Oleh Muhammad Tijani as Samawi
Berikut ceritanya secara ringkas:
Dua hari menjelang wafatnya Rasulullah,
beliau telah siapkan sebuah pasukan untuk memerangi Roma. Usamah bin Zaid yang
saat itu berusia delapan belas tahun diangkat sebagai komandan pasukan perang.
Tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu
Ubaidah dan sahabat-sahabat besar lainnya diperintahkan untuk berada di bawah
pasukan Usamah ini. Sebagian mereka mencela pengangkatan Usamah. Mereka
berkata, "Bagaimana Nabi bisa menunjuk seorang anak muda yang belum tumbuh
janggut sebagai komandan pasukan kami?"
Sebelum itu mereka juga pernah mencela
pengangkatan ayahnya oleh Nabi. Sedemikian rupa mereka memprotes Nabi SAW
sampai beliau SAW marah sekali. Dengan kepalanya yang terikat karena deman
panas yang dideritanya, Nabi keluar dipapah oleh dua orang dalam keadaan dua
kakinya yang terseret-seret menyentuh bumi. Nabi naik ke atas mimbar, memuji Allah
dan bertahmid padaNya. Sabdanya: "Wahai muslimin, apa gerangan kata-kata
sebagian di antara kalian yang telah sampai ke telingaku berkenaan dengan
pengangkatanku Usamah sebagai pemimpin. Demi Allah, jika kamu kini mengecam
pengangkatannya; sungguh hal itu sama seperti dahulu kamu telah mengecam
pengangkatanku terhadap ayahnya sebagai pemimpin. Demi Allah, sesungguhnya ia
amat layak memegang jabatan kepemimpinan itu. Begitu juga puteranya -setelah
ia- sungguh amat layak untuk itu.” (Thabaqat Ibnu Sa'ad jil.2 hal.l90; Tarikh
Ibnu Atsir Jil. 2 hal. 317; Sirah al-Halabiyah jil. 3 hal. 207;Tarikh Thabari
jil. 3 hal 226).
Kemudian beliau mendesak mereka untuk
segera berangkat. Katanya: "Siapkan pasukan Usamah. Lepaskan pasukan
Usamah. Berangkatlah Sariyyah (Ekspedisi) Usamah." Beliau mengulang-ulang
ucapannya seperti itu, tapi mereka tetap enggan dan bermalas-malasan di Jurf.
Sikap seperti ini mendorongku untuk bertanya, alangkah beraninya mereka
terhadap Allah dan RasulNya? Kenapa harus durhaka terhadap Nabi SAW yang begitu
kasih dan sayang pada kaum mukminin? Aku tidak dapat membayangkan, begitu juga
orang lain, tafsiran apa yang bisa membenarkan pelanggaran dan pengabaian
seperti ini?
Seperti biasa, ketika membaca
peristiwa-peristiwa yang menyentuh tentang kemuliaan para sahabat, maka aku
berusaha untuk tidak mempercayainya terlebih dahulu. Namun bagaimana mungkin
aku dapat mendustakannya sementara ahli sejarah dan ahli hadis, Sunni dan
Syi'ah, telah meriwayatkannya secara ijma'. Aku telah berjanji pada Tuhanku
untuk bersikap adil dan jujur. Aku tidak boleh bersikap fanatisme pada
mazhabku. Aku harus meletakkan kebenaran semata-mata sebagai ukuran. Dan memang
kebenaran adalah pahit seperti yang dikatakan. Nabi bersabda, "Katakanlah
kebenaran walau untuk dirimu sekali pun; katakanlah kebenaran walau pahit
sekalipun." Dalam hal ini adalah sikap sejumlah sahabat yang telah
mengecam Nabi dalam pengangkatan Usamah sebagai pemimpin mereka, sebenarnya telah
menunjukkan sikap ketidakpatuhan mereka pada perintah Allah. Mereka telah
mengabaikan nas-nas yang sangat jelas yang tidak dapat diragukan lagi atau
ditakwilkan. Mereka tidak mempunyai alasan dalam hal ini. Usaha sebagian orang
untuk menjaga kemuliaan sahabat atau salaf as-sholeh dengan mengajukan berbagai
alasan apologis sangatlah rapuh. Seorang yang rasional tidak dapat menerimanya,
melainkan mereka yang tidak memahami makna hadis tersebut, atau yang tidak
berpikir, atau mereka yang fanatisme buta yang tidak dapat membedakan antara
yang wajib dipatuhi dengan yang wajib dihindari.
Aku juga sering merenung kalau-kalau
bisa mendapatkan suatu jawaban yang memuaskan. Tapi sayang semua itu gagal
meyakinkanku. Aku baca alasan-alasan kelompok Sunni yang mengatakan bahwa
mereka yang menolak kepemimpinan Usamah sebenarnya adalah karena mereka
tokoh-tokoh dan pemuka-pemuka Qurasiy. Mereka adalah orang yang pertama memeluk
Islam sementara Usamah masih baru dan tidak pernah ikut serta dalam berbagai
peperangan yang menentukan seperti Perang Badar, Perang Hunain dan Perang Uhud.
Usamah juga waktu itu masih terlalu muda. Dan kebiasaannya jiwa orang-orang tua
tidak akan rela berada di bawah perintah anak muda. Itulah kenapa mereka
mengecam Nabi dalam pengangkatannya ini dengan maksud agar menggantikannya
dengan salah seorang tokoh sahabat lain. Alasan seumpama ini sama sekali tidak
bersandar pada dalil akal atau naql (syariat). Seorang muslim yang membaca Al
Quran dan mengetahui hukum-hukumnya akan menolak alasan ini. Karena Allah
berfirman: "... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al
Hasyr: 7). Juga firmannya: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata."
(QS. Al Ahzab: 36). Setelah adanya nash-nash yang jelas ini alasan apa yang
kiranya dapat diterima oleh orang-orang yang berakal. Apa yang harus kukatakan
kepada kaum yang telah menyebabkan Rasulullah marah sementara mereka tahu bahwa
Allah akan murka lantaran murkanya RasulNya. Mereka telah menuduhnya
"meracau" dan bertengkar di hadapannya, padahal "demi ayah dan
ibuku" baginda tengah sakit sampai mereka diusir dari kamarnya. Tidak
hanya sampai di situ. Yang sepatutnya mereka kembali ke jalan yang benar dan memohon
ampun kepada Allah atas apa yang telah mereka lakukan dan memohon kepada Rasul
agar memintakan ampunan bagi mereka seperti yang diajarkan oleh AlQuran, namun
mereka tetap melakukan protes terhadapnya tanpa mempedulikan kasih sayang yang
diberikannya pada mereka. Mereka tidak memberikan penghormatan yang sewajarnya
kepada baginda Nabi. Dua hari setelah tuduhan yang mereka lontarkan, mereka
kemudian mengecam pengangkatan Usamah sebagai pemimpin pasukannya sehingga
beliau terpaksa mendesak mereka keluar dengan keadaan yang menyedihkan seperti
yang dikatakan oleh para ahli sejarah.
Lantaran terlalu sakit, baginda tidak
dapat berjalan dan terpaksa diapit oleh dua orang. Kemudian beliau bersumpah
kepada Allah bahwa Usamah sebenarnya sangat layak dalam memimpin. Rasul juga
mengatakan bahwa sebelum ini mereka juga pernah mengecamnya karena mengangkat
Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan, agar kita tahu betapa sikap seperti
ini telah mereka lakukan jauh hari sebelum itu. Bukti-bukti ini menunjukkan
bahwa mereka sebenarnya bukan di antara orang-orang yang mudah bisa menerima
ketentuan Nabi dan berserah sepenuhnya kepadanya. Tetapi mereka tergolong di
antara orang-orang yang rela memprotes dan mengkritik walaupun ia bertentangan
dengan hukum-hukum Allah dan RasulNya. Bukti atas sikap protes mereka ini
adalah sikap mereka yang enggan pergi walaupun Nabi sendiri telah memberikan
bendera kepemimpinan kepada Usamah dan dengan nada marah menyuruh mereka segera
pergi berangkat. Demi ayah dan ibuku, mereka tidak juga pergi sampailah beliau
wafat dengan hati yang kesal atas sikap ummatnya yang dikhawatirkan kelak akan
berbalik ke belakang dan terjerumus ke neraka. Tiada yang akan selamat kecuali
sedikit sekali, bagaikan segelintir binatang ternak seperti yang diumpamakan
oleh Nabi.
Jika kita ingin jujur dalam melihat
peristiwa ini maka kita akan dapati bahwa Khalifah Kedua adalah tokoh yang
paling berperan di sini. Beliau datang menghadap Khalifah Abu Bakar setelah
wafatnya Rasulullah dan memintanya agar menyingkirkan Usamah serta menggantinya
dengan orang lain. Abu Bakar menjawab: "Wahai Ibnu Khattab, apakah kau
suruh aku menyingkirkannya sementara Rasulullah telah mengangkatnya?" Di
mana Umar dibandingkan dengan Abu Bakar yang mengetahui kebenaran ini? Ataukah
di sana ada rahasia tersendiri yang tidak diketahui oleh ahli-ahli sejarah.
Atau mungkin juga ada pihak lain yang menyembunyikannya lantaran ingin menjaga
"kemuliaan" sahabat, seperti yang mereka lakukan dalam mengganti
kalimat "yahjur" dengan kalimat "ghalabahul waja'”? Aku
juga heran dengan sikap para sahabat yang membangkitkan amarah Nabi pada hari
Kamis itu dan menuduhnya telah meracau serta berkata, "cukup bagi kita
Kitab Allah." Sementara Kitab Allah sendiri berfirman: "Katakanlah
jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad) kelak Allah
akan mencintai kalian" (Ali Imran: 31). Seakan-akan mereka lebih tahu
akan Kitab Allah daripada orang yang menerimanya sendiri. Lihatlah hanya
setelah dua hari dari tragedi yang menyayat hati itu dan dua hari sebelum hari
pertemuannya dengan Allah SWT mereka telah membangkitkan amarahnya lebih banyak
dengan mengecam pengangkatan Usamah dan tidak mematuhi perintahnya.
Jika dalam tragedi pertama baginda
terbaring sakit di atas tikarnya, tetapi di kali kedua ini Baginda terpaksa keluar
dengan kepala yang terikat dan badan yang berbalut selimut sambil berjalan
tertatih-tatih diapit oleh dua orang. Baginda naik ke atas mimbar dan
berkhutbah lengkap. Mula-mula memuji Allah dan mengucapkan Tahmid atas-Nya agar
menunjukkan kepada mereka bahwa dirinya tidaklah meracau. Kemudian
diberitahunya bahwa beliau sadar akan protes dan kecaman mereka. Diingatkannya
mereka dengan suatu peristiwa di mana mereka telah memprotesnya juga empat
tahun yang lalu. Apakah setelah itu mereka masih menganggap bahwa baginda
meracau dan tidak sadar apa yang diucapkannya? Maha Suci Engkau ya Allah dan
segala puji bagi-Mu. Bagaimana mereka begitu berani terhadap RasulMu, tidak
setuju dan menentang keras dengan perjanjian damai yang dilakukannya sehingga
beliau sebanyak tiga kali menyuruh mereka berkorban dan mencukur rambut
masing-masing tetapi tiada siapa pun yang mematuhinya. Di waktu lain mereka
tarik bajunya dan melarangnya menshalatkan jenazah Abdullah bin Ubay. Mereka
berkata kepada beliau: "Sesungguhnya Allah telah melarangmu menshalati
jenazah orang-orang munafik." Seakan-akan mereka mengajarkan apa yang
diturunkan Allah kepadanya. Padahal Allah berfirman dalam kitab-Nya: "...
Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Quran agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka"
(QS. An Nahl: 44) Dan firman-Nya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kitab kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu."
(QS. An Nisa: 105). Dan firman-Nya lagi: "Sebagaimana (Kami telah
menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayatayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (QS. Al Baqarah: 151) Aneh
memang terhadap mereka yang meletakkan diri mereka lebih tinggi dari diri
Rasulullah SAW. Kadang-kadang mereka tidak patuh pada perintahnya, atau
menuduhnya telah meracau, atau bertengkar di hadapannya tanpa adab, dan pada
tempat yang lain mengecam pemilihan Usamah sebagai pimpinan pasukan mereka
sebagaimana yang mereka lakukan terhadap ayahnya Zaid bin Haritsah sebelum itu.
Apa yang harus diragukan lagi oleh orang yang meneliti secara kritis bahwa
Syi'ah sebenarnya mempunyai alasan yang sangat kuat ketika mempertanyakan sikap
sebagian sahabat seumpama itu. Mereka memang lebih menghormati dan mencintai
Nabi SAW dan kerabat keluarganya.
Empat atau lima contoh yang kusebutkan
di atas hanya sebagian kecil dari fakta-fakta yang ada. Ulama-ulama Syi'ah
telah merincinya hingga ratusan di mana para sahabat telah mengabaikan
nash-nash yang nyata dan jelas. Mereka tidak berhujjah melainkan dengan riwayat
ulama-ulama Sunni sendiri dalam berbagai kitab shahih yang muktabar. Ketika
kuketahui sikap sebagian sahabat terhadap Rasulullah SAW adalah seperti itu,
aku kemudian merasa bingung dan heran. Sebagaimana aku juga heran melihat sikap
ulama-ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang menggambarkan kepada kita bahwa para
sahabat senantiasa dalam keadaan benar dan tidak boleh dikritik. Ini berarti
mereka tidak mengizinkan seorang peneliti untuk sampai kepada suatu kebenaran,
dan membiarkan mereka terus tenggelam dalam suasana pemikiran yang
kontradiktif. Aku ingin membawa beberapa contoh sebagai tambahan, yang kiranya
akan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang sahabat. Dan dari sini
kita akan memahami sikap Syi'ah terhadap mereka.
Bukhari telah meriwayatkan dalam kitabnya
Jil. 4 hal. 47 dalam Bab as-Sabru a'lal adza (Sabar Dari Gangguan) tentang
maksud firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang yang sabar akan diberikan
ganjaran." Katanya: "Al-A'masy meriwayatkan kepada kami bahwa beliau
pernah mendengar Syaqiq bercerita tentang Abdullah yang berkata: "Suatu
hari Nabi membagikan sesuatu kepada sahabat-sahabatnya sebagaimana yang biasa
beliau lakukan. Seorang dari Anshar memprotes dan berkata: pembagian ini bukan
karena Allah SWT. Kukatakan padanya bahwa aku akan lapor kepada Nabi (apa yang
dikatakannya). Aku menghampiri Nabi yang ketika itu berada di antara para
sahabatnya. Kuceritakan kepadanya apa yang terjadi. Tiba-tiba mukanya berubah
dan marah sekali sampai aku rasa menyesal karena memberitahunya. Nabi kemudian
berkata: 'Nabi Musa as telah diganggu lebih dari itu, tetapi beliau
bersabar.'" Bukhari juga meriwayatkan dari Bab yang sama pada pasal at-Tabassum
wa ad-Dhahk (Bab Tersenyum dan Tertawa). Katanya, Anas bin Malik
meriwayatkan: "Suatu hari aku berjalan bersama Rasulullah yang waktu itu
memakai syal Najrani yang berpinggiran tebal. Datang seorang Badwi yang
tiba-tiba saja menarik dengan kuat syalnya. Anas berkata, 'aku lihat kulit
leher Nabi lebam akibat tarikan keras yang dilakukan oleh si Badwi ini.'
Kemudian dia berkata: 'Hai Muhammad, berikan padaku sebagian dari harta Allah
yang ada padamu.' Lalu Nabi melihatnya sambil tertawa dan menyuruh sahabatnya
untuk memberinya. Dalam Bab yang sama, pasal Man Lam Yuwajih an-Nas Bil Atab,
Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah pernah berkata bahwa Nabi pernah melakukan
sesuatu dan mengizinkan para sahabatnya untuk melakukan yang serupa. Tiba-tiba
sebagian sahabat menolak melakukannya. Berita ini sampai ke telinga Nabi lalu
baginda berkhutbah dan memuji-muji Allah. Kemudian baginda berkata: "Kenapa
orang-orang ini menghindari dari melakukan sesuatu yang kulakukan. Demi Allah
aku lebih tahu dari mereka tentang Allah dan lebih takut kepadaNya di banding
mereka."
Orang yang merenungkan contoh riwayat
serupa ini akan merasakan bahwa para sahabat telah meletakkan diri mereka lebih
tinggi dari kedudukan Nabi sendiri; mereka percaya bahwa Nabi bisa berbuat
salah dan merekalah yang benar. Sebagian ahli sejarah ikut-ikutan dalam
membenarkan tindakan sahabat walaupun ia bertentangan dengan perbuatan Nabi;
atau kadang-kadang menunjukkan bahwa kedudukan ilmu dan ketakwaan para sahabat
lebih tinggi dibandingkan dengan Nabi, seperti yang dikatakan konon Nabi keliru
dalam menyelesaikan masalah tawanan perang Badar dan Umar bin Khattablah yang
benar. Mereka telah meriwayatkan berbagai hadis palsu yang konon Nabi SAW
bersabda: "Seandainya Allah turunkan suatu bencana maka tiada yang akan
selamat melainkan Umar bin Khattab." Seakan-akan mereka ingin berkata
"Kalau Umar tiada maka celakalah Nabi". Semoga Allah melindungi kita
dari kepercayaan yang salah seperti ini.
Demi jiwaku! Mereka yang mempunyai
kepercayaan seperti ini akan jauh dari Islam sejauh dua kutub barat dan timur.
Dia wajib merujuk kembali akalnya atau mengusir setan dari hatinya. Allah berfirman:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya; dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya
sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS. Al
Jaatsiyah: 23). Demi jiwaku! Mereka yang percaya bahwa Rasulullah SAW bisa
diombang-ambingkan oleh nafsunya dan lari dari jalan yang benar sehingga pernah
membagi sesuatu bukan semata-mata karena Allah, tetapi karena nafsu dan
kepentingannya; dan mereka yang menghindar dari berbuat sesuatu yang Rasulullah
lakukan lantaran menduga bahwa mereka lebih bertakwa dan lebih arif pada Allah
dibandingkan RasulNya? Orang-orang seperti ini memang sangat tidak layak untuk
dihormati oleh kaum muslimin apalagi menempatkan mereka seperti para malaikat,
lalu menghukumkan mereka sebagai makhluk terbaik setelah Rasulullah, dan kaum
muslimin harus ikut mereka dan berjalan di bawah naungan sunnah mereka hanya
semata-mata karena mereka adalah sahabat Nabi. Hal ini bertentangan dengan
sikap Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang menyertakan semua sahabat dalam shalawat
mereka kepada Nabi dan keluarganya. Allah Mahatahu akan kedudukan mereka.
Karena itu mereka ditempatkan pada posisi yang layak bagi mereka. Mereka
diperintahkan untuk bershalawat kepada Nabi dan keluarganya yang suci agar
mereka tunduk dan tahu kedudukan Ahlul Bait yang sebenarnya di sisi-Nya. Lalu
bagaimana tiba-tiba kita menempatkan mereka lebih tinggi dari kedudukan
keluarga Nabi atau menyamakan mereka dengan orang-orang yang telah diutamakan
oleh Allah atas alam semesta ini?
Aku berkesimpulan bahwa Bani Umaiyah dan
Bani Abbasiah yang telah memusuhi Ahlul Bait Nabi, mengejar-ngejar dan membunuh
mereka beserta para Syi'ahnya, mengetahui keutamaan keluarga Nabi dan kedudukan
mereka yang tinggi. Apabila Allah tidak terima shalat seseorang melainkan di
dalamnya ada shalawat pada Nabi dan keluarganya, maka apa alasan permusuhan dan
bersikap lari dari garis Ahlul Bait? Itulah kenapa kita lihat mereka telah
mengiringkan kalimat sahabat dengan Ahlul Bait semata-mata agar dapat
memberikan gambaran kepada orang banyak bahwa antara sahabat dan Ahlul Bait
sebenarnya adalah sama. Terutama apabila kita ketahui bahwa mastermind mereka
yang sebenarnya adalah sebagian sahabat itu sendiri. Mereka telah upah sebagian
sahabat lain yang lemah akal dan karakter atau golongan tabi'in agar
meriwayatkan berbagai hadis palsu tentang keutamaan sahabat, khususnya mereka
yang pernah menjabat kedudukan khalifah, yang merupakan sebagai sebab utama
naiknya mereka (Bani Umaiyah dan Abbasiah) ke puncak kekuasaan. Sejarah adalah
sebaik-baik bukti atas apa yang kukatakan ini.
Lihatlah Umar bin Khattab yang sangat
terkenal dengan pengontrolannya pada semua gubernurnya, dan akan memecat mereka
serta-merta lantaran suatu keraguan yang dilihatnya. Lihatlah betapa beliau
sangat berlemah lembut terhadap Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan tidak pernah mengontrolnya
sama sekali. Dahulunya Abu Bakarlah yang mengangkat Mu'awiyah sebagai gubernur
kota Syam, lalu kemudian dilanjutkan oleh Umar sepanjang hayatnya. Beliau juga
tidak pernah memprotesnya bahkan menegur atau mengecamnya sekalipun; walau
banyak keluhan yang mengatakan bahwa Mu'awiyah memakai emas dan sutera yang
telah diharamkan oleh Rasulullah SAW kepada kaum lelaki. Umar menjawab mereka
dengan kata-kata: "Biarkan dia. Dia adalah Kisra (Raja) Arab". Dan
Mu'awiyah terus berkuasa selama dua puluh tahun tanpa ada yang menegur dan
memecatnya.
Ketika Utsman berkuasa diberinya lagi
wilayah-wilayah lain untuk diurusnya, sehingga dia dapat menguasai tidak
sedikit dari kekayaan negara Islam dan dapat memobilisasi kekuatan militer
menentang kepemimpinan Imam Ali. Kemudian secara kekerasan dan dengan tangan
besi, dia dapat kuasai semua kaum muslimin, lalu kemudian memaksa mereka
memberikan bai'at kepada Yazid, puteranya yang fasik dan pemabuk. Kisah Yazid
ini adalah cerita panjang yang tak dapat kita muatkan dalam buku yang ringkas
seperti ini. Apa yang penting adalah pengetahuan kita akan mentalitas para
sahabat yang duduk di jabatan khilafah dan yang telah menyiapkan secara
langsung berdirinya suatu kerajaan Bani Umaiyah berdasarkan keputusan Quraisy
yang enggan menerima Nubuwah dan Khilafah berada di tangan Bani Hasyim. (Lihat
al-khilafah Wal Muluk oleh al-Maududi Dan Yaum al-Islam oleh Ahmad Amin).
Dinasti Bani Umaiyah mempunyai hak,
bahkan kewajiban untuk berterima kasih pada mereka yang telah menyiapkan
berdirinya kerajaannya itu. Paling tidak sebagai ungkapan rasa terima kasih
adalah dengan mengupah sejumlah perawi yang mau meriwayatkan berbagai
"hadits" tentang keutamaan para leluhur mereka dengan mengangkatnya
lebih tinggi dari kedudukan Ahlul Bait, musuh utama mereka. Jika hadis-hadis
keutamaan ini dikaji berdasarkan hujjah-hujjah syariah dan akliah, maka
keabsahannya akan cepat diragukan. Melainkan jika ada kelainan dalam mentalitas
kita dan tidak mampu membedakan antara perkara-perkara yang kontradiktif.
Sebagai contoh, kita banyak mendengar tentang keadilan Umar yang diceritakan
oleh berbagai perawi, sehingga dikatakan: "Wahai Umar, kau telah bersikap
sangat adil; karena itu kau dapat tidur". Atau konon kabarnya Umar
dikebumikan dalam keadaan berdiri agar keadilan tidak mati bersamanya. Dan
berbagai cerita lain yang menarik tentang keadilannya. Namun sejarah yang benar
mengatakan kepada kita bahwa Umar ketika membagi-bagikan harta baitul mal pada
tahun 20 hijriah, beliau tidak mengikuti sunnah Nabi. Nabi SAW telah membagi
sama rata antara segenap kaum muslimin dan tidak mengutamakan satu dari yang
lainnya. Begitu juga Abu Bakar di dalam masa khilafahnya. Tetapi kemudian Umar
menciptakan suatu cara baru, mengutamakan golongan yang sabiqin (muslimin senior)
atas yang lainnya, dan golongan muhajirin Quraisy atas muhajirin selain
Quraisy, golongan muhajirin atas golongan anshar, golongan Arab atas non-Arab,
golongan orang merdeka atas hamba-hamba sahaya; mengutamakan suku Mudhir atas
suku Rabi'ah dengan memberikan suku yang pertama tiga ratus dan suku kedua dua
ratus; serta mengutamakan suku Aus atas suku Khazraj (Sharh Nahjul Balaghah
Oleh ibnu Abil Hadid jil. 8 hal. 111. Tarikh Ya'qubi jil. 2 hal. 106. Futuh
al-Buldan hal. 437).
Di mana letaknya keadilan dalam sistem
kelas seperti ini wahai orang-orang yang berpikir? Kita telah banyak mendengar
tentang cerita-cerita Umar. Bahkan dikatakan bahwa beliau adalah sahabat yang
paling alim. Konon Allah banyak membenarkan pendapat Umar ketika terjadi
perselisihan antara Nabi dan Umar, dengan menurunkan ayat-ayat yang mendukung
pendapatnya. Namun sejarah yang benar membuktikan kepada kita bahwa Umar banyak
menyalahi ayat-ayat Al Quran hatta setelah turunnya sekalipun. Ketika seorang
sahabat bertanya kepadanya di zaman khilafahnya: "Ya Amir al-Mukminin, aku
kini berjunub tetapi tidak kujumpai air, bagaimana hukumnya?" Umar
menjawab: "Tidak perlu shalat!" Ammar bin Yasir mengingatkan sang
khalifah bahwa kewajibannya adalah tayammum. Tetapi Umar tidak peduli. Katanya:
"Ya Ammar, engkau hanya bertanggung jawab atas tugas-tugasmu saja!"
(Shahih Bukhori jil. 1 hal. 52).
Di mana ilmu Umar tentang ayat tayammum
yang diturunkan di dalam AlQuran? Mana ilmu Umar tentang sunnah Nabi yang
mengajarkan kepada mereka bagaimana bertayammum sebagaimana Baginda ajarkan
wudhu? Di dalam berbagai peristiwa, Umar banyak mengakui dirinya tidak alim.
Bahkan -menurutnya- semua orang lebih alim darinya hatta para wanita sekalipun!
Beliau juga berulang kali mengatakan demikian, "Kalaulah tiada Ali maka
Umar telah celaka". Dan sampai akhir hayatnya beliau tidak tahu
hukum Kalalah, yang sering dihukumkannya di zaman pemerintahannya seperti yang
dicatat dalam sejarah. Mana ilmunya wahai orang-orang yang berakal? Kita juga
sering mendengar akan kepahlawanan, keperkasaan dan keberaniannya sehingga
dikatakan bahwa kaum Qurasiy merasa gentar setelah Islamnya Umar, dan agama
Islam sendiri menjadi kuat. Konon Allah telah muliakan Islam karena Umar bin
Khattab, dan Nabi tidak menyatakan dakwahnya secara terang-terangan melainkan
setelah Islamnya Umar. Namun sejarah yang benar tidak menunjukkan kepada kita
keperkasaan dan kepahlawanan itu. Bahkan sejarah juga tidak pernah menunjukkan
kepada kita ada seorang yang dikenal atau orang biasa sekalipun yang dibunuh
oleh Umar dalam peperangan seperti Badar, Uhud, Khandak dan lain sebagainya.
Bahkan sejarah membuktikan sebaliknya, Umar pernah lari bersama sahabat-sahabat
lain dalam peperangan Uhud dan Hunain. Ketika Rasulullah mengutusnya untuk
membebaskan kota Khaibar, beliau kembali dalam keadaan kalah. Bahkan di dalam
berbagai peperangan sariyyah (peperangan yang tidak diikut-sertai oleh Nabi)
sekalipun, Umar tidak pernah menjadi komandan pasukannya. Dalam sariyyah Usamah
sariyyah terakhir juga beliau hanya ditunjuk sebagai anggota pasukan Usamah bin
Zaid, seorang anak muda berusia belasan tahun. Mana klaim keperkasaan tersebut
wahai orang-orang yang berakal? Kita juga sering mendengar tentang ketakwaan
Umar bin Khattab serta rasa takutnya yang amat sangat sehingga menangis karena
takut kepada Allah SWT. Konon dikatakan bahwa beliau takut dihisab oleh Allah
jika seekor keledai di Irak sekalipun tersesat lantaran tidak disediakan jalan
untuknya. Tetapi sejarah yang benar mengatakan kepada kita bahwa beliau
sesungguhnya seorang yang keras dan kasar. Beliau tidak berhati-hati dan tidak
segan memukul orang yang bertanya kepadanya tentang suatu ayat Kitab Allah
sehingga melukainya tanpa suatu dosa yang dilakukannya. Bahkan seorang wanita
pernah jatuh dan tergugur kandungannya lantaran melihatnya dengan penuh
ketakutan. Kenapa beliau tidak takut kepada Allah ketika menghunuskan pedangnya
dan mengancam setiap orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati? Beliau
bersumpah bahwa Muhammad sebenarnya tidak mati, dia hanya pergi bermunajat
kepada Tuhannya seperti yang dilakukan oleh Musa bin Imran. Umar mengancam akan
memukul leher setiap orang yang mengatakan bahwa Nabi telah mati. Kenapa beliau
tidak takut kepada Allah ketika mengancam akan membakar rumah Fatimah jika
orang-orang yang berada di dalamnya tidak mau keluar untuk membai'at Abu Bakar?
Ketika dikatakan padanya bahwa Fatimah ada di dalamnya, dia menjawab,
"Sekalipun dia ada!" Beliau juga "berani" terhadap Kitab
Allah dan Sunnah Rasulnya dengan melakukan berbagai hukum di masa
pemerintahannya yang bertentangan dengan nas-nas Al Quran dan Sunnah Nabi SAW
(Lihat Tarikh Thabari dan Tarikh Ibnu Atsir, Al-Imamah Wa Siyasah Oleh Ibnu
Qutaibah, An-Nash Wal Ijtihad oleh Syarafuddin al-Musawi).
Nah, di mana letaknya wara' dan
ketakwaan setelah menyaksikan serangkaian fakta yang menyedihkan ini wahai
hamba-hamba Allah yang shaleh? Aku hanya ingin menjadikan sahabat yang agung
dan terkenal ini sebagai contoh semata-mata. Itupun telah kuringkaskan sedemikian
rupa agar tidak panjang dan sederhana. Jika aku ingin tuliskan secara
terperinci maka ia akan memuatkan berjilid-jilid buku. Seperti yang kukatakan di atas, aku hanya
mengetengahkannya sebagai contoh semata-mata tidak lebih. Apa yang kusebutkan
di atas, hanya segelintir kecil dari peristiwa yang terjadi. Tetapi ia telah
memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang jelas tentang mentalitas para
sahabat dan sikap para ulama Ahlu Sunnah yang kontradiktif. Mereka melarang
setiap orang untuk mengkritik dan meragukan sahabat, tetapi dalam masa yang
sama mereka riwayatkan dalam berbagai buku mereka fakta-fakta yang bisa
menimbulkan keragu-raguan dan kecaman. Kalaulah para ulama Ahlu Sunnah Wal
Jamaah tidak menyebutkan fakta-fakta yang jelas yang menyentuh tantang sahabat
dan melukai keadilan mereka, maka mereka akan berjasa dalam menghilangkan
segala jenis keraguan dari benak kita.
Aku teringat akan perjumpaanku dengan
salah seorang ulama dari Najaf al-Asyraf, Asad Haidar, penulis buku Al-Imam
as-Shadiq Wa al-Mazahib al-Arba'ah (Imam Shadiq Dan Empat Mazhab). Waktu
itu kami berbicara tentang Sunnah Syi'ah. Diceritakannya kepadaku tentang
ayahnya yang berjumpa dengan seorang alim dari Tunisia pada waktu musim haji
lima puluh tahun yang lalu. Mereka berdua berdiskusi panjang tentang keimamahan
Amir al Mukminin Ali bin Abi Thalib. Orang alim Tunisia ini mendengar ayahku
menghitung hadis-hadis yang membuktikan tentang kepemimpinan Imam Ali as. dan
haknya dalam masalah khilafah. Dihitungnya sehingga empat atau lima dalil.
Ketika selesai, ditanyanya apakah ada dalil selain ini. "Tidak"
jawabnya. Kemudian dia berkata: "Keluarkan tasbihmu dan mulai
hitung." Orang alim Tunisia ini menyebutkan dalil-dalil berkenaan sehingga
seratus, yang hatta ayahku sendiri tidak mengetahuinya." Syaikh Asad
meneruskan: "Jika Ahlu Sunnah membaca kitab-kitab mereka, maka mereka akan
berpendapat seperti kami; dan perselisihan ini telah selesai sejak lama."
Demi jiwaku! Sesungguhnya ini adalah kebenaran yang tidak dapat dihindari bagi
mereka yang telah membebaskan dirinya dari fanatisme buta dan bagi mereka yang
setia pada dalil yang shahih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar