Label

Diceritakan Senja


 Puisi-puisi Siti Nuraisyah*


DIK

Dik, ia datang lagi
Kali ini dengan semangkuk bubur putih tanpa kau
Kucari pada tatap matanya tentangmu
tetapi kosong, tak ada kabarmu di sana
Kusuruh ia berbalik lalu menutup pintu
tetapi ia malah menangis
Diceritakannya tentang pemakaman, bunga-bunga, dan air mata
Haruskah aku membencimu, Dik?

Dik, ia datang lagi
Memintaku menjahit luka pada dadanya yang menganga
Ia berjanji akan melakukan hal yang sama
Kami berdua dalam pekat malam
menyusuri kota dan meniduri bangku-bangku taman
Menghabiskan segelas kopi
pada sebuah kedai murahan

Pandeglang, Desember 2015


BUMI DAN SUNGAI BERAIR LAUT

Telah kutemukan bumi yang baru
dalam bola matamu.
Daratan  yang tak akan selesai untuk kujelajahi
dan samudra tanpa dasar
yang selalu menarikku
untuk semakin dalam tenggelam.

Kembali kulihat dua bumiku menangis
melahirkan anak sungai berair laut yang baru lagi
Memaksaku ikut larut; hanyut semakin jauh
dalam alirannya yang deras.
Hanyutku tak berarti
diammu masih saja tak kumengerti.

Serang, Juni 2015


DICERITAKAN SENJA

Ada yang selalu diceritakan senja
Tentang kesabaran menghadapi pertemuan dan perpisahan
Tentang siang yang terus menanti malam
Tentang malam yang harus rela ditinggalkan siang
Tentang perjanjian di hari esok, untuk kembali bertemu lebih lama

Sesaat, kita dipertemukan di persimpangan
Tak ada yang dapat menghentikan waktu
Begitupun dengan pertemuan yang harus berlalu
Hingga akhirnya, aku hanya bisa terdiam ditemani sendu

Dan sedikit demi sedikit merangkai kata tentang rindu.

2014

*Lahir di Pandeglang, Banten 1 April 1997. Saat ini aktif di Kubah Budaya.



Hujan Maret



Puisi Sulaiman Djaya 

Memikirkan betapa lembab senja yang malas bergegas
setelah hujan Maret jadi dingin di kaca, meja,
pintu dan keheningan yang perwira,
aku teringat dirimu dan membayangkan
mesra berbincang. Saling bercerita dan berbagi dusta
tentang apa yang sebenarnya jadi rahasia
ketika waktu dan juga teka-teki di rambutmu

tak pernah tuntas kubaca.
Engkau adalah perempuan yang lahir
dari aroma putik-putik bunga
yang tak sempat disinggahi kupu-kupu. Aku tak peduli
adakah malam bertabur bintang
atau hanya udara dan kesunyian yang melepaskan
pepohonan.

Sejak kukenal keindahanmu yang penuh tanda tanya
aku seperti musim yang terbakar. Sepasang matamu
seperti rimbun fajar yang enggan beranjak.
Oh betapa panjang kesepianku
sebelum aku menemukanmu sebagai kiasan anyelir
dan mawar. Menjelajahi lorong-lorong misteri
yang ingin sekali kukisahkan padamu.


Sumber: Majalah Jawara No. 4 2016

 (Potret Sulaiman Djaya. Fotografer: Wahyu Arya)

Kritik Atas Sunnah Umar bin Khattab (Debat Syi’ah & Sunni Era Abbasiah)


Dalam Islam, kita harus mengikuti apa yang disebutkan secara jelas oleh Al-Qur’an dalam ayatnya dan juga Nabi saw dalam sunahnya. Jika ada ayat dan hadits yang jelas tentang suatu hal, namun kita membelot dan mencari-cari alasan lain untuk tidak mengamalkannya, itu artinya kita berijtihad di hadapan nash yang jelas. Ijtihad yang demikian adalah batil, dan inilah bid’ah yang menjerumuskan kita pada kesalahan.

Adapun ijtihad yang benar adalah, ketika tidak ditemukan hukum dari ayat dan riwayat, atau ada kesamaran dengannya, maka seorang faqih dapat mencari jalan keluar dengan cara berijtihad, yang tentu dengan cara-caranya yang khas. Ijtihad inilah yang sah, dan itupun tidak sembarang orang dapat melakukannya –yakni harus orang yang mencukupi syarat-syaratnya saja yang berhak berijtihad.

Maliksyah Saljuki, seorang raja jaman dahulu, mengadakan sebuah majelis yang dihadiri oleh dirinya dan menterinya, Khajah Nizamul Muluk. Terjadi perdebatan antara seorang alim Sunni bernama Abbasi dan seorang alim Syi’ah yang bernama Alawi dalam majelis itu. Dan berikut salah-satu cuplikan debatnya.

Alawi: “Dalam kitab-kitab kalian disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah berijtihad dengan cara merubah hukum-hukum pasti dan jelas yang pernah ditetapkan oleh Nabi saw sendiri.”

Abbasi: “Hukum yang manakah itu yang pernah ia rubah?”

Alawi: “Misalnya:

(1) Shalat nafilah yang disebut shalat tarawih yang dilakukan di bulan Ramadhan secara berjama’ah atas perintah Umar bin Khattab.[1] Padahal hukum yang sebenarnya adalah, shalat Nafilah tidak boleh dikerjakan secara berjama’ah, sebagaimana yang telah ditetapkan di jaman Nabi saw. Kecuali shalat memohon hujan yang memang dilakukan berjama’ah oleh Nabi sendiri.

(2) Umar memerintahkan agar kita tidak mengucapkan hayya ‘ala khairil amal dalam adzan, dan sebagai gantinya kita harus mengucap asshalatu khairun minan naum.[2]

(3) Umar mengharamkan haji tamatu’.

(4) Umar mengharamkan nikah mut’ah.[3]

(5) Ia menghapus jatah mu’allafatul qulub dalam zakat, padahal telah ditetapkan dalam surah At-Taubah Ayat 60. Dan masih banyak lagi yang lainnya…

Maliksyah: “Apa benar Umar telah melakukan hal itu?”

Khajah Nizamul Muluk: “Ya benar, hal itu disebutkan dalam kitab-kitab terpercaya Sunni.”

Qusci[4]: “Jika Umar melakukan itu semua, apa salahnya? Dia kan berjitihad!?”[5]

Alawi: “Apakah hamba Allah berhak untuk berijtihad di hadapan hukum yang sudah jelas ayat dan riwayatnya? Jika hal itu dibolehkan, dan jika semua mujtahid berhak melakukannya, dengan seiring waktu Islam akan habis tergantikan dengan pandangan pribadi para mujtahid dan bid’ah. Bukankah dalam Al Qur’an disebutkan:

“Apapun yang dibawakan oleh Rasulullah maka ambillah, dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah” (Al-Hasyr Ayat 7).

Allah swt juga berfirman: “Tidak ada hak bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memilih pilihan selain apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya” (Al-Ahzab Ayat 36)

Bukankah Rasulullah saw juga pernah bersabda, “Halal Muhammad adalah halal sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram sampai hari kiamat”[6]

Kesimpulannya: kita tidak berhak untuk berijtihad di hadapan ayat dan riwayat yang sangat jelas maksudnya. Bahkan Nabi pun juga tidak berhak untuk bertindak berlawanan dengan ayat Al-Qur’an, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Haaqqah Ayat 44 dan 47).

Allah swt pernah berfirman tentang nabi-Nya: “Jika seandainya ia (Muhammad) berbohong atas nama Kami, maka pasti Kami akan mencengkeramnya, lalu memotong jantungnya; dan tak ada satupun yang bisa mencegah itu dan membelanya.”[7]

Catatan:
[1] Shahih Bukhari, jilid 2, halaman 251, Al-Kamil, Ibnu Atsir, jilid 2, halaman 31.
[2] Syarah Muwatha’ Zarqani, jilid 1, halaman 25.
[3] Tafsir Fakhrur Razi, tafsir ayat 24 surah An-Nisa’.
[4] Quschi adalah salah seorang dari ulama Ahlu Sunah, ia juga disebut Imamul Mutakallimin.
[5] Syarah Tajrid Quschi, halaman 374.
[6] Muqaddamah Darami, halaman 39; Ushul Kafi, jilid 1, halaman 69.
[7] Mencari Kebenaran di Baghdad, Muqatil bin Athiyah Bakri, halaman 127-129. 


Ucapan Resmi Vatikan untuk Perayaan Idul Fitri 2016



(Foto: Presiden Iran Hassan Rouhani dan Paus Fransiskus)

Kepada Orang Kristen dan Muslim: Pembawa Sukacita dan Instrumen Kerahiman Ilahi

Saudara-saudari umat Muslim yang terkasih,

[1] Bulan suci Ramadan dan Idul Fitri merupakan peristiwa keagamaan yang penting bagi umat Muslim di seluruh dunia, dengan berfokus pada puasa, doa dan amal, dan ini sangat dihormati oleh orang Kristiani, saudara dan tetanggamu. Atas nama Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama dan umat Kristiani di seluruh dunia, kami mengucapkan selamat merayakan Idul Fitri, perayaan penuh sukacita.

Sebagaimana adat kebiasaan kami, pada kesempatan ini kami ingin berbagi dengan umat Muslim di seluruh dunia refleksi dan harapan yang dapat memperteguh ikatan spiritual kita.

[2] Sebuah tema yang sangat dekat di hati umat Kristen dan Muslim adalah “Rahmat”. Kita tahu bahwa Orang Kristen dan Islam percaya kepada Allah yang berbelas kasih, yang menunjukkan kasih sayang-Nya kepada semua makhluk ciptaan-Nya, secara khusus kepada manusia. Allah menciptakan kita dengan kasih yang begitu besar. Ia menjaga dan merawat kita dengan penuh belas kasih, menganugerahkan kepada kita rahmat yang dibutuhkan dalam hidup sehari-hari seperti makanan, tempat tinggal dan keamanan.

Belas kasih Allah sungguh-sungguh dinyatakan melalui cara tertentu, melalui pengampunan atas segala dosa kita; Ia maha pengampun (Al-Gháfir) dan Ia terus bahkan selalu mengampuni (Al-Ghafur).

[3] Untuk menekankan pentingnya rahmat, Paus Fransiskus telah menetapkan perayaan Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi yang dimulai sejak 8 Desember 2015 dan berakhir pada tanggal 20 November 2016. Dalam hal ini, Paus Fransiskus berkata:

“Di sini ada alasan untuk bersukacita: inilah waktunya untuk berbelas kasih kepada semua orang. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyembuhkan ‘luka’, waktu bagi kita untuk tidak pernah lelah memenuhi hati setiap orang yang setia menunggu kehadiran kita dan menyapa mereka dengan kasih Allah, menawarkan kepada setiap orang pengampunan dan rekonsiliasi” (Homili Paus Fransiskus, 11 April 2015).

Ziarah Anda (Haji) ke tempat-tempat suci, terutama Makkah dan Madinah, merupakan kesempatan istimewa untuk mengalami belas kasih Allah. Nyatanya, ada begitu banyak ungkapan harapan yang disampaikan kepada para peziarah Muslim:

“Saya berharap, ziarah Anda sungguh diberkati, merupakan upaya terpuji dan menjadi kesempatan untuk mendapat pengampunan dari Allah. Berziarah untuk mendapatkan pengampunan dari Allah atas dosa-dosa, baik selama hidup maupun di waktu mati, merupakan ritual utama dari orang-orang yang percaya kepada Allah.

[4] Kita, orang-orang Kristen dan Muslim, dipanggil untuk melakukan kebaikan dengan meneladani sikap dan tindakan Allah sendiri. Ia, yang Maha Pemurah, meminta kita untuk mengasihi dan menyayangi orang lain, terutama mereka yang membutuhkan. Demikian pula, Allah memanggil kita untuk saling memaafkan.

Ketika kita melihat situasi kini, kita bersedih melihat banyak korban akibat konflik dan kekerasan –secara khusus kita mengenang para orang tua, perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia dan orang-orang yang menderita kemiskinan, penyakit, bencana alam dan pengangguran.

[5] Kita tidak bisa menutup mata terhadap realitas ini atau berpaling dari penderitaan ini. Memang benar bahwa kenyataan ini begitu kompleks dan bahwa solusi terhadapnya sering melampaui batas kemampuan kita. Penting sekali, karenanya, bahwa semua perlu bekerja sama untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hal ini merupakan sumber pengharapaan terbesar ketika kita melihat atau mendengar orang Kristen dan Muslim bergabung bersama untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Ketika kita saling bergandengan tangan, kita memenuhi ajaran penting dalam agama kita masing-masing dan menunjukkan kasih dan kebaikan Tuhan, menjadi saksi akan keyakinan iman kita masing-masing baik terhadap setiap orang maupun komunitas yang dijumpai. Semoga Allah yang Maha Kuasa dan Penyayang membantu kita untuk selalu berjalan bersama dalam kasih dan kebaikan-Nya.

[6] Kami turut bersukacita. Salam dan berkat berlimpah dari Paus Fransiskus bagi Anda sekalian yang merayakan Rahmadan dan Idul Fitri.

Selamat berbahagia untuk Anda sekalian!

Vatikan, Juni 2016
Kardinal Jean-Louis Tauran
Presiden

Uskup Miguel Ángel Ayuso Guixot