Label

Lelaki yang Terbuang



Changez mencintai Amerika Serikat. Pada usia 18 tahun, dengan beasiswa dari negara tujuannya, ia meninggalkan Pakistan untuk mengejar impiannya di Amerika Serikat. Ia lulus dari Universitas Princeton menyandang predikat summa cum laude; sebelum lulus kuliah ia telah diterima bekerja di Underwood Samson & Company, sebuah perusahaan valuasi kecil namun bergengsi. Masa depan tampak cemerlang dengan gaji lebih dari delapan puluh ribu dolar setahun. Ia pun jatuh cinta kepada Erica, jelita dari keluarga jetset Amerika, yang bercita-cita menjadi novelis.

Namun, ia memiliki kemarahan, tabiat yang telah menggiringnya sebagai salah satu analis terbaik di Underwood Samson & Company. Kemarahan inilah yang membuatnya terbelah, selain mencintai Amerika serikat ia juga membenci negara yang telah menyodorinya beasiswa ini. Ketika menyaksikan tayangan tumbangnya menara kembar World Trade Center di New York bukannya berbelasungkawa atas tewasnya banyak manusia tak bersalah, ia malah tersenyum. Tersenyum karena menyadari betapa blakblakannya seseorang telah membuat Amerika Serikat dipermalukan. 

Kemarahannya bertambah pekat manakala sebagai dampak dari peristiwa 11 September 2001 ini, sebagai pendatang dari Pakistan bertampang Arab, ia mengalami berbagai perlakuan yang tidak senonoh. Sebelum kembali ke New York dalam perjalanannya ke Manila, di bandara ia ditelanjangi untuk diperiksa (sambil menahan malu karena memakai celana dalam pink bergambar boneka-boneka beruang). Sesampainya di New York, ia kembali mengalami perlakuan yang nyaris sama. Setelah itu kehidupannya diberondongi dengan kabar-kabar yang menggelisahkan: Amerika Serikat menyerang Afghanistan negara tetangganya yang sesama negara Muslim; sekelompok oknum menyerang Parlemen India; situasi Pakistan yang kian memanas bersiap kemungkinan berkecamuknya perang dengan India. Dan, Amerika Serikat, di mana di negaranya sendiri kehidupan berjalan tenteram –kecuali ulah segelintir teroris, adalah penyebab semua kericuhan. Ia memutuskan pulang ke Lahore, Pakistan.

Mengabaikan nasihat ibunya, Changez kembali ke New York dengan penampilan baru. Ia memelihara jenggot. Baginya, seperti umumnya lelaki di negerinya, jenggot hanya sekadar gaya. Namun tidak bagi penduduk New York yang berjumpa dengannya. Bagi mereka, wajah Arab dengan jenggot adalah gambaran teroris yang sudah mengambrukkan World Trade Center.

Kehidupan sebagai warga Pakistan di New York yang meleset dari rel impian ditambah dengan kerapuhan hubungan cintanya dengan Erica, membuat Changez kehilangan stabilitas. Sebagai bentuk pertolongan, pemimpin firma menugaskannya ke Valparaiso, Chili, untuk mengevaluasi sebuah penerbit buku. Di sanalah, bak orang tersesat, ia menemukan katalis bagi proses perubahan hidupnya. Perjumpaannya dengan Juan-Bautista, kepala perusahaan penerbitan, yang sehabis evaluasi akan kehilangan pekerjaan, mengelupas identitas Changez yang sebenarnya.

Dalam tuturan Bautista, Changez diperkenalkan kembali pada ikhwal janisari yang terkenal dari zaman kesultanan Ottoman. Janisari adalah anak-anak Nasrani yang diculik penguasa Ottoman untuk dilatih menjadi prajurit tangguh dalam tentara Muslim. Dengan keganasan dan kesetiaan, para janisari berperang untuk menghapus kebudayaan mereka sendiri. Kendati demikian, mereka tetap memiliki memori yang tidak dapat dilupakan, bahwa mereka Nasrani yang diadopsi secara paksa oleh kerajaan. Changez pun tiba pada kesimpulannya sendiri, “Saya adalah seorang janisari modern, seorang hamba di kerajaan Amerika pada saat kerajaan itu sedang menyerang sebuah negara yang masih berkerabat dengan negara saya dan bahkan mungkin berkolusi untuk meyakinkan bahwa negeri saya sendiri menghadapi ancaman perang.” (hlm.149).

Changez meninggalkan pekerjaan yang sudah ia kacaukan sebelumnya, kembali ke New York untuk menerima pemecatan dirinya dari firma. Kemudian kembali ke Pakistan untuk menggelorakan aktivitas sebuah kelompok mahasiswa yang dicap sebagai anti-Amerika.

The Reluctant Fundamentalist yang oleh penerbit Mizan diindonesiakan dengan judul Lelaki Yang Terbuang adalah novel kedua karya Mohsin Hamid, penulis Muslim Pakistan yang saat ini menetap di London. Hamid yang adalah lulusan Universitas Princeton 1993 dengan predikat summa cum laude, sebelumnya telah menulis novel Moth Smoke (2000). Kabarnya, The Reluctant Fundamentalist yang telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa, akan difilmkan oleh sutradara perempuan berdarah India, Mira Nair.

Hamid menuturkan novelnya menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu Changez (bahasa Urdu untuk Genghis),  yang sedang berkisah kepada seseorang lelaki Amerika, di sebuah restoran ternama di distrik Anarkali Tua, Lahore. Mereka dilayani seorang pramusaji bertampang kasar yang berasal dari salah satu suku yang telah menderita akibat serangan Amerika di Afghanistan. Seiring berjalannya cerita Changez, pembaca pelan-pelan digiring untuk menjadi paranoid, mencurigai apa selanjutnya yang akan dilakukan si lelaki Amerika dan Changez sendiri. Siapakah yang akan membunuh dan dibunuh pada penghujung novel? Hamid tidak tegas dalam hal ini, ia sekadar menggambarkan ketakutan Ichabod Crane, tokoh dalam The Legend of Sleepy Hollow yang sendirian di atas kuda sewaktu melihat kehadiran sang Penunggang Kuda Tanpa Kepala. Ia juga memberikan pamungkas yang akan terus menjadi pertanyaan pembaca: siapa sesungguhnya si Tuan Amerika? Pembunuh bayaran? Siapa sebetulnya si pramusaji? Apa yang terjadi sebelum alinea terakhir dalam novel berlalu? Namun pertanyaan yang paling penting adalah: benarkah Changez mengisahkan kejadian yang sebenarnya?

Inilah novel yang menggugat ulah Amerika Serikat yang doyan mengintervensi kehidupan negara-negara yang secara ekonomi dipandang lemah dibanding dengan Amerika Serikat sendiri. Disebut-sebut sebagai penengah negara-negara yang bertikai namun di belakangnya, diam-diam, menyiram bensin ke dalam kancah berapi konflik negara-negara tersebut. Amerika Serikat meruncingkan situasi negara lain sambil mendambakan ketenteraman di negeri sendiri. Ketika teroris menyusup ke dalam negeri dan mengobrak-abrikkan kedamaian domestik, ego purba mereka yang gigantik dipecut: Kami adalah Amerika, kebudayaan terbesar yang pernah dikenal di dunia; engkau telah meremehkan kami; hadapi kemurkaan kami (hlm. 81). Maka siapapun yang memiliki pertalian dari segi agama, negara asal, wajah ataupun jenggot, mesti menjadi bulan-bulanan dendam kesumat yang kerap tidak berdasar.

Kemudian, dari puing-puing prasangka yang tidak pada tempatnya, sebuah ironi mencuat. Changez, yang mencintai Amerika dengan keamerikaan yang disandangnya: kesarjanaan, pekerjaan, sampanye, dan perempuan, malihrupa menjadi mantan janisari yang mendukung pelepasan Pakistan dari kendali Amerika Serikat. Dan metamorfosis inilah yang menjadi salah satu kekuatan novel Mohsen Hamid ini, menjadi elemen pencetus ketegangan yang dibeberkan secara terkendali oleh si pengarang.  Menariknya, pembaca seolah dilibatkan dalam novel. Hamid seolah-olah sedang bercerita kepada kita, sebagai “Anda”, Tuan Amerika yang sembunyi-sembunyi mengancam sekaligus terancam.

Bagi sebagian pembaca, menuntaskan novel ini mungkin membutuhkan kesabaran. Memang tidak tebal, namun gaya tutur yang dipilih Hamid telah melahirkan cerita yang dipadati narasi panjang-lebar namun minus deskripsi dan dialog. Jika dialog dihadirkan juga, walau melibatkan dua orang, semua disusun sekaligus dalam satu alinea.

Bagi yang masih belum jenuh dengan cerita berlatar seputar peristiwa 11 September (dan antipati pada Amerika Serikat), The Reluctant Fundamentalist, akan menjadi novel yang tidak terlewatkan. (Jody)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar