Label

Biografi Kecil Sang Guru Irfan –Ayatullah Syahabadi (1875-1950)

(Foto: Muslim Syi'ah sedang membaca al Qur'an) 

Penyucian jiwa dan perjuangan untuk penyempurnaannya merupakan suatu konsep Islam yang paling pokok. Al Quran suci dalam suatu nada yang sangat unik menekankan penyucian jiwa sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan dan keberhasilan yang abadi:  Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS.91: 9-10)

Jalan menuju keberhasilan ini merupakan perjuangan seumur hidup dan perjalanan penyucian jiwa akan berakhir ketika pecinta dan Kekasih bertemu. Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. 84: 6)

Metodologi bagaimana melewati perjalanan tersebut dengan berhasil merupakan pusat perhatian dari irfan. Akan tetapi, irfan—seperti halnya ilmu-ilmu lain—seringnya disalahgunakan dan didistorsi. Karena itu, mereka yang gagal untuk membedakan irfan yang autentik dari irfan yang palsu cenderung menolak keseluruhan subjek tersebut.

Kelemahan pendekatan ini serupa dengan penolakan terhadap fikih karena alasan bahwa sebagian orang yang dianggap fukaha telah menggunakan analogi dan inferensi dalam penyimpulan mereka atau bersandar pada hadis-hadis non-autentik.

Sejak kemunculan Islam hingga abad ini banyak Muslim taat telah berjuang di Jalan kedekatan terhadap Allah Yang Mahakuasa. Di antara mereka adalah para pengikut sejati Imam Ahlulbait as yang dipuaskan dari mata air kenabian murni al Kautsar –melalui tangan-tangan suci Ahlulbait.

Apa yang menjadikan para arif Syi’ah besar ketika mengikuti Tarekat (Jalan) dan Hakikat (Kebenaran) adalah tanggung jawab mereka yang mutlak pada hukum syariat Islam menurut ajaran-ajaran autentik dan murni dari Ahlulbait as dan hidup secara sewajarnya, jauh dari keekstreman mana pun.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas salah seorang arif Syi’ah abad ke-20, yakni Ayatullah Uzhma Mirza Syekh Muhammad Ali Syahabadi, guru utama dan mentor ruhani almarhum Ayatullah Khomeini yang tak syak lagi memiliki dampak yang intens pada tokoh spiritual Ayatullah Khomeini.

Almarhum Ayatullah Syahabadi berasal dari Isfahan, Iran. Ia seorang pakar di bidang fikih Islam, filsafat, dan irfan. Dalam filsafat dan irfan ia adalah murid dari almarhum Ayatullah Mirza Abul Hasan Isfahani (1823-1897) dikenal sebagai Jelweh dan salah satu dari empat pakar filsafat paling cemerlang dalam sejarah filsafat Islam. Selain fikih, filsafat dan irfan, Ayatullah Uzhma Syahabadi menguasai matematika, al-jafr, dan bahasa Prancis juga.

Ayatollah Khomeini dan Ayatullah Syahabadi

Kasih sayang yang Allah Yang Mahakuasa berikan pada Ayatullah Khomeini qs tak diragukan lagi merupakan hal terpenting bagi semua ulama Muslim dalam sejarah Islam. Revolusi Islam di Iran dan pendirian sebuah Negara Islam di bawah otoritas penuh fukaha (wilayat al-faqih) merupakan karunia yang tidak Allah berikan pada ulama lain sepanjang sejarah Islam.

Dalam seluruh kehidupan Imam Khomeini yang penuh berkah ada dua dekade yang paling penting. Pertama, dekade masa pembelajaran irfan di bawah Ayatullah Syahabadi yang berawal dari tahun 1928. Dekade kedua dari kehidupan Imam Khomeini dari Februari 1979 yang ketika itu ia mendirikan pemerintahan Islam di Iran. Para ahli menegaskan bahwa dasawarsa pertama dari kehidupan Imam adalah faktor determinan bagi dekade kedua.

Ayatullah Syahabadi merupakan salah satu guru utama Imam Khomeini ra—selain Ayatullah Mirza Jawad Malaki—di bidang irfan. Almarhum Imam Khomeini sangat dipengaruhi oleh gurunya dan acap kali mengutip pemikiran gurunya dalam buku-bukunya dan menyebutnya sebagai “arif sempurna Syekh Syahabadi.”

Dalam pengakuan atas pengaruh gurunya Imam Khomeini berkata dalam salah satu pidatonya: “Sesungguhnya Syekh kita yang mulia ini memiliki hak kehidupan spiritual pada saya yang tangan dan lidah saya tidak cukup untuk mengapresiasi.” [27 April 1984]

Putra Imam Khomeini, almarhum Sayid Ahmad Khomeini berkata: “Saya bertanya kepada ayahku apa yang ia pelajari dari Ayatullah Syahabadi. Beliau menjawab, ‘Syarh Fushush[1], Mishbah al-Uns[2], dan Manazil as-Sairin[3].’ Saya tanya lagi, ‘Berapa orang teman sekelas Ayah?’ Imam menjawab, ‘Tiga orang jika itu dianggap banyak dan jika tidak, biasanya hanya aku.’”

Almarhum Imam Khomeini ra mempelajari irfan di bawah Ayatullah Syahabadi selama enam tahun sekalipun ia berkata, “Jika Ayatullah Syahabadi hendak mengajar selama tujuh tahun, aku akan tetap menghadiri kelasnya, karena setiap hari ia memiliki kearifan baru untuk disampaikan.”

Ayatullah Syahabadi dan Kecintaan pada Ahlulbait as

Ayatullah Nasrullah, salah seorang putra Ayatullah Uzhma Syahabadi mengutip perkataan ayahnya seperti ini:  “Dasar Islam adalah kecintaan pada Fathimah as. Dasar Islam adalah kebencian terhadap musuh-musuh Fathimah. Barangsiapa mencintai Fathimah dan membenci musuh-musuhnya, dialah Muslim sejati.”

Ibadahnya

Ayatullah Syahabadi adalah imam masjid agung di Bazaar Tehran, Iran. Apabila ia tengah berdiri di atas sajadahnya untuk memimpin salat, ia menjadi terlepas dari dunia. Apabila ia bangun dari sujud, air mata mengalir dari pipi dan janggutnya.

Pembacaan doa Kumailnya sangat mengharukan. Ia biasa membaca doa Kumail di masjid yang sama selama dua jam sebelum salat subuh dengan segelintir orang yang antusias untuk menghadiri pembacaan doa yang penuh nilai maknawi itu.

Sejumlah Nasihatnya

1. Putranya, Ayatullah Nasrullah, meriwayatkan dari ayahnya: “Ayahku selalu mengingatkan kami untuk membaca salawat Fathimah[4] sebelum salat Subuh. Dan sekalipun engkau secara spiritual tidak siap untuk salat tahajud, pastikanlah engkau terjaga pada waktunya untuk secangkir teh!”

Suatu ketika ia diundang untuk menyampaikan ceramah di salah satu mesjid di Tehran. Untuk menjaga waktunya dan waktu para jamaah ia mempersingkat khotbahnya tetapi menyarankan kepada hadirin bahwa jika ada orang yang benar-benar tertarik pada penyucian-jiwa dan penempaan-diri mereka bisa datang menemuinya.

Salah seorang pengusaha di antara jamaah menemuinya dan meminta nasihatnya untuk penyucian-jiwa. Ayatullah Syahabadi memberinya tiga petunjuk: 1) ingatlah sebanyak mungkin salat pada waktu-waktu yang ditentukan khususnya salat berjamaah; 2) jujurlah dalam transaksi Anda dan jangan serakah; sekalipun kewajiban pembayaran khumus itu tahunan, cobalah untuk membayarnya sebulan sekali.

Saya mengikuti anjurannya selama beberapa bulan sampai pada satu kesempatan saya bermakmum di belakang seorang syekh di salah satu mesjid di Tehran. Selama salat, betapa kagetnya saya, saya memperhatikan bahwa Imam tersebut sesaat menghilang.

Segera setelah salat saya menyampaikan penglihatan saya kepadanya. Dengan sangat keheranan, secara rendah hati ia menjawab bahwa sebelum ia menghadiri salat berjamaah, ia asyik dengan masalah keluarganya dan karena itu ia tidak bisa sepenuhnya fokus pada salatnya di sepanjang waktu. Sejak itu saya menyadari bahwa saya mengalami pengalaman mistis yang pertama. Imam hilang dari posisinya ketika ia kehilangan konsentrasinya selama salat.”

2. Imam Khomeini berkata: “Guruku, almarhum Syahabadi merekomendasikan kepada saya untuk sering-sering membaca al-Hasyr (18) khususnya dari ayat 18 hingga akhir surah.” Arif sempurna, Ayatullah Uzhma Syahabadi, meninggalkan dunia fana ini menuju ke hadirat yang abadi di kedekatan Sang Kekasih, Yang Mahakuasa pada 1950 (1375). Jasadnya dikebumikan di haram suci Hazrat Syekh Abdul Azhim di Teheran.

Pustaka

1. Arif Kaamel by Research Department of the Cultural Institution of Shahid Shah-Abadi
2. Shah-Abadi Bozorg; the Heaven of Irfan, by Mohammad Ali Mohammadi
(dari berbagai sumber/amuli)

Catatan Kaki

1 Ditulis oleh Shadruddin Qunawi, buku daras kedua paling penting dalam irfan teoretis. Buku ini merupakan penjelasan atas Fushush al-Hikam-nya Ibnu Arabi.
2 Buku daras irfan teoretis karya Ibnu Fanari. Kitab ini merupakan ulasan atas kitab Miftah al-Ghayb oleh al-Qunawi.
3 Kitab karya Abdullah Ansari berikut penjelasan paling masyhurnya dari Kasyani ini merupakan buku daras utama di bidang irfan praktis.
4 Yakni membaca: “Allahumma shalli ‘alâ Fâthimah wa abîhâ wa ba’lihâ wa banîhâ was-sirril mustawda’i fîhâ bi ‘adadi mâ ahâtha bihî ‘ilmuka.” (Ya Allah, sampaikan salawat atas Fathimah, ayahnya, suaminya, kedua anaknya, dan rahasia yang terkandung di dalamnya sejumlah apa yang diliputi oleh ilmu-Mu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar