Label

Refleksi Ukhuwah Asyura



Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk ‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj, Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala.

Disampaikan oleh KH. Dr. Said Aqil Siradj

(Inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama di Indonesia yang diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara guyub, harmonis dan terbuka untuk umum).

Kita semua telah mengetahui bahwa cucu Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.

Walaupun ada beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.

Syekh Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan bahwa Asyura itu termasuk ‘Asyirul Karomah (hari berkeramat yang ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi’raj, Yaumil Arafah, Lailatul ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala. Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu, dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam, terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya merasa memiliki hari ini.

Kita seharusnya berkewajiban dan merasa terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah, tentulah Ahlul Bait sudah habis.

Ini adalah suatu kekejaman yang luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik, karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.

Marilah kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas, menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun, tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga, maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara, darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala. Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam keimanan kita.

Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi kita semua.

Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian, maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat, tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan, rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya. Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh lingkungannya.

Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.

Jika masyarakat sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa Karbala.

Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas, sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!

Sedangkan Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).

Jika hanya IQ (intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ (spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala, dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir, walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah haji.

Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah. Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah, tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus mempunyai visi demikian.

Oleh karena itu, yang perlu kita tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan, wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral, spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.

Mari kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham, apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.

Dari aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”, hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa, kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H. Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.

Pertama kali laqab sufi diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait kental sekali.

Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela. Bunyinya : li khamsatun utfi biha …

Jika kita sudah biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait, maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu, wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji, bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.

Salah satu tradisi yang sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran (selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam), yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw. Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan implementasinya belum mampu kita realisasikan.

Bagi NU, tidak ada masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.

Kesimpulan dari apa yang telah saya sampaikan adalah, pertama, bahwa Madrasatil Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10), sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.

Kedua, hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai, mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.

Itulah salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan pendekatan moral, bukan pendekatan politik.

Kerajaaan Majapahit yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk Islam.

Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.

Coba bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela.

Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.

Sebaliknya, di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Kita ketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu semua.

Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait. (*)

Nasruddin Hoja dan Anthony De Mello



Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,

"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, ..."

Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan dengan kemanusiaan."

Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"

Nasrudin menjawab seketika, "Tentu, saya memilih kekayaan."

Hakim membalas sinis, "Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?"

Nasrudin balik bertanya, "Kalau pilihan Anda sendiri?"

Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih kebijaksanaan."

Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya." (Nasruddin Hoja)


Sesudah bertahun-tahun bekerja, seorang perintis ilmu menemukan seni membuat api. Ia membawa alat-alatnya menuju ke daerah utara yang penuh salju dan mengajar kepada suku di sana seni membuat api itu-dan keuntungan-keuntungannya. Orang menjadi begitu senang akan hal baru ini, hingga mereka tidak berpikir untuk berterimakasih kepada si penemu, yang pada suatu hari dengan diam-diam pergi.

Karena ia itu salah satu orang istimewa yang memiliki kebesaran, maka ia tidak punya keinginan diperingati atau dihormati. Yang dicari melulu kepuasan karena tahu bahwa ada orang yang diuntungkan oleh penemuannya.

Suku kedua yang dikunjunginya, sama besar keinginannya untuk belajar seperti suku yang pertama. Tetapi imam-imam setempat karena iri hati terhadap orang baru yang menguasai umat, telah membunuh dia. Untuk menyingkirkan semua dugaan tentang kejahatan itu, mereka membuat gambar Sang Penemu Agung, yang di pasang pada altar besar di dalam kuil, dan ditetapkan suatu upacara, hingga namanya akan dihormati dan kenangannya tetap hidup. Perhatian besar dicurahkan, agar tidak satu peraturan upacara pun akan diubah atau dilewatkan. Alat untuk membuat api disimpan dalam peti dan dikatakan member kesembuhan kepada semua yang menyentuhnya dengan penuh kepercayaan.

Imam Agung sendiri mengambil tugas untuk menyusun sebuah buku tentang riwayat Hidup Sang Penemu. Dalam buku suci ini kelembutannya yang penuh cinta disajikan sebagai teladan untuk ditiru oleh semua, perbuatan-perbuatan agungnya dipuji, kodratnya yang melebihi manusia dijadikan syahadat iman. Para imam menjaga, agar Buku suci diwariskan kepada generasi mendatang, sedang dengan kuasa ditafsirkan arti kata-kata dan makna hidup dan perbuatannya yang suci. Dan tanpa ampun mereka menghukum mati atau mengucilkan orang yang menyimpang dari ajaran mereka. Terpancang pada tugas-tugas agama tadi, rakyat pun lupa sama sekali akan seni membuat api. (Anthony De Mello)

Kesadaran moral manusia bukanlah sebuah lampu mercusuar yang kuat, yang memancar keluar dan menerangi dengan teramat jelas apa pun yang dilaluinya. Kesadaran moral manusia lebih merupakan sebuah nyala lilin mungil yang melemparkan dan membentangkan bayang-bayang samar dan banyak, yang mendesis dan berkelap-kelip di tengah angin kencang kekuasaan dan ambisi, keserakahan dan ideologi. Tetapi, bila ditarik dekat ke hati dan ditempatkan ke dalam sepasang telapak tangan, kesadaran moral manusia akan menghalau kegelapan dan menghangatkan jiwa. (James Wilson)

Empat Humor Anthony De Mello



Kisah Lima Orang Rahib

Permintaan yang mendesak dari Lama [Bhiksu] di Selatan sampai kepada Lama Agung di Utara. Ia meminta seorang rahib yang bijak dan suci untuk membimbing hidup rohani para calon rahib. Setiap orang heran bahwa Lama Agung mengirimkan sampai lima orang. Orang yang bertanya-tanya dijawabnya demikian: 'Untung jika salah satu dari lima rahib itu akhirnya sampai kepada Lama di Selatan.'

Para rahib itu sudah menempuh perjalanan selama beberapa hari, ketika seorang kurir menghampiri mereka. Katanya: 'Imam di desa kami meninggal. Kami membutuhkankan seorang pengganti.' Desa itu rupanya makmur dan menarik; lagi pula penghidupan Imam amat terjamin. Salah seorang rahib merasa terdorong untuk menggembalakan umat. 'Aku bukan murid Buddha sejati,' katanya, 'kalau aku tidak tinggal di sini untuk melayani mereka.' Maka ia tidak melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Istana seorang raja yang tertarik kepada salah seorang rahib. Tinggallah di sini,' kata raja, 'dan aku akan memberikan puteriku kepadamu. Jika aku mati, engkaulah yang akan mengganti aku menduduki tahta kerajaan.' Hati rahib tertarik pada sang puteri yang cantik dan pada tahta kerajaan. Ia berkata: 'Apakah ada kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan peri kehidupan rakyat di sini daripada menerima kedudukan raja? Aku bukan murid Buddha sejati kalau aku tidak menerima kesempatan ini untuk mengabdi agama.' Ia tidak berjalan terus.

Tiga orang yang masih sisa meneruskan perjalanan. Pada suatu malam, di sebuah daerah pegunungan, mereka menginap di sebuah gubuk yang hanya didiami oleh seorang gadis manis. Ia menerima mereka dengan ramah. Ia bersyukur kepada Tuhan, karena Ia telah mempertemukannya dengan para rahib ini. Orangtua gadis itu dibunuh perampok dan ia tinggal sendirian penuh ketakutan. Di pagi harinya, pada waktu mereka mau berangkat, seorang rahib berkata: 'Aku akan tinggal bersama gadis ini. Aku bukan murid Buddha sejati, kalau tidak berbelas-kasih pada sesama.' Ia orang ketiga yang berhenti.

Dua orang sisanya akhirnya tiba di sebuah kampung kaum Buddha. Mereka terkejut ketika mengetahui bahwa semua penduduk meninggalkan agamanya dan kini ada di bawah pengaruh seorang guru Hindu. Rahib yang seorang berkata: 'Demi umat yang malang ini dan demi Buddha, aku harus tinggal di sini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar.' Dialah orang terakhir yang berhenti.

Rahib yang kelima akhirnya sampai di biara Lama di Selatan. Nah, bagaimanapun juga, Lama Agung dari Utara memang benar.

Beberapa tahun yang lalu aku bertekad mencari Tuhan. Berkali-kali aku berhenti di jalan. Selalu maksudku sangat mulia: untuk memperbaharui ibadah, untuk merombak susunan Gereja, untuk meningkatkan tafsir Kitab Suci, untuk membuat teologi lebih berarti bagi orang jaman kita.


Jangan Sampai Kudapati Engkau Sedang Berdoa

Gereja atau Sinagoga itu harus mengumpulkan dana untuk bisa berjalan dan beraktivitas. Nah, ada sebuah sinagoga Yahudi di mana orang tidak mengedarkan peti dana seperti di gereja-gereja Kristen. Cara mereka mencari dana dengan menjual karcis tempat pada hari Pesta-pesta besar, sebab di situ jemaat yang datang banyak dan orang bersikap murah hati.

Pada hari seperti itu anak kecil datang ke Sinagoga untuk mencari ayahnya, tetapi petugas tidak mengizinkannya masuk, karena ia tidak punya karcis.

"Tetapi," kata si anak, "ini perkara penting sekali."

"Semua berkata begitu," jawab petugas, tak tergerakkan.

Anak jadi putus-asa dan mulai mendesah: "Maaf tuan, biar aku masuk. Ini soal hidup atau mati. Hanya satu menit saja."

Petugas melunak! "Yah, sudah, kalau penting sekali," katanya. "Tetapi awas, kalau kutemukan engkau berdoa."

Agama teratur tertib, sayangnya punya banyak kelemahan juga.


Perumpamaan Kebahagiaan

Seorang kikir menyembunyikan emas di bawah pohon dalam tamannya. Setiap minggu ia menggalinya dan memandanginya berjam-jam. Pada suatu hari seorang pencuri menggalinya dan membawanya lari. Ketika si kikir itu datang lagi untuk memandangi harta kekayaannya, yang ia temukan hanyalah lubang yang kosong.

Orang itu mulai meraung-raung karena sedih, sehingga tetangga-tetangganya datang berlarian untuk melihat ada apa. Ketika mereka tahu masalahnya, salah seorang dari antara mereka bertanya. "Apakah engkau sudah pernah menggunakan emas itu?"

"Belum," kata si kikir. "Saya hanya memandanginya setiap minggu."

"Baiklah, kalau demikian," kata tetangga itu, "demi kepuasan yang sudah diberikan oleh emas itu, engkau dapat juga dating setiap minggu untuk memandangi lubang itu."


Seorang Filsuf dan Tukang Sepatu

Seorang filsuf yang hanya mempunyai sepasang sepatu minta tolong seorang tukang sepatu untuk memperbaikinya, dan ia akan menunggu.

"Sekarang sudah waktunya tutup." kata tukang sepatu itu.
"Oleh karena itu saya tidak dapat memperbaikinya sekarang. Mengapa engkau tidak datang besok pagi saja?"

"Saya hanya mempunyai sepasang sepatu ini, dan saya tidak dapat berjalan tanpa sepatu."

"Baik, untuk sementara engkau saya pinjami sepatu."

"Apa! Memakai sepatu orang lain? Kauanggap apa saya ini?"

"Mengapa engkau menolak menggunakan sepatu orang lain di kakimu kalau engkau begitu saja membawa pikiran-pikiran orang lain di kepalamu?" (*)