Label

Islam: Idiologis Ataukah Kultural?


oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Dalam acara NU dan beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis melihat sebuah  phenomenon yang sangat menarik. Di tiap tempat, penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badr, bahkan di daerah  lain terjadi orang-orang non-muslim membawakannya. Ini berarti, bahwa sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi hasanah budaya, minimal budaya NU. Terlepas dari penyerahan bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sajak tersebut di Muktamar Krapyak, Yogyakarta, tahun 1989 itu, fakta  penyebaran sajak yang ditembangkan dalam birama  (bahr) tradisional tersebut, tampak jelas ia telah dianggap sebagai phenomenon budaya tersendiri tanpa disadari.

Hal ini menunjukkan eratnya  hubungan antara budaya dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu-puja dalam qasidah dziba’iyah yang dibawakan jutaan orang anak-anak muda NU, setiap minggu, jelas menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini antara lain dilakukan dengan penyampaian budaya. Artinya, penyebaran Islam itu dilakukan secara damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai itu.

Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai tindakan penyebaran agama,  sekarang diterima sebagai adat di berbagai daerah. Perayaan Tabot, umpamanya, dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh, di Bengkulu. Adat yang satu ini, menampilkan diusungnya Tabot/peti mati/ keranda cucu  Nabi Saw, Sayyidina Hasan dan Husein, yang justru menjadi tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl-al bait (keluarga beliau) yang menjadi titik sentral ajaran Syi’ah itu. Bahwa ia telah menjadi manifestasi budaya, menunjukkan arti kesejarahan yang sangat penting.

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan  nama-nama di lingkungan DPR/MPR-RI kita. gedung yang megah itu diharuskan menggunakan nama-nama dalam bahasa Sangsekerta, seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan DPR/MPR-RI sendiri, sebagai produk  Undang-Undang Dasar (UUD), lebih mencerminkan dialog antara para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata-kata yang dipakai, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga-tiganya, sebelum mengalami konjugasi dalam bahasa kita, adalah kata-kata dalam bahasa Arab; baik kata dewan, wakil maupun rakyat, berasal dari Timur Tengah. Begitu juga kata pemilihan umum, dengan kata “umum” digunakan untuk hal-hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.


Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari kata-kata Arab dan kemudian dilanjutkan dengan kata-kata Sangsekerta, merupakan adaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. Kalau itu kita kaitkan dengan perkembangan di bidang-biidang lain, akan lebih besar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari-hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm dalam bahasa Arab.  Kata ini semula digunakan untuk menunjuk hukum agama Islam (fiqh), namun karena perluasan pemakaiannya yang meliputi penggunaan produk-produk yang digunakannya, akhirnya kata yang berasal-usul Arab itu meliputi  makna baru, yang memiliki arti lain seperti disebutkan di atas. Al-Hukm yang semula berarti aturan dan undang-undang agama (canonical law), berkembang menjadi hukum –yang berarti undang-undang negara.

Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan arti kata law/recht, yang diambilkan dari bahasa-bahasa Eropa modern. Belum lagi kalau diingat adanya bahasa-semu (meta language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh Dr. Toety  Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan berarti dinaikkan dan sebagainya. Akibat dari penggunaan bahasa semu ini, masyarakat sempat terkotak-kotak dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat dari isolasi tersebut adalah munculnya jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence) yang terjadi --terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman dalam kehidupan kita sebagai bangsa.

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari-hari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara lain,  dalam pernyataan  seorang anggota fraksi PDI-P DPR-RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai bangsa, menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.


Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 150 tahun, Alexis de Tocqueville menerbitkan bukunya tentang demokrasi di Amerika Serikat,  sampai hari inipun pembicaraan  tentang jenis-jenis dan jangkauan proses tersebut dalam kehidupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.


Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, agar Piagam Jakarta dimasukkan  ke dalam pasal 29 UUD kita, haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pengertian di kalangan gerakan-gerakan Islam tersebut. Bukankah pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD akan berarti memasukkan idiologi agama tersebut ke dalam kehidupan negara, dan dengan demikian memberikan kepadanya kedudukan resmi sebagai idiologi negara?  Bukankah dengan demikian, para warga negara lain yang non-muslim dimasukkan ke dalam lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang berpaham idiologisme non-agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar-benar demokratis di masa depan?

Tokyo, 3/4/2002. Sumber: Kedaulatan Rakyat

Mereka Berbohong Tentang Iran


oleh Andre Vltchek (Diterjemahkan oleh Rossie Indira)

PERNAHKAH anda mempertimbangkan kemungkinan bahwa hampir semua yang disampaikan media massa Barat tentang apa yang terjadi di dunia ini adalah kebohongan dan penipuan?

Saya yakin pasti pernah, setidaknya belakangan ini ketika kegilaan propaganda Barat menjadi sangat jelas dan kentara. Namun, sampai seberapa jauh anda telah diindoktrinasi?

Jika anda tinggal di Eropa atau Amerika Utara, sudah seberapa jauh anda diracuni dengan kebohongan tentang Kuba dan Venezuela, Rusia dan China, Korea Utara dan ya — tentang Iran? Apakah racun yang masuk sudah membuat anda tidak bisa sembuh lagi? Jika anda melihat kebenaran, jika anda dihadapkan pada kenyataan, apakah anda masih bisa mengenalinya, atau apakah anda sudah langsung menganggapnya sebagai propaganda dan kebohongan?

Saya baru saja meninggalkan Teheran, kota dengan sejarah dan budaya yang luar biasa, punya banyak museum, teater, taman-taman yang luar biasa terpelihara dan dihiasi dengan patung-patung seni modern. Sebuah kota dengan transportasi publik yang modern dan sepenuhnya disubsidi, yang terdiri dari metro yang canggih, busway yang ramah lingkungan, serta kereta api komuter. Kota dengan pohon-pohon yang tinggi dan alun-alun yang tenang, kafe-kafe elegan dan penduduk yang berpendidikan tinggi dan baik hati.

Sebuah kota yang dengan mudah bisa menjadi salah satu dari ‘sepuluh besar’ kota terbaik di dunia, kalau saja bukan ibukota sebuah negara yang sedang dicoba dihancurkan oleh Barat, pertama dengan pengenaan sanksi yang tidak adil dan amat keras, dan kemudian, siapa tahu bahkan dengan menggunakan invasi militer.

Apa yang diketahui oleh sebagian besar orang Barat tentang Iran; apa yang disampaikan kepada mereka? Saya perkirakan gambaran yang ingin disorot oleh media massa adalah “Iran — negara Muslim radikal, semacam Arab Saudi tapi Syiah”, atau mungkin lebih buruk lagi. Yang juga jauh lebih buruk adalah karena Arab Saudi, sekutu London dan Washington terdekat di Arab, tidak dapat disentuh di Barat, tidak peduli kebiadaban dan teror apa pun yang mereka sebarkan ke seluruh dunia.

Mereka yang mengenal dengan baik kota Jeddah dan Teheran pasti akan tertawa bila kedua kota ini dibandingkan. Walaupun punya kekayaan besar yang mereka peroleh dari minyak, Arab Saudi, juga semikoloninya Bahrain, punya masyarakat yang paling tak berwelas asih (compassionless) di bumi, dengan kontras antara masyarakat miskin dengan mereka yang pamer kekayaannya secara ekstrem dan vulgar.

Pada dasarnya, Iran adalah negara sosialis. Mereka juga internasionalis, selalu menunjukkan solidaritas kepada banyak bangsa yang tertindas dan masih berjuang di planet kita ini. Bukan, saya bukan hanya bicara tentang Suriah, Yaman, atau Palestina; saya bicara antara lain tentang Kuba dan Venezuela. Anda tidak tahu tentang hal ini? Tidak heran: memang anda dibuat untuk tidak tahu!

Anda juga diharapkan untuk tetap tidak tahu tentang sistem sosial Iran yang jelas-jelas sosialis. Pendidikan dan perawatan medis gratis, transportasi umum dan budaya yang sangat disubsidi, ruang publik yang amat luas dan pemerintahan yang kuat sampai taraf tertentu dan perencanaan di pusat, setidaknya untuk beberapa hal.

Terlepas dari Washington dan sekutu-sekutunya yang memberlakukan sanksi-sanksi yang sangat tidak adil dan berat, Iran tetap berdiri tegak dan berusaha sebisanya untuk mengurus rakyatnya. Dan meskipun rakyat Iran harus melewati cobaan yang berat, mereka tidak mau menipu dan tidak mau mencuri. Nilai tukar mata uang mereka jatuh setelah Washington memberlakukan lagi sanksi-sanksi yang aneh, membuat rakyat frustrasi, bahkan memprotes. Namun demikian, mayoritas rakyat Iran tahu betul siapa penjahat yang sebenarnya. Dan bukan rahasia lagi kalau kaum yang disebut oposisi seringkali mendapat pendanaan dari Barat.

Sebagian besar orang yang datang ke Teheran tidak paham tentang mata uang lokal atau nilai tukarnya. Saya juga. Pada saat harus membayar, saya berikan dompet saya kepada sopir taksi atau pelayan restoran, dan mereka mengambil dalam jumlah yang seharusnya saya bayar. Saya cek dengan kolega Iran saya dan ternyata jumlah yang mereka ambil memang benar.

Orang Iran tidak menunjukkan ‘kebanggaan yang arogan’; mereka hanya menunjukkan kebanggaan yang penuh tekad, terhormat, dan patriotik dari bangsa yang punya kebudayaan besar yang sudah ada selama ribuan tahun, dan mereka tahu betul bahwa mereka dicatat dalam sisi sejarah yang benar.

ANDA diberi tahu ‘seberapa relijiusnya Iran’; ya, saya yakin anda pasti diberitahu tentang hal ini. Namun tidak seperti di Arab Saudi atau di Indonesia, di sini agama tidak ‘disodorkan ke mukamu’; tidak dikibar-kibarkan. Di Iran, agama adalah sesuatu yang internal, yang dalam, dan diekspresikan dengan rendah hati dan tanpa ribut-ribut. Sementara masjid-masjid di Jakarta selama berjam-jam dalam sehari menyiarkan keseluruhan khotbah dengan menggunakan pengeras suara yang kuat, sementara sekarang orang-orang dijebloskan ke penjara hanya karena mengkritik adanya pembebanan agama secara brutal pada masyarakat umum, di Teheran saya hampir tidak pernah dengar ada azan. Sebagian besar perempuan penduduk kota Teheran menutup rambut mereka hanya simbolis – hanya menutup sepertiga atau bahkan hanya seperempat rambut mereka saja, dan membiarkan sebagian besar rambut mereka tetap terbuka.

Tapi, Barat tidak akan pernah menjatuhkan sanksi kepada Indonesia, tidak peduli betapa brutal penguasanya kepada rakyatnya sendiri: Washington, London dan Canberra telah menghancurkan arah sosialis negara ini dengan kudeta yang diatur Amerika pada 1965. Jakarta sekarang menjadi masyarakat yang taat, kapitalis brutal, anti-Komunis, dan pencinta makanan-cepat-saji-Barat dan hiburan-kelas-rendahan. Tidak ada lagi yang bersifat publik. Para elitenya telah habis-habisan menjarah negara ini atas nama Barat. Agama-agama di Indonesia digunakan untuk mendukung rezim fasis pro-Barat.

Iran benar-benar sebaliknya: penafsirannya tentang agama masih ‘tradisional’, seperti dahulu sebelum Barat berhasil membelokkan esensinya di berbagai belahan dunia. Bangsa ini sosialis, penuh kasih, spiritual, dan ya — internasionalis.

Tidak seperti di Jeddah atau Jakarta, di mana pergi makan di luar sekarang menjadi puncak kehidupan budaya (dan seringkali menjadi satu-satunya pilihan untuk ‘menikmati kota’), Teheran menawarkan bioskop-bioskop seni berkualitas tinggi (film-film Iran sudah menjadi bagian film-film besar dan intelektual di dunia), museum-museum dan galeri-galeri berkelas dunia, ruang publik yang luas, serta sejumlah besar fasilitas olahraga dan tempat hiburan umum, termasuk taman yang dipelihara dengan baik.

Ingin bergelantungan pakai tali dan ‘terbang’ di atas lembah dekat salah satu menara televisi tertinggi di dunia, anda bisa melakukannya di Teheran. Atau ingin melihat serangkaian film seni terbaru dari Tiongkok – bisa juga, silakan pergi ke sebuah bangunan megah bernama Museum Sinema. Atau mungkin anda ingin melihat drama teater karya-karya Chekhov atau Tennessee Williams, kalau anda bisa berbahasa Farsi, mengapa tidak?

Tentu saja anda bisa juga memilih untuk duduk dalam kemacetan kalau anda begitu cinta dengan mobil anda sendiri, seperti yang banyak dilakukan di Riyadh atau Jakarta, tetapi anda juga dapat melaju melintasi kota dengan nyaman dan murah menggunakan sistem metro yang supermodern. Bisa jalan kaki di atas trotoar yang indah, di bawah pohon-pohon tinggi, bahkan ada pohon-pohon yang tumbuh dari kanal atau got air bersih yang ada di antara jalan untuk mobil dan tempat pejalan kaki.

Apa lagi yang sudah mereka sampaikan kepada anda; bahwa anda tidak dapat menatap langsung mata wanita-wanita di sana dengan konsekuensi anda akan dirajam sampai mati? Di Teheran, kita bisa melihat pasangan-pasangan bergandengan tangan di mana-mana, dan gadis-gadis di sana kalau sedang jengkel bisa menampar wajah pacar mereka, kadang cuma menggoda tapi bisa juga serius.

Tapi, apakah anda akan percaya jika anda melihatnya dengan mata kepala sendiri? Atau apakah sudah terlambat, sudah tidak ada harapan lagi bagi anda?

Suatu hari, seorang sopir yang membawa saya dari hotel ke studio Press TV, berkata dengan putus asa:

“Orang-orang Eropa yang datang ke sini tidak ingin belajar, bahkan mereka yang baru pertama kali ke sini. Walaupun pertama kali datang ke Iran, mereka mendarat di bandara, masuk ke mobil saya, dan mulai menggurui saya; mengajari saya tentang negara saya sendiri! Mereka semua datang dengan cerita yang sama tentang Iran, dan dengan kritik yang sama. Semua sama! Bagaimana mungkin mereka menyebut negara mereka demokratis kalau mereka semua berpikir dengan cara yang sama?”

Di Teheran, sungguh mengejutkan melihat adanya keragaman pemikiran. Bersama kolega dan kawan-kawan di sana, saya bisa membahas segala hal, mulai dari perang di Yugoslavia, sampai ke Amerika Latin dan tentu saja tentang negara mereka sendiri. Mereka ingin tahu tentang Rusia dan China. Saya suka dengan apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar — ketika orang-orang punya keingintahuan dan menghormati budaya orang lain, dan tentu saja ini awal yang bagus!

Iran memang berdarah-darah dan menderita tetapi mereka kuat. Tidak semua rakyatnya setuju dengan kebijakan pemerintah di sini (meskipun mayoritas mendukung pemerintah), tetapi setiap orang bertekad bulat untuk melawan dan mempertahankan negaranya jika diserang secara militer atau dengan cara lain.

Setiap kali saya datang ke sini, saya punya keinginan yang agak kurang sopan — saya ingin berteriak kepada para pembaca saya: datanglah kemari dan belajarlah! Iran memang tidak sempurna, tetapi ia nyata — di sini ada kehidupan nyata dan juga rakyat yang nyata. Berkat budaya dan sejarahnya, entah bagaimana mereka bisa memisahkan antara batu berharga dan sampah, antara pemikiran yang murni dan propaganda, antara kapitalisme murahan dan mematikan dengan tekad yang kuat untuk membuat dunia yang jauh lebih baik. Kalau anda tidak percaya, tonton saja film-film yang mereka produksi; mereka terus menerus menghasilkan satu mahakarya dan mahakarya berikutnya.

Mungkin itulah sebabnya mengapa Barat ingin merusaknya, dan kemudian menghancurkan negeri ini sepenuhnya. Untuk Barat, Iran adalah ‘bahaya’. Iran berbahaya, bahkan mematikan, karena merusak pengaturan imperialis di dunia ini, seperti juga China berbahaya, seperti juga Rusia, Kuba, Venezuela, Suriah dan Bolivia.

Untuk merusak Iran tidaklah mudah, bahkan bisa saya katakan: mereka bisa buktikan bahwa itu mustahil. Rakyatnya terlalu pintar dan gigih dan kuat. Iran tidak sendirian; mereka punya banyak teman dan kamerad. Bahkan sekarang tetangga-tetangga Iran — Turki dan Pakistan — dengan cepat mengubah arah dan menjauh dari Barat.

Tapi jangan begitu saja percaya dengan apa yang saya katakan. Datang dan saksikan sendiri! Namun, jangan datang untuk menggurui mereka: ajukan pertanyaan-pertanyaan, lalu duduk manis, dengarkan dan pelajari! Negara ini punya sejarah yang luar biasa, lebih dari 7.000 tahun. Daripada membom negara ini, silakan baca karya-karya penyairnya, tonton film-filmnya, dan belajarlah dari sikap internasionalisnya! Setelah itu, barulah putuskan apakah Iran memang benar-benar musuh anda, atau kamerad dan teman yang baik.

ANDRE VLTCHEK adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Empat buku terbarunya adalah Revolutionary OptimismWestern NihilismThe Great October Socialist Revolution, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: Exposing Lies Of The Empire. Bukunya tentang Indonesia diberi judul: Indonesia – Archipelago of Fear, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara. Film dokumenternya Rwanda Gambit bercerita tentang Rwanda dan Kongo. Dia juga memfilmkan dialognya dengan Noam Chomsky dengan judul On Western Terrorism. Sekarang ini Andre tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.


ROSSIE INDIRA adalah seorang penulis dan penerbit di PT Badak Merah Semesta, sebuah penerbitan yang mandiri dan progresif. Buku terbarunya Bude Ocie di Maroko adalah cerita perjalanannya ke Maroko, dan merupakan buku kedua dari serial Surat dari Bude Ocie, buku cerita perjalanannya ke Amerika Latin yang diterbitkan oleh penerbit Kompas. Bersama Andre Vltchek, Rossie menulis sebuah buku perbincangan dengan penulis terkemuka Asia Tenggara Pramoedya Ananta Toer yang diberi judul Exile (diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Spanyol dan bahasa Indonesia). Badak Merah menerbitkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Terasing! – di negeri sendiri. Rossie juga menjadi penerjemah dan manajer produksi dalam film dokumenter “Terlena – Breaking of a Nation” tentang genosida di Indonesia pada 1965. Rossie dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.

Wawancara dengan Andre Vltchek Tentang Timteng


Filsuf, penulis, filmmaker, Andre Vltchek, dalam beberapa waktu terakhir telah mengunjungi beberapa negara Timur Tengah. ICMES mewawancarainya untuk mengetahui lebih jauh, kondisi terkini dan dinamika yang terjadi pada bangsa-bangsa Timur Tengah saat ini. Berikut ini terjemahan sebagian di antara perbincangan kami.

Anda baru-baru ini berkunjung ke negara-negara Timur Tengah. Bisakah Anda ceritakan sebagian pengalaman Anda?

Saya baru berkunjung ke Jordan. Di sana, perbedaaan antara masyarakat dan pemerintah sangat terlihat. Baru-baru ini terjadi aksi demo memprotes pemerintah. Pemerintah Jordan masih terus menjual apa saja kepada Barat. Contohnya, pangkalan militer Turki di Incerlik, yang digunakan negara-negara Barat untuk menyerang Suriah, Libya, Irak, kini sudah dipindahkan ke Jodran di Al-Azraq. Saya pernah berkunjung ke sana. Beberapa negara sudah memindahkan  fasilitas militernya ke sana, seperti AS, Jerman. Karena mereka tidak lagi mempercayai Turki.

Jordan adalah contoh negara dimana apa yang dilakukan pemerintah sangat berbeda dengan kehendak rakyat. Mereka [pemerintah] menghancurkan lingkungan, oasis, Laut Mati, dan lain-lain. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin meningkat.

Baru-baru ini terjadi demo di sana, namun, kalau Anda bicara dengan warga miskin, maupun warga elit, mereka sama-sama mengatakan bahwa aksi demo itu bukan aksi spontan; melainkan diprovokasi. Pemerintah sengaja menciptakan kelompok oposisi ini untuk ‘let the steam out’ [melepas sumbat, agar tidak meledak -red], supaya mereka bisa mengontrolnya, lalu mereka mengganti pemerintah; tapi penggantinya sama saja. Ini sama yang terjadi ketika Suharto lengser [1998], beberapa orang lengser, tetapi sistemnya tetap sama, tidak berubah.

Inilah yang terjadi di Jordan, seolah terjadi demokratisasi, tetapi  ini artifisial. Warga Jordan dalam keadaan marah, kepada Barat, kepada pemerintahnya, dan juga kepada Saudi. Inilah hal yang tidak banyak didengar oleh orang Indonesia.

[Bagi mereka] Saudi telah ‘menculik’ Islam. Warga Jordan melihat bahwa kepemimpinan atas Mekah dan Madinah adalah milik kerajaan Jordan [keturunan Sharif Hassan –red]. Sebelum Dinasti Saudi menguasai jazirah Arab, Islam yang berkembang di sana adalah Islam yang sosialis, berorientasi sosial, welas asih, sangat spiritual. Yang terjadi pasca keruntuhan Imperium Ottoman, Inggris menguasai kawasan itu. Inggris biasa menempatkan pemerintahan yang buruk di kawasan-kawasan yang dikontrolnya; mereka menempatkan Dinasti Saud sebagai penguasa di Mekah dan Madinah.

Klan Saud sebelumnya dikenal sebagai gangster, Inggris mengetahui itu, tapi Inggris memang sengaja memilih klan ini untuk menjadi penguasa di Arab dengan tujuan untuk mengendalikan umat Muslim, agar mereka diam atau tunduk ketika kekayaan alam mereka dijarah.

Saya banyak bicara dengan orang-orang di Timur Tengah, dan mereka tahu kisah ini dan mereka sangat prihatin atas apa yang terjadi. Kebanyakan dari mereka tidak menyukai Saudi Arabia. Mereka mengkritisi bagaimana di pemerintah Arab Saudi membangun gedung-gedung pencakar langit, hotel-hotel mewah, sementara banyak warga yang menjadi pengemis. Warga di berbagai negara, misalnya di Jordan, Lebanon, Bahrain yang diduduki oleh Saudi, marah kepada Saudi; warga di Suriah, Yaman, secara terbuka marah kepada Saudi.

Bagaimana dengan warga Irak? Apa yang Anda temui di sana?

Ya, saya berkunjung ke sana dua kali, ketika ISIS menguasai Mosul; saya berada di perbatasan daerah yang dikuasai ISIS. Saya juga mengunjungi Erbil dan membuat beberapa liputan. Saya bekerja sama dengan tentara Peshmerga [pasukan Kurdi]. Komandannya mengantar saya berkeliling wilayah yang dihancurkan AS dengan drone. Sungguh ‘mengejutkan’ bahwa ISIS tidak mengebom kami padahal saat itu kami dekat perbatasan wilayah mereka dengan menggunakan jeep resmi.

Industri minyak di sana telah menggusur dan memiskinkan warga; pemerintahnya lebih banyak mengkorupsi hasil minyak itu daripada melakukan pembangunan. Saya juga pergi ke kamp pengungsi Suriah, sekitar 30 km dari Erbil. Di sana, mereka [penguasa] melakukan screening kepada penghuni kamp. Bila pengungsi mengaku sebagai pendukung Assad, ia akan diusir dari kamp.

Anda bilang warga Kurdi [Erbil] banyak yang dipinggirkan oleh industri minyak. Tapi mengapa mereka tetap pro-negara Kurdi yang terpisah dari Irak dalam referendum 2017?

Ini adalah isu yang kompleks. Kita bisa meringkasnya seperti ini, dengan mengatakan bahwa daerah-daerah Kurdi sebagai wilayah yang sangat kaya sumber daya alam, termasuk minyak, telah didorong oleh Barat untuk mendirikan negara khusus bagi etnis Kurdi. Etnis Kurdi tersebar di Turki, Suriah, Iran, Irak. Ketika saya mulai bekerja di Turki, saat itu sedang terjadi Perang Bosnia, jadi saat itu saya melakukan 2 liputan sekaligus, yaitu konflik Bosnia dan Kurdi. Pada waktu itu, semua orang mengira bahwa etnis Kurdi memperjuangkan hal yang benar, bahwa PKK [Kurdistan Workers’ Party] adalah sekutu dari Workers Socialist Party. Namun kemudian, terungkap bahwa PKK sebenarnya ‘disuntikkan’ oleh CIA. Jadi ini masalah yang kompleks. Apakah ada pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Kurdi di Turki? Ya, ada. Tetapi, apakah perjuangan PKK sama seperti yang terjadi di Perancis [perjuangan kaum Basque], misalnya? Tidak. Yang dilakukan pemerintah Turki kepada PKK relatif sama dengan yang dilakukan pemerintah Perancis terhadap Basque; di sana orang tidak boleh berbicara dalam bahasa Basque, Corsica, Catalan.

Tapi intinya, Barat menginginkan Turki yang terpecah-pecah. Turki adalah negara yang berkembang pesat; sedang bangkit dan menjadi negara paling maju di kawasan [dan karena itu Barat memanfaatkan PKK untuk memecah-belah –red].

Kembali ke pertanyaan Anda, masyarakat mudah terkepung antusiasme. Kepada mereka dikatakan: kalian punya minyak; jika kalian merdeka, hasil minyak akan digunakan untuk kesejahteraan kalian. Jika kalian merdeka, kalian akan dapat minyak. Inilah yang mereka lihat; mereka tidak bisa melihat lebih dalam dari itu, karena sejujurnya, banyak dari mereka yang kurang terdidik. Mereka melihat bagaimana struktur kota Erbil, di mana banyak gedung mewah, ada hotel bintang lima seharga 500 USD semalam. Tapi di luar Erbil ada banyak penderitaan. Saya bicara dengan kepala sekolah dan guru-guru di luar Erbil, ia mengatakan, masyarakat tidak mendapatkan uang dari minyak, industri minyak merampas tanah warga, sementara sekolah itu dibiarkan dalam kondisi sangat buruk. Saya mendokumentasikan semua itu.

Mereka tidak menyadari bahwa bila mereka mendirikan negara terpisah dari Irak, mereka akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada AS dan Eropa.

Bagaimana dengan Suriah?

Ada hal yang penting diketahui oleh orang Indonesia, bahwa apa yang terjadi di Suriah, keterlibatan Rusia, China, juga Iran di Suriah, memberikan dampak sangat besar bagi psikologi bangsa-bangsa Arab. Karena Dunia Arab selama beberapa dekade hidup sebagai bagian dunia yang ‘kalah’, mereka sebelumnya merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan; para pemimpin mereka sangat korup, Barat, Israel, Saudi, mengontrol penuh mereka, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.  Yang tersisa hanyalah bagaimana menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing. Suriah, meski harus mengalami berbagai kekalahan yang mengerikan, mampu menghentikan imperialisme Barat. Itulah sebabnya saya sering menjuluki Aleppo sebagai Stalingrad of Middle East; Suriah bagaikan kota Stalingrad yang dulu berhasil menahan NAZI dan mengubah arah Perang Dunia II.

Saat ini di Dunia Arab muncul optimisme, orang-orang menyaksikan. Sebagian dari mereka mungkin tidak menyukai pemerintah Suriah, tapi semua menantikan kemenangan [melawan Barat].  Mereka  juga sangat optimis dan berharap bahwa Rusia, juga China, akan terus berdiri bersama mereka. Sebagian dari mereka, yang tidak anti Iran tentu saja, melihat peran Iran sangat penting.

Tapi intinya, bangsa-bangsa Arab melihat kemungkinan terjadinya perubahan dan penyusunan kembali ini [tatanan baru Timteng –red]. Ada dua negara yang sangat kuat di kawasan, Turki dan Iran. Iran sudah jelas kini bersama Rusia dan China. Turki, yang dikhianati oleh Uni Eropa, dan menghadapi ancaman kudeta yang disponsori AS,  kini  semakin mendekat ke Rusia dan China. Dalam perseteruan Qatar vs Saudi, Turki dan Iran sama-sama membantu Qatar. Keduanya juga berkolaborasi dengan Rusia untuk mencari solusi bagi Suriah.

Intinya, ada proses perubahan besar di kawasan dan ada harapan besar; dan kini bangsa Arab melihat bahwa ada solusi yang mungkin diraih, bahwa Arab bukan lagi menjadi pihak yang dikalahkan, bahwa mereka bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Ini adalah momentum yang penting saat ini. Dan para pemimpin negara-negara Arab yang umumnya dididik oleh Barat kini gemetar ketakutan karena selama berdekade-dekade mereka sudah menjual kepentingan bangsa kepada Barat; dan masa ini sedang mendekati akhir.

Anda pernah bergabung dengan Long March di Irak (Arbaeen Walk)?

Belum. Sebenarnya tahun ini saya dapat undangan ke sana, bersama sekitar seratus jurnalis lainnya, untuk meliput acara itu, tapi saya tidak bisa karena harus ke Laos. Mungkin tahun depan saya akan ikut.

Adakah Anda melihat dampak politik dari longmarch ini karena media Barat tidak meliput peristiwa besar ini dengan selayaknya?

Alasan utamanya adalah karena ini adalah peristiwa kaum Syiah. Penganut Syiah adalah minoritas dalam Islam dan mampu memperkuat diri dan menjadi kelompok yang sangat resilien dan dalam banyak hal, mereka sangat sosialis; mereka membawa pesan inti Islam. Kemungkinan tersebarnya pesan-pesan ini ke mainstream Dunia Islam, apalagi ke seluruh dunia, sangat menakutkan bagi Barat. Karena selama ini mereka telah melakukan segala cara untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, melalui Wahhabisme. Dan mereka berhasil karena Inggris bekerja dengan Wahhabi. Ini adalah proyek besar Barat untuk menghilangkan pesan inti Islam, yaitu perlawanan [pada imperialisme –red]. [Baca tulisan Andre Vltchek Wahabisme Melayani Imperialisme Barat di Indonesia]

Kaum Sunni dan Kristiani juga berpartisipasi dalam peziarahan ini. Saya melihat ini adalah proses persatuan di antara berbagai bangsa. Dulu Iran dan Irak pernah berperang, tapi kini berekonsiliasi. Apa Anda juga melihat bahwa ada upaya Barat untuk menutupi fenomena ini?

Betul,  Barat tidak ingin ada kolaborasi di antara sesama negara Timur Tengah. Mereka selalu berusaha-memecah belah negara-negara Timur Tengah; mereka memecah Lebanon dan Suriah, Arabia dan Jordan. Mereka menciptakan penghalang di seluruh dunia, Afrika, Amerika Latin, bahkan di kawasan-kawasan yang tidak banyak didengar orang, seperti Pasifik Selatan dan Oceania, saya menulis buku tentang hal itu.

[Arbaeen Walk adalah peristiwa peziarahan yang sangat kolosal. Menurut pejabat Irak (2016) ada 17,5 juta orang yang datang dari berbagai negara ke Karbala. Mereka berjalan kaki dari berbagai titik di Irak menuju kota Karbala dan berziarah ke makam Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Di sepanjang jalan, warga Irak menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para peziarah -red.]


Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku-buku terbarunya “Revolutionary Optimism, Western Nihilism”, “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Bukunya tentang Indonesia diberi judul: “Indonesia – Archipelago of Fear”, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda Gambit, film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Andre Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus berkarya di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.

Apa Gunanya Kongres Kebudayaan Indonesia 2018?


oleh Trijon Aswin

KONGRES Kebudayaan Indonesia ke-100 berakhir pada Minggu (9 Desember 2018) kemarin. Digelar selama lima hari (5-9 Desember), kongres ini diisi dengan rangkaian acara seperti forum, debat publik, kuliah umum, pidato kebudayaan, hingga konser musik. Ini adalah Kongres ke-100 sejak pertama kali diadakan pada tahun 1918. Kongres ini menghasilkan strategi kebudayaan nasional yang diharapkan menjadi pedoman untuk memajukan kebudayaan Indonesia hingga 20 tahun ke depan.

Ada tujuh isu strategis dalam Strategi Kebudayaan tersebut yang akan disusun menjadi Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Rencana Induk ini akan menjadi acuan pemerintah dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mendatang.


Ketujuh agenda stategis itu adalah:

PERTAMA, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang insklusif.

KEDUA, melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.

KETIGA, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional.

KEEMPAT, memanfaatkan obyek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

KELIMA, memajukan kebudayan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.

KEENAM, reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan.

Dan KETUJUH, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.

Kita tidak tahu di agenda ke berapa terkandung strategi untuk menumbuhkan kekuatan budaya agar bangsa ini mempunyai identitas dan keberanian untuk “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” secara budaya dengan bangsa lain.

Sebab, dalam soal inilah bangsa kita benar-benar mengalami krisis. Identitas bangsa kita secara budaya sudah terpuruk ke titik terendah. Kemerdekaan negara ini tidak ada gunanya kalau bangsanya merasa tak sederajat dengan bangsa merdeka lainnya.

Tingkat kesadaran tentang identitas budaya itu berpengaruh saat berinteraksi dengan bangsa lain. Bangsa yang identitas budayanya kuat tidak akan mudah hanyut dalam arus deras dunia.

Sekarang, coba kita perhatikan reaksi yang timbul dalam budaya Indonesia ketika berinteraksi dengan bangsa dan budaya asing. Bangsa ini mudah sekali hanyut.

Coba lihat pemakaian bahasa misalnya. Penggunaan bahasa atau istilah asing secara tidak proporsional sudah mewabah, tidak saja di kalangan generasi milineal yang memang berinteraksi secara global melalui teknologi komunikasi, tetapi juga para pemimpin negara.

Padahal, di Pasal 28 UU Nomor 24/2009 disebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Lembaga pemerintah pun kerap menggunakan istilah bahasa Inggris, secara tidak proporsional. Sebut saja, National Traffic Management Centre di Korlantas Polri. Di Humas Mabes Polri, ada ruangan Strategic Communication Center. Padahal semua istilah itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Dalam hal ini tentu harus dikecualikan untuk istilah yang generik secara internasional. Misalnya istilah search and rescue (SAR) itu adalah istilah generik untuk kegiatan pencarian dan penyelamatan korban bencana. Atau istilah disaster victim identification (DVI), salah satu prosedur kedokteran kepolisian ketika mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana.

Mengapa bahasa asing dipakai secara “lebay” begitu? Bisa karena pertimbangan untuk memudahkan komunikasi dengan orang asing. Pemakaian istilah Strategic Communication Center di Mabes Polri, misalnya, masih bisa dipahami. Siapa tahu ada wartawan asing yang berkepentingan.

Namun bisa pula karena sekadar ingin terlihat modern. Kesan ini terlihat dari penamaan National Traffic Management Centre di Korlantas Polri atau Traffic Management Centre di tingkat Polda. Sebab, tidak ada orang asing yang berinteraksi dengan lembaga tersebut, karena yang dibutuhkan publik bukan interaksinya melainkan informasi lalu lintas yang diberikan. Apalagi informasi tersebut toh disampaikan dalam bahasa Indonesia juga.

Kemungkinan kedua ini sebenarnya serius, karena ini menunjukkan inferioritas sikap mental. Sikap yang menganggap sesuatu yang berasal asing lebih hebat dari milik sendiri ini adalah cerminan rasa rendah diri. Sikap ini disebabkan lemahnya identitas budaya nasional sehingga belum bangga dengan budaya kita. Akibatnya bangsa ini tidak akan bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.

Nah, inferioritas mental inilah yang harus didobrak dengan strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan yang mampu membangun rasa percaya diri, mampu mengikis inferioritas, bangga pada takdirnya sebagai orang Indonesia itu harus masuk ke dalam nilai-nilai pendidikan.

Dalam percaturan dunia yang sangat kompetitif, dan bahkan eksploitatif seperti sekarang, bangsa ini kalau mau tegak berdiri, harus mempunyai identitas kebudayaan yang kuat, yang bisa membuat dirinya bangga sebagai bangsa. Jika kebanggaan terhadap identitas itu tidak ada, maka sebuah bangsa akan membebek pada bangsa lain. Itu hukum alam yang tidak terbantahkan.

Pembangunan kebudayaan mestinya diarahkan ke sisi ini. Kebudayaan sebagai sikap mental yang dapat melahirkan kebanggaan sebagai bangsa agar tetap tegak di tengah konstalasi dunia yang kompetitif, dan kian eksploitatif ini. Kalau tidak, akan tiba saatnya nanti, negara ini hanya akan tinggal bungkusnya saja, tapi isinya adalah bangsa yang sepenuhnya takluk pada kehendak bangsa lain.


Tapi, sebuah bangsa tak akan pernah mati jika mempunyai identitas kebudayaan dan semangat kebangsaan yang tangguh –sekalipun negaranya hancur lebur. Banyak bangsa yang sudah menjadi contoh penyintas kehancuran negara, dan bangkit kembali dengan lebih gemilang. Dan kita jangan menjadi contoh sebaliknya. 


Gestapu Menghapus Satu Generasi Intelektual Indonesia

Hasil gambar untuk Arzia Tivany Wargadiredja


Hampir semua penerima beasiswa negara yang kuliah di luar negeri saat G30S terjadi tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dipaksa mengutuk Sukarno lewat secarik surat pernyataan.

Sabtu siang; 23 September 2017. Aku meninggalkan Jakarta hingga tiba di sebuah rumah bernuansa hijau di sebuah komplek perumahan. Aku dipersilakan masuk dan duduk di sebuah sofa warna keemasan. Semua tata letak dan dekorasi nyaris sama dengan dua tahun lalu, saat aku pertama bertandang. Si empunya rumah memintaku agar alamat rumah ini dirahasiakan.

Pria 77 tahun itu menghampiriku dengan wajah yang tak pernah berubah, senantiasa lima belas tahun lebih muda dari umur sebenarnya, tidak ada tanda-tanda penuaan, hanya kerutan seperlunya. Kemeja hijau zaitun Ia kenakan, dan duduk persis di seberangku, hanya dipisahkan meja dan semangkuk besar es kelapa muda.

"Saya percaya sama kamu pokoknya," ujarnya. Aku yang di hadapannya menyanggupi syarat merahasiakan jati dirinya. Dia agak khawatir mendengar kampanye kebencian mengenai gerakan september 30, sebutan lain G30S, sebulan belakangan. "Kamu tahu kan, situasi politik seperti sekarang." 

Kami sepakat menyebutnya untuk artikel dengan nama lain. Aku pilih sebutan: "Iskandar".


Iskandar adalah mahasiswa Ikatan Dinas yang berangkat menuju Swedia pada 1963 berbekal beasiswa dari pemerintahan Sukarno untuk mengambil studi teknik elektro di salah satu perguruan tinggi tertua di negara itu. Iskandar mengaku awalnya sama sekali tidak tertarik pada politik. Buku babon maupun diktat fisika serta ilmu kelistrikan cukup jadi makanannya sehari-hari. Namun, sejak situasi politik Indonesia bergejolak tahun 1965, yang berujung peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal lalu menyebabkan pembantaian kaum dan semua orang yang dituduh berhaluan 'kiri', Iskandar mau tak mau ikut melahap politik. Ia tidak pernah kembali ke tanah air hingga Orde Baru runtuh.

Berulang kali Iskandar bilang padaku bahwa apa yang terjadi padanya dan ribuan mahasiswa beasiswa Ikatan Dinas saat itu sangatlah politis. Begitu Soeharto berkuasa, serempak Duta Besar era Sukarno dipaksa turun dari jabatan, mahasiswa dan delegasi Indonesia di luar negeri yang enggan mengutuk pemerintahan Sukarno dilarang pulang. Rezim Soeharto takut akan hadirnya intelektual yang loyal terhadap Sukarno, apalagi mereka yang dianggap berhaluan kiri.

"Kami mahasiswa dikirim pemerintah Sukarno untuk mengabdi kepada bangsa Indonesia, membangun negeri. Itu perjanjian kami dari dulu. Kok diminta mengutuk. di mana ya logikanya?" kata Iskandar padaku. "Kami bukan orang politik, kami orang intelektual yang belajar ilmu di luar negeri, enggak terkait politik. Pokoknya ketika dikirim, kami hanya ingin mengabdi makanya kami tanda tangan di Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) sebelum berangkat, menyatakan pokoknya kami enggak ada hubungannya dengan politik."

Semua itu bermula manakala sepucuk surat diterima Iskandar setahun setelah peristiwa G30S. Surat tersebut memintanya datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm agar dirinya menandatangani sebuah surat. Iskandar sadar ada yang tidak beres, pasalnya semua duta besar era Sukarno langsung turun panggung, seketika setelah Soeharto berkuasa.

"Mahasiswa Indonesia dipanggil. Kami diberi surat. Saya baca semuanya sekitar satu halaman," kata Iskandar berusaha keras mengingat. "Inti surat tersebut yang saya ingat, 'berdasarkan perubahan situasi di Indonesia di mana Soeharto sudah berkuasa. Dengan ini, pemerintah Sukarno yang ikut bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia sudah digulingkan, dan bahwa pemerintahan Indonesia sudah resmi menetapkan dan mengakui Soeharto sebagai presiden. Di bawahnya ada kalimat 'bersedia mengutuk pemerintahan Sukarno yang pro-komunis'."

Iskandar dan seorang kawannya mengusulkan agar kalimat yang mengutuk pemerintahan Soekarno dihapuskan saja, karena mereka merasa punya utang budi dengan Rezim Sukarno yang mengirim mereka ke luar negeri. Namun, petugas yang saat itu mendampingi mengatakan tidak ada yang bisa diubah dari surat tersebut. "Kalau mengutuk pemerintahan Sukarno sih kami tidak bisa," kata Iskandar.

Setelah kejadian tersebut, pada 1967, Iskandar yang masih 23 tahun, menerima surat yang menyatakan bahwa Ia bukan lagi warga negara Indonesia. Paspornya dicabut, dan statusnya kewarganegaraannya berubah menjadi 'stateless'. Sebuah konsekuensi yang tidak Ia bayangkan sebelumnya. Hingga kini, Iskandar masih menyimpan surat pemecatan kewarganegaraannya itu.

"Gagalnya Indonesia era 60-an itu adalah dalam memulangkan kembali ahli-ahlinya yang belajar di luar negeri," suara Iskandar kalah saing dengan lantangnya adzan sore itu. "Mereka takut dengan mahasiswa yang dianggap 'orang Bung Karno', mereka takut para intelektual membangun sistem pemerintahan ala Bung Karno."

"Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."

Iskandar beberapa tahun belakangan berada di Tanah Air. Ia rindu negaranya, rindu keluarga besarnya. Separuh hidupnya dia habiskan beranak-cucu di negeri orang.

Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia. Soejono sempat kaget ketika mengetahui aku mengenal Iskandar. Nada suaranya naik, terdengar bahagia bisa mendengar kabar kawan lama. "Tolong salamkan ya padanya, dia itu kawanku, seingatku dulu dia pernah sakit," kata Soejono lewat sambungan telepon denganku sambil tertawa kecil.

Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apapun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja. 


Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan 'screening', demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.

Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.

"Itu alasan politis. Rezim itu punya doktrin, 'siapa yang tidak ikut saya adalah musuh saya', tidak ada demokratisasi, tidak ada argumen. Argumentasi mereka, 'siapa yang tidak menyokong Orde Orde Baru adalah orang komunis'," kata Soejono kepadaku. "Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme."

Berbeda dengan Iskandar yang langsung dilarang pulang, Soejono malah segera diminta kembali ke Indonesia oleh aparat di Kedubes. Ia menyadari perintah pulang bisa bikin nyawanya melayang, atau minimal bersarang di penjara sebagai tahanan politik. Sejak saat itu, tekadnya bulat untuk tidak pulang. Kewarganegaraannya dicabut, dan menyandang status 'stateless' selama puluhan tahun.

Setelah 35 tahun berada di Cekoslovakia, Soejono baru menginjakkan kaki kembali ke Tanah Air pada 1998, tepat beberapa minggu sebelum Soeharto terjungkal dari kursi kepresidenan. "Reformasi... saya mengikuti itu. Waktu penembakan mahasiswa di Trisakti, saya ada di sekitar situ," kata Soejono.

Setelah 1998, Soejono berkunjung ke Indonesia sekitar lima hingga enam kali. Namun, keputusannya bulat. Soejono tidak akan kembali menetap di Tanah Air. Separuh hidupnya Ia habiskan di Ceko, bekerja dan berbakti untuk negara orang yang dulu memberinya suaka dan perlindungan dari pemerintahan Indonesia yang menganggapnya musuh. Tapi, Soejono memastikan rasa cintanya pada Indonesia tak luntur.

"Sampai saat ini, saya merasa berutang budi terhadap rakyat dan negara saya Indonesia yang sudah menyekolahkan saya, yang menyebabkan saya punya skill, punya pengalaman hidup, pengalaman kerja, punya pengetahuan. Seharusnya bisa saya terapkan dan sumbangkan pada rakyat Indonesia, tapi terpaksa tidak bisa," ujar Soejono.

Kisah Iskandar dan Soejono merupakan segelintir cerita dari dua pelarian politik yang merupakan mahasiswa beasiswa pada zaman Sukarno. David T. Hill dalam Knowing Indonesia from Afar: Indonesian Exiles and Australian Academic menulis para pelarian politik (eksil) Indonesia 1965 terdiri dari mahasiswa, duta besar, dan delegasi Indonesia yang saat peristiwa G30S terjadi, sedang berada di luar negeri dengan kepentingan yang beragam. 

Sebagian besar terdiri dari mahasiswa Indonesia di luar negeri yang berangkat dengan beasiswa pemerintah Sukarno, sebagian sedang menjalankan tugas kenegaraan, dan sebagian lainnya merupakan delegasi Indonesia. Diperkirakan jumlah mereka mencapai ribuan. Namun tidak ada perhitungan pasti yang menyebutkan jumlah mereka.


Pencabutan kewarganegaraan para mahasiswa dan Duta Besar Indonesia di luar negeri menandai era hilangnya generasi intelektual Indonesia yang dipersiapkan Sukarno kelak membangun Tanah Air. Sebelum berangkat ke luar negeri, para mahasiswa tersebut menandatangani kontrak ikatan dinas untuk siap kembali dan berbakti pada Indonesia selepas kuliah.

Aku menghubungi Baskara Tulus Wardaya, SJ, yang akrab disapa Romo Bas, sejarawan di Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia bertahun-tahun meneliti soal hubungan Amerika Serikat dan Indonesia periode 1960-an, terutama saat peralihan pemerintahan dari Sukarno ke Soeharto. Romo Bas mengatakan ada beberapa hal penting yang patut digarisbawahi terkait dengan dampak hilangnya kaum intelektual Indonesia dekade 60-an ini.

Menurut Romo Bas, Sukarno kala itu sedang mempersiapkan kaum intelektual indonesia dari berbagai suku, kelas sosial, dan latar belakang agama maupun politik belajar ke berbagai negara. Tujuannya agar bisa membangun Indonesia pasca-kolonial. Sukarno bercita-cita melakukan revolusi dan restrukturisasi masyarakat agar semua lapisan bisa turut membangun Indonesia. Hal lain yang Sukarno impikan dan belum terwujud adalah 'de-jawa-nisasi', agar orientasi Indonesia tidak hanya berbasis di Pulau Jawa.

"Itu cita-cita Sukarno, tapi enggak terjadi karena mereka mahasiswa Indonesia di luar negeri enggak kembali," kata Romo Bas padaku. "Semua itu terputus gara-gara 65, sehingga kita enggak punya ahli. Akibatnya, seiring dengan masuknya modal asing tahun 67, kita tidak sejajar dengan ahli-ahli yang datang dari luar negeri. Akibatnya kita tidak mampu mengolah sumber daya alam kita sendiri."

"Masa sih kita ini bejibun dengan minyak tapi enggak punya kilang pengolahan minyak buatan sendiri? Karena mungkin kita juga enggak punya ahlinya," tambah Romo Bas.

Senada dengan Romo Bas, sejarawan, Abdul Wahid, yang pernah meneliti soal hilangnya riwayat intelektual pasca 1965 di lingkungan kampus di Indonesia, menjelaskan padaku semua bermula pada dekade 1950-an. Sukarno mencoba mengkaji model pembangunan yang hendak diterapkan di Indonesia pasca-kolonial dengan mempersiapkan generasi baru yakni para intelektual pemikir bangsa.

"Di ujung karir politiknya, Sukarno cenderung 'ke kiri' dan itu dalam beberapa hal mempengaruhi preferensi generasi muda pada waktu itu (termasuk pendidikan)," kata Wahid. "Misalnya saja, saya pernah mencari mahasiswa di dalam negeri (untuk riset), mereka bercerita bagaimana mereka terobsesi ingin kuliah di Uni Soviet atau di negara blok timur. Karena melihat blok timur cepat pembangunannya (infrastruktur)."

Di dalam negeri, situasi tidak kalah genting. Intelektual kampus-kampus dalam negeri banyak yang dipecat, ditangkap, dan tidak diketahui nasibnya akibat dicurigai 'tercemar' paham kiri. Apalagi, di dalam negeri pada periode 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di indonesia. 


Universitas negeri tercatat berjumlah delapan (1959) menjadi 39 (1963). Begitu pun dengan Universitas Swasta dari awalnya cuma berjumlah 112 (1961) melonjak drastis jadi 228 (1965). Sehingga, total pada 1965 ada 335 universitas/institut yang menampung lebih dari 278.000 mahasiswa. Jumlah tersebut meningkat berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah lulusan pendidikan tinggi di Hindia Belanda pada 1940 yang berjumlah 79 orang saja, dari total 70 juta populasi koloni. 


Jumlah kaum intelektual yang banyak membuat partai politik tertarik merekrut mereka, sehingga sebagian di antaranya dicurigai punya paham 'terlarang'.

"Universitas ini dilihat sebagai urat nadi, di mana, pengaruh-pengaruh atau pemikiran tertentu bisa disebarkan, oleh karena itu perguruan tinggi harus dikontrol betul," ujar Wahid. "Makanya, waktu itu kan kita rasakan Orde Baru sangat peduli terhadap pendidikan kemudian dia menggandeng teknokrat, dan berusaha melindungi jangan sampai ada elemen-elemen yang menurutnya 'berbahaya' di perguruan tinggi."

Wahid menduga ada kaitan antara pemecatan para intelektual di dalam negeri dan seleksi ideologi/pencabutan kewarganegaraan yang dilakukan terhadap mahasiswa di luar negeri, terutama yang menempuh pendidikan di negara-negara blok timur. Namun hal tersebut tidak bisa dilihat secara simplistik, perlu ada penelitian lebih lanjut. Sayangnya, Wahid ragu penelitian komprehensif terhadap para pelarian politik di luar negeri bisa dilakukan, mengingat kebanyakan dari mereka telah berusia lanjut, ada pula yang sudah meninggal, dan tersebar di banyak sekali wilayah.

Wahid mengatakan hilangnya para intelektual muda Indonesia yang menempuh studi di luar negeri merupakan sebuah kerugian yang tidak bisa dihitung secara matematis. Ia menyebutnya dengan istilah 'brain drain' atau 'kebocoran intelektual'. "Artinya, ada potensi anak bangsa yang sudah memperoleh edukasi dengan tingkat pendidikan yang cukup maju pada masanya, pada akhirnya sia-sia," kata Wahid. "Yang jelas ini adalah sebuah potensi kita untuk menjadi negara modern di antaranya lewat ilmu pengetahuan dan para tenaga ahli yang tidak bisa memberikan kontribusi pada negara."

Iskandar meyakini bahwa fenomena brain drain akibat peristiwa 1965 berdampak besar pada kemajuan Tanah Air. "Kemajuan Indonesia di bidang teknologi ketinggalan lah, Indonesia gagal memulangkan kembali ahli-ahlinya. Mereka ini sangatlah berharga, dan bagi luar negeri [ahli-ahli] ini dianggap menguntungkan," ujar Iskandar.

Iskandar bercerita padaku bahwa reputasi orang Indonesia yang bekerja di berbagai perusahaan besar di Eropa sangat baik. Salah satunya, adalah eksil lain bahkan mampu menjadi Wakil Direktur sebuah pabrik persenjataan terbesar di Swedia. "Kalau mereka bisa pulang kan mereka juga bisa membangun persenjataan Indonesia, mungkin sekarang lebih canggih," kata Iskandar.

Iskandar yakin betul, jika para intelektual Indonesia di luar negeri boleh pulang, dan tidak ada pemberangusan golongan intelektual di dalam negeri, Indonesia bisa bersaing atau bahkan melebihi Malaysia. "Saat itu kami cuma dapat ucapan simpatik dari mahasiswa Malaysia yang pulang ke negaranya setelah studi," kata Iskandar.

Sebetulnya, kepulangan para pelarian politik yang biasa disebut eksil ini semestinya bukan lagi jadi soal, karena Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengimbau para eksil untuk pulang ke Indonesia dan melakukan rehabilitasi nama dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2000 tentang permasalahan orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke Tanah Air sejak terjadinya Peristiwa G30S.

Sayang, ketika beleid Gus Dur diumumkan, para mahasiswa terlanjur beranak pinak di luar negeri. Sebagian sukses bekerja dan memiliki kewarganegaraan lain di negara Eropa yang relatif lebih maju, yang lainnya telah tutup usia atau bahkan harus bertahan hidup tanpa punya status kewarganegaraan. Namun, satu hal yang perlu diyakini, bahwa ada harga yang harus dibayar generasi masa kini ketika Indonesia kehilangan generasi intelektual progresifnya di masa lalu.

"Untuk jangka waktu yang lama, kita menjadi bangsa yang berstatus sebagai konsumen dan bukan produsen," ujar Romo Bas. "Termasuk bisa dilihat, dalam mengelola dan mengolah sumber daya alam milik kita sendiri."