Label

Teater Puisi Tragedi Karbala Bagian Pertama: Epik Abul Fadhl Abbas



“Perahu keluarga Al-Musthafa telah tenggelam
di lautan darah; Awan kekafiran yang hitam
telah menutupi matahari; Pelita Nabi telah tertiup mati
oleh angin yang dibawa orang-orang Kufah”

(Muhammad Muhsin, 1709-1750) 

Ratusan tahun silam, setelah peristiwa paling keji dalam sejarah manusia, seorang pengembara menyenandungkan sebuah syair (puisi), sementara kedua matanya menangis karena ia terlampau tenggelam menghayati dan memaknai peristiwa itu:

“Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”.

Ia yang kehilangan tangannya (karena tebasan pedang musuh) yang diseru dalam sajak itu adalah Abul Fadhl Abbas (as). Abul Fadhl Abbas as adalah seorang ksatria yang berperawakan tinggi, tegap, dan kekar. Dadanya bidang dan wajahnya putih berseri. Sedemikian elok dan rupawannya fisik Abul Fadhl Abbas, hingga adik Imam Husain as dari lain ibu ini tenar dengan julukan ‘Purnama Bani Hasyim’ (Qamar Bani Hasyim).

Ia juga dikenal sebagai pemegang panji Karbala. Keberanian, kehebatan, dan kekuatannya saat itu tak tertandingi oleh siapapun. Sebagai manusia yang tumbuh besar di tengah binaan keluarga suci dan mulia, dia memiliki keteguhan dan kesetiaan yang luar biasa kepada kepemimpinan dalam untaian figur-figur utama Ahlul Bait as. Perjuangan di Karbala telah menyematkan namanya dalam sejarah sebagai salah satu pahlawan yang sangat legendaris.

Dalam peperangan dan perjuangan yang menyakitkan di Karbala itu, kedua tangannya telah dipotong oleh musuh-musuhnya yang tak mengenal belas kasihan, para musuh yang menyerupai begundal-begundal ISIS saat ini, dan memang para musuhnya itu adalah leluhurnya ISIS dan kaum zalim saat ini.

Sang Purnama Bani Hasyim itu adalah pria dewasa yang perasaannya dikenal sangat peka, hingga ia demikian tersayat menakala mendengar ratapan kehausan dan tumpahnya darah para pahlawan Karbala. Saat itulah ia semakin merasakan tidak ada gunanya hidup bila tidak ia gunakan untuk membela junjungan dan pemimpinnya, Imam Husain as.

Namun, selama terjadi peperangan yang menggugurkan satu persatu dari sahabat dan kerabatnya itu, yang bisa ia nantikan hanyalah menanti instruksi Sang Imam. Dan saat ia mendapat instruksi itu, banyak diantara pasukan musuh yang harus bergelimpangan di tangannya.
Dalam penantian instruksi dari saudara sekaligus pemimpinnya itu, kata-kata yang ia ucapkan kepada pemimpinnya itu adalah: “Kakakku, sudahkah engkau mengizinkan aku?” Pernyataan Sang Purnama Bani Hasyim ini membuat hati kakaknya, yang adalah junjungan dan pemimpinnya, yaitu Imam Husain as, luluh sehingga menangis tersedu dan berkata: “Adikku, engkau adalah pengibar panjiku dan lambang pasukanku.”

Saat itulah, sang pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, juga berkata, “Cobalah engkau carikan seteguk air untuk anak-anak (di tenda) yang kehausan itu.”

Sang ksatria yang perwira itu pun lantas mendatangi kelompok Bani Umayyah dan mencoba menasihati mereka kendati ia sendiri tahu bahwa apa yang akan ia katakan itu tidak akan mereka dengar. Setelah terbukti nasihat itu sia-sia, dia kembali menghadap pemimpin dan junjungannya, yang adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, dan mendengar jerit tangis anak-anak kecil yang kehausan meminta dibawakan air.

Kala itulah hatinya merintih dan merasa bersalah, dan sembari menatap langit, bibirnya berucap: “Tuhanku, Junjunganku, aku berharap dapat memenuhi janjiku, aku akan membawakan satu qirbah (wadah) air untuk anak-anak yang kehausan di tenda itu.”

Ia pun kemudian meraih tombak dan memacu kudanya dengan membawa qirbah (kantung air dari kulit) menuju Sungai Eufrat yang seluruh tepinya dijaga oleh sekitar empat ribu pasukan musuh. Begitu ia tiba di dekat sungai itu, pasukan musuh itu segera mengepungnya sambil memasang anak panah ke busurnya, ke arah adik Imam Husain as, yang rupawan dan perkasa tersebut.

Meskipun demikian, pemandangan yang ada di depan kedua matanya itu tak membuatnya gentar. Saat beberapa anak panah melesat ke arahnya, ia segera berkelit dan bergerak tangkas menyerang musuh. Sekali terjang, pedang yang ia ayunkan dengan tangkas itu berhasil membabat nyawa sejumlah pasukan. Kemana pun kudanya bergerak, gerombolan musuh bubar dan porak poranda, dan penjagaan sungai Eufrat yang berlapis-lapis pun jebol diterjang sang pendekar dan jawara pilih tanding yang perwira dan teguh itu.

Meski kala itu ia sendiri menahan letih dan rasa haus yang mencekik kerongkongannya, ia turun ke Sungai Eufrat dengan kudanya. Mula-mula ia berusaha cepat-cepat mengisi qirbahnya dengan air. Setelah itu ia meraih air dengan telapak tangannya untuk diminumnya. Namun, belum sempat air itu menyentuh bibirnya, ia teringat kepada pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, dan kerabatnya di tenda yang ia tinggalkan yang sedang kehausan menantikan kedatangannya.

Air yang telah tertampung telapak tangannya itu langsung ia tumpahkan sambil berucap: “Demi Allah aku tidak akan meneguk air sementara junjunganku, Husain, sedang kehausan.”

Ia kemudian berusaha pulang dan kembali dengan menempuh jalur lain melalui tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kurma agar air yang dibawanya tiba dengan selamat ke tangan Imam Husain as dan kerabatnya yang kehausan di tenda yang ia tinggalkan itu. Namun, perjalanannya segera dihadang musuh.

Saat itulah pasukan musuh yang dikomandoi Umar bin Sa’ad menyerangnya dengan garang, dan ia dikepung dalam keadaan sendiri tanpa satu prajurit dan pembela bersamanya.

Pasukan yang menghadang di depannya adalah pasukan pemanah yang sudah siap melepaskan sekian banyak anak panah untuk mencabik-cabik tubuhnya tanpa ampun atau belas kasihan sedikit pun. Namun, sebelum menjadi sarang benda-benda tajam beracun itu, dengan tangkasnya ia ayunkan pedang di tangannya itu hingga menyambar musuh-musuh yang ada di depannya. Sejurus kemudian kepungan musuh kembali porak-poranda diobrak-abrik sang pendekar yang perkasa, tegar, dan perwira itu.

Menyaksikan kehebatan dan ketangguhannya yang tidak bisa dipatahkan dengan berhadapan langsung itu, beberapa pasukan penunggang kuda ahli diperintahkan untuk bekerjasama menghabisinya dengan cara menyelinap dan bersembunyi di balik pepohonan kurma.

Saat ia lewat itulah, dua pasukan musuh bernama Zaid bin Warqa dan Hakim bin Tufail yang juga bersembunyi di balik pohon segera muncul sambil menghantamkan pedangnya ke tangannya. Tanpa ampun lagi, tangan kanannya pun putus dan terpisah dari tubuhnya. Segera, saat itu, dengan ketangkasannya yang tak berkurang, tangan kirinya menyambar qirbah air dan pedang miliknya.

Dengan satu tangan dan sisa-sisa tenaga itu, ia masih bisa membalas beberapa orang pasukan hingga tumbang dan kehilangan nyawa mereka. Saat itu ia sempat berucap: “Demi Allah, walaupun tangan kananku telah kalian potong aku tetap akan membela agamaku, membela Imam yang jujur, penuh keyakinan, dan cucu Nabi yang suci dan terpercaya.”

Ia tetap berusaha bertahan dan menyerang meski tubuhnya sudah lemah akibat pendarahan. Dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sembari mengayunkan pedangnya ke arah bahunya. Ia pun tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk anak keturunan Muhammad, sang Nabi Islam, yang sedang kehausan itu akhirnya pupus.

Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain as dari lain ibu ini mencoba meraih kantung (qirbah) air-nya dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan sampai ke tujuannya itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapannya yang berkurban dalam keadaan sebatang kara. Yah, ia adalah ‘Sang Ksatria Sebatang Kara’.

Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dadanya. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubunnya. Saat itu ia pun terjungkal dari atas kudanya sembari mengerang kesakitan dan berteriak : “Hai kakakku, temuilah aku!” Dengan sengalan nafas yang masih tersisa, ia berucap lagi untuk pemimpin dan junjungannya, Imam Husain as: “Salam atasmu dariku, wahai Abu Abdillah.”

Suara dan ratapannya ini secara ajaib terdengar oleh pemimpin dan junjungannya, yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Imam Husain as, hingga Imam Husain as pun beranjak ke arahnya sambil berteriak-teriak: “Di manakah kamu?” Imam Husain as tiba-tiba dikejutkan oleh kudanya yang diberi nama Dzul Janah itu. Secara ajaib kuda itu dapat berucap: “Hai junjunganku, adakah engkau tidak melihat ke tanah?”

Imam Husain as lantas melihat ke tanah dan tampaklah di depan matanya dua pasang tangan tergeletak di atas tanah. Tangan yang dikenalnya segera diraih dan dipeluknya. Tak jauh dari situ pula, Imam Husain as melihat tubuh adiknya yang tinggi besar itu tergeletak dalam keadaan penuh luka bersimbah darah. Imam Husain as pun tak kuasa menahan duka. Ia menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. “Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Demikian ratap putera Fatimah dan Ali itu sambil memeluk Abul Fadhl Abbas, adiknya dari lain ibu, yang telah gugur dan syahid sebagai ‘Sang Ksatria Sebatang Kara’ itu.

Di tengah isak tangisnya, Imam Husain juga berucap kepada adiknya itu: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”

Jasad Abul Fadhl Abbas yang tak bertangan itu ternyata masih bernyawa. Mulutnya bergetar dan kemudian bersuara lirih: “Kakakku, tolong jangan engkau bawa aku ke tenda sana. Sebab, selain aku telah gagal memenuhi janjiku untuk membawakan air kepada anak-anak kecil itu, aku adalah pemegang panji sayap tengah. Jika orang-orang di perkemahan sana tahu aku telah terbunuh, maka ketabahan mereka akan menipis.”

Imam Husain as kembali mendekap erat-erat kepada adiknya yang bersimbah darah itu. Air mata Abul Fadhl Abbas yang mengalir beliau usap. “Mengapa engkau menangis?” Tanya Sang Imam. “Wahai kakakku, wahai pelipur mataku. Bagaimana aku tidak akan menangis saat aku melihatmu mengangkat kepalaku dari tanah dan merebahkanku dalam pangkuanmu, sementara tak lama lagi tidak akan ada seorang pun yang akan meraih dan mendekap kepalamu, tidak ada seorangpun yang akan membersihkan debu-debu dan tanah di wajahmu.”

Kata-kata Abul Fadhl Abbas itu semakin meluluhkan hati Imam Husain as sehingga ia semakin terbawa derai isak dan tangis haru sambil bersimpuh di sisi adiknya tanpa mempedulikan sengat terik mentari yang membakar. Dengan hati yang pilu Sang Imam mengucapkan salam perpisahan kepada tulang punggung pasukannya yang sudah tak berdaya itu lalu beranjak pergi dengan langkah kaki yang berat.

Abul Fadhl Abbas pun gugur tergeletak bermandi darah, debu, dan air mata di bawah guyuran cahaya panas mentari sahara. Begitu tiba di tenda tempat beliau tinggal, Sang Imam yang masih tak kuasa membendung derai air mata duka segera disambut dengan pertanyaan dari puterinya, Sukainah. “Ayah, bagaimanakah dengan nasib pamanku? Bukankah dia telah berjanji kepadaku untuk membawakan air, dan bukankah dia tidak mungkin ingkar janji?”

Pertanyaan Sukainah itu nampak sulit untuk dijawab ayahnya. Hanya isak tangis yang segera menjawabnya, sebelum kemudian Sang Imam berkata dengan suara meratap pilu: “Puteriku, sesungguhnya paman sudah terbunuh, tetapi ketahuilah bahwa arwahnya sudah bersemayam di dalam surga.”

Berita pilu ini tak urung segera disusul dengan gemuruh tangis dan ratapan pedih Sukainah, Zainab Al-Kubra, dan wanita-wanita lain di sekitarnya. “Oh Abbas!” “Oh, saudaraku!” “Habislah sudah sang penolong!” “Betapa pedihnya nanti bencana sesudah kepergianmu!” Sang Imam sendiri tetap tak kuasa menahan duka lara kepergian Abul Fadhl Abbas yang telah menjadi perisai tangguh kelompoknya. “Oh Abbas, oh adikku, oh buah hatiku, kini kami benar-benar telah kehilangan dirimu. Patah sudah tulang punggungku. Lemah sudah strategiku. Punah sudah harapanku.”

Di sebuah tenda seorang memuji dan menyeru Tuhannya, seorang anak kecil dengan bibir kehausan menyeru Tuhannya. Oh tangan! Mengapa? Mengapa engkau jatuh dari tuanmu, serombongan kafilah kehausan hanya menginginkanmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar