Label

Di Desa –Esai Otobiografis Sulaiman Djaya



Dulu, di hari Minggu aku bangun saat subuh dan tidak langsung mandi karena biasanya aku harus berangkat bersama ibuku ke sawah untuk mencabuti rumput dan gulma yang tumbuh bersama padi-padi yang ia tanam. Kami berangkat selepas menyantap nasi goreng yang dimasak ibuku. Atau menyantap ubi dan singkong rebus di hari Minggu lainnya. Semuanya tergantung persediaan pangan apa yang masih ada yang tak habis di waktu malam.

Biasanya rumput-rumput di setapak pematang yang kami lalui ketika itu masih basah sebelum akhirnya embun-embun itu menguap karena datangnya sinar matahari yang mulai tampak dan memancar pada pukul enam pagihari dari sela-sela ranting dan dahan pohon-pohon yang berbaris sepanjang setapak tepi sungai.

Bila cuaca hangat sudah agak mulai terasa masuk ke dalam pori-pori tubuh kami melalui benang-benang baju, kami akan pulang. Antara jam 10 hingga jam 11. Dan saat sampai di rumah, ibuku akan langsung ke dapur untuk memasak apa saja yang ada untuk menu makan siang.

Dunia pedesaan tempat masa kanak-kanakku hidup adalah dunia yang saling bertentangan. Di satu sisi ada kegembiraan dan kebebasan, di sisi lain ada kemiskinan dan keterbatasan. Misalnya adalah keanehan kami sebagai petani yang acapkali kehabisan beras sebab butuh waktu berbulan-bulan lagi untuk panen sementara kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi dengan persedian beras yang ada dari panen sebelumnya. Dan begitu pun sebaliknya, acapkali ketika persediaan beras melimpah, kami tak punya cukup uang untuk membeli bahan pangan lainnya sehingga ibuku harus rela menjual berliter-liter beras hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan demi uang yang tak terlampau banyak agar kebutuhan menu makan kami sehari-hari tercukupi selain untuk kebutuhan sekolah.

Karena keterbatasan itu aku membawa buku-buku ke sekolah dasarku tanpa menggunakan tas seperti halnya para siswa lain. Meskipun demikian, aku tetap sanggup menjadi yang terbaik dan tercerdas di kelasku dan memang aku selalu mendapat peringkat (ranking) pertama untuk nilai-nilai raportku. Saat aku sudah duduk di kelas lima sekolah dasar, aku pun menjadi juara pertama lomba bidang studi tingkat kecamatan dan juara ketiga tingkat kabupaten.

Ibuku sendiri adalah contoh orang yang tak mau dikalahkan oleh kemiskinan. Kesabaran dan ketabahannya mengajarkanku bahwa watak dan karakter untuk menjalani hidup dengan ikhlas akan melahirkan kekuatan dalam diriku untuk tidak dikalahkan kemiskinan dan keterbatasan. Di masa-masa paceklik ketika padi-padi terserang hama dan gagal panen, contohnya, kami masih bisa menyantap singkong dan ubi jalar yang direbus dengan sama riangnya sebagaimana kami melahap nasi dengan ikan asin (sesekali tempe yang digoreng atau ditumis), sayur asam, dan sambal yang diulek dan diaduk dari campuran cabe rawit, garam, terasi, dan beberapa irisan kulit buah Rosella agar sambal itu cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan menu makan.

Anak-anak yang orang tua mereka mampu membelikan sepeda akan memilih untuk bersepeda di hari Minggu. Anak-anak lelaki biasanya bisa menyombongkan sepeda BMX mereka dan anak-anak perempuan mengayuh pedal sepeda mereka yang memiliki keranjang di stang-nya.

Ketika itu kami memilih mengembara ke sawah-sawah dan pematang-pematang untuk berburu para belalang atau menerbangkan layang-layang bila aku tak sedang membantu ibuku di sawah. Inilah contoh hal lain kebebasan dan kemerdekaan dunia masa kanak-kanakku yang meski tak memiliki sepeda, tetap masih bisa merayakan kegembiraan kami dengan melakukan apa saja yang kami sukai dan yang membuat kami senang untuk melakukannya tanpa harus membebani orangtua-orangtua kami yang tak mampu membelikan kami sepeda.

Di kali yang lain kami akan berburu burung dengan cara memanjat pohon-pohon besar tempat mereka membangun sarang di sela-sela ranting dan dahan. Kami akan mengambil anak-anak mereka yang belum bisa terbang untuk kami pelihara hingga besar.

Dunia masa kanak-kanak di mana kami belajar di sekolah dasar dan bermain di antara sungai, pematang, dan sawah adalah dunia ketika kami belum mengenal gawai dan permainan-permainan yang diciptakan oleh kemajuan dan kecanggihan tekhnologi, tapi bermain dengan permainan-permainan yang kami lakukan bersama alam. Kegembiraan-kegembiraan berlari-lari dalam guyur hujan di sawah-sawah saat kami mengejar dan memburu para belalang dengan alat pemukul berupa pohon songler yang masih berdaun, sudah pasti tidaklah sama dengan permainan-permainan di gawai saat ini. Saat itu kami menggerakkan tulang-tulang dan tubuh kami seperti ketika planet-planet di semesta berotasi dalam orbit mereka. Kami kadangkala terjatuh dan terjerembab dalam genangan air saat kaki kami tersangkut jerami atau terpeleset karena lumpur yang terasa licin.