatanku sangat buruk. Setelah lebih dari 4 bulan, seorang tentara wanita datang, dan aku menyimpulkan dari percakapannya dengan tentara lainnya jika namanya adalah Mary. Dia berkata kepadaku,  “sekarang kamu memiliki kesempatan emas, karena seorang petugas yang memiliki posisi tinggi akan mengunjungi kita hari ini. Jika kamu menghadapinya dengan sikap yang positif kamu akan dibebaskan, terutama karena kami sekarang yakin kamu tidak bersalah.”

Aku menjawab, ”Jika kalian yakin aku tidak bersalah, mengapa kalian tidak membebaskan aku?” Dia menjerit dengan gelisah, ”Satu-satunya yang menjamin terbebasnya kamu adalah sikap positifmu terhadap mereka.”

Dia membawaku ke toilet umum, dan dia mengawasiku mandi sambil membawa tongkat tebal untuk memukulku jika aku tidak melakukan perintahnya. Kemudian, dia memberiku make up, dan memperigatkanku untuk tidak menangis dan merusak make up-ku. Lalu dia membawaku ke sebuah ruangan kosong yang di situ tidak ada apapun kecuali sebuah penutup lantai.

Setelah satu jam dia datang dengan ditemani 4 tentara dengan memegang kamera. Dia melepas bajunya dan mulai menggangguku seoalah-olah dia adalah seorang lelaki. Tentara lainnya tertawa dan memperdengarkan musik yang ribut, mengambil fotoku dalam berbagai pose, dan mereka menunjuk-nunjuk wajahku. Yang wanita menyuruhku tersenyum, jika tidak dia akan membunuhku. Dia mengambil pistol dari salah satu temannya dan menembakkan empat peluru di dekat kepalaku seraya bersumpah bahwa peluru yang kelima akan ditembakkan tepat di kepalaku.

Setelah itu, keempat tentara lainnya memperkosaku secara bergantian sampai aku kehilangan kesadaranku. Ketika kesadaranku pulih, aku menemukan diriku di sel dengan bekas-bekas gigitan, kuku dan rokok ada di sekujur tubuhku. Kemudian suatu hari Mary datang dan mengatakan kepadaku bahwa aku kooperatif dan akan dibebaskan setelah aku menonton film yang mereka rekam.

Aku merasa sakit setelah menonton filmnya, dan Mary mengatakan, ”Kamu telah diciptakan hanya untuk membuat kami bersenang-senang”. Saat itu aku menjadi sangat marah dan aku menyerangnya meskipun aku takut akan reaksinya, aku akan membunuhnya kalau saja tentara lain tidak turut campur. Ketika para tentara melepaskanku, Mary menghujaniku dengan pukulan, kemudian mereka meninggalkanku.

Setelah kejadian itu, tidak ada seorang pun yang menggangguku selama lebih dari satu bulan. Aku menghabiskan masa itu dengan beribadah dan berdoa kepada Allah Swt yang memiliki seluruh kekuatan untuk menolongku. Mary datang dengan beberapa tentara yang memberiku pakaian yang kukenakan ketika mereka menangkapku dan membawaku ke sebuah mobil Amerika. Kemudian mereka melemparkanku di sebuah jalan raya setelah memberiku 10.000 dinar Iraq.

Aku pergi ke sebuah rumah yang berdekatan dengan tempat aku dibuang, dan untuk mengetahui reaksi keluargaku, aku memilih mengunjungi salah seorang kerabatku supaya mereka mengetahui apa yang telah menimpaku ketika menghilang. Aku mengetahui bahwa saudaraku telah memasang papan tanda duka untukku selama lebih dari 4 bulan, mereka menganggapku sebagai orang yang sudah mati.

Aku memahami jika tikaman malu sudah menungguku. Maka, aku pergi ke Baghdad dan menemukan sebuah keluarga yang baik yang menampungku, dan aku bekerja pada keluarga ini sebagai pembantu dan guru privat bagi anak-anaknya. Siapa yang akan memuaskan dahagaku? Siapa yang akan mengembalikan keperawananku? Apa salah keluarga dan familiku? Kini aku mengandung seorang bayi, bahkan akupun tidak tahu siapa ayahnya.

Sultan Murad IV dan Jenazah di Sebuah Lorong


Sultan Murad IV dari Turki menulis dalam buku diarinya bahwa suatu malam ia merasakan kegelisahan, dan ia ingin tahu apa penyebabnya. Maka ia memanggil kepala pengawalnya dan memberitahu apa yang dirasakannya.

Mereka pun pergi, hingga tibalah mereka di sebuah lorong yang sempit. Tiba-tiba, mereka menemukan seorang laki-laki tergeletak di atas tanah. Sang Sultan menggerak-gerakkan lelaki itu, ternyata ia telah meninggal. Namun orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya tak sedikitpun mempedulikannya.

Sultan Murad pun memanggil mereka, mereka tak menyadari kalau orang tersebut adalah Sultan. Mereka bertanya: "Apa yang kau inginkan?” Sultan menjawab: "Kenapa orang ini meninggal tapi tidak ada satu pun di antara kalian yang mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Di mana keluarganya?"

Mereka berkata: "Orang ini Zindiq, suka menenggak minuman keras dan berzinah". Sultan menimpali: "Tapi...bukankah ia termasuk umatnya Muhammad sawaw? Ayo angkat jenazahnya, kita bawa ke rumahnya".

Mereka pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumahnya. Melihat suaminya meninggal, sang istripun pun menangis histeris. Orang-orang yang membawa jenazahnya langsung pergi, tinggallah sang Sultan dan kepala pengawalnya.

Dalam tangisnya sang istri berucap kepada jenazah suaminya: "Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang sholeh".

Mendengar ucapan itu Sultan Murad pun kaget. Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah, sementara orang-orang membicarakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya".

Sang istri menjawab: "Sudah kuduga pasti akan begini. Setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke toko-toko minuman keras, dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu di bawa ke rumah lalu ditumpahkannya ke dalam toilet, sambil berkata, ‘Aku telah meringankan dosa kaum muslimin’.

Dia juga selalu pergi menemui para pelacur, memberi mereka uang dan berkata, ‘Malam ini kalian sudah kubyar, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi’.  Kemudian ia pulang ke rumah, dan berkata kepadaku, ‘Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pemuda-pemuda’.

“Orang-orangpun hanya menyaksikan bahwa ia selalu membeli khamar dan menemui pelacur, lalu mereka menuduhnya dengan berbagai tuduhan dan menjadikannya buah bibir.

Suatu kali aku pernah berkata kepada suamiku, ‘Kalau kamu mati nanti, tidak akan ada kaum muslimin yang mau memandikan jenazahmu, mensholatimu dan menguburkan jenazahmu". Ia hanya tertawa, dan berkata: "Jangan takut, bila aku mati, aku akan disholati oleh Sultannya kaum muslimin, para Ulama dan para Auliya".

Sultan Murad pun menangis, dan berkata: "Benar! Demi Allah, akulah Sultan Murad, dan besok pagi kita akan memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya". (Kisah ini diceritakan kembali oleh Syaikh Al-Musnid Hamid Akram Al-Bukhori dari Mudzakkiraat Sultan Murad IV)