Label

Indonesia Diobok-obok oleh Willem Oltmans (1999)


Sebagai akibat jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, di Indonesia sebenarnya akan dilaksanakan pemilihan umum pertama sejak tahun 1955. Saya memutuskan untuk pergi melihat keadaan. Pada tanggal 17 Mei 1999, di tengah hiruk-pikuknya kampanye, pesawat jumbo Garuda Indonesian Airways mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Saat memasuki gerbang kedatangan, saya dengar seseorang memanggil ‘Om Wim’, Sukmawati Soekarnoputri (51) putri presiden Soekarno menjemputku. Saya merasa diistimewakan. Sejak kunjungan terakhir saya kepada ayahnya pada tahun 1966, saya merasa diterima dengan tangan terbuka oleh Indonesia. Apakah situasi sejak pengkhianatan Suharto pada tahun 1965, akhirnya benar-benar sudah berubah?

Bagi pengamat luar, tampaknya seolah-olah dengan perginya secara tergesa-gesa diktator militer itu kartu sudah benar-benar terkocok. Dalam kenyataannya, Soeharto pada saat terakhir telah mengeluarkan siasat terakhirnya dari dalam kotak sulapnya. Petinggi pemerintahannya yang paling setia telah disumpahnya menjadi presiden. Dalam prakteknya, lewat B.J. Habibie, dia telah menjamin keselamatan dirinya dan keselamatan anak-anaknya yang korup itu. Dan, harta yang bermilyar yang telah dicurinya dari rakyat tidak dapat dituntut dan dikembalikan selama Habibie masih bercokol di Istana Merdeka. Sebetulnya, setelah tahun 1998 sama sekali belum ada yang berubah.

Setelah pemilihan umum akan terpilih pemimpin-pemimpin baru yang akan menumpas habis pemerintahan diktatoris yang telah bertahan selama 32 tahun itu. Lebih dari seratus juta manusia akan memilih. Jarang harapan-harapan dipasang begitu tinggi, terutama oleh generasi muda yang sebelumnya belum pernah mengalami pemilihan umum. Bagi kaum muda, ini adalah masa karnaval. Media juga bergabung dalam suasana kemenangan ini, sebab baru pertama kali ini ada kebebasan pers. Selama perjalanan dari bandara ke ‘Hotel Indonesia’ terjadilah percakapan pertama dari serentetan percakapan yang akan terjalin dalam kurun waktu dua minggu berikutnya. Sukma mengherankan reaksi saya yang negatif mengenai pemilihan dengan 48 partai peserta.

Saya bercerita kepadanya bahwa ayahnya, ketika dia sendiri masih berusia 9 tahun, mencatatkan nama saya sebagai tambahan pada daftar protokol istana, yang berarti saya pada tahun 1957 mengikutinya pada perjalanan kepresidenannya ke seluruh nusantara. Pada bulan Agustus tahun itu kami berada di kapal pemerintah ‘Djidajat’ bersama kapal pemburu torpedo ‘Gajah Mada’ yang dibeli dari pemerintah Belanda, menuju ke Ambon, Ternate dan Tidore.

Di atas geladak kapal, kami duduk dalam satu lingkaran dan mengobrol, ada duta besar Iran dan Uni-Sovyet, Profesor Guy Panker dari Rand Corporation di California, seorang anggota think tank yang ada hubungannya dengan CIA, Olga Chechotkina dari Pravda dan saya sendiri. Presiden menguraikan bagaimana ia selangkah demi selangkah sejak kemerdekaan pada tahun 1945, harus bermanuver dengan sistem politik yang diimpor dari Barat, yang telah mengakibatkan keadaan pasca perang di Italia di mana bisa terjadi tiap tahun ganti kabinet atau ada suatu koalisi baru dengan rencana lain dan tuntutan baru. Warisan kolonial antara lain terdiri dari pengambilalihan penguasaan politik model Westminster yang terdiri dari 40 partai politik dengan laki-laki dan perempuan yang saling mencurigai. Sampai tahun 1955 negara tetap tidak dapat diperintah karena kekalutan politik, kataku kepada Sukmawati. ‘Sekarang Indonesia mau kembali ke situasi tanpa harapan dari tahun lima puluhan, sedangkan lebih dari separuh periode pemerintahan ayahmu menunjukkan warisan politik kolonial itu mencelakakan’.

Saya bercerita kepadanya, bagaimana ayahnya pada tahun 1957 -- di atas geladak kapal ‘Djidajat’ itu -- menerangkan dengan sangat jelas kepadaku bagaimana ia masih tetap tidak mampu memberi tuntunan yang sangat dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang yang paling penting. Dengan alasan itulah Bung Karno berusaha sekuat tenaga untuk kembali dari demokrasi bahwa suara terbanyak selalu benar, ke bentuk pencapaian keputusan Jawa autentik dengan usaha pencapaian konsensus demokratis.

Pada sekelompok orang asing di kapal tadi Soekarno juga menjelaskan bagaimana bangsa Indonesia berabad-abad lamanya berinteraksi, yakni dengan melaksanakan ‘musyawarah’ (mempertimbangkan dan merundingkan) sampai tercapai ‘mufakat’ (kesatuan pendapat). Pada tahun 1964, kepada Cindy Adams dalam biografinya Bung Karno berkata, ‘Selama beribu-ribu tahun kepala-kepala desa memerintah dengan “duduk” bersama dan mempersilakan masing-masing untuk berbicara dan mendengarkan’. Bung Karno memperolokkan sistem Barat di mana sering satu suara amat menentukan yang menghasilkan 51 muka berseri dan 49 muka asam. ‘Di kita tidak seorang pun seratus persen benar, tetapi bersamaan dengan itu tidak seorangpun salah benar’, demikian penjelasan kepala negara, ‘kami cenderung memilih suatu sistem yang sesuai dengan setiap orang’.

Bagi saya, hari di bulan Agustus 1957 di atas geladak ‘Djidajat’ itu menunjukkan dengan amat jelas, bahwa presiden mencari suatu modus vivendi, di mana demokrasi konsensus dari Jawa itu bisa diaktifkan kembali tanpa terlalu banyak mengasingkan Indonesia dari perkembangan demokratis di negara-negara lain di dunia. Saya menandaskan kepadanya (Sukma) bagaimana ayahnya selalu jauh mendahului masanya. Saya bercerita kepadanya bagaimana Nelson Mandela pada tahun 1994, dalam bukunya Long Walk to Freedom) meringkaskan dengan kata-kata yang hampir serupa, argumen yang sama.

Mandela mengisahkan bagaimana dia sebagai Khosa muda, memperhatikan Chief Jonginktaba Dalinbyebo, yang sebagai bupati suku Themby dikelilingi amaphakati (penasihat-penasihat terdekat) dan bagaimana mereka berunding untuk memperoleh kompromi yang bisa diterima. ‘Dasar pemerintahan sendiri adalah bahwa semua orang bebas mengemukakan pendapatnya dan mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara’, tulisnya pada tahun 1994. ‘Rapat berlangsung terus sampai tercapai suatu konsensus... Demokrasi berarti semua orang harus didengar dan keputusan harus diputuskan bersama sebagai rakyat. Peraturan mayoritas adalah konsep asing. Minoritas tidak boleh tertindas oleh mayoritas.’

‘Saya melihat ayahmu tidak hanya sebagai salah satu pemimpin politik terpenting setelah 1945’, kataku kepada Sukma, ‘tetapi juga sebagai pelopor para politisi, yang cepat atau lambat akan menyadari dunia ini tidak selalu dapat dipertahankan oleh demokrasi hitam-putih ala Barat, tetapi dengan merangkul demokrasi konsensus Asia-Afrika bisa mencapai tahun tiga ribu. Opsi lima puluh tambah satu, yang dijunjung tinggi oleh Barat hanya akan mengakibatkan serentetan konflik Kosovo yang tidak berkesudahan, itu pun dalam hal yang paling menguntungkan’.

Sukmawati, yang berbeda dari Karina (32), putri Soekarno dengan Ratna Sari Dewi yang berasal dari Jepang itu, adalah dua orang anak presiden pertama Indonesia, yang tidak lelah-lelahnya bertanya mengenai ayahnya, apa saja yang dipikirkannya dan apa yang menjadi tujuan kepemimpinannya. Rasanya sudah tepatlah kedatangan saya di bumi Indonesia, pada jam-jam pertama saya berada disini. Ketika makan siang di Hotel Indonesia, percakapan kami lanjutkan. Pada tahun 1966, Hotel Indonesia adalah satu-satunya hotel modern untuk tempat tinggal para turis di Jakarta, yang sekarang ini kalah bersaing dengan Hotel Hyatt yang terletak di seberangnya, menjulang tinggi dan amat mahal. Saya lebih senang tinggal di hotel yang menyimpan berbagai kenangan manis bagiku’.

Dalam periode pasca pemilu pada tahun 1955, Presiden Soekarno mengembangkan konsep ‘demokrasi terpimpin’ yang amat dicemoohkan itu, suatu bentuk pemerintahan demokratis yang lebih otoriter yang dapat menetralisir partaipartai yang saling bertikai dalam parlemen dan selanjutnya ihwal dinas dapat ditarik lebih sentral sehingga dapat ditentukan dari istana. Ini terjadi setelah mempertimbangkannya dengan beberapa partai politik yang terbesar seperti Masyumi dan Nahdatul Ulama yang Islam, PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Angkatan Bersenjata telah beberapa lama merupakan negara dalam negara, dan di dalam tubuhnya pun terjadi fraksi-fraksi yang dapat diklasifikasikan sebagai ‘kiri’ dan ‘kanan’. Tetapi selama Jenderal Yani menjadi komandannya dan Bung Karno panglima yang tertinggi, Presiden amat berhasil dalam mengendalikan ‘kandang’ yang penuh berisi dengan berbagai jenis binatang politik ini.

Semula anggota orkes simfoni kenegaraan Indonesia ini masing-masing memainkan alat yang berlainan dan bersamasama mengeluarkan berbagai macam suara. Tetapi Bung Karno sebagai komponis dan dirigen yang mahir, berhasil memperdengarkan melodi-melodi yang amat harmonis dari komposisi-komposisi pribadinya. Pada tahun lima puluhan, Sukmawati masih sekolah dan masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi secara politik di negaranya. Ayahnya hampir tidak ada waktu untuk anak-anaknya, saya ingat, bila presiden sarapan dengan tamu-tamunya -- di mana saya salah satunya -- di teras belakang istana, anak-anaknya datang untuk memberi ciuman kepadanya bila mobil untuk mengantarkan mereka sekolah sudah siap berangkat. Gadis kecil berkepang dua pada masa lalu, sekarang ini menjadi teman bicara saya, telah menjadi ibu dua orang putra dan seorang putri, saya mencoba menjelaskan kepadanya berbagai persoalan negara yang terjadi waktu itu -- yang telah banyak diketahuinya dari bacaan-bacaan -- lewat hal-hal yang saya alami.

Karina juga tidak mengerti mengapa Bung Karno pernah dicap sebagai seorang komunis. Saya bercerita kepada kedua putrinya, petaka itu sudah dimulai sejak tahun 1957, ketika Bernard Kalb dari New York Times. Secepatnya ia memberitakan setelah ucapan pertama Soekarno mengenai diperlukannya tangan yang lebih keras un tuk memimpin Indonesia dan ingin membuat reportase-reportase lebih berarti dalam penyuguhannya kepada surat kabar pagi Amerika yang paling terkemuka, dengan tuduhan bahwa pemimpin Indonesia sedang berusaha untuk bergabung dengan blok komunis. Bekas pesuruh ANP di Jakarta, Hans Martinot, tentu melakukan hal yang sama dan dongeng merah mengenai Bung Karno mulai menjalani hidup sendiri. Pada sayap anti PKI dalam tubuh tentara, isapan jempol macam ini amat mudah masuk. Semua cerita itu tidak benar.

Washington tentu saja dengan antusias bergerak mendengar cerita-cerita mengenai bertambahnya ancaman komunis di Indonesia, yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Segera setelah itu pada tahun 1958, coup CIA -- diri di Sumatera dan Maluku. Sejarah telah membuktikan, di mana pun di dunia ini amatlah mudah menemukan perwira-perwira yang mau bekerja bagi Washington, apalagi bila imbalannya berupa cek dalam jumlah dolar. Ditambah lagi bila kita mengetahui mereka, dengan mengatakan bahaya ‘merah’ mengancam maka tokoh-tokoh yang mencurigakan dengan tipu muslihat amat mudah dijerat dan dipungut dengan upah dolar.

Sukma terheran-heran ketika saya bercerita bahwa Duta Besar Amerika di Jakarta, John Allison, mengutuk perilaku Washington di Indonesia pada tahun 1958, sebagai perbuatan kejahatan serta tidak dapat menerima dan sebagai protes dia minta dipindahkan. Sebagai hukuman John Foster Dulles mengirimnya ke Polandia, negara satelit Sovyet yang pada waktu itu bukanlah merupakan pos diplomat yang menyenangkan untuk menjalankan tugas.

Tetapi putri Soekarno saya beri after thought mengenai Kalb dan Martinot. ‘Coba perhatikan ke mana beberapa jurnalis akhirnya terdampar’, kataku. ‘Bernard Kalb akhirnya muncul sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri, dibawah Menteri George Shultz, yang mencoba meluruskan kesalahan Ronald Reagan, seperti pengeboman Lybia yang bertentangan dengan Handvest PBB (Piagam PBB). Dan Tuan Martinot mengakhiri karier jurnalistiknya sebagai kepala pers di Philips. Penulis pemburu uang makan selalu dapat dijaring dengan uang dan di dunia jurnalistik amat banyak yang semacam mereka. Jadi, Sukma, kamu lihat sendiri kan, ke mana kedua orang yang paling gencar memfitnah ayahmu akhirnya mendapatkan tempatnya.

Kakaknya, Megawati Soekarnoputri memimpin partai PDI-Perjuangan, pada tahun 1998 Sukmawati bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang telah dibentuk kembali. Di partai inilah ayahmu dulu bergabung dengan teman-teman politiknya. Inisiatif untuk mendirikannya kembali diambil oleh Ny. Supeni (81), mantan duta besar keliling Presiden Soekarno hanya setahun sebelum pelaksanaan pemilu sekarang ini. Sukmawati melaporkan diri kepadanya dan sejak itu bekerja sama dengan mantan diplomat wanita itu. Ny. Supeni, kami kunjungi sehari setelah kedatangan saya di Jakarta. Kami saling mengenai sejak pertemuan kita yang pertama di ruang lobbydiplomat di gedung PBB di New York pada tahun 1961. Secara rahasia Ny. Supeni mengatakan kepada saya bahwa dia menunjukkan jalan dan membimbing Sukma agar segera dapat mengganti mengambil alih pimpinan PNI dari padanya.

Sukmawati Soekarnoputri mengundang saya agar pada 19 Mei 1999 ikut terbang dengannya ke Bengkulu di Sumatera, di mana dia harus berbicara dalam beberapa rapat pemilu. Dalam pesawat “Merpati” percakapan kita lanjutkan. Sukma kembali menanyakan alasan-alasan Bung Karno untuk mengencangkan kendali pemerintahan agar sebagai nation builderdapat bertindak lebih tegas. Apakah konsep demokrasi terpimpin tidak akan menyebabkan lebih banyak orang akan memusuhinya?

“Sejak saat ayahmu sebagai pemuda dan mahasiswa menjadi penggerak dan otak gerakan merdeka masa Hindia Belanda, dia sudah mendapatkan musuh. Percayalah bahwa ia menyadarinya benar,” jawabku, “Kamu tentu tahu mengenai salah satu pidatonya yang paling terkenal pada 1 Juni 1945, ia mengatakan kepada Cindy Adams bahwa selama enambelas tahun, sebagian besar masa itu sebagai tahanan Belanda, dia telah memikirkan konsep Pancasila sebagai dasar awal untuk negara Indonesia yang akan datang. Demokrasi negara harus didasarkan pada nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, keadilan sosial dan kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” Rezim Soeharto pun dengan sendirinya mengambil alih konsep ini karena setiap orang Indonesia bisa merasakan kecocokan dengannya’. Seperti yang dikatakan Soekarno kepada Cindy, ‘Saya tahu bahwa pembukaan undang-undang Amerika maupun manifest komunis tidak cocok untuk negara saya’.

Tetapi, setelah dua peperangan dan terutama karena tekanan Amerika, ketika Den Haag pada tahun 1949 menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Soekarno, tidak sesuai dengan keinginannya ia mewarisi politik Belanda yang tidak hanya terdiri dari berpuluh partai, tetapi juga sejumlah orang Indonesia yang ingin membuat federasi dari 3)
rrill, New York. negara ini, sekalipun dengan gerakan pemisahan. Saya sering mendengar ayahnya berbicara dalam berbagai rapat raksasa. Selalu yang diulang-ulangi ialah ‘satu bangsa, satu negara’, satu rakyat, satu negara. Bung Karno adalah Bapak dari negara kesatuan, seperti yang dikatakan dalam bahasa Belanda: Cendracht maakt macht(Bersatu membuat kita kuat). Alasan mengapa sekarang saya merasa prihatin melihat perkembangan akhir-akhir ini di negaramu adalah, akibat politik perpecahan akhir-akhir ini, Indonesia sebagai negara bisa bercerai-berai. Ini akan membuat kakakmu Megawati, menjadi seorang Michael Gorbachev dari Indonesia memenangkan pemilihan umum dan terpanggil untuk memimpin negara’. Sukma kaget mendengarnya. Saya menjelaskan, ‘Gorbachev terpanggil untuk mengubah diktator komunis yang telah berlangsung bertahun-tahun menjadi sistem multi partai model Barat. Ini pasti akan gagal, karena Uni-Sovyet yang dulu, baik secara psikologis maupun secara politik jauh dari siap untuk menerima perubahan seperti itu. Orang yang berpikir bahwa setelah 32 tahun diktator militer bisa mengubah Indonesia menganut demokrasi parlementer tanpa pertikaian, tidak belajar dari sejarah dan terutama lupa pada apa yang menyebabkan Bung Karno meninggalkan model Barat, mayoritas selalu benar dan selalu harus dibenarkan’.


Kami mendarat di Bengkulu, Sukma ditunggu sejumlah penganut antusias dari PNI. Dia tampak cantik, langsing dan menarik dalam pakaian tradisional sarung dan kebaya berwarna gelap dengan motif merah. Sukma selalu berpakaian secara tradisional, kebalikan dari kakak-kakaknya Megawati dan Rachmawati Soekarnoputri.

Kami mengunjungi benteng tua dan villa tempat Bung Karno bertahun-tahun ditahan. Kecuali buku-buku yang dibacanya, lambat laun akan hancur berantakan, masih ada sepeda tuanya yang boleh ditungganginya, bila ia pulang pada waktunya. Kami juga mengunjungi rumah keluarga Fatmawati, ibu dari Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.

Kembali di Jakarta kami mengadakan pertemuan yang sangat mengesankan. Lewat teman-teman, saya menerima pesan, salah seorang teman setia Soekarno yakni Marsekal Udara Omar Dani (75) ingin bertemu dengan saya untuk berbincang-bincang. Militer berpangkat tertinggi dalam periode Soekarno ini mendekam 29 tahun di penjara berkat Soeharto, baru mendapatkan grasi dan dibebaskan pada tanggal 16 Agustus 1999. Sama sekali diluar dugaan saya ketika melihatnya untuk pertemuan itu diundang pula Marsekal Udara Sri Herlambang, Jenderal Angkatan Udara dan baru-baru ini ditunjuk menjadi duta besar Indonesia untuk Kanada, B. Prawoto, sedangkan tuan rumahnya adalah Wisnu Djajengminardo, Komandan Lanuma Halim pada waktu insubordinasi Soeharto awal Oktober 1965.

Walaupun Sukma dan saya telah berbincang selama beberapa jam pada siang itu, saya ingin mencatat puncak pembicaraannya bagiku pribadi. Omar Dani bercerita, di penjara dia menerima eksemplar foto kopian bukuku Mijn vriend Soekarno yang terbit pada tahun 1995 -- yang diperlihatkannya pula kepada saya -- dan yang telah dibacanya dengan penuh perhatian. ‘Anda adalah orang pertama yang telah menulis mengenai Bung Karno dari luar dan dari dalam, bagaimana dia sebenarnya,’ begitu kata marsekal Uitgevery Spektrum, Utrecht, 1995. Buku ini akan diterbitkan di Indonesia.

Di Belanda, ketika memoarku mengenai Soekarno terbit, orang berlomba untuk menertawakannya. Bagiku sangatlah penting agar putri Bung Karno mengetahui pendapat orang-orang penting senegaranya, yang rupanya amat mengenal ayahnya dan menganggap sangat serius reportase saya. Pembicaraan sore itu serta merta seputar kejadian-kejadian fatal dan sangat mengejutkan pada tahun 1965 itu. Mereka yang hadir memberitahukan bahwa secara bersamasama mereka telah menulis suatu buku mengenai tahun 1965 dan coup yang telah dilakukan oleh para perwira sekitar Soeharto.

Selanjutnya yang tampak menonjol pada setiap pembicaraan di Indonesia ialah, setiap kali nama Soekarno disebut orang segera memasang telinga. Dan, bila selanjutnya kita bertemu dengan seseorang yang mengenalnya secara pribadi, segala sesuatu mengenai dirinya ingin diketahui dan pertanyaan bertubi-tubi dilancarkan. Dapat dimengerti, sebab generasi kedua setelah meninggalnya Soekarno pada tahun 1970, lahir pada rezim Soeharto yang selama bertahun-tahun berhasil menyebarkan kebohongan-kebohongan yang amat keji dan tuduhan yang palsu mengenai dirinya.

Mengenai peranan CIA di Indonesia, barangkali secara selentingan sudah kita dengar, tetapi kebanyakan orang sama sekali tidak mengetahui bagaimana Amerika sebagai negara adikuasa setelah perang dunia kedua telah berbuat onar ke seluruh pelosok dunia.

Dalam berbagai percakapan di media dunia pun menonjol nama-nama seperti Watergate, Irangate, Monicagate dan sejumlah skandal lain yang diketahui garis besarnya saja, tetapi bagaimana permainan mafia yang dijalankan Washington itu sebenarnya terjadi, strategi mana yang kemudian dijalankan setelah 1945, tidak pernah mendapat penjelasan. Toko-toko buku di Jakarta, seperti juga di kota-kota lain, sama sekali tidak dapat menyediakan apa-apa bagi pembaca di bidang ini. Perkembangan-perkembangan internasional misalnya, terutama hanya diberitakan pada halaman terakhir Jakarta-Post. Aspek kehidupan masyarakat Indonesia di tengah menggelegarnya globalisasi yang terjadi di bagian lain dunia, dapat dikatakan dramatis. Malah sama sekali tidak terperhatikan. Dan, memang rupanya tidak ada pembeli buku mengenai masalah ini.

Selama kunjungan saya, terjadi affair mantan diktator Chili, Augusto Pinochet. Umum mengetahui dia ditangkap di London atas permintaan Spanyol, tetapi pers Indonesia tidak menyuguhkannya dalam kerangka historis yang sebenarnya. Apalagi menarik garis-garis paralel yang sejajar dengan kejadian akhir-akhir ini di Indonesia. Bukankah kejadian di Chili pada tahun 1972 merupakan pengulangan kejadian yang lebih keji ketimbang apa yang telah dibesarkan Washington pada tahun 1965 di Jakarta? Richard Nixon dan Henry Kissinger sebelumnya telah diberitahu bahwa Salvador Allende yang terpilih secara demokratis akan diserbu dalam istananya dan bila perlu dibunuh. Mereka antusias memberikan kata sepakat atas operasi jahat ini.

Baru pada tahun 1999 dilepaskan 5.800 dokumen yang seluruhnya berjumlah 20.000 halaman mengenai Coup di Chili itu. 5.000 berkas datang dari State Department dan hanya 800 dari CIA, Pentagon dan FBI, pelaku yang sebenarnya bersalah dalam praktek Nazi yang dilancarkan Amerika di Chili tersebut. Menurut bahan bukti yang lolos, 3000 orang Chili dibunuh oleh Pinochet & Co. dan 200.000 orang disiksa. ‘Dari bahan-bukti yang nyata sekali’, demikian kata ‘De Volkskrant’, ‘CIA dan instansi pemerintahan Amerika sungguh mengetahui sampai hal-hal mendetail tentang kampanye pembunuhan dari Washington terhadap kaum kiri’. Soeharto-nya negara Chili itu, yang berperilaku seperti diktator Chili itu malah meminta Washington untuk mengirim orang-orang Amerika sebagai tenaga kerja untuk mengawasi dan mengelola kamp-kamp tahanan yang akan didirikannya.

Richard Nixon telah tiada, tetapi Henry Kissinger masih merupakan tokoh terkenal dalam panggung negarawan internasional. Honorariumnya untuk satu kali bicara selama satu jam minimal 50.000 dollar. Dalam kejadian di Chili, yang terjadi atas inisiatifnya, keterlibatan Kissinger sudah cukup menjadikannya seorang tertuduh utama untuk diadili di Den Haag dinamika International Hof van Justitie sebagai penjahat perang. Masih bisa ditambahkan praktek-praktek pembunuhan yang dilakukan Amerika di Laos, Kamboja dan Vietnam, yang dapat mengakibatkan Henry dihukum selama 300 tahun. Tetapi Tuan Kissinger sebagai hadiah untuk pemboman massal pada Natal tahun 1972 di atas Hanoi -- untuk memaksa Vietnam Utara menyerah; suatu taktik yang baru-baru ini demikian sama dilancarkan di Kosovo -- akan menerima hadiah Nobel untuk Perdamaian, yang dalam prakteknya berarti bahwa selama hidupnya dia kebal hukum untuk semua pelanggaran hukum yang dia dukung dan pelecehan hak asasi manusia yang telah dilakukannya.

Selama bertahun-tahun para jurnalis Indonesia ditahan, diteror atau dibredel medianya akibat sensor ketat yang diterapkan Soeharto. Dapat dimengerti jurnalistik Jakarta menunjukkan gejala-gejala ‘after-effect’setelah tiga dasawarsa disabotase untuk mencegah para jurnalis meluncurkan berita yang mungkin bisa membuka rahasia dan sifat kejahatan rezim Soeharto itu.

Para jurnalis yang dilahirkan pada tahun 1965, sekarang berusia 34 tahun. Pengetahuan mereka mengenai apa yang terjadi pada hari-hari pertama di bulan Oktober tahun itu adalah nol koma nol. Saat itu, fakta ketidakberadaan Panglima Angkatan Darat yang tidak ada jejaknya, bagi Bung Karno ia (Pangad) sangat vital artinya, karena dialah yang melindungi Kepala Negara karena ia bertugas melindungi kepala negara dari serangan para-perwira tinggi yang bersekongkol dengan Amerika Serikat. Pada hakekatnya Presiden bermaksud mengangkat pengganti sementara Panglima Angkatan Darat dan memerintahkan kehadiran Jenderal Pranoto Reksosamudra di Pangkalan Udara Halim, tempat di mana kepala negara berada selama coup CIA terhadapnya dilancarkan. Kemudian tentang kenyataan bahwa Soeharto melarang Pranoto untuk pergi ke Halim, dan dengan demikian telah melakukan pengkhianatan (hoogverraad), suatu kejahatan yang di negeri Belanda pun akan diganjar dengan hukuman mati.

Soeharto merebut kekuasaan, seperti yang diharapkan skenario Amerika. Duta besar Amerika, Marshall Green, menyerahkan suatu daftar yang berisi nama-nama pengikut Soekarno, anggota PKI dan para patriot Indonesia lain yang sama sekali tidak bersalah, ke markas besar jenderal yang mengadakan coup. Sekarang dari Washington terbukti, para Yankee pada tahun 1972 melakukan hal yang sama pada Pinochet di Chili. Pada dasarnya Pinochet dan Soeharto merupakan komisaris negara yang disewa CIA untuk para penguasa Amerika, seperti halnya Hitler yang pada perang dunia kedua mengangkat A. Seyss Inquart untuk Negeri Belanda.

Kuasa penuh Washington pada tahun 1965 untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia yang dicurigai diterjemahkan oleh Soeharto dalam arti kata yang seluas-luasnya. Antara lain dibentuknya Komando Operasi Merapi dibawah pimpinan Sarwo Edhi, sejenis SS komandonya Hitler dan menurut perhitungan majalah Inggris Economist, selama perburuan terhadap kaum kiri yang diatur Amerika Serikat ini, telah jatuh 500.000 korban. Setelah mempelajari berbagai fakta secara adil dan saksama, tidak ada perbedaan antara ‘ethnic cleansing’(pembersihan etnik) di Yugoslavia yang lama, yang banyak dibicarakan Clinton, Blair dan NAVO, dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan di Chili pada tahun 1972, yang dilaksanakan atas perintah dari Washington.

Kegemaran Sarwo Edhi ialah untuk memenggal kepala dan melemparkan mayat-mayat ke sungai. Dalam bukunya (1990) Soeharto sangat memuji jago kelahi dan pembunuh massal ini. Secara pribadi dia menulis -- Edhi mentaati perintah-perintah Soeharto -- dengan antusias dan menurutnya kolonel para ini ‘ahli dalam menumpas elemen yang dimusuhi,’ pendek kata dalam membunuh habis.

Hampir semua lembaga internasional, termasuk universitas-universitas di Amerika Serikat, telah mencatat angka sementara yang mencapai ratusan ribu korban setelah mempelajari angka-angka yang diketahui sampai saat ini. Yang ditunggu ialah sekarang dibuka akses bebas oleh Washington dari dokumen-dokumen tentang persekongkolan terhadap Bung Karno, seperti yang terjadi pada perebutan kekuasan melawan Ellende, berkat terbongkarnya berkas-berkas yang sampai sekarang dirahasiakan. Disamping pembunuhan massal, Soeharto memerintahkan sesudah 1965 -- seperti Pinochet di Chili -- razia besar-besaran di mana Orang mengambil kesimpulan bahwa sekarang Pinochet di London khawatir, bila terbukti dia adalah Quisling Amerika, seperti halnya Soeharto saat itu.

Disamping pembunuhan massal, setelah tahun 1965 Soeharto memerintahkan diadakan razia massal - - seperti yang dilakukan Pinochet di Chili -- yang mengakibatkan puluhan ribu orang di penjara dan lebih dari seratus ribu warga negara yang sama sekali tidak bersalah diasingkan dan ditawan di pulau Buru, sebuah pulau yang terpencil, di mana Soeharto telah mendirikan kamp tahanan yang paling besar di Asia Tenggara. Bila setelah sepuluh, dua belas tahun atau lebih sedikit demi sedikit orang tahanan itu dibebaskan, Soeharto memikirkan cara lain, seperti yang waktu itu dilakukan Hitler dengan orang Yahudi, yakni dengan menyuruh mereka memakai bintang kuning. Soeharto menyuruh memberi cap khusus pada kartu identitas eks-tapol untuk menjamin agar korban-korban tak berdosa ini tidak pernah lagi diterima di dalam kehidupan masyarakat.

Keberadaan dodenlijsten CIA untuk Indonesia, yang mendesak Soeharto agar menghilangkan lima ribu orang dengan cara menembaknya di kepala pada tahun 1990, secara terbuka diumumkan oleh Robert Martens, mantan mitra kerja Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Konfirmasi mengenai ‘ethnic cleansing’ oleh Soeharto ini saja sudah cukup untuk menuntutnya di mahkamah peradilan internasional di Den Haag.

Hari ini setengah abad yang lalu di Jenewa ditandatangani konvensi mengenai hak asasi manusia. Tetapi barang siapa lebih memperhatikan penampilan Hakim Louise Arbour di sidang sebagai Ketua di Kolese yang berada di Den Haag, sampai pada kesimpulan bahwa menurut keyakinannya, penjahat-penjahat perang hanya berdomisili di Yugoslavia yang dulu, seolah-olah kejahatan perang yang terjadi di Indonesia, Chili, Libia, Kamboja dan sejumlah negara Amerika Latin dilakukan oleh tokoh-tokoh tidak dikenal dari planet lain -- dan bukan oleh CIA dan Washington -- tidak mengherankan bila Professor Moam Chomsky dari MIT Boston menamakan negaranya ‘si penguasa teroris’ super di seluruh dunia. Soeharto juga belum tercatat dalam buku Ny. Arbour. Dia masih bisa berlindung dengan tenteram diantara sapisapinya di Tapos, Bogor.

Jenderal Soeharto dan pemberi perintahnya yaitu Amerika pada tahun 1965 terlalu pengecut dan terlalu ‘pintar busuk’ untuk segera membunuh Bung Karno, seperti yang terjadi di Chili dengan Salvador Allende yang langsung dibunuh di istananya. Musuh-musuhnya menyadari betul bahwa bila sehelai rambut saja yang diusik dari Bapak rakyat Indonesia, seluruh negeri akan memberontak. Dengan sadar pilihan yang diprioritaskan adalah untuk menyingkirkan Soekarno secara berangsur. Dia diasingkan di Wisma Yaso, villa istri Jepangnya di Slipi. Kaki tangan Soeharto, Jenderal Alamsyah yang mempunyai nama kurang baik, telah mengambil semua mobil yang masih ada di sana. Lagi pula ia masuk tanpa permisi untuk mengambil pesawat TV terakhir milik mantan presiden itu.

Awal tahun enam puluhan saya mengetahui beberapa jenderal yang ada di Jakarta mempunyai niat jahat dan telah menyepakati untuk menggusur Bung Karno. Dari percakapan dengan Marsekal Omar Dani dengan teman-temannya yang saya sebut di atas ternyata, mereka tidak tahu menahu mengenai sesuatu detail yang terjadi atau mungkin sudah melupakannya. Pada tahun 1962, Uyeng Suwargana seorang mitra kerja terdekat Jenderal Abdul Haris Nasution bepergian keliling dunia dan juga datang ke Den Haag, New York dan Washington untuk memberitahukan fungsionaris-fungsionaris negara, politisi dan para jurnalis secara terbatas bahwa sedang dipersiapkan suatu coup terhadap Soekarno, untuk mana secara rahasia telah dibentuk suatu Dewan Jenderal, suatu kelompok yang terdiri dari para jenderal.

Pada tahun 1962 saya masih mempunyai jalur rahasia ke Presiden Soekarno, sehingga saya masih bisa mengirimkan surat-surat dari New York tempat tinggal saya, ke rumah tangga presiden, yakni lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, yang menyampaikan surat-surat saya dari Amerika dengan aman langsung kepada Bung Karno. Bila presiden berada di New York atau Washington, oleh Duta Besar dr. Zairin Zein (Washington) atau Duta Besar Sukardjo Wirjopranoto (Perserikatan Bangsa-Bangsa) saya dibawa ke kamar presiden di Mayflower Hotel di ibukota atau Waldorf Astoria di Manhattan. Ini terjadi tanpa sepengetahuan dr. Subandrio, Menteri Luar Negeri waktu itu, yang juga atas desakan Den Haag, telah menghambat adanya hubungan antara saya dan

Bung Karno. Kemudian Presiden mengatakan, berita-berita yang saya kirimkan selalu diterimanya. ‘Saya selalu menyimpannya, dan di malam hari saya membacanya di tempat tidur,’ katanya padaku suatu ketika.

Setelah suruhan Jenderal Nasution yang mencurigakan memberitahukan kepada saya pada suatu undangan makan, mengenai adanya rencana jahat sekelompok jenderal yang bekerja sama dengan CIA, saya memutuskan untuk menginformasikannya kepada Bung Karno. Terutama tujuan akhir jenderal-jenderal subsersif inilah yang digambarkan dengan terinci oleh Pak Uyeng. ‘Presiden Soekarno akan diturunkan, diasingkan dan akan dibiarkan mati seperti setangkai bunga tanpa air’. Memang inilah yang dirancang dan dilaksanakan Soeharto dengan sekongkolannya pada presiden pertama Indonesia antara tahun 1965 dan 1970, dalam kolaborasi dengan Washington dan CIA.


Presiden mengirim Kolonel Magenda dari dinas intel ke Washington untuk mengadakan penyelidikan. Saya memberitahukan pula bahwa ketika saya mengunjungi Duta Besar Zairin Zein di Washington, secara kebetulan saya melihat Pak Uyeng itu di ruang samping kantor Atase Militer Jenderal Surjo Sularso sedang menyelesaikan pengetikan laporan-laporan rahasianya kepada Jenderal Nasution.

Pada tahun 1973 saya menulis tentang ini, dan selukbeluk di Den Vaderland Getrouwe berdasarkan buku harian yang amat cermat. Jadi, pada tahun 1962 Bung Karno telah mengetahui sampai hal yang terkecil, apa yang dirancangkan dipersiapkan beberapa jenderal terhadapnya, atas desakan orang Amerika. Perlu dicatat di sini, pada tahun 1961 Soeharto sendiri berada di Indonesia Timur sibuk mengurusi pengembalian Irian Jaya sehingga orang bisa berpendapat semula ia tidak terlibat dalam coup yang telah lama dipersiapkan itu. Dia lebih merupakan ‘anjing ketiga yang lari dengan tulang yang diperebutkan hewan-hewan lain’. Walaupun demikian, ia tetap harus bertanggung jawab atas pembunuhan Bung Karno dan dia memenuhi segala persyaratan sebagaimana yang sekarang akhirnya menjadikan Augusto Pinochet sebagai yang tertuduh.

Bahwa Amerika Serikat di seluruh dunia bekerja dengan dodenlijsten sebagai dasar pemikiran kerja saat menentukan strategi luar negerinya, di Jakarta -- juga di kalangan atasnya -- hampir tidak diketahui, seperti halnya pada tahun 1990, pada mulanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin di Den Haag. Bukan saja negara-negara berkembang yang khusus menjadi sasaran Washington pun. Mitra NAVO dari Washington dengan amat terkejut harus mengakui bahwa apabila sesuatu akan menguntungkan para Yankee, segala sesuatu dihalalkan boleh dilakukan. Bagi CIA amatlah biasa untuk menyusun dodenlijstenjuga bagi Belanda bila sewaktuwaktu Sovyet memutuskan untuk menyerbu masuk Eropa-Barat. Dengan sangat rahasia dari Amerika Serikat telah dibentuk organisasi teror dengan nama Gladio, yang nyata diberi kuasa bila sampai Sovyet menghantam negara-negara perserikatan barat -- seperti yang juga ditawarkan kepada Soeharto dan Pinochet di Indonesia dan Chili -- yakni tetap dengan jelas untuk mengeksekusi orang-orang yang dicurigai secara hukum. Orang-orang semacam Sarwo Edhi amat banyak berkeliaran dan berkelompok di seluruh dunia, seperti baru-baru ini lagi-lagi terbukti di Serbia, Kosovo dan Albania.

Selama bertahun-tahun orang-orang Amerika di Eropa Barat sibuk membuat gudang-gudang senjata rahasia, seperti yang telah ditemukan di Gelderland dan di utara Limburg selatan, sementara kebanyakan para perdana menteri dan menteri pertahanan sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu. Baru pada tahun 1990 perdana menteri Julio Androti dari Italia berani berbicara dan membunyikan alarm. Segera setelah itu muncul ‘berbagai pengakuan’bahwa di mana-mana, seperti Perancis, Jerman Barat, Belgia dan Negeri Belanda telah dibentuk jaringan-jaringan organisasi-teror Amerika yang amat luas. Pada tanggal 18 November 1990 sebuah dodenlijst sampai ke tangan ‘Krant op Zondag’dengan nama sandi NATRES 486, yang memuat nama dan alamat dari 130 penduduk kota Dordrecht, yang harus dibunuh bila datang serangan Sovyet pada NAVO. Apa yang dilakukan para pelaku kejahatan Amerika di bidang ini tidak kalah hebat seperti yang dilakukan Slobodan Milosevic di Bosnia dan Kosovo. Bila Mahkamah Internasional untuk penjahat-penjahat perang di Den Haag memenuhi persyaratan persidangan yang paling elementer maka Ny. Arbour misalnya bisa mulai dengan Henry Kissinger dan menyebutnya sebagai salah satu penjahat perang Amerika dan ethnic cleanners yang patut mendapatkan satu kali perjalanan saja ke Den Haag. Tetapi Arbour tidak bertindak sesuai dengan aturan hukum yang bunyinya: hukum berlaku untuk semua orang, karena dia di dorong tampil kemuka oleh Washington dengan tugas, untuk hanya menyeret musuh-musuh CIA ke pengadilan.

Pada saat kedatangan saya di Jakarta Mei 1999, pemboman yang dilakukan NAVO di atas Serbia dan Kosovo masih gencar berlangsung. Waktu pecah perang di sana pada tanggal 24 Maret, saya berada di Coral Gables, Florida. Pada hari itu juga, saya mengirim surat darurat kepada Perdana Menteri Wim Kok ke rumahnya di Amsterdam, di mana saya memohon kepadanya agar jangan mau terseret masuk ke dalam petualangan jahat ini, kalaupun Negeri Belanda merupakan satu-satunya negara anggota NAVO, yang dengan veto bisa menggagalkan seluruh aksi itu. Tetapi negarawan-negarawan Belanda masa kini juga tidak mempelajari sejarah mereka.

Yang mengherankan adalah hampir semua orang yang saya temui di Jakarta, diantaranya para jurnalis, beranggapan Slobodan Milosevic-lah yang bersalah dalam semua problem ini dan tentu saja NAVO melawannya. Saya menjawab, sayapun tidak dapat melihat bagaimana seluruh affair rumit ini saling berkait. Tetapi dengan sangat prihatin saya menegaskan, sembilan belas negara NAVO dibawah pimpinan Amerika Serikat, mencemari piagam PBB dengan peperangan ini. Saya ingat bagaimana Hitler dan Mussolini di tahun tiga puluhan melakukan yang sama, yang saat itu menyebabkan hancurnya pelopor PBB, yakni Volkenbond di Jenewa.

Pada tahun 1935 Mussolini menyerbu Abessinia. Raja Italia dinobatkannya menjadi Kaisar Etiopia itu. Hitler langsung membebaskan negara-negara minoritas Eropa. Pada saat itu tak seorangpun menyadari bahwa pada saat Italia dan Jerman sama sekali tidak mengindahkan peraturan-peraturan internasional yang telah disetujui bersama di Jenewa maka pecahlah sudah Perang Dunia kedua. Bom meledak empat tahun kemudian di Polandia. Analisa saya, pada saat NAVO dengan armadanya yang terdiri dari seribu pesawat canggih melanggar batas ruang angkasa Yugoslavia yang dulu, dan mulai menjatuhkan 23.000 senjata penumpas dalam batas-batas suatu negara berdaulat, keabsahan piagam PBB telah kehilangan arti dan pintu ke perang dunia ketiga telah terbuka lebar. NAVO mengikuti jejak Hitler dan Mussolini. Hanya soal waktu saja sampai bom akan meledak lagi. Setiap sumber kebakaran bisa berkembang menjadi konflik dunia, sebab piagam PBB tidak lagi merupakan penghalang atau hambatan menuju jalan bar-bar.

Yang membuat saya sakit hati adalah di Indonesia ini hampir tidak ada seorangpun yang mempedulikan nasib Yugoslavia yang dulu itu. Pada tahun 1956 Bung Karno berinisiatif untuk mengunjungi Marsekal Tito. Saya menyaksikan sendiri pada tanggal 12 September 1956 itu, kedua kepala negara itu memasuki Belgrado berdiri dalam sebuah Rolls Royce terbuka. Sejak itu Indonesia dan federasi Yugoslavia menjadi negara yang bersahabat. Kemudian pada tahun 1961 Marsekal Tito bergabung dalam blok negara-negara Asia-Afrika yang didirikan Bung Karno pada tahun 1955 di Bandung, kekuatan ketiga di dunia ini, yang menurut konsepnya akan bisa memisahkan kedua jagoan Moskow dan Washington. 
\
Pada tahun 1955 Soekarno mengundang banyak pemimpin politik dunia ke Indonesia, seperti Chou-En-Lai (Cina), Jawaharlal Nehru (India), Abdel Gamal Nasser (Mesir), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja) dan banyak yang lain. Yang sangat diinginkan Bung Karno adalah agar ‘musyawarah’ dan ‘mufakat’ ala Jawa bisa diterapkan dalam memelihara hubungan-hubungan internasional di panggung dunia. Dengan kata lain, pesannya berbunyi: gantilah ‘demokrasi mayoritas selalu benar menjadi demokrasi konsensus’, di mana setiap orang perlu mundur selangkah agar dapat sampai pada suatu keputusan yang sesuai bagi semua. Pada tahun 1961 Konferensi Bandung kedua diadakan di Belgrado di mana konsep Bung Karno untuk saling berhubungan ala Asia-Afrika, diuraikan lebih lanjut.


Semakin besar berkembangnya perbedaan antara Barat dan Timur, semakin gila-gilaan bentuk perlombaan persenjataan, semakin besar pula perlunya dorongan menurut presiden Indonesia ini untuk memberikan pengaruh dan imbauan yang menenteramkan pada cara berpikir Barat yang hitamputih itu. Di Belgrado pada tahun 1961 itu, telah disetujui untuk mengutus Perdana Menteri Nehru (India) dan Nkawe Nkrumah Presiden Ghana mengunjungi Nikita Khurschev di Kremlin, Soekarno dan Presiden Modibo Keita dari Mali ke JFK di Washington, untuk mendesak kedua pemimpin dunia itu agar mereka lebih baik saling mendengarkan ketimbang berprasangka atau apriori bahwa hanya salah satu pihak yang benar partai menang dalam ‘perang dingin’ ini.

Saya mendapat kesan bahwa pada tahun 1999 ini, pendapat umum di Indonesia adalah pro-NAVO dan pro-Amerika terhadap apa yang terjadi di Yugoslavia dan Kosovo. Dalam suatu percakapan dibawah empat mata, saya bertanya kepada Menteri Luar Negeri Ali Alatas, mengapa blok negaranegara non blok, di mana juga Soeharto berada dalam arus pendahulunya ingin selalu memainkan peran yang penting, tetapi pada saat Belgrado dalam bahaya besar, dia membisu seribu bahasa. Dengan kata-kata yang dipilih dengan amat seksama, Alatas menjelaskan bahwa soal Kosovo benar-benar dibicarakan di belakang pintu tertutup di antara negara-negara kelompok Asia-Afrika dan Amerika Latin, tetapi setiap diskusi selalu diakhiri dengan perbedaan yang tajam. Negaranegara Islam sangat peduli dengan nasib yang menimpa Kosovo. Itulah sebabnya setiap usaha untuk menengahi dari negara-negara blok yang justru memelopori sikap untuk selalu berunding dalam mencari penyelesaian, dalam hal ini ditakdirkan pasti akan kandas. Mendengar penjelasan Alatas, saya menyadari dengan makin jelas bahwa konflik

Kosovo sebenarnya adalah perang agama, sama seperti yang terjadi di Irlandia. Satu alasan yang seharusnya diketahui Tony Blair sebelumnya bahwa affair seperti itu tidak dapat diselesaikan dengan bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat tempur dari ketinggian 4,5 km agar dirinya sendiri tidak terkena.

Saya bercerita kepada Alatas, dulu saya pernah mengadakan percakapan dengan sekretaris jenderal PBB, U Thant dari Birma. Waktu itu perang Korea telah selesai. Dan perang Vietnam sedang berkecamuk. ‘Dunia kembali ke abad pertengahan’, kata U Thant, Umat Kristen Eropa berangkat berkuda ke Istambul untuk membunuh sebanyak mungkin orang Islam atas nama Tuhannya Yang Maha Esa. Amerika juga melakukan perang agama di Vietnam. Pesan Soekarno, seperti yang saya pahami adalah sama. Dunia akan hancur lagi bila negara-negara Barat yang kaya dengan alat-alat perang termodern yang menakjubkan, masih tetap berpegang pada demokrasi - kami - seratus - persen - benar.


Tanpa malu-malu negara-negara Barat menulis, Kosovo sebenarnya adalah kebun percobaan untuk arsenal senjata NAVO yang paling baru. Contohnya, di atas daerah yang diperebutkan secara permanen ditempatkan selusin pesawat mata-mata berupa Robot Predator. Semula para militer Yugoslavia menyergap ke arah pesawat-pesawat terbang yang tidak berawak itu, sampai mereka menyadari setelah beberapa menit bahwa kehadirannya mengawali hujan bom yang jatuh. Milosovic telah menembak 24 pesawat seperti itu.23) Yang tidak dapat dimengerti adalah reaksi negara-negara NAVO dengan mereka menembakkan cruise-misileg NAVO. Pada waktu itu di negeri Belanda, setengah juta orang turun ke jalan untuk memprotes perencanaan ditempatkannya benda-benda ‘aneh’ tersebut dalam batas-batas kerajaan. Tetapi, pada tahun 1999 ketika proyektil-proyektil yang sama itu ditembakkan ke arah Yugoslavia, publik sama sekali tidak memberikan reaksi. Malah tidak lagi mendiskusikannya. (Bersambung ke Bagian Kedua)

Memoir: Kunang-Kunang Masa Kanak



oleh Sulaiman Djaya (penyair)

Masa kanak adalah masa ketika aku akrab dengan bahasa alam, bahasa yang kualami dan kuakrabi sebagai bagian dari kegembiraan apa adanya. Bermain dengan para binatang seperti mencandai para jangkerik, menculik mereka dari tanah-tanah di pematang-pematang sawah, atau mengejar para belalang selepas hujan dan di kala gerimis masih bernyanyi, dan diantara mereka yang menjadi binatang malam kesukaanku adalah Kunang-Kunang.

Bagiku Kunang-Kunang adalah sebuah pertanda tentang kesunyian yang bahagia di kala malam, cahaya-cahaya mungil yang memecah keheningan dan kegelapan, meski tak semua Kunang-Kunang memiliki cahaya di tubuh mereka.

Sahabat-sahabat masa kanak dan masa remajaku itu kini tak lagi kujumpai, sejak deru dan bising mesin menjadi bagian dari kehidupan keseharian, dan cerobong-cerobong asap industry kertas telah mengotori udara, dan mereka pun kini hanya tinggal ingatan dan kenangan saja.

Namun ada masa-masa ketika aku setia menanti kedatangan dan kehadiran mereka di kala magrib dan isya menjelma menjadi keheningan yang kental. Aku berdiri di depan pintu dan mengarahkan kedua mataku ke arah jalan yang berdempetan dengan sungai, yang seakan saling menenggelamkan diri dalam kesunyian, dalam senyap kebisuan yang memanen keakraban yang tak kupahami, di masa-masa ketika belum ada lampu-lampu bohlam dan neon seperti sekarang.

Kadang aku memandangi mereka dari pintu dapur, dan mereka kulihat berkerumun di atas pematang-pematang sawah, di antara lalang dan pohon-pohon yang berselimutkan kegelapan, mengetam keheningan sebagai tafakkur semesta: sebuah rahim puisi.

Aku selalu menyukai cara mereka berpindah-pindah tempat di setiap malam, seakan ingin mempermainkanku yang memang selalu bahagia dengan kehadiran mereka di saat malam, di saat aku merasa kesepian sebagai bocah dan lelaki remaja yang tak memiliki penghiburan di pedesaan.

Barangkali, pada saat itu, mereka sedang mengajariku secara langsung untuk bersikap intim kepada apa yang ada dan hadir di sekitar keberadaanku. Katakanlah sebuah tamsil untuk direnungkan, tapi itu kesadaran yang baru kumengerti saat ini, bukan saat itu, sebuah kesadaran post factum yang terpikirkan kemudian, setelah kenyataan dan peristiwa hanya sekedar menjadi ingatan dan kenangan yang berusaha direkonstruksi ulang menjadi sebuah fiksi.

Adakalanya mereka hadir selepas hujan senja pergi ke balik malam, dan seolah-olah mereka ingin menerangi hamparan kegelapan yang dingin dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka, yang bagiku tampak berkelap-kelip seperti tebaran-tebaran bintang di angkasa nun jauh di atas kepalaku yang gaib bila hujan telah usai mengguyur rumah, halaman, dan pematang-pematang sawah, juga pohon-pohon dan lalang-lalang liar.

Mereka memberiku sensasi dan pencerapan keindahan bagi kedua mataku dan bagi sepi, juga sunyi hatiku yang acapkali dilanda rasa jenuh dan bosan yang hadir dan datang tanpa kuduga, bagi seorang bocah dan remaja yang hidup di pedesaan yang tak memiliki banyak aktivitas di waktu malam selain mengerjakan PR yang diberikan oleh guru-guruku di sekolah.

Aku jenuh dan bosan bila hanya bertemankan selampu minyak di meja belajarku, dan karena itulah aku akan membuka pintu dan menanti kedatangan mereka.

Kadangkala aku berjalan keluar ke dekat kebun, di dekat barisan tanaman Rosella yang ditanam dan dirawat ibuku di belakang dan di samping rumah, atau ke halaman di depan rumah, tergantung di mana ketika itu mereka berada dengan cahaya-cahaya foton di tubuh mereka yang mungil, lembut dan terang itu, agar aku dapat melihat mereka dari dekat.

Dan pernah suatu kali seekor kunang-kunang mendekatiku, hinggap di pundakku, yang tak ayal lagi membuatku menjadi bahagia dan merasa akrab dan intim karenanya. Kebahagiaan dan kegembiraan yang hanya kumengerti ketika itu.

Aku kira keintiman dan keakrabanku secara bathin dengan mereka memang tak lain sebuah ikhtiar untuk memerangi kesepian dan kesunyianku sendiri sebagai seorang bocah dan lelaki remaja di masa-masa itu. Aku intim dan akrab dengan mereka sebelum perangkat tekhnologi informasi dan internet atau perangkat-perangkat gadget merebut keintimanku pada alam dan kesekitaran keseharian yang polos dan bersahaja.

Aku tak hendak memberikan penilaian atau tuduhan, hanya saja memang, relung-relung bathinku terasa bebal, seperti kehilangan kepekaan dan keakraban yang tulus dan jujur sejak tak lagi bercengkerama dan mengintimi mereka.

Mungkin kau akan menganggapku berlebihan dan mengada-ada ketika aku mengatakan hal ini, tetapi tidak, karena aku bicara apa adanya, sebagai seseorang yang bertahun-tahun hidup di pedesaan yang sepi dan tak mengenal hingar-bingar kehidupan kota. Di masa-masa ketika deru dan bising mesin belum menjadi keseharian kehidupan seperti sekarang ini.

Memang, aku tak hanya merasa akrab dengan Kunang-Kunang, sebab di waktu pagi, siang, dan di kala senja, aku juga acapkali mendapatkan rasa nyaman ketika memandangi kerumunan para Capung yang menggetarkan sayap-sayap mereka dengan samar, namun keindahan Kunang-Kunang karena mereka memiliki cahaya mungil yang terang di tubuh-tubuh mereka, cahaya yang bagiku terlihat lembut dan puitik, yang seperti telah kukatakan, mirip tebaran bintang-bintang di angkasa malam yang jauh, dan karena itulah Kunang-Kunang adalah bintang-bintang yang hadir di Bumi, setidak-tidaknya bagiku.

Teater Puisi Tragedi Karbala Bagian Kedua: Revolusi Mukhtar




Abad-abad gelap sejarah Islam jatuh dalam tirani dan berlumur darah. Orang-orang suci dan saleh dibantai oleh para tiran yang haus kuasa. Agama diperjual-belikan dalam hiruk-pikuk transaksi politik dan kekuasaan para dinasti-dinasti Arab yang berpaham sukuisme. Klanisme yang picik. Pada masa-masa itu, Hussain bin Ali, sang cucu Muhammad saw, sang Nabi Islam, bangkit untuk menyalakan kembali cahaya yang padam.

Bangkitlah! karena kegetiran padang kering kerontang
telah tiba. Kisah ini adalah ungkapan hati
yang pedih terbakar. Bangkitlah….
karena pentas Nainawa telah digelar
Lembaran tahun Syamsiah dan Qamariah

telah menghampiri. Seruling duka telah mengalun
dan Arasy menangis di semesta alam
yang penuh cerita duka ini…………………….

Kabar dipenggalnya secara keji Imam Hussain di Karbala telah sampai ke Timur dan Barat. Bersamaan dengan itu, kaum fasis dan kaum zalim serta kaum munafik yang membajak Islam gembira dengan terbunuhnya sang cucu Muhammad Al-Mustafa itu, tetapi kaum muslim dan kaum mukmin yang sejati berduka.

Adalah Mukhtar At-Tsaqafi salah-satu mukmin yang hatinya terbakar dan berduka dengan berita tersebut.

Sang Nemesis (Sang Dewa yang menghukum kaum zalim) yang bernama Mukhtar At-Tsaqafi yang terbakar karena berita terpenggal-nya Imam Hussain oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad yang merupakan gubernur kesayangan Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan di Bashrah dan Kufah itu, berjanji akan melakukan revolusi untuk melawan tirani dan fasisme Yazid bin Muawwiyah yang terkutuk.

Ketika itu posisi Mukhtar At-Tsaqafi adalah tahanan Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan yang terkutuk, sehingga tak ada yang bisa ia lakukan ketika terjadi pembantaian Imam Hussain di Karbala.

Sesaat beberapa lama kemudian akhirnya Mukhtar At-Tsaqafi berhasil dibebaskan atas bantuan Abdullah bin Umar. Lantas setelah itu Mukhtar langsung bergegas menyusun rencana revolusi dan perlawanan. Dalam salah satu taktik perang yang digunakan Mukhtar, ia menyerukan sandi Ya Litsarat Al-Hussain untuk menyalakan api revolusi dan perlawanan terhadap tirani dan fasisme Yazid bin Muawwiyah bin Abu Sufyan yang membajak Islam, yaitu suatu tanda sudah disepakatinya untuk melakukan revolusi, mirip ketika Muhammad Saaw dan minoritas muslim yang diagressi dan diserang saat Perang Badar yang menggunakan sandi Ya Manshur Ahmad, di mana dalam Perang Badar itu komandan-nya adalah Imam Ali bin Abi Thalib.

Setelah beberapa pertempuran dilewati dan dimenangi pasukannya, Mukhtar pun berhasil meng-qishash Syimr bin Dzil Jausyan, orang yang telah memenggal kepala Imam Hussain di Karbala. Dan tentu saja, ceritanya tak hanya sampai di sini, sebab dari pihak lawan banyak di antara mereka yang tidak menyukai kebijakan politik Mukhtar At-Tsaqafi yang egaliter dan melenyapkan politik rasialis yang dianut Bani Umayyah dan para sekutunya.

Singkat cerita dalam suatu perperangan akhirnya Mukhtar At-Tsaqafi terbunuh oleh Mush’ab bin Zubair yang merupakan saudara dari Ibnu Zubair, orang yang menyimpan dendam kesumat kepada keturunan Imam Ali bin Abi Thalib.

Setelah berhasil membunuh Mukhtar At-Tsaqafi, Mush’ab bin Zubair memerintahkan untuk menangkap Umrah bin Nu’man, istri Mukhtar At-Tsaqafi. Wanita ini adalah wanita yang beriman, salehah, penuh tata-krama, mulia, dan keturunan terhormat.

Mush’ab bin Zubair memintanya untuk mengingkari suaminya, tapi ia berkata, “Bagaimana mungkin engkau menyuruhku untuk mengingkari seorang lelaki yang berkata bahwa Tuhannya adalah Allah, berpuasa pada siang hari, bangun pada malam hari. Dia telah memasrahkan hidupnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dia menuntut balas atas kematian cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussain bin Ali”.

Mush’ab berkata dengan nada mengancam, “Kalau begitu engkau akan menyusul suamimu”. Wanita itu menjawab, “Gugur sebagai syahid adalah lebih mulia daripada dunia dan seisinya”. Akhirnya Mush’ab bin Zubair memutuskan untuk membunuh Umrah dengan cara dipengggal lehernya. Dialah wanita pertama sepanjang sejarah Islam yang dipenggal lehernya karena kesabarannya.

Teater Puisi Tragedi Karbala Bagian Pertama: Epik Abul Fadhl Abbas



“Perahu keluarga Al-Musthafa telah tenggelam
di lautan darah; Awan kekafiran yang hitam
telah menutupi matahari; Pelita Nabi telah tertiup mati
oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah”

(Muhammad Muhsin, 1709-1750) 

Ratusan tahun silam, setelah peristiwa paling keji dalam sejarah manusia, seorang pengembara menyenandungkan sebuah syair (puisi), sementara kedua matanya menangis karena ia terlampau tenggelam menghayati dan memaknai peristiwa itu:

“Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”.

Ia yang kehilangan tangannya (karena tebasan pedang musuh) yang diseru dalam sajak itu adalah Abul Fadhl Abbas (as). Abul Fadhl Abbas as adalah seorang ksatria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar Bani Hasyim).

Ia juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris.

Dalam peperangan dan perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh musuh-musuhnya yang tak mengenal belas kasihan, para musuh yang menyerupai begundal-begundal ISIS saat ini, dan memang para musuhnya itu adalah leluhurnya ISIS dan kaum zalim saat ini.

Sang Purnama Bani Hasyim itu adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka, hingga ia demikian tersayat menakala mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah ia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak ia gunakan untuk membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as.

Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya itu, yang bisa ia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat ia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di tangannya.
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang ia ucapkan kepada pemimpinnya itu adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama Bani Hasyim ini membuat hati kakaknya, yang adalah junjungan dan pemimpinnya, yaitu Imam Husain as, luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”

Saat itulah, sang pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, juga berkata, “Cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak (di tenda) yang kehausan itu.”

Sang ksatria yang perwira itu pun lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati ia sendiri tahu bahwa apa yang akan ia katakan itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap pemimpin dan junjungannya, yang adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air.

Kala itulah hatinya merintih dan merasa bersalah, dan sembari menatap langit, bibirnya berucap: “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air untuk anak-anak yang kehausan di tenda itu.”

Ia pun kemudian meraih tombak dan memacu kudanya dengan membawa qirbah (kantung air dari kulit) menuju Sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu ia tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya, ke arah adik Imam Husain as, yang rupawan dan perkasa tersebut.

Meskipun demikian, pemandangan yang ada di depan kedua matanya itu tak membuatnya gentar. Saat beberapa anak panah melesat ke arahnya, ia segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang yang ia ayunkan dengan tangkas itu berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kudanya bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda, dan penjagaan sungai Eufrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar dan jawara pilih tanding yang perwira dan teguh itu.

Meski kala itu ia sendiri menahan letih dan rasa haus yang mencekik kerongkongannya, ia turun ke Sungai Eufrat dengan kudanya. Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, ia teringat kepada pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, dan kerabatnya di tenda yang ia tinggalkan yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.

Air yang telah tertampung telapak tangannya itu langsung ia tumpahkan sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku, Husain, sedang kehausan.”

Ia kemudian berusaha pulang dan kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam Husain as dan kerabatnya yang kehausan di tenda yang ia tinggalkan itu. Namun, perjalanannya segera dihadang musuh.

Saat itulah pasukan musuh yang dikomandoi Umar bin Sa’ad menyerangnya dengan garang, dan ia dikepung dalam keadaan sendiri tanpa satu prajurit dan pembela bersamanya.

Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya tanpa ampun atau belas kasihan sedikit pun. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya ia ayunkan pedang di tangannya itu hingga menyambar musuh-musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa, tegar, dan perwira itu.

Menyaksikan kehebatan dan ketangguhannya yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma.

Saat ia lewat itulah, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanannya pun putus dan terpisah dari tubuhnya. Segera, saat itu, dengan ketangkasannya yang tak berkurang, tangan kirinya menyambar qirbah air dan pedang miliknya.

Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tumbang dan kehilangan nyawa mereka. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”

Ia tetap berusaha bertahan dan menyerang meski tubuhnya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sembari mengayunkan pedangnya ke arah bahunya. Ia pun tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Muhammad, sang Nabi Islam, yang sedang kehausan itu akhirnya pupus.

Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain as dari lain ibu ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan sampai ke tujuannya itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapannya yang berkurban dalam keadaan sebatang kara. Yah, ia adalah ‘Sang Ksatria Sebatang Kara’.

Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya. Saat itu ia pun terjungkal dari atas kudanya sembari mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih tersisa, ia berucap lagi untuk pemimpin dan junjungannya, Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapannya ini secara ajaib terdengar oleh pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, hingga Imam Husain as pun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kudanya yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”

Imam Husain as lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan matanya dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam Husain as melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam Husain as pun tak kuasa menahan duka. Ia menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Demikian ratap putera Fatimah dan Ali itu sambil memeluk Abul Fadhl Abbas, adiknya dari lain ibu, yang telah gugur dan syahid sebagai ‘Sang Ksatria Sebatang Kara’ itu.

Di tengah isak tangisnya, Imam Husain juga berucap kepada adiknya itu: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”

Jasad Abul Fadhl Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Sang Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abul Fadhl Abbas itu semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga ia semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.

Abul Fadhl Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Sang Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?”

Pertanyaan Sukainah itu nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian Sang Imam berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga.”

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sukainah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!” “Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!” Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abul Fadhl Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”

Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”.