Label

Biografi Mini Ali Bin Abi Thalib




Oleh H.A. Bastoni


Ali adalah satu-satunya orang yang dilahirkan di dalam Ka'bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Untuk meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW merawat Ali. Selanjutnya Ali tinggal bersama Rasulullah di rumahnya dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Ia baru menginjak usia sepuluh tahun ketika Rasulullah menerima wahyu yang pertama.  

Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan dan kecerdasannya yang bersumber dari Al-Qur'an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah SAW lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah SAW kian erat, ketika ia menikahi Fathimah, anak perempuan Rasulullah yang paling bungsu. 

Dari segi agama, Ali bin Abi Thalib adalah seorang ahli agama yang faqih di samping ahli sastra yang terkenal, antara lain lewat bukunya "Nahjul Balaghah".


Syahidnya Utsman bin Affan membuat kursi kekhalifahan kosong selama dua atau tiga hari. Banyak orang, khususnya para pemberontak, mendesak Ali untuk menggantikan posisi Utsman. Para sahabat Rasulullah SAW juga memintanya, akhirnya dengan sangat terpaksa Ali menerima jabatan sebagai khalifah keempat.

Mungkin karena suasana peralihan kekhalifahan kini penuh dengan kekacauan, para pemberontak yang menyebabkan syahidnya usman masih bercokol dan membuat onar. Sementara ada banyak orang yang menuntut ditegakkannya hukum bagi pembunuh Utsman. Situasi saat itu membuat Ali sulit untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Usahanya membuat penyegaran dalam pemerintahan dengan memberhentikan seluruh gubernur yang pernah diangkat Utsman, malah memicu konflik dengan Muawiyah.

Di sisi lain, muncul konflik antara Ali dan beberapa orang sahabat yang dikomandani oleh Aisyah, Ummul Mukminin. Puncak konflik ini menyebabkan meletusnya Perang Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai unta. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang berada di pihak Aisyah gugur, sedangkan Aisyah tertawan.

Pertentangan politik antara Ali dan Muawiyah mengakibatkan pecahnya Perang Shiffin pada 37 H. Pasukan Ali yang berjumlah sekitar 95.000 orang melawan 85.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hampir berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Namun sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf Al-Qur'an menyatakan damai.

Terpaksa Ali memerintahkan pasukannya untuk menghentikan peperangan, dan terjadilah gencatan senjata. Akibat kebijakan Ali itu, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Kelompok Syiah dengan segala resiko dan pemahaman mereka tetap mendukungnya. Kelompok Murjiah yang menyatakan mengundurkan diri. Dan kelompok Khawarij yang memisahkan diri serta menyatakan tidak senang dengan tindakan Ali. 

Kelompok ketiga inilah yang akhirnya memberontak, dan menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Ali sebagai khalifah, Muawiyah sebagai penguasa Suriah dan Amr bin Ash sebagai penguasa Mesir. Mereka berencana membunuh ketiga pemimpin itu.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, mereka menyuruh Abdurrahman bin Muljam untuk membunuh Ali bin Abi Thalib di Kufah; Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di Mesir; dan Hujaj bin Abdullah ditugaskan membunuh Muawiyah di Damaskus.

Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyah lantara dijaga ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit sehingga yang menggantikannya sebagai imam shalat adalah Kharijah. Akibat perbuatannya, Kharijah pun dibunuh pula.

Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah menuju masjid. Khalifah Ali wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin. (*)

Menyimak Tulisan dan Suara Perempuan



Judul                           : Partini. Tulisan Kehidupan Seorang Putri Mangkunegaran
Penulis                         : Roswitha Pamoentjak Singgih, berdasarkan cerita Partini
Penerbit                       : Djambatan, 1986, Jakarta
Bahasa                         : Indonesia dan Inggris
Jumlah halaman           : 113

Oleh M. Kusalami

Buku ini berisi tentang kehidupan pribadi Partini sebagai anak sulung RM. Suparto / Mangkunegara VII. Walaupun begitu isinya juga menguraikan tentang sejarah dan kehidupan istana Mangkunegaraan beserta adat-istiadatnya. Buku ini ditulis dengan gaya bertutur “aku” yaitu cerita dari Partini.

Istana Mangkunegaraan didirikan tahun 1757 oleh RM Said / Pangeran Sambernyawa / Mangkunegara I. Terletak di tengah-tengah kota Surakarta menghadap ke arah selatan masuk wilayah Kalurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari, Kotamadya Surakarta. Dalam buku ini Partini menguraikan secara singkat bagian-bagian istana Mangkunegaraan, sejarah Mangkunegara I sampai Mangkunegara VI.

Partini dilahirkan Kamis Paing, 9 Jumadilawal, atau 14 Agustus 1902. Ayahnya RM. Suparto, putra Mangkunegara V. Ibunya Mardewi yang merupakan selir pertama RM. Suparto berasal dari orang biasa/bukan ningrat. Partini dilahirkan di Keputren Istana Mangkunegaran. Hal ini merupakan sesuatu yang istimewa karena menurut kebiasaan yang berhak dilahirkan di sana hanyalah anak Mangkunegara yang sedang bertahta sedang Partini hanyalah seorang cucu. Tak lama setelah Partini dilahirkan ibunya kembali pulang ke rumah orang tuanya dan Partini oleh RM. Suparti diserahkan kepada adiknya, Putri Suparti. Tidak mengherankan apabila Partini sangat dekat dengan Suparti bahkan menganggap seperti ibunya sendiri.

Mangkunegara V meninggal tahun 1896 tanpa meninggalkan putra mahkota. Putra-putra lainnya termasuk RM. Suparto masih terlalu kecil untuk menggantikannya, sehingga RM. Suyitno (adik Mangkunegara V) yang diangkat menjadi Mangkunegara VI. Jadi pada waktu Partini dilahirkan yang bertahta adalah paman ayahnya.

RM. Suparto adalah seorang yang berpikiran maju dan beranggapan dengan pendidikan yang baik orang lebih siap menghadapi perjuangan hidup. RM. Suparto menghendaki suatu masa depan yang lebih baik daripada suatu kehidupan santai dan tidak bermakna, yang seringkali dijalani pangeran-pangeran masa itu. Sayang Mangkunegara VI tidak begitu memperhatikan.

Akhirnya RM. Suparto memutuskan meninggalkan istana. Bermula dari magang, dalam waktu yang tidak terlalu lama ia menjadi mantri kabupaten di Demak (1905). Dengan tabungan yang disisihkan dari gajinya, ia masih sempat memperdalam pengetahuannya dalam bahasa Belanda dan sastra Jawa. Suatu kesalahpahaman dengan Bupati menyebabkan ia mengundurkan diri dan mulai dari nol lagi. Setelah melalui berbagai penderitaan, tindakan Residen Surakarta, G.F. van Wijk yang mengangkatnya menjadi penterjemah dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda memberikan harapan yang lebih baik. Di waktu senggangnya RM. Suparto masih memberikan perhatian terhadap Boedi Oetomo cabang Solo. Juga mengajari Partini bahasa Belanda, yang bahkan diajarkan dengan keras dan penuh disiplin. Setelah dianggap cukup mampu Partini dikirim ke sekolah Frobel (taman kanak-kanak Belanda).

RM. Suparto memutuskan untuk mengadakan perjalanan ke Eropa agar dapat mengikuti kuliah sastra kuno di Universitas Leiden, serta untuk menambah pengalaman dan pandangan. Atas rekomendasi Residen van Wijk, Mr. Abendanon dan Mr. van Deventer, RM Suparto berangkat ke Belanda Juli 1913. Karena ketekunan belajar dan pandai berbahasa Belanda, ia mudah bergaul dan berdiskusi di berbagai kalangan (teman-temannya, atasannya, kalangan intelektual, aristokrat maupun masyarakat biasa). Selama RM. Suparto di Belanda, ia bersurat-suratan dengan Partini. Partini diharuskan menjawab surat ayahnya dengan bahasa Belanda agar bahasa Belandanya makin terasah. RM. Suparto sangat sedih ketika Partini naik ke kelas 6 dengan status percobaan, dan kelas 6 harus diulangi.

Pada waktu libur semester RM. Suparto mengikuti latihan militer sebagai pasukan cadangan, tetapi karena Perang Dunia I pecah ia terpaksa mengikuti pendidikan sampai Mei 1915. Kemudian atas dasar cuti besar ia boleh meninggalkan dinas militer, dan kesempatan ini dipergunakan pulang ke tanah air. Hal ini sangat menggembirakan Partini RM. Suparto juga gembira melihat Partini berusia 13 tahun, duduk di kelas 7, kelas tertinggi Europeesche Lagere School.

Sekembalinya di Surakarta, RM. Suparto bekerja sebagai kontrolir (pengawas) pemberantasan penyakit pes. Pada waktu itu epidemi pes sangat merajalela. Seorang pembantu pemilik rumah yang ditempati bahkan ada yang meninggal. Hal ini menyebabkan Partini disuruh mengungsi ke rumah pamannya, RM. Suryo Sumarno.

Sementara itu Mangkunegara VI mengundurkan diri dan secara diam-diam pada bulan Januari 1916 berangkat ke Surabaya beserta seluruh keluarganya. Sebagai penggantinya RM. Suparto. Tetapi karena belum genap berusia 40 tahun (menurut kalender Jawa), ia diangkat sebagai Prangwadono terlebih dahulu, dan dikukuhkan tanggal 3 Maret 1916. “Keluarga” RM. Suparto kemudian pindah ke Istana. RM. Suparto menempati Balepeni, Partini mendapat kamar di mana dulu ia dilahirkan. Sebagai seorang Putri Prangwadono lebih banyak aturan yang harus dijalani. Misal sekolah tidak berjalan kaki lagi tetapi antar jemput dengan mobil atau bendi, tidak boleh bepergian tanpa pengawal dan lain-lain. Walaupun begitu Partini tidak kehilangan masa kanak-kanaknya, ia tetap bisa bermain dan belajar, dengan mengajak teman-temannya ke istana. Partini belajar berbagai ketrampilan misal melukis, membatik, menjahit dan membordir.

Ketika tahun pelajaran sekolah berakhir Partini ikut ujian Klein Ambtenaar (pegawai rendah). Bila lulus bisa diterima sebagai pegawai pada kantor pemerintahan sebagai juru tulis atau melanjutkan sekolah. Partini lulus tetapi ketika akan melanjutkan ke MULO (Midelbaar Uitgebreid Lager Onderwijs), tidak diperbolehkan. Partini kemudian dididik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga.

Pada tahun 1918 Partini diajak ayahnya ke Batavia. Di sanalah (di rumah Muhlenfeld) Partini untuk pertama kalinya bertemu Doktor Husein Djajadiningrat yang kelak menjadi suaminya. Pertemuan kedua terjadi di Solo ketika diselenggarakan konggres Java Instituut. Desember 1919, di mana Partini adalah salah satu anggotanya sedang Dr. Husein menjabat sebagai ketua. Dalam peristiwa ini keduanya berkenalan secara resmi. Rupanya perkenalan itu berlanjut, dan terjadi surat menyurat.  

Pada tahun 1920 RM. Suparto menikah dengan putri Sultan Hamengkubuwono VII, yang dijadikan garwa padmi atau permaisuri diberi sebutan “Gusti Kanjeng Ratu Timur”. Lamaran dan pernikahan ini berjalan meriah dan mewah dengan segala aturan dan adat-istiadat yang belaku. Tanggal 20 September 1920 Ratu Timur diboyong ke istana Mangkunegaran. Sambutan keluarga Mangkunegaran sangat luar biasa bahkan pesta berlangsung lebih dari 14 hari. Ratu Timur inilah yang berhak mendampingi RM. Suparto dalam berbagai acara.

Tidak lama setelah ayahnya menikah Partini menerima lamaran dari Dr. Husein pada bulan November 1920 dan hari pernikahan ditetapkan Minggu, 9 Januari 1921. Pernikahan Partini dengan Dr. Husein Djajadiningrat dilangsungkan dengan adat-istiadat yang lengkap sebagai Putri Prangwadana/penguasa Mangkunegaran. Setelah menikah Partini beserta suaminya ke Banten, Jawa Barat. Di Serang keduanya disambut Achmad Djajadiningrat (kakak Dr. Husein), Regent Serang beserta keluarganya dan dilangsungkan upacara adat. Seminggu kemudian keduanya ke Batavia, tempat tugas Dr. Husein Djajadiningrat.

Partini tentu saja memerlukan waktu untuk beradaptasi. Dari apa-apa serba dilayani (sebagai putri Mangkunegaran) dengan fasilitas yang memadai, sekarang harus mandiri dengan fasilitas yang tentu saja berbeda. Belum lagi perbedaan budaya dengan suaminya, termasuk lingkungan pergaulan. Hal ini kadang-kadang menyulut pertengkaran. Tetapi seperti diakui sendiri oleh Partini, suaminya pada dasarnya orang yang sabar dan telaten melatih, sehingga kendala tersebut dapat diatasi.

Dalam perkawinan tersebut mereka memperoleh 6 orang anak 3 putri dan 3 putra. Partini bersikeras mendidik sendiri anak-anaknya sehingga ketika ayahnya meminta salah satu anaknya selalu ditolak. Baru ketika melahirkan yang kelima dan ternyata kembar, salah satunya diberikan kepada ayahnya. Itupun hanya sementara waktu yaitu empat tahun. Hal ini mungkin disebabkan pengalamannya sendiri, di mana ia merasa “kesepian” karena sejak bayi ditinggalkan ibu kandungnya, sementara ayahnya walaupun mempunyai perhatian yang besar tetapi tidak setiap saat bisa mendampingi. Hal ini antara lain disebabkan tugas ayahnya yang sangat banyak (baik sebelum maupun sesudah menjadi penguasa Mangkunegaran) belum lagi istri-istri dan anak-anaknya yang lain yang juga memerlukan perhatian. Partini bahkan tidak ingat siapa saja yang pernah menjadi selir ayahnya. Partini berpendapat apapun yang terjadi sebaiknya anak tetap “bersama” ayah dan ibunya.

Partini dengan penuh kesabaran menjalani perannya sebagai ibu dan istri bahkan di jaman yang sulit, ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Partini di usia tuanya merasa cukup bahagia menyaksikan kehidupan putra-putrinya, cucu-cucunya dan juga cicit-cicitnya. 



Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Selatan Sumatra Sebelum Zaman Islam




Oleh Sulaiman Djaya*

Sebelum Kesultanan Banten berdiri, yang disokong oleh Demak dan Cirebon pada awal abad ke-16, pada abad ke-4, di wilayah yang saat ini masuk kawasan Provinsi Banten, DKI Jakarta, Selatan Sumatra (serta sekitarnya) dan Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Konon, sejarah Kerajaan Sunda memiliki runutan masa silamnya sejak era Kerajaan Salakanagara yang berdiri pada abad 2 (Tahun 130) Masehi di wilayah yang kini termasuk wilayah Provinsi Banten, tepatnya di kawasan Gunung Pulosari dan sekitarnya hingga ke Ujung Kulon dan Banten Girang.

Demikianlah diceritakan pada awal abad 1 Masehi, Prabu Gung Binathara membuat istana kerajaan dari batu yang terletak di Gunung Padang antara Cianjur dan Sukabumi, yang disebut Batu Menhir Megalitikum dengan nama kerajaannya adalah Medang Kamulan I. Prabu Bathara Gung Binathara mempunyai putra dua: yaitu Prabu Angling Dharma Mandalawangi yang diperintahkan untuk membuat situs di Gunung Pulosari, Desa Mandalawangi, Pandeglang, Banten (Medang Kamulan II), dan Nyi Mas Nila Sastra Ayu Jendrat ditugaskan untuk membuat kitab para Dewa Nila Sastra Ayu Jendrat (Kitab aturan dewata yang memuat Pituduh, Pitutur, Pibekaleun). Dan pada tahun 78 M, Prabu Gung Binathara menciptakan Aji Purwa Wisesa sejumlah 18 huruf yang berbunyi: HA NA CA RA KA DA TA SA WA LA PA JA YA NYA MA GA BA NGA.

Selanjutnya, pada tahun 130 M, Prabu Angling Dharma membuat wilayah kekuasaan dan keraton sampai ke pedalaman Banten (Lebak) dan Ujung Kulon. Di kemudian hari terkenal dengan nama HYANG SIRA atau EYANG JANGKUNG. Ia disebut Eyang Jangkung karena memapas gunung Pulosari yang menghalangi penglihatannya dimana kuncup Pulosari dibuang ke laut sehingga menjadi Gunung Krakatau.

Sementara itu, pada tahun 170 M, Ratu Gung Binathara Kusuma Adjar Padangi mencipta batu sebesar rumah (jika diukur sebesar rumah tipe 200) yang berlokasi di desa Cibulan, Cisarua yang saat ini dikenal dengan sebutan Maqom (petilasan) Wali Cipta Mangun Negara dan Nyi Mas Cipta Rasa.

Bukti-bukti Sejarah Peninggalan Salakanagara

Bukti-bukti Kerajaan Salakanagara antara lain adalah Menhir Cihunjuran, yaitu berupa Menhir sebanyak tiga buah terletak di sebuah mata air, yang pertama terletak di wilayah Desa Cikoneng. Sedangkan Menhir kedua terletak di Kecamatan Mandalawangi lereng utara Gunung Pulosari. Dan Menhir ketiga terletak di Kecamatan Saketi, di lereng Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Batu tersebut menyerupai batu prasasti Kawali II di Ciamis dan Batu Tulis di Bogor. Tradisi setempat menghubungkan batu ini sebagai tempat Maulana Hasanuddin menyabung ayam dengan Pucuk Umun.

Bukti yang lainnya adalah Dolmen, yang terletak di kampung Batu Ranjang, Desa Palanyar, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Berbentuk sebuah batu datar panjang 250 cm, dan lebar 110 cm, disebut Batu Ranjang. Terbuat dari batu andesit yang dikerjakan sangat halus dengan permukaan yang rata dengan pahatan pelipit melingkar ditopang oleh empat buah penyangga yang tingginya masing-masing 35 cm.

Di tanah sekitarnya dan di bagian bawah batu ada ruang kosong. Sementara itu, di bawahnya terdapat fondasi dan batu kali yang menjaga agar tiang penyangga tidak terbenam ke dalam tanah. Sedangkan Dolmen ditemukan tanpa unsur megalitik lain, kecuali dua buah batu berlubang yang terletak di sebelah timurnya.

Bukti yang ketiga adalah Batu Magnit, yang terletak di puncak Gunung Pulosari, pada lokasi puncak Rincik Manik, Desa Saketi, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang. Batu ini merupakan sebuah batu yang cukup unik, karena ketika dilakukan pengukuran arah dengan kompas, meskipun ditempatkan di sekeliling batu dari berbagai arah mata angin, jarum kompas selalu menunjuk pada batu tersebut.

Bukti yang keempat adalah Batu Dakon, yang terletak di Kecamatan Mandalawangi, tepatnya di situs Cihunjuran. Batu ini memiliki beberapa lubang di tengahnya dan berfungsi sebagai tempat meramu obat-obatan.

Sedangkan bukti yang kelima adalah Air Terjun Curug Putri, yang terletak di lereng Gunung Pulosari Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, air terjun ini dahulunya merupakan tempat pemandian Nyai Putri Rincik Manik dan Ki Roncang Omas. Di lokasi tersebut, terdapat aneka macam batuan dalam bentuk persegi, yang berserak di bawah cucuran air terjun.

Dan akhirnya kita sampai pada bukti yang selanjutnya, yaitu Pemandian Prabu Angling Dharma yang terletak di situs Cihunjuran Kabupaten Pandeglang. Menurut cerita rakyat, pemandian ini dulunya digunakan oleh Prabu Angling Dharma atau Aki Tirem atau Wali Jangkung untuk membersihkan badan dan yang lainnya.

Toponim Sunda

Menurut Humbolt, ketika ia berbicara tentang kerajaan Sunda, toponim Sunda sangat mungkin berawal di daerah sekitar selat Sunda sekarang, tepatnya antara teluk Banten hingga Sunda Kalapa (kini Jakarta). Meski demikian, tentang sejarah Sunda dengan periode selanjutnya setelah prasasti Cicatih (pasca 1030), dan juga dalam hubungannya dengan prasasti Kawali (Galuh) dan Batutulis Cirebon, banyak ketidakjelasan hubungan antara kerajaan Sunda dan Galuh: apakah bersatu atau berdiri sendiri, apakah merupakan bentuk kerajaan aliansi atau konfederasi, bila didasarkan betapa terdapat beberapa ibu kota atau pusat pemerintahan penting, semisal Kawali, Galuh, dan Pakuan Pajajaran (kini Bogor).

Meskipun demikian, pada periode selanjutnya kerajaan-kerajaan tersebut tetap diidentifikasi sebagai Kerajaan Sunda, meski mungkin tidak berpusat di pesisir (sekitar Banten) lagi. Pihak luar (misalnya Majapahit) tetap merujuk kerajaan dan suku bangsa di bagian barat Jawa sebagai orang Sunda, misalnya Pararaton yang menyebutkan Sumpah Palapa Gajah Mada yang mencantumkan Sunda sebagai bagian yang masuk daftar Gajah Mada.

Namun demikian, seperti hingga saat ini, pada era-era seterusnya, istilah Sunda pada perjalanannya akhirnya merujuk kepada seluruh Jawa Barat dan suku Sunda. Sementara itu, Pulosari dan Banten Girang tetap menjadi tempat penting bahkan hingga akhir Kerajaan Sunda itu. Contohnya adalah raja terakhir Kerajaan Sunda, yaitu Raga Mulya atau yang juga dikenal sebagai Prabu Surya Kencana (Pucuk Umun) justru tinggal di Pulasari, Pandeglang (bukan di Pakuan-Bogor), sebelum akhirnya ditaklukan Kerajaan Islam Banten.

Akhirnya, dengan fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan, bahwa Kerajaan Sunda tidak berakhir pada tahun 1030 akibat gempuran Sriwijaya dan setelah ibukotanya pindah dari Banten Girang ke pedalaman (Pakuan).

*Penyair