Pada
masa Imam Kesepuluh kita, Imam Ali al-Hadi an-Naqi As, khalifah (raja) yang
memerintah adalah seorang yang sangat berperilaku buruk yang bernama
Mutawakkil. Suatu hari Khalifah Mutawakkil jatuh sakit. Ia menderita sores di
bagian mulutnya. Para tabib telah berusaha semaksimal mungkin dan telah mencoba
berbagai macam obat akan tetapi tidak membuatnya lebih baik. Ibu sang khalifah
sangat masygul hatinya dan perasaannya menjadi sendu. Sang ibu lalu meminta
Imam Ali al-Hadi As untuk menolong anaknya tersebut. Imam Ali al-Hadi As
berkata kepada ibu si khalifah ihwal obat apa yang harus dikonsumsi supaya sang
khalifah pulih kembali. Imam Hadi As memintanya untuk menggunakan obat dari
lemak kambing dan air bunga mawar.
Ketika si ibu menggunakan obat yang dianjurkan oleh Imam Hadi As tersebut, Khalifah Mutawakkil pulih kembali. Seluruh tabib yang telah berupaya untuk menyembuhkan sakit yang diderita sang khalifah sangat terkejut melihat kenyataan ini. Ibu Mutawakkil demikian senang dan puasnya, ia lalu mengirimkan sebuah kantong yang berisikan uang yang melimpah. Imam Ali al-Hadi As sama sekali tidak menyentuh uang itu di rumahnya. Suatu hari beberapa orang berkata kepada Khalifah Mutawakkil bahwa Imam Ali al-Hadi As memiliki banyak senjata yang ia simpan dalam rumahnya dengan alasan untuk menghimpun sebuah pasukan untuk berperang melawan kekuasan khalifah (raja).
Mutawakkil mengirim serdadunya untuk mencari dan menggeledah kediaman Imam Ali al-Hadi As. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan apa pun kecuali sebuah tikar untuk salat, beberapa lembar pakaian dan uang yang dikirimkan oleh ibu khalifah kepada Imam Ali al-Hadi As. Mereka membawa kembali uang itu seluruhnya ke hadapan Khalifah Mutawakkil. Tatkala ia melihat uang dengan stempel ibunya tertera di atas kantung uang tersebut, ia bertanya mengapa ia mengirim uang sebanyak itu kepada Imam Ali al-Hadi As.
Ibunya berkata bahwa berkat obat Imamlah yang telah menyembuhkan ia dari penyakit ketika para tabib tidak kuasa lagi untuk menyembuhkannya. Sang khalifah (raja) menjadi sangat malu karena telah meragukan Imam Ali al-Hadi As dan ia mengirim kembali uang itu setelah menambahkannya dengan uang yang lebih banyak. Ia meminta maaf kepada Imam Ali al-Hadi As lantaran telah mengganggu sang Imam. Kendati Mutawakkil adalah seorang yang sangat berperilaku buruk, Imam Ali al-Hadi tetap membantunya, lantaran ibunya yang telah datang kepada sang Imam untuk meminta pertolongan darinya. (Lihat Maliki, al Fusul al Muhimma, hal. 282).
Ketika si ibu menggunakan obat yang dianjurkan oleh Imam Hadi As tersebut, Khalifah Mutawakkil pulih kembali. Seluruh tabib yang telah berupaya untuk menyembuhkan sakit yang diderita sang khalifah sangat terkejut melihat kenyataan ini. Ibu Mutawakkil demikian senang dan puasnya, ia lalu mengirimkan sebuah kantong yang berisikan uang yang melimpah. Imam Ali al-Hadi As sama sekali tidak menyentuh uang itu di rumahnya. Suatu hari beberapa orang berkata kepada Khalifah Mutawakkil bahwa Imam Ali al-Hadi As memiliki banyak senjata yang ia simpan dalam rumahnya dengan alasan untuk menghimpun sebuah pasukan untuk berperang melawan kekuasan khalifah (raja).
Mutawakkil mengirim serdadunya untuk mencari dan menggeledah kediaman Imam Ali al-Hadi As. Akan tetapi mereka tidak mendapatkan apa pun kecuali sebuah tikar untuk salat, beberapa lembar pakaian dan uang yang dikirimkan oleh ibu khalifah kepada Imam Ali al-Hadi As. Mereka membawa kembali uang itu seluruhnya ke hadapan Khalifah Mutawakkil. Tatkala ia melihat uang dengan stempel ibunya tertera di atas kantung uang tersebut, ia bertanya mengapa ia mengirim uang sebanyak itu kepada Imam Ali al-Hadi As.
Ibunya berkata bahwa berkat obat Imamlah yang telah menyembuhkan ia dari penyakit ketika para tabib tidak kuasa lagi untuk menyembuhkannya. Sang khalifah (raja) menjadi sangat malu karena telah meragukan Imam Ali al-Hadi As dan ia mengirim kembali uang itu setelah menambahkannya dengan uang yang lebih banyak. Ia meminta maaf kepada Imam Ali al-Hadi As lantaran telah mengganggu sang Imam. Kendati Mutawakkil adalah seorang yang sangat berperilaku buruk, Imam Ali al-Hadi tetap membantunya, lantaran ibunya yang telah datang kepada sang Imam untuk meminta pertolongan darinya. (Lihat Maliki, al Fusul al Muhimma, hal. 282).
Imam
Ali An-Naqi as adalah jelmaan kasih sayang dan rahmat ilahi yang dijadikan oleh
Sang Khaliq sebagai hujjah bagi umat manusia. Ia dibekali pelita hidayah
sebagai penerang jalan bagi para pencari kebenaran. Sejarah dan sirah
kehidupannya merupakan teladan bagi mereka yang haus akan kesempurnaan sejati.
Imam
Ali An-Naqi as yang terkenal dengan sebutan Imam Hadi as adalah salah satu
tokoh terkemuka Ahlul Bait Nabi as. Tutur kata dan perilaku beliau
menggambarkan keluhuran budi pekerti seorang insan kamil dan jelmaan
nilai-nilai ilahi. Ketika ia melukiskan kemuliaan para imam Ahlul Bait as,
beliau berkata: “Para imam adalah khazanah rahmat, pemilik harta karun
keilmuan, puncak kesabaran dan ketabahan, akar-akar kemuliaan, sari pati dan
pilihan para nabi, pelita kegelapan, … dan hujjat ilahi bagi semesta alam”.
Imam
Hadi as adalah sosok yang pengasih dan pemurah. Bibir dan lisannya selalu
tersimpul manis dengan senyuman dan guratan zikir. Ketika ia berjalan,
langkahnya penuh wibawa, dan selalu terkandung ibadah dalam gerak-geriknya.
Berbusana sederhana dan memiliki sejadah yang terbuat dari tikar, tempat ia
bersujud di setiap malam. Ia adalah samudra welas asih dan kelembutan.
Suatu
ketika, datanglah seorang lelaki yang lemah lunglai. Tangannya terlihat penuh luka
dan bahunya pun cidera. Dengan susah payah ia berusaha melewati kerumunan
manusia. Saat ia keluar dari kerumunan tersebut, ia tersadar bajunya tercantol
dan akhirnya menjadi robek. Dengan penuh kemarahan, lelaki itu pun berteriak
lantang dan berkata: “Sungguh hari yang sial!”. Imam Hadi as pun mendengar
teriakan itu dan bertanya: “Apa yang terjadi?”. Lelaki itu pun segera
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sang Imam pun lantas berkata: “Semua
hari adalah baik. Allah yang Maha Penyayang tidak pernah menciptakan hari yang
buruk dan sial. Siapapun yang berbuat sesuatu pasti bakal menerima ganjaran
atau balasannya”. Imam berkata sedemikian rupa, hingga lelaki itu memahami akan
kesalahannya dan mengerti bahwa di balik setiap kejadian pasti tersimpan hikmah
yang mungkin saja tidak pernah diketahui. Di saat itulah, lelaki itu pun
beristighfar dan meminta ampunan kepada Allah swt.
Pada
suatu hari yang lain, dikisahkan bahwa orang dekat Khalifah Mutawakkil berusaha
untuk mengambil hati sang khalifah dari Bani Abbasiyah itu dengan cara
menjelek-jelekkan Imam Hadi as. Kepada khalifah ia berkata, “Imam Hadi as
menyembunyikan banyak senjata di rumahnya dan hendak memberontak melawan
pemerintahan Anda”. Khalifah pun segera memerintahkan pasukannya untuk menyerbu
rumah Imam Hadi as.
Kejadian
itu berlangsung di saat malam hari, ketika Imam as tengah duduk bersimpuh di
biliknya sembari membaca Al-Quran. Tiba-tiba saja tentara khalifah menyeruak
masuk dan menggeledah seluruh ruangan. Namun mereka tak menemukan simpanan senjata
yang dituduhkan. Para tentara pun lantas menangkap Imam as dan membawanya
menghadap Khalifah. Sembari melaporkan kejadian yang sebenarnya. Akhirnya
Khalifah memerintahkan untuk segera membebaskan Imam Hadi as. Mengetahui apa
yang terjadi, orang dekat Khalifah yang menfitnah Imam tadi, akhirnya menyadari
akan kesalahannya. Ia begitu malu melihat kesabaran yang ditunjukkan Imam dalam
menghadapi tudingan palsu tersebut.
Selama
hidupnya, Imam Hadi as selalu mendapat pengawasan dari penguasa di zamannya. Mereka
senantiasa berusaha mengucilkan Imam dari umatnya. Namun kemuliaan akhlak
beliau, membuat siapapun terutama para kalangan ulama begitu memuji dan simpati
pada beliau. Abu Abdullah Junaidi menuturkan, “Demi Allah, ia (Imam Hadi as)
adalah manusia terbaik di muka bumi dan ciptaan Allah yang paling luhur”.
Imam
Hadi as bukanlah mentari yang hanya menyinari kaum muslimin. Cahaya sinarnya
menerangi seluruh alam keberadaan hingga menawan setiap hati dan kalbu
siapapun. Bukan hanya pengagum beliau dari kalangan Syiah, tapi banyak juga
tokoh dari mazhab dan agama lain pun yang juga mengakui ketinggian ilmu dan
akhlak beliau. Yazdad, seorang tabib nasrani yang begitu mengagumi peringkat
keilmuan Imam Hadi as. Menanggapi pengasingan Imam Hadi ke Samarra, Irak, Yazdad
berkata, “Jika ada seorang manusia yang menguasai seluruh ilmu, maka hanyalah
dia seorang. Ia dibawa ke Samarra untuk memisahkan kecintaan umatnya pada
beliau lantaran para penguasa merasa terancam dengan kehadirannya”.
Salah
satu peranan utama para Imam Ahlul Bait as adalah aksi pencerahan dan dakwahnya
menuju kebahagiaan hakiki. Untuk mencegah gerakan dakwah para Imam as, penguasa
dari dinasti Abbasiyah berupaya menantang kemampuan ilmu beliau dengan
mendatangkan banyak ilmuan dari pelbagai negeri untuk menjatuhkan posisi
keilmuan aimmah Ahlul Bait as yang begitu dikagumi oleh umatnya. Upaya semacam
itu terus berlangsung hingga di masa Imam Hadi as. Namun, kesempatan itu justru
beliau manfaatkan sebagai peluang untuk memberikan pencerahan kepada umat dan
menyebarkan ajaran Islam yang sebenarnya.
Suatu
ketika Khalifah Mutawakkil Abbasi mendatangkan dua ilmuan masyhur bernama Yahya
bin Aktsam dan Ibnu Sikkit untuk berdebat dengan Imam Hadi as. Pada kesempatan
pertama, Ibnu Sikkit mengajukan pertanyaan tentang alasan di balik keberagaman
mukjizat di antara para nabi dan berkata, “Mengapa Musa dipilih sebagai rasul
dengan tongkatnya, Isa dengan kemampuannya mengobati orang-orang sakit dan
Muhammad dengan Al-Quran?”
Imam
Hadi as menjawab, “Musa as dipilih sebagai Rasul di saat sihir begitu
mempengaruhi kehidupan umatnya. Karena itu, ia diutus dengan diberikan mukjizat
yang mampu menundukkan kekuatan para tukang sihir di zaman itu dan sebagai
bukti kebenaran ilahi. Isa as diutus dengan kemampuan untuk menyembuhkan
orang-orang sakit dan menghidupkan orang yang sudah mati lantaran di masa itu
kedokteran dan kemajuan di bidang tersebut membuat umat terheran-heran. Ia
dengan ijin ilahi, menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan menyembuhkan
penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Sedangkan Muhammad saw dianugerahi
mukjizat berupa Al-Quran di saat puisi dan sastra menguasai alam pemikiran
umat. Ia pun datang dengan pancaran cahaya Al-Quran yang membuat pikiran
umatnya terkagum-kagum, menyampaikan pesan ilahi, dan menyempurnakan hujjat
bagi mereka”.
Ibnu
Sikkit terus melontarkan beragam pertanyaannya kepada Imam Hadi as, hingga
akhirnya ia menyerah pada ketinggian ilmu beliau. Melihat rekannya tunduk tak
berdaya, Yahya bin Aktsam pun bangkit mengecam Ibnu Sikkkit. Dengan nada marah
ia berkata, “Apa yang bisa dilakukan oleh Ibnu Sikkit dalam berdebat, ia hanya
seorang sastrawan dan ahli bahasa?”. Namun setelah panjang lebar berdebat
dengan Imam, nasib Yahya pun tak jauh berbeda dengan rekannya tadi. Hingga ia
terpaksa mengakui kebesaran ilmu Imam Hadi as. Akhirnya pada 3 Rajab 254 H,
Imam Ali bin Muhammad An-Naqi Al-Hadi gugur syahid lantaran diracun oleh
penguasa dinasti Abbasiyah di masa itu. Beliau lantas dikebumikan di kota
Samarra, Irak.