Label

Cara Lain Melawan Nafsu Kolonial Neo-Liberalisme


Judul Buku: Kata adalah Senjata. Penulis: Subcomandante Marcos. Penerbit: Resist Book, Yogyakarta. Cetakan: I, April 2005.

Kalau kita membayangkan neoliberalisme, kita seperti menaksir-naksir sebuah maharaja monster yang digdaya tak terkalahkan. Semacam klub super elit negara-negara paling adidaya di planet ini, perusahaan-perusahaan paling raksasa, kapitalis-kapitalis paling adikaya dan adirakus, teknologi paling canggih dan exclusive, belum lagi, yang paling bikin ngeri sekaligus jijik, angkatan militer paling ganas tak kenal ampun sedunia.

Kalau kita tidak suka, dan menentangnya, kita selalu sampai pada kesangsian; lantas perlawanan model apa yang bisa dilakukan??? Apakah perlu melawan modal dengan modal; negara dengan negara; dagang dengan dagang; atau teknologi dengan teknologi? Dalam arti konvensionalnya, ini akan langsung nampak absurd. Banyak yang yakin kalau perlawanan berazas ideologi juga tak lagi mempan, apalagi nasionalisme. Ada banyak bukti, setiap duel nasionalisme vs duit, yang pertama itu K.O. duluan. Untuk kasus Indonesia, pertanyannya malah mundur menjadi: hayou..apa berani melawan?? Yah, ada godaan yang sangat kuat untuk menyimpulkan bahwa kekuatan-kekuatan sosial kritis, dari mana saja itu berasal, tidak punya cukup senjata melawan neoliberalisme.

Tetapi di Meksiko, tidak terlalu jauh dari negeri ini, kita punya pelajaran sangat penting untuk meralat kesimpulan pesimistik itu. Di sebuah wilayah Meksiko, di pojok pegunungan tenggara di sana, serangkaian perlawanan sengit, begitu sengit, terhadap neoliberalisme dilancarkan bukan oleh sebuah organ perlawanan ideologis yang revolusioner, atau suatu mazhab intelektual kritis-radikal, juga bukan oleh suatu jaringan aktivisme internasional garis keras. Melainkan oleh sebuah gerakan adat orang-orang Indian.

Gerakan adat? Indian? Konstruksi pikiran kita tentang suku adat, juga tentang Indian, telah dibuat sedemikian rupa sehingga sungguh aneh bagi kita membayangkan sebuah kekuatan gerakan adat bisa mengancang resistensi dan perlawanan terhadap aparatus kekuasaan raksasa yang sangat “maju”. Kita selalu dicekok bahwa yang namanya adat itu adalah masa lalu, bersama agama, yang bergaya bar-bar, kuno, ketinggalan zaman, berisi kepercayaan-kepercayaan aneh, ritual-ritual absurd yang kadang ‘melanggar’ HAM, sebagian dari kebodohan, miskin, jorok, kurang gizi, dan hanya perlu dikenang dan tidak perlu dipraktikkan. Lalu Indian? Gerombolan suku di benua Amerika sana, dengan panah-panah dan kapak, berteriak-teriak dengan tarian-tarian aneh, muka coreng-coreng, suka membunuh, bengis, tidak terdidik, dan musuh para koboi Amerika yang gagah dan keren itu. Gambaran itu yang dicekokkan ke kepala kita yang awam lewat film – film dan buku-buku Barat (Amerika), dan gambaran begitu memang penuh hasutan dan lebih banyak menyesatkan.

Sekarang kita berbicara tentang Zapatista, gerakan perlawanan masyarakat adat yang berjuang menuntut pengakuan atas hak-hak mereka. Mereka bukan orang-orang kolot, bar-bar, membawa kapak dan panah, dan suka membunuh. Tapi kalau mereka miskin, kurang gizi, dan musuh ‘koboi’ Amerika, pastinya yah. Namun Zapatista punya haluan politik luas dan canggih, dan penuh kejutan serta kemampuan mengorganisasi diri yang mencengangkan.

Tuntutan awal Zapatista adalah pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat, yang termasuk disitu hak untuk menentukan pola sosial dan kehidupan berdasar nilai-nilai adat yang mereka pegang. Ini bertolak dari perlakuan amat keji dan buruk yang mereka terima dari partai paling berkuasa di Meksiko selama berpuluh-puluh tahun. Namun pada tahap selanjutnya, disadari kalau kebusukan yang ada di politik Meksiko berkait kelindan dengan dengan kekuatan-kekuatan internasional yang jauh lebih busuk, apalagi kalau bukan neoliberalisme. Maka kritik dan serangan Zapatista secara langsung juga mengarah pada kapitalisme internasional yang didukung pemerintah-pemerintah adikuasa.

Reputasi Zapatista tidak bisa lepas dari sosok Marcos, yang sebenarnya hanya salah seorang pemimpin mereka. Marcos, atau Subcomandante Marcos, lebih dianggap wakil dan ikon Zapatista karena pandangan-pandangan dan kemampuan komunikasinya yang sangat memikat.

Apa yang sungguh menarik dan menggugah dari Zapatista ialah metode dan cara-cara perlawanan yang mereka tempuh. EZLN yang merupakan organ gerakan utama mereka adalah sebuah organisasi militer, yang dilatih dan mentaati aturan militer. Namun, seperti kata Marcos sendiri, senjata dan militer hanyalah alat yang pada saatnya tidak diperlukan lagi dan bisa membubarkan diri. Kekuatan terbesar Zapatista justru adalah pada keteguhan mereka menegakkan prinsip-prinsip otonomi masyarakat sipil yang mereka kembangkan dari nilai-nilai adat yang mereka warisi.

Ada 10 juta penduduk Indian di Meksiko yang punya 42 bahasa dan memiliki budaya dan nilai-nilai alternatif. Mereka menolak dan menentang demokrasi Meksiko yang kotor dan menjadi penjamin kekuasaan para pemanin yang busuk. Mereka membangkang pada pemerintahan Meksiko dengan membentuk distrik-distrik otonom, yang mereka sebut caracol-caracol, yang pimpinannya mereka pilih lewat sistem demokrasi adat mereka. Di situ ada dewan-dewan rakyat dan adat yang dihormati dan memiliki peran spesifik namun sangat strategis. EZLN sendiri bukan struktur tertinggi pengambil keputusan dalam Zapatista, ia di bawah sebuah dewan pimpinan adat, dan menjadi organ pelaksana dengan wewenang yang luas. Zapatista bereksperimen dengan sistem politik baru, dan beberapa kali Marcos menyebutkan bahwa tuntutan mereka di adalah juga perubahan cara berpolitik di Meksiko, yang ini berarti perubahan keseluruhan paradigma politik.

Buku ini yang, biar kita perjelas, judulnya “Kata adalah Senjata” adalah buku sekuel kedua yang mengangkat perlawanan Zapatista. Yah, perlawanan, karena seperti kata Marcos, perlawanan itulah wujud perjuangan Zapatista. Buku pertama adalah “Bayang Tak Berwajah” yang kini sedang menunggu dana, karena tebal sekali, untuk cetak ulang Resist Book. Seperti pendahulunya itu, buku ini berisi komunike-komunike perjuangan Marcos kepada masyarakat nasional Meksiko dan internasional.

Cerita tentang Marcos dan Zapatista adalah demontrasi tentang cara baru mengancang perlawanan atas neoliberalisme. Sangat berbeda dengan genre perlawanan pada umumnya yang dilakukan kelompok-kelompok penentang Amerika dan neoliberlisme, Marcos mengandalkan komunike-komunikenya sebagai senjata menggalang kekuatan. Di situ, Marcos tanpa henti menciptakan dan menyebarluaskan prosa-prosa perlawanan yang memiliki daya gugah luar biasa, serta begitu kaya akan imajinasi.

Jangan dikira ini karena kebetulan atau semacam metode-metode taktis sementara, tapi gaya Marcos ini punya latar belakang dan alasan yang sama-sama absahnya sebagai metode perlawanan. Marcos lebih tertarik pada novel daripada buku-buku teks teoretis yang berat karya tokoh-tokoh besar seperti Marx atau Hegel. Ia lebih banyak terinsprirasi oleh karya-karya seperti “Seratus Tahun Kesunyian’, “Matinya Artemio Cruz”, “Diaz de Guardar”, atau “Kota dan Sekawanan Anjing”. Salah satu kitab favoritnya adalah “Don Quixote de la Mancha”, dan “Hamlet”, bukan Marx atau Engels yang banyak mempengaruhinya, tetapi Garcia Lorca dan Shakespeare.

Zapatista juga bukan merupakan gerakan separatis dan tidak untuk bermaksud memisahkan diri dari Meksiko, karena justru bendera Meksiko yang mereka junjung tinggi. Mereka juga tidak berminat dengan kekuasaan, yang seolah telah menjadi target wajib semua gerakan pembangkangan. Kata Marcos, “Kami ini paradoks, karena sepasukan tentara revolusioner tidak berupaya merebut kekuasaan”. Namun tujuan paling tak lazim dan ‘absurd’ dari perlawanan Zapatista, seperti dikatakan Marcos, adalah mendorong “Revolusi untuk melahirkan revolusi”. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar