Label

Wawancara dengan Andre Vltchek Tentang Timteng


Filsuf, penulis, filmmaker, Andre Vltchek, dalam beberapa waktu terakhir telah mengunjungi beberapa negara Timur Tengah. ICMES mewawancarainya untuk mengetahui lebih jauh, kondisi terkini dan dinamika yang terjadi pada bangsa-bangsa Timur Tengah saat ini. Berikut ini terjemahan sebagian di antara perbincangan kami.

Anda baru-baru ini berkunjung ke negara-negara Timur Tengah. Bisakah Anda ceritakan sebagian pengalaman Anda?

Saya baru berkunjung ke Jordan. Di sana, perbedaaan antara masyarakat dan pemerintah sangat terlihat. Baru-baru ini terjadi aksi demo memprotes pemerintah. Pemerintah Jordan masih terus menjual apa saja kepada Barat. Contohnya, pangkalan militer Turki di Incerlik, yang digunakan negara-negara Barat untuk menyerang Suriah, Libya, Irak, kini sudah dipindahkan ke Jodran di Al-Azraq. Saya pernah berkunjung ke sana. Beberapa negara sudah memindahkan  fasilitas militernya ke sana, seperti AS, Jerman. Karena mereka tidak lagi mempercayai Turki.

Jordan adalah contoh negara dimana apa yang dilakukan pemerintah sangat berbeda dengan kehendak rakyat. Mereka [pemerintah] menghancurkan lingkungan, oasis, Laut Mati, dan lain-lain. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin meningkat.

Baru-baru ini terjadi demo di sana, namun, kalau Anda bicara dengan warga miskin, maupun warga elit, mereka sama-sama mengatakan bahwa aksi demo itu bukan aksi spontan; melainkan diprovokasi. Pemerintah sengaja menciptakan kelompok oposisi ini untuk ‘let the steam out’ [melepas sumbat, agar tidak meledak -red], supaya mereka bisa mengontrolnya, lalu mereka mengganti pemerintah; tapi penggantinya sama saja. Ini sama yang terjadi ketika Suharto lengser [1998], beberapa orang lengser, tetapi sistemnya tetap sama, tidak berubah.

Inilah yang terjadi di Jordan, seolah terjadi demokratisasi, tetapi  ini artifisial. Warga Jordan dalam keadaan marah, kepada Barat, kepada pemerintahnya, dan juga kepada Saudi. Inilah hal yang tidak banyak didengar oleh orang Indonesia.

[Bagi mereka] Saudi telah ‘menculik’ Islam. Warga Jordan melihat bahwa kepemimpinan atas Mekah dan Madinah adalah milik kerajaan Jordan [keturunan Sharif Hassan –red]. Sebelum Dinasti Saudi menguasai jazirah Arab, Islam yang berkembang di sana adalah Islam yang sosialis, berorientasi sosial, welas asih, sangat spiritual. Yang terjadi pasca keruntuhan Imperium Ottoman, Inggris menguasai kawasan itu. Inggris biasa menempatkan pemerintahan yang buruk di kawasan-kawasan yang dikontrolnya; mereka menempatkan Dinasti Saud sebagai penguasa di Mekah dan Madinah.

Klan Saud sebelumnya dikenal sebagai gangster, Inggris mengetahui itu, tapi Inggris memang sengaja memilih klan ini untuk menjadi penguasa di Arab dengan tujuan untuk mengendalikan umat Muslim, agar mereka diam atau tunduk ketika kekayaan alam mereka dijarah.

Saya banyak bicara dengan orang-orang di Timur Tengah, dan mereka tahu kisah ini dan mereka sangat prihatin atas apa yang terjadi. Kebanyakan dari mereka tidak menyukai Saudi Arabia. Mereka mengkritisi bagaimana di pemerintah Arab Saudi membangun gedung-gedung pencakar langit, hotel-hotel mewah, sementara banyak warga yang menjadi pengemis. Warga di berbagai negara, misalnya di Jordan, Lebanon, Bahrain yang diduduki oleh Saudi, marah kepada Saudi; warga di Suriah, Yaman, secara terbuka marah kepada Saudi.

Bagaimana dengan warga Irak? Apa yang Anda temui di sana?

Ya, saya berkunjung ke sana dua kali, ketika ISIS menguasai Mosul; saya berada di perbatasan daerah yang dikuasai ISIS. Saya juga mengunjungi Erbil dan membuat beberapa liputan. Saya bekerja sama dengan tentara Peshmerga [pasukan Kurdi]. Komandannya mengantar saya berkeliling wilayah yang dihancurkan AS dengan drone. Sungguh ‘mengejutkan’ bahwa ISIS tidak mengebom kami padahal saat itu kami dekat perbatasan wilayah mereka dengan menggunakan jeep resmi.

Industri minyak di sana telah menggusur dan memiskinkan warga; pemerintahnya lebih banyak mengkorupsi hasil minyak itu daripada melakukan pembangunan. Saya juga pergi ke kamp pengungsi Suriah, sekitar 30 km dari Erbil. Di sana, mereka [penguasa] melakukan screening kepada penghuni kamp. Bila pengungsi mengaku sebagai pendukung Assad, ia akan diusir dari kamp.

Anda bilang warga Kurdi [Erbil] banyak yang dipinggirkan oleh industri minyak. Tapi mengapa mereka tetap pro-negara Kurdi yang terpisah dari Irak dalam referendum 2017?

Ini adalah isu yang kompleks. Kita bisa meringkasnya seperti ini, dengan mengatakan bahwa daerah-daerah Kurdi sebagai wilayah yang sangat kaya sumber daya alam, termasuk minyak, telah didorong oleh Barat untuk mendirikan negara khusus bagi etnis Kurdi. Etnis Kurdi tersebar di Turki, Suriah, Iran, Irak. Ketika saya mulai bekerja di Turki, saat itu sedang terjadi Perang Bosnia, jadi saat itu saya melakukan 2 liputan sekaligus, yaitu konflik Bosnia dan Kurdi. Pada waktu itu, semua orang mengira bahwa etnis Kurdi memperjuangkan hal yang benar, bahwa PKK [Kurdistan Workers’ Party] adalah sekutu dari Workers Socialist Party. Namun kemudian, terungkap bahwa PKK sebenarnya ‘disuntikkan’ oleh CIA. Jadi ini masalah yang kompleks. Apakah ada pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Kurdi di Turki? Ya, ada. Tetapi, apakah perjuangan PKK sama seperti yang terjadi di Perancis [perjuangan kaum Basque], misalnya? Tidak. Yang dilakukan pemerintah Turki kepada PKK relatif sama dengan yang dilakukan pemerintah Perancis terhadap Basque; di sana orang tidak boleh berbicara dalam bahasa Basque, Corsica, Catalan.

Tapi intinya, Barat menginginkan Turki yang terpecah-pecah. Turki adalah negara yang berkembang pesat; sedang bangkit dan menjadi negara paling maju di kawasan [dan karena itu Barat memanfaatkan PKK untuk memecah-belah –red].

Kembali ke pertanyaan Anda, masyarakat mudah terkepung antusiasme. Kepada mereka dikatakan: kalian punya minyak; jika kalian merdeka, hasil minyak akan digunakan untuk kesejahteraan kalian. Jika kalian merdeka, kalian akan dapat minyak. Inilah yang mereka lihat; mereka tidak bisa melihat lebih dalam dari itu, karena sejujurnya, banyak dari mereka yang kurang terdidik. Mereka melihat bagaimana struktur kota Erbil, di mana banyak gedung mewah, ada hotel bintang lima seharga 500 USD semalam. Tapi di luar Erbil ada banyak penderitaan. Saya bicara dengan kepala sekolah dan guru-guru di luar Erbil, ia mengatakan, masyarakat tidak mendapatkan uang dari minyak, industri minyak merampas tanah warga, sementara sekolah itu dibiarkan dalam kondisi sangat buruk. Saya mendokumentasikan semua itu.

Mereka tidak menyadari bahwa bila mereka mendirikan negara terpisah dari Irak, mereka akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada AS dan Eropa.

Bagaimana dengan Suriah?

Ada hal yang penting diketahui oleh orang Indonesia, bahwa apa yang terjadi di Suriah, keterlibatan Rusia, China, juga Iran di Suriah, memberikan dampak sangat besar bagi psikologi bangsa-bangsa Arab. Karena Dunia Arab selama beberapa dekade hidup sebagai bagian dunia yang ‘kalah’, mereka sebelumnya merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan; para pemimpin mereka sangat korup, Barat, Israel, Saudi, mengontrol penuh mereka, tidak ada lagi yang bisa dilakukan.  Yang tersisa hanyalah bagaimana menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing. Suriah, meski harus mengalami berbagai kekalahan yang mengerikan, mampu menghentikan imperialisme Barat. Itulah sebabnya saya sering menjuluki Aleppo sebagai Stalingrad of Middle East; Suriah bagaikan kota Stalingrad yang dulu berhasil menahan NAZI dan mengubah arah Perang Dunia II.

Saat ini di Dunia Arab muncul optimisme, orang-orang menyaksikan. Sebagian dari mereka mungkin tidak menyukai pemerintah Suriah, tapi semua menantikan kemenangan [melawan Barat].  Mereka  juga sangat optimis dan berharap bahwa Rusia, juga China, akan terus berdiri bersama mereka. Sebagian dari mereka, yang tidak anti Iran tentu saja, melihat peran Iran sangat penting.

Tapi intinya, bangsa-bangsa Arab melihat kemungkinan terjadinya perubahan dan penyusunan kembali ini [tatanan baru Timteng –red]. Ada dua negara yang sangat kuat di kawasan, Turki dan Iran. Iran sudah jelas kini bersama Rusia dan China. Turki, yang dikhianati oleh Uni Eropa, dan menghadapi ancaman kudeta yang disponsori AS,  kini  semakin mendekat ke Rusia dan China. Dalam perseteruan Qatar vs Saudi, Turki dan Iran sama-sama membantu Qatar. Keduanya juga berkolaborasi dengan Rusia untuk mencari solusi bagi Suriah.

Intinya, ada proses perubahan besar di kawasan dan ada harapan besar; dan kini bangsa Arab melihat bahwa ada solusi yang mungkin diraih, bahwa Arab bukan lagi menjadi pihak yang dikalahkan, bahwa mereka bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Ini adalah momentum yang penting saat ini. Dan para pemimpin negara-negara Arab yang umumnya dididik oleh Barat kini gemetar ketakutan karena selama berdekade-dekade mereka sudah menjual kepentingan bangsa kepada Barat; dan masa ini sedang mendekati akhir.

Anda pernah bergabung dengan Long March di Irak (Arbaeen Walk)?

Belum. Sebenarnya tahun ini saya dapat undangan ke sana, bersama sekitar seratus jurnalis lainnya, untuk meliput acara itu, tapi saya tidak bisa karena harus ke Laos. Mungkin tahun depan saya akan ikut.

Adakah Anda melihat dampak politik dari longmarch ini karena media Barat tidak meliput peristiwa besar ini dengan selayaknya?

Alasan utamanya adalah karena ini adalah peristiwa kaum Syiah. Penganut Syiah adalah minoritas dalam Islam dan mampu memperkuat diri dan menjadi kelompok yang sangat resilien dan dalam banyak hal, mereka sangat sosialis; mereka membawa pesan inti Islam. Kemungkinan tersebarnya pesan-pesan ini ke mainstream Dunia Islam, apalagi ke seluruh dunia, sangat menakutkan bagi Barat. Karena selama ini mereka telah melakukan segala cara untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, melalui Wahhabisme. Dan mereka berhasil karena Inggris bekerja dengan Wahhabi. Ini adalah proyek besar Barat untuk menghilangkan pesan inti Islam, yaitu perlawanan [pada imperialisme –red]. [Baca tulisan Andre Vltchek Wahabisme Melayani Imperialisme Barat di Indonesia]

Kaum Sunni dan Kristiani juga berpartisipasi dalam peziarahan ini. Saya melihat ini adalah proses persatuan di antara berbagai bangsa. Dulu Iran dan Irak pernah berperang, tapi kini berekonsiliasi. Apa Anda juga melihat bahwa ada upaya Barat untuk menutupi fenomena ini?

Betul,  Barat tidak ingin ada kolaborasi di antara sesama negara Timur Tengah. Mereka selalu berusaha-memecah belah negara-negara Timur Tengah; mereka memecah Lebanon dan Suriah, Arabia dan Jordan. Mereka menciptakan penghalang di seluruh dunia, Afrika, Amerika Latin, bahkan di kawasan-kawasan yang tidak banyak didengar orang, seperti Pasifik Selatan dan Oceania, saya menulis buku tentang hal itu.

[Arbaeen Walk adalah peristiwa peziarahan yang sangat kolosal. Menurut pejabat Irak (2016) ada 17,5 juta orang yang datang dari berbagai negara ke Karbala. Mereka berjalan kaki dari berbagai titik di Irak menuju kota Karbala dan berziarah ke makam Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Di sepanjang jalan, warga Irak menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para peziarah -red.]


Andre Vltchek adalah seorang filsuf, novelis, pembuat film dan wartawan investigasi. Dia sudah meliput perang dan konflik di berbagai negara. Buku-buku terbarunya “Revolutionary Optimism, Western Nihilism”, “The Great October Socialist Revolution”, novel revolusionernya Aurora, dan buku bestselling-nya yang non-fiksi dan politis: “Exposing Lies Of The Empire”. Bukunya tentang Indonesia diberi judul: “Indonesia – Archipelago of Fear”, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Indonesia – Untaian Ketakutan di Nusantara”. Silahkan lihat buku-buku lainnya disini. Silahkan lihat Rwanda Gambit, film dokumenternya tentang Rwanda dan DRCongo, serta film/dialognya dengan Noam Chomsky “On Western Terrorism”. Sekarang ini Andre Vltchek tinggal dan bekerja di Asia Timur dan Timur Tengah, dan terus berkarya di berbagai belahan dunia. Dia dapat dihubungi melalui website-nya atau Twitter-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar